Minggu, 24 Maret 2013

SEKILAS TENTANG MU'TAZILAH



ALIRAN MU’TAZILAH

Abstraksi
Mu’tazilah lebih dikenal sebagai kaum rasionalis Islam, penyebutan Mu’tazilah  didasarkan kepada peristiwa perselisihan pendapat antara Washil bin Atho’ dan Amr bin ‘Ubaid dengan gurunya  al-Hasan al-Basyri tentang status orang mukmin yang melakukan dosa besar,  meskipun sebenarnya istilah ini juga pernah menyeruak pada masa perang Jamal antara Sayyidina Ali R.a dan ‘Aisyah.
Menurut Abu Hasan al-Khayyath seorang belum dikatakan ber-Mu’tazilah jika belum mengakui pancasila-nya Mu’tazilah yang disebut dengan al-Ushul al-Khamsah, yaitu al-Tawhid; penolakan terhadap kekuatan yanf menyamai kekuatan Allah Swt. Dampaknya, mereka menyatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk karena jika tidak demikian, maka ada yang menyamai Allah , al-’Adl; meyakini kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya, dan kemampuannya untuk melakukan perbuatan secara sengaja dan di bawah kesadarannya, al-Wa’d wa al-Wa’id ; kebenaran janji Allah kepada hambaNya yang taat dan ancaman Allah untuk mereka yang ingkar,Manzilah Baina al-Manzilatain kedudukan pelaku dosa besar sebelum taubat adalah tidak di Surga dan tidak pula di Neraka melainkan di luar keduanya, Amar Ma’ruf nahi Munkar, kewajiban setiap muslim untuk ikut serta dalam mengatur keteraturan kehidupan manusia
Mu’tazilah identik dengan Washil bin Atha’ yang dilahirkan di Madinah antara tahun 699-700 M/80-81 H dengan nama lengkapnya Washil bin Atha’ al-Ghazzal al-Atha’, ia  meninggal pada antara tahun 748-749 M/130-131 H, Washil bukanlah keturunan Arab asli meskipun lahir dan besar di Madinah, ia disebut mawali keturunan Bani Dabbah, namun ada pula yang mengatakan dari Bani mahzum. Washil termasuk tokoh yang sangat serius mendalami berbagai ilmu keIslaman terutama ilmi kalam yang kemudian menghantarkannya sebagai salah satu intelektual muslim cukup produktif.
Gerakan penyebaran faham Mu’tazilah terpusat di dua kota Mu’tazilah di Bashrah  dipimpin oleh pendirinya yaitu Washil bin Atha’ dan Amr bin ‘Ubaid sedangkan Mu’tazilah di Baghdad (Irak) dipimpin oleh Basyir bin al-Mu’tamar salah seorang penguasa di Bashrah yang pindah ke Baghdad kemudian mendapatkan dukungan dari kawan-kawannya yaitu Abu Musa al-Musdar, Ahmad bin daud dll.
Pandangan mayoritas ulama kepada Mu’tazilah tergantung kadar ke ekstriman kelompok Mu’tazilah itu sendiri, namun secara umum memang mayoritas ulama tidak setuju dengan aliran ini karena cenderung mendewakan akal ketimbang wahyu, sehingga banyak Ulama yang meyakini kesesatan aliaran ini diantaranya adalah, Muhammad bin Hasan, Abu Yusuf,Ibnu Taimiyah, al-baghdadi.
Namun demikian pada perkembangannya adapula ulama-ulama mutakhirin yang kemudian membela Mu’tazilah dengan ajarannya diantaranya  adalah Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abdul, Syekh Ali musthofa Al-Ghurabi.
A.     PENDAHULUAN
Argumentasi kemunculan teologi Islam berawal dari pertikaian politik tak terbantahkan lagi, bermula sejak wafatnya Muhammad Saw umat muslim terpecah menjadi beberapa kelompok yang sulit untuk disatukan, masing-masing kelompok mempunyai kepentingan untuk merebut otoritas kekuasaan kepemimpinan pasca Muhammad Saw
Perdebatan dan penggunaan kekuatan pisikpun tak terelakkan, masing-masing kelompok mengkaji teks-teks al-Qur’an yang sesuai dengan keinginan masing-masing kelompok , hal ini ditunjukkan oleh kehadiran berbagai aliran-aliran seperti Jabbariyah, Qodariyah, Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah[1]
Dari sekian banyak aliran yang muncul Mu’tazilah menarik untuk dikaji dengan satusnya sebagai gerakan rasionalisme Islam. Makalah yang sederhana ini mencoba menela’ah asal usul Mu’tazilzh, tokoh dan perkembangan aliran mu’tzilah serta komentar para ulma
B.     PEMBAHASAN
a.      Awal kemuncululan aliran Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “I’tizal”  yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan atau mengasingkan diri.[2] Dalam al-Qur’an kata-kata ini diulang sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al-ibti’ad ‘ani al-sya-i (menjauhi sesuatu). Seperti dalam ayat berikut.
ÈbÎ*sù öNä.qä9utIôã$# öNn=sù öNä.qè=ÏF»s)ム(#öqs)ø9r&ur ãNä3øŠs9Î) zNn=¡¡9$# $yJsù Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 öNÍköŽn=tã WxÎ6y  
Artinya : “Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu,Maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.(Q.S an-Nisa’ 90)[3]
Sedangkan secara terminologi Mu’tazilah didefinisikan sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin ‘Ubaid pada zaman al-Hasan al-Basyri[4]
Penyebutan istilah Mu’tazilah sebenarnya telah muncul pada pertengahan abad pertama ketika terjadi perang shiffin antara Ali dengan ‘Aisyah, Zubair dan Thalcah. Beberapa sahabat senior seperti Abdullah bin ‘Umar, Sa’ad bin Abi Waqos dan Zaid bin Tsabit bersikap netral dengan tidak memihak salah satu kelompok yang bertikai. Sebagai reaksi atas keadaan ini mereka sengaja menghindar (I’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta peningkatan hubungan dengan Allah SWT. Maka banyak ulama’ yang menyebutnya sebagai Mu’tazilah golongan pertama (I)
Sedangkan penyebutan Mu’tzaliah golongan kedua mengacu kepada peristiwa tahkim yang melahirkan kelompok khowarij dan murji’ah yang berdebat tentang status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan yang kedua ini terdapat beberapa versi, diantaranya :
1.      Asy-Syahrastani mengatakan bahwa Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atho’ serta temannya Amr bin ‘Ubaid, dan Hasan al-Bashri. Ketika Washil mengikuti pengajian yang diberikan Hasan al-Bashri, datanglah seorang yang bertanya mengenai posisi orang mukmin yang berdosa besar. Hasan al-bashri mengatakan bahwa ia tetap mu’in, hanya saja ia mukmin yang berbuat maksiat , tetapi washil berpendapat lain, menurutnya orang yang berbuat dosa besar bukan mukmin juga bukan kafir tetapi berada diantara keduanya (manzilah bainal manzilatain), kemudian dia menjauhkan diri dari pengajian Hasan al-Bashri dan membentuk pengajian sendiri di lingkungan Masjid, sehingga hasan al-Bashri mengatakan “Washil telah menjauhkan diri dari kita” (i’tazala anna)[5]
2.      Al-Baghdadi Menyebutklan bahwa Washil bin Atho’ dan temannya Amr bin ‘Ubaid diusir oleh Hasan al-bashri akibat perdebatan tentang pelaku dosa besar, sehingga keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Bashri. Oleh karena itu kelompok ini dinamakan Mu’tazilah
3.      Tasy Kubro Zadah berkata bahwa Qotadah bin Da’mah pada suatu hari masuk Masjid Bashrah dan bergabung dengan majlis Amr bin ‘Ubaid yang disangkanya majlis Hasan Al-Bashri. Setelah mengetahui bahwa majleis tersebut bukan majlis Hasan al-Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu;tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah
4.      Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut pautkan dengan peristiwa antara Washil bin Atho’ dan Hasan al-Bashri. Merieka diberi nama Mu’tazilah karena berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir
Dari berbagai pendapat yang disampaikan para ulama’, kiranya pendapat Asy-Syahrastani paling banyak diadopsi oleh beberapa pakar[6], untuk menunjukkan awal kemunculan kaum pemuja akal ini yang banyak dipengartuhi oleh Filsafat Yunani melalui proses penterjemahan buku-buku filsafat.[7]
b.      Doktrin kaum Mu’tazilah
Menurut Abu Hasan al-Khayyath seorang belum dikatakan ber-Mu’tazilah jika belum mengakui pancasila-nya Mu’tazilah yang disebut dengan al-Ushul al-Khamsah, yaitu tauhid, al-‘adl, al-wa’du wa al-wa’id, al-manzilah baina al-manzilatain, amar ma’ruf nahi munkar
1.      Tauhid
Tauhid (mengesakan Allah SWT) adalah dasar Islam yang pertama dan utama, kaum Mu’tazilah mengartikan tauhid                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             dengan mensucikan Tuhan dari segala sesuatu yang dapat mengurangai kemahaesaan Tuhan. Tuhan satu-satunya Yang Maha Esa tidak ada satupun yang dapat menyamainya, oleh karena itu untuk memurnikan keesaan Tuhan Mu’tazilah menolak konsep antrhropomorphisme dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan. Sehingga kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan itu ke dalam sifat dzatiah (esensi Tuhan) dan Sifat fi’liyah (perbuatan-peruatan Tuhan).
Kaum Mu’tazilah menyebutkan bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk karena disampaikan dengan bahasa dan tulisan manusia. Kaum Mu’tazilah juga membuat konsep bahwa Allah di alam akhirat kelak tidak dapat dilihat, karena yang terjangkau oleh indera manusia bukanlah Dia.[8]
2.      Al-‘adl
Al-‘Adl ada hubungannya dengan at-Tauhid, kalau dengan at-Tauhid Mu’tzaliah ingin mensucikan Tuhan dari persamaan makhluk, maka dengan al-‘Adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluknya. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, Tuhan tidak bisa berbuat Dzalim, dengan kata lain kalau at-Tauhid membahas keunikan diri Tuhan maka al-‘Adl membahas keunikan perbuatan Tuhan.
Bagi Mu’tazilah baik dan buruk perbuatan manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, maka al-‘adl diartikan bahwa Allah SWT akan memberi imbalan bagi manusia sesuai dengan perbuatannya dengan mengingkari adanya taqdir. Menurut Mu’tazilah perbuatan baik maupun buruk ditentukan oleh manusia sendiri, karena tidak mungkin Allah menciptakan keburukan.
3.      Al-wa’du wa al-wa’id
Prisnsip dasar yang ketiga, janji dan ancaman merupakan lanjutan dari ajaran dasar al-‘adl, Tuhan tidak disebut adil jika tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan tidak menghukum bagi pelaku keburukan, maka doktrin al-wa’du wa al-wa’id disini dimaksudkan bahwa Tuhan tidak akan mengingkari janjinya dengan mememberi pahala bagi muslim yang baik dan memberi siksa kepada muslim yang jahat.[9]
4.      Manzilah Baina al-Manzilatain
Berarti posisi menengah bagi bagi berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, tetapi bukanlah mukmin karena keimannya tdak lagi sempurna.[10] Karena bukan mukmin maka ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir ia tidak mesti masuk neraka, tetapi karena diakhirat tidak ada tempat kecuali surga dan neraka, maka ia harusnya ditempatkan diluar surga dan diluar neraka. Inilah sebenarnya keadilan
5.      Amar ma’ruf nahi munkar
Sebanarnya perintah berbuat baik dan pelarangan berbuat jahat tidak hanya bagi Mu’tazilah saja, golongan umat Islam yang lain juga memilikinya. Tetapi kaum Mu’tazilah memliki perbedaan dalam hal pelaksanaannya. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa perintah berbuat baik cukup dengan seruan, tetapi kalau diperlukan bisa juga dengan kekerasan.
c.       Washil Bin Atha’ dan Perkembangan Mu’tazilah
Washil bin Atha’ dilahirkan di Madinah antara tahun 699-700 M/80-81 H dengan nama lengkapnya Washil bin Atha’ al-Ghazzal al-Atha’, ia  meninggal pada antara tahun 748-749 M/130-131 H, Washil bukanlah keturunan Arab asli meskipun lahir dan besar di Madinah, ia disebut mawali keturunan Bani Dabbah, namun ada pula yang mengatakan dari Bani mahzum. Washil termasuk tokoh yang sangat serius mendalami berbagai ilmu keIslaman terutama ilmi kalam yang kemudian menghantarkannya sebagai salah satu intelektual muslim cukup produktif. Berbagai karya dihasilkan melalui senTuhan tangannya diantaranya asnaf al-Murji’ah, al-Taubah, al-manzilah baina al-manzilatain, Ma’ani Qur;an dll.
Gerakan penyebaran faham Mu’tazilah terpusat di dua kota penting yang kedua-duanya dipimpin oleh tokoh Mu’tazilah yang terkenal, yaitu :
1.      Mu’tazilah di Bashrah
Aliran Mu’tazilah di Bashrah ini dipimpin oleh pendirinya yaitu Washil bin Atha’ dan Amr bin ‘Ubaid dibantu murid-muridnya yaitu Ustman bin Ath-Thawil, Hafasah bin Salim dll. Aliran ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. setelah keduanya wafat maka tampuk kepemimpinan diteruskan oleh Abu Huzdail al-‘Allaf yang menyempurnakan doktrin al-Ushul al-Khamsah
2.      Mu’tazilah di Baghdad (Irak)
Di Baghdad Mu’tazilah ini dipimpin oleh Basyir bin al-Mu’tamar salah seorang penguasa di Bashrah yang pindah ke Baghdad kemudian mendapatkan dukungan dari kawan-kawannya yaitu Abu Musa al-Musdar, Ahmad bin daud dll. [11]
Ada banyak kelompok-kelompok kecil dalam tubuh Mu’tazilah yag semua berdasar dari perbedaan pemikiran dalam setiap tokohnya. Yaitu:
1. Al -washiliyah.
Mereka adalah pengikut abu hudzaifah washil bin ‘atho’ al- ghazzalah. Dia adalah murid imam Hasan al-bashri dan keduanya hidup dizaman khalifah Abdullah bin marwan dan Hisyam bin Abdul Malik.
                 2. Al-Hudzailiyah
     Mereka adalah kelompok yang di gagas oleh Abu Hadzil Hamdan bin Hadzil Al-‘Allaf, dia termasuk syekhnya mu’tazilah dan orang terkemuka di antara mereka, dia mendapat faham mu’tazilah dari Utsman bin Kholid At-towil dari Washil bin ‘Atha’. Persi lain mengatakan bahwa Abu hadzil belajar Mu'tadzilah itu dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin Hanafiyah, dan persi lain mengatkan dia mengambil faham itu dari Hasan bin Abi hasan Al basyri.[12]
3. An-Nazzomiyah
     Mereka adalah aliran yang dipelopori oleh Ibrohim bin Sayyar bin Hani’ An-nazzom. Ia telah banyak membaca kitab-kitab Filosof sehingga kemudia bercampur dengan faham Mu’tazilahnya. Ia berbeda pendapat dengan Mu’tazilah lain pada beberapa masalah, antara lain ia mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan makhluk ini serentak yaitu manusia, tumbuhan, hewan diciptakan serentak sebagaiman yang kita lihat sekarang. Pendapat ini di adopsi dari Filosof dan bertentanga dengan apa yang di sepakati ulama salaf dan khalaf.
4. Al-Khobitiyyah dan Al-Hadatsiyyah
Al-Khobitiyah adalah pengikut Ahmad bin Khobit, demikian juga Al-Hadatsiyah adalah pengikut Fadhl Al-Hadtsi. Sebetulnya kedua orang ini adalah Mu’tazilah Nazomiyah namun setelah membaca dan mempelajari banyak buku-buku Filsafat mereka juga punya pikiran yang melenceng dari Mu’tazilah itu sendiri seperti; mereka menyakini bahwa dalam diri Nabi ‘Isa as itu ada unsur keTuhanan seperti apa yang di percayai Nasrani bahwa nanti di akhirat ‘Isa akan ikut menghitung amal manusia.[13]
5.      Al-Bisyriyah
Mereka adalah pengikut Bisyri bin Mu’tamir, dia termasuk pembesarMu’tazilah.
6. Al-Mu’ammariyah
  Ini adalah pengikut Mu’ammar bin ‘Abbad As-Salmi, dia termasuk pembesar Qodariyah dan ia banyak menyimpang dari Ahlusunnah bahkan Mu’tazilah sendiri seperti pendapatnya yang menapikan Qadar baik dan buruk dari Allah SWT dan mengingkari bahwa Allah SWT itu Qadim, bahkan menyesatkan dan mengkafirkan orang yang berseberangan dengannya.
7. Al-Mardariyah
      Tokoh utamanya adalah ‘Isa bin Sobih Al-Makni yang diberi gelar dengan “Mardar”, ia penah jadi murid Bisyri bin Mu’tamir dan ia di gelar juga dengan Rohibul Mu’tazilah=guru besarnya Mu'tazilah. ia berbeda dengan Mu’tazilah lain pada beberapa masalah seperti; dia berpendapat pada sipat Qudratnya Allah SWT itu termasuk bahwa Allah SWT sanggup berbohong dan berbuat zalim, dan kalau Allah SWT misalnya berdusta atau berlaku zalim maka jadialah Ia Tuhan yang zalim dan Tuhan pendusta. Kemudian sang Mardar inilah yang paling menonjol menggembar-gemborkan bahwa Al-qur’an itu adalah makhluk dan manusia mampu membuat bacaan yang sama dengan Al-quran baik dari segi balagah, fasohah dan I’jaznya.[14]
8. Ats-Tsumamiyah
      Ini adalah kelompok Tsumamah bin Asyros An-Namiry, ia termasuk Mu’tazilah yang ekstrim dan banyak berbeda dengan Mu’tazilah lain, seperti pendapatnya yang mengatakan bahwa orang fasiq itu kekal di neraka dan mengatakan bahwa orang kafir dari Yahudi, Nasrani, Majusi, Dahri, Musyrik dan Zanadiqoh nanti di akhirat akan jadi tanah, sama dengan binatang dan anak-anak orang beriman. Suatu riwayat menyebutkan ketika Tsumamah melihat kaum muslimin berlari kemesjid untuk sholat jum’at karna takut terlambat maka dia berkata” lihatlah para kerbau itu, lihatlah himar-himar itu”.
9. Al-Hisyamiyah
        Mereka adalah pengikut Hisyam bin Amru Al-futi, ia adalah orang yang sangat ekstrim pada masalah Qudratnya Allah SWT.
10. A-Jahiziyyah
       Tokohnya adalah Amru bin Bahr abu Utsman Al-Jahiz, ia merupakan orang yang dimuliakan di Mu’tazilah dan termasuk penyusun kitab-kitab mereka. salah satu pendapatnya yang menyimpang dari Mu’tazilah lain adalah ia berpendapat bahwa orang yang masuk neraka itu tidak selamanya akan mendapat siksa tapi mereka akan menjelma jadi unsur dari api itu sendiri.
11. Al-Khoyyatiyah dan Ka’biyah
         Mereka adalah kelompok Abu Husein bin Abu Amru al-Khoyyat dan Ustadz Abu Qasim bin Muhammad Al-Ka’bi. Mereka berdua ini adalah Mu’tazilah dari Bagdad, mereka bisa dibilang satu aliran.
12. Al-Juba'iyyah dan dan Bahsyamiyah
    Mereka adalah pengikut Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jubbai dan anaknya Abu Hasyim Abdussalam. Mereka berdua ini adalah orang Mu’tazilah dari Bashrah dan beberapa masalah berbeda dengan Mu'tazilah lainnya seperti; keduanya mengingkari bahwa Allah SWT akan dilihat di akhirat, mengatakan bahwa kalam Allah SWT adalah berhuruf, tersusun dan bersuara.[15]
Dalam perkembangannya aliran Mu’tazilah ini juga bersentuhan dengan kekuasaan dibuktikan dengan peresmian aliran Mu’tazilah sebagai madhzab sebuah Negara, oleh raja-raja dari Abbasiyah dan Mu’awiyah, diantaranya
a). Yazid bin Walid (khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
b). Ma’mun bin Harun Al-Rasyid (khlaifah Bani Abbasiyah 198-218)
c). Al-Mu’tashim bin Harun al-Rasyid (khlaifah Bani Abbasiyah 218-227)
d). Al-Watsiq bin al-Mu’tashim (Khalifah bani Abbsiyah 227-231)[16]
      Pada masa Khalifah al-Ma’mun, Mu’tazilah diakui sebagai Madzhan Negara karena al-Ma’mun adalah seorang Murid dari Abu al-Haudzaih al-Allaf (seorang tokoh Mu’tazailah), sehingga Mu’tazilah diberikan wewenang penuh untuk untuk melaksanakan dialog-dialog seputar al-Qur’an teruatama isu telogis mereka tentang kamkhlukan al-Qur’an.
      Sementara di sisi lain, kalangan ahli fiqh dan ahli hadits berpendirian bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk tetapi Qadim dengan tokohnya Ahmad bin Hanbal dan Muhammad ibnu Nuh yang pada saat itu tetap bersikeras tidak mau merubah keyakinannya itu. Bagi kaum Mu’tazilah pemahaman mereka ini dianggap keliru dan syirik maka harus diluruskan dengan Amar Ma’ruf Nahi Munkar bahkan kalu perlu menggunakan pemaksaan dan kekerasan, pemaksaan inilah yang melahirkan gerakan al-Mihnah
      Al-Mihnah adalah suatu tuduhan atu introgasi yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Al-Mihnah ini muncul seiring dengan adanya dukungan dari pemerintah yang berkuasa pada saat itu yaitu al-Makmun yang condoong ke dunia ilmiah dan pemikiran saintifik, dengan dukungan ini kaum Mu’tazilah merasa pada posisi yang kuat.
Bahkan, kepada para penentangnya diberlakukan 4 tingkatan al-Mihnah, pertama mereka yang menolak tidak dapat lagi diterima kesaksiannya di Pengadilan, kedua Mereka yang bekerja sebagai guru dan para Mubaligh diputuskan tunjangan yang diperoleh dari Khalifah, Ketiga Jika masih menolak maka akn dicambuk dan dirantai serta dijebloskan ke Penjara, Keempat proses terakhir dengan hukuman mati dengan leher dipancung
Setelah meninggalnya al-Makmun, yang digantikan oleh al-Musta’shim kekerasan yang dilakukan oleh Mu’tazilah berkurang karena khalifah pada saat itu tidak begitu memperhatikan masalah ilmiah, teologi dan filsafat, namun pada kekhalifahan selanjutnya yiatu al-Watsiq yang sangat menaruh perhatian terahdap ilmu pengtahuan kembali memberlakukan al-Mihnah dengan ketat, namun menjelang akhir jabatan kekahlifahannya al-Watsiq sadar dan bertaubat atas kesalahannya dan tidak memberlakukan al-mihnah lagi. Al-Mihnah benar-benar berakhir tatkala al-Mutawakkil naik tahta menggantikan al-Watsiq [17]
d.      Pendapat ulama’ tentang aliran Mu’tazilah
Pandangan mayoritas ulama kepada Mu’tazilah tergantung kadar ke ekstriman kelompok Mu’tazilah itu sendiri, namun secara umum memang mayoritas ulama tidak setuju dengan aliran ini karena cenderung mendewakan akal ketimbang wahyu[18].
Beberapa Ulama yang meyakini kesesatan Mu’tazilah diantaranya,
1.      Muhammad bin Hasan mengatakan "siapa yang sholat di belakang Mu’tazilah maka hendaklah ia mengulangi sholatnya” dan ketika Abu Yusuf ditanya tentang pandangannya kepada mu’tazilah beliau menjawab "mereka adalah Zanadiqoh/kafir zindiq" dan di lain pernyataan kita baca ada ungkapan yang lebih keras dari ini seperti;
2.      Ahlussunnah berkomentar tentang “Al-futiy “ dan pengikutnya bahwa darah dan harta mereka halal bagi kaum muslimin, siapa yang membunuh mereka tidak akan dikenakan diat dan kiparat bahkan membunuh mereka adalah salah satu jalan taqorrub kepada Allah SWT.
3.      Menurut Ibnu Taimiyah, kesalahan para kaum rasionalis adalah mereka dusta dan peniadaan mereka lebih besar daripada kesaahan mereka dalam satu hal yang mereka benarkan dan mereka ketahui.[19]
4.      Bahkan al-baghdadi, menyebut pengikut aliran Mu’tazilah ini sebagai golongan sesat (firaq al-Dalal) dan selalu memakai kata bid’ah, fadihah (perbuatan yang memalukan) dan dalalah (kesesatan) dalam menggambarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Namun demikian pada perkembangannya adapula ulama-ulama mutakhirin yang kemudian membela Mu’tazilah dengan ajarannya diantaranya :
1.      Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abdul, kedua ulama’ ini adalah pemimpin modernisme yang utama dalam Islam, mereka berpendapat bahwa al-Nazzam (tokoh Mu’tazilah) adalah orang yang lurus serta benar yang banyak usahanya dalam membela Islam
2.      Syekh Ali musthofa Al-Ghurabi, mengucapkan terima kasih atas jasa Mu’tazilah dalam membela Islam dan mendoakan semua tokoh-tokohnya.
3.      Demikian pula pada kemajuan IPTEK sekarang ini ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional ini mulai timbul kembali di kalangan Umat islam terutama kalangan kaum terpelajar[20]
C.     KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
1.      Kemunculan aliran Mu’tazilah ada beberapa versi menurut para ulama, namun yang sering diadopsi oleh para pakar adalah peristiwa perselisiahan antara Wahil bin Atha’ dan Hasan al-Bashri tentang pelaku dosa besar
2.      Doktrin Mu’tazilah ada 5 yang disebut al-Ushul al-Khamsah, yang meliputi at-Tauhid, Al-‘Adl, al-Wa’du wa al-Wa’id, Al-Manzilah baina al-Manzilatain, Amar ma’ruf Nahi Munkar
3.      Mu’tazilah didirikan oleh Washil bin Atho’ dan temannya Amr ibnu ‘Ubaid yang kemudian mendapat pengakuan dari Ma’mun, Al-Musta’shim dan al-Watsiq
4.      Ada ulama yang memberikan komentar yang negative terhadap Mu’tazilah seperti Ibnu Taimiyah,Muhammad bin Hasan dan al-Baghdadi, sementera itu ada pula yang membela ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan Modernsme yang diwakili oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
DAFTAR PUSTAKA
A.Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010
Afrizal M, Ibnu Rusd, Tujuh Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam, Jakarta : Erlangga, 2006.
Al-Qur’an al-Karim,Bandung : PT Sygma Examedia Arkanleema, 2007
Madkhali(al), Rabi’ Bin Hadi Umair, Manhaj Ahlussunnah dalam Mengkritik Tokoh, Kitab, dan Aliran, Jakarta : Najla Press, 2004
Mashuri, Washil bin Atho’, Mu’tazilah, Politik kekuasaan dan Teologi Transendental, (Makalah, 2011)
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta :
Universitas Indonesia, 2010
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta : Universitas Indonesia, 1986
Shahratsani (al),Abu al-Fath Muhammad abdul al-Karim , al-Milal Wa al-Nihal, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992
Nasution, Ismail, Mu’tazilah, pada website http://nast85.multiply.com diakses pada 16 Desember 2011
Sulaimi, Ruwaifi’ bin , Aliran Mu’tazilah, pada website http//www.docstos.com/docs, diakses pada tanggal 16 Desember 2011
Wikipedia Ensiklopedia bebas, Mu’tazilah, dalam website http//id.wikipidea.org, data diakses pada 16 desember 2011
---------------Aliran dan Teologi dalam Islam , Artikel pada website http//id.shvoong.com yang diakses pada tanggal 16 Desember 2011
---------------Mu’tazilah, pada Website ttp://fostimpala.blogspot.com yang diakses pada 16 Desember 2011
---------------Aliran Mu’tazilah : Asal Usul dan al-Ushul al-Khamsah, pada website Http//www.Wikipidea.org, diakses pada 16 Desember 2011


[1] Mashuri, Washil bin Atho’, Mu’tazilah, Politik kekuasaan dan Teologi Transendental, (makalah, tidak diterbitkan),2.
[2] Wikipedia Ensiklopedia bebas, Mu’tazilah, dalam website http//id.wikipidea.org, data diakses pada 16 desember 2011
[3] Al-Qur’an al-Karim,(Bandung : PT Sygma Examedia Arkanleema, 2007), 92.
[4] Afrizal M, Ibnu Rusd, Tujuh Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam, (Jakarta : Erlangga, 2006), 30.
[5] Abu al-Fath Muhammad abdul al-Karim al-Shahratsani, al-Milal Wa al-nihal, (Beirut : dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 47-48.
[6] Ibid, 3-4.
[7] Menurut Harun Nasution sebenarnya Mu’tazilah tidak seratus persen meniadakan wayu akan tetapi merka mengangga kesanggupan akal untuk menyingkap tirai-tirai wahyu, sehingga menomorduakan wayu sesuadah akal. Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta : Universitas Indonesia, 1986),79.
[8] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2010),45.
[9] Ibid, 56.
[10] Aliran dan Teologi dalam Islam , Artikel pada website http//id.shvoong.com yang diakses pada tanggal 16 Desember 2011
[11] Sahilun A.Nasir, Pemikiran kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya,(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), 165
[12] Ismail Nasution, Mu’tazilah, pada website http://nast85.multiply.com/reviews/item/17, diakses pada 16 Desember 2011
[13] Ismail Nasution, Ibid
[14] Mu’tazilah, pada Website ttp://fostimpala.blogspot.com yang diakses pada 16 Desember 2011
[15] Ibid
[16] Sahilun A.Nasir, Ibid, 166.
[17] Aliran Mu’tazilah : Asal Usul dan al-Ushul al-Khamsah, pada website Http//www.Wikipidea.org, diakses pada 16 Desember 2011
[18] Ruwaifi’ bin Sulaimi, Aliran Mu’tazilah, pada website http//www.docstos.com/docs, diakses pada tanggal 16 Desember 2011
[19] Rabi’ Bin Hadi Umair al-Madkhali, Manhaj Ahlussunnah dalam Mengkritik Tokoh, Kitab, dan Aliran, (Jakarta : Najla Press, 2004), 134.
[20] Harun Nasution, 59-60