ALIRAN
MU’TAZILAH
Abstraksi
Mu’tazilah lebih dikenal
sebagai kaum rasionalis Islam, penyebutan Mu’tazilah didasarkan kepada peristiwa perselisihan
pendapat antara Washil bin Atho’ dan Amr bin ‘Ubaid dengan
gurunya al-Hasan al-Basyri tentang status orang mukmin yang melakukan
dosa besar, meskipun sebenarnya istilah
ini juga pernah menyeruak pada masa perang Jamal antara Sayyidina Ali R.a dan
‘Aisyah.
Menurut Abu Hasan
al-Khayyath seorang belum dikatakan ber-Mu’tazilah jika belum mengakui
pancasila-nya Mu’tazilah yang disebut dengan al-Ushul al-Khamsah, yaitu al-Tawhid; penolakan terhadap kekuatan
yanf menyamai kekuatan Allah Swt. Dampaknya, mereka menyatakan bahwa al-Qur’an
itu makhluk karena jika tidak demikian, maka ada yang menyamai Allah , al-’Adl; meyakini kebebasan manusia dalam menentukan
perbuatannya, dan kemampuannya untuk melakukan perbuatan secara sengaja dan di
bawah kesadarannya, al-Wa’d wa al-Wa’id
; kebenaran janji Allah kepada hambaNya yang taat dan ancaman Allah untuk
mereka yang ingkar,Manzilah Baina al-Manzilatain kedudukan pelaku dosa besar sebelum taubat adalah tidak di Surga dan
tidak pula di Neraka melainkan di luar keduanya, Amar Ma’ruf nahi Munkar, kewajiban
setiap muslim untuk ikut serta dalam mengatur keteraturan kehidupan manusia
Mu’tazilah identik dengan
Washil bin Atha’ yang dilahirkan di Madinah antara tahun 699-700 M/80-81 H
dengan nama lengkapnya Washil bin Atha’ al-Ghazzal al-Atha’, ia meninggal pada antara tahun 748-749 M/130-131
H, Washil bukanlah keturunan Arab asli meskipun lahir dan besar di Madinah, ia
disebut mawali keturunan Bani Dabbah, namun ada pula yang mengatakan dari Bani
mahzum. Washil termasuk tokoh yang sangat serius mendalami berbagai ilmu
keIslaman terutama ilmi kalam yang kemudian menghantarkannya sebagai salah satu
intelektual muslim cukup produktif.
Gerakan penyebaran faham
Mu’tazilah terpusat di dua kota Mu’tazilah di Bashrah dipimpin oleh pendirinya yaitu Washil bin
Atha’ dan Amr bin ‘Ubaid sedangkan Mu’tazilah di Baghdad (Irak) dipimpin oleh
Basyir bin al-Mu’tamar salah seorang penguasa di Bashrah yang pindah ke Baghdad
kemudian mendapatkan dukungan dari kawan-kawannya yaitu Abu Musa al-Musdar,
Ahmad bin daud dll.
Pandangan
mayoritas ulama kepada Mu’tazilah tergantung kadar ke ekstriman kelompok
Mu’tazilah itu sendiri, namun secara umum memang mayoritas ulama tidak setuju
dengan aliran ini karena cenderung mendewakan akal ketimbang wahyu, sehingga
banyak Ulama yang meyakini kesesatan aliaran ini diantaranya adalah, Muhammad
bin Hasan, Abu Yusuf,Ibnu Taimiyah, al-baghdadi.
Namun demikian pada
perkembangannya adapula ulama-ulama mutakhirin yang kemudian membela Mu’tazilah
dengan ajarannya diantaranya adalah
Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abdul, Syekh Ali musthofa Al-Ghurabi.
A.
PENDAHULUAN
Argumentasi kemunculan teologi Islam berawal dari
pertikaian politik tak terbantahkan lagi, bermula sejak wafatnya Muhammad Saw
umat muslim terpecah menjadi beberapa kelompok yang sulit untuk disatukan,
masing-masing kelompok mempunyai kepentingan untuk merebut otoritas kekuasaan
kepemimpinan pasca Muhammad Saw
Perdebatan dan penggunaan kekuatan pisikpun tak
terelakkan, masing-masing kelompok mengkaji teks-teks al-Qur’an yang sesuai
dengan keinginan masing-masing kelompok , hal ini ditunjukkan oleh kehadiran
berbagai aliran-aliran seperti Jabbariyah, Qodariyah, Khawarij, Syi’ah dan
Mu’tazilah[1]
Dari sekian banyak aliran yang muncul Mu’tazilah
menarik untuk dikaji dengan satusnya sebagai gerakan rasionalisme Islam.
Makalah yang sederhana ini mencoba menela’ah asal usul Mu’tazilzh, tokoh dan
perkembangan aliran mu’tzilah serta komentar para ulma
B.
PEMBAHASAN
a.
Awal kemuncululan aliran
Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “I’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan,
keputus-asaan atau mengasingkan diri.[2]
Dalam al-Qur’an kata-kata ini diulang sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya
mempunyai arti sama yaitu al-ibti’ad ‘ani al-sya-i (menjauhi sesuatu).
Seperti dalam ayat berikut.
ÈbÎ*sù öNä.qä9u”tIôã$# öNn=sù
öNä.qè=ÏF»s)ãƒ
(#öqs)ø9r&ur
ãNä3øŠs9Î)
zNn=¡¡9$# $yJsù Ÿ@yèy_
ª!$#
ö/ä3s9
öNÍköŽn=tã
Wx‹Î6y™
Artinya
: “Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta
mengemukakan perdamaian kepadamu,Maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk
menawan dan membunuh) mereka.(Q.S an-Nisa’ 90)[3]
Sedangkan secara terminologi Mu’tazilah didefinisikan sebagai satu
kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain
dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’
dan Amr bin ‘Ubaid pada zaman al-Hasan al-Basyri[4]
Penyebutan istilah Mu’tazilah sebenarnya telah muncul pada pertengahan
abad pertama ketika terjadi perang shiffin antara Ali dengan ‘Aisyah, Zubair
dan Thalcah. Beberapa sahabat senior seperti Abdullah bin ‘Umar, Sa’ad bin Abi
Waqos dan Zaid bin Tsabit bersikap netral dengan tidak memihak salah satu
kelompok yang bertikai. Sebagai reaksi atas keadaan ini mereka sengaja
menghindar (I’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta peningkatan
hubungan dengan Allah SWT. Maka banyak ulama’ yang menyebutnya sebagai
Mu’tazilah golongan pertama (I)
Sedangkan penyebutan Mu’tzaliah golongan kedua mengacu kepada
peristiwa tahkim yang melahirkan kelompok khowarij dan murji’ah yang berdebat
tentang status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mengenai pemberian nama
Mu’tazilah untuk golongan yang kedua ini terdapat beberapa versi, diantaranya :
1. Asy-Syahrastani
mengatakan bahwa Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil
bin Atho’ serta temannya Amr bin ‘Ubaid, dan Hasan al-Bashri. Ketika
Washil mengikuti pengajian yang diberikan Hasan al-Bashri, datanglah seorang
yang bertanya mengenai posisi orang mukmin yang berdosa besar. Hasan al-bashri
mengatakan bahwa ia tetap mu’in, hanya saja ia mukmin yang berbuat maksiat ,
tetapi washil berpendapat lain, menurutnya orang yang berbuat dosa besar bukan
mukmin juga bukan kafir tetapi berada diantara keduanya (manzilah bainal
manzilatain), kemudian dia menjauhkan diri dari pengajian Hasan al-Bashri
dan membentuk pengajian sendiri di lingkungan Masjid, sehingga hasan al-Bashri
mengatakan “Washil telah menjauhkan diri dari kita” (i’tazala anna)[5]
2. Al-Baghdadi
Menyebutklan bahwa Washil bin Atho’ dan temannya Amr bin ‘Ubaid diusir oleh
Hasan al-bashri akibat perdebatan tentang pelaku dosa besar, sehingga keduanya
menjauhkan diri dari Hasan al-Bashri. Oleh karena itu kelompok ini dinamakan
Mu’tazilah
3. Tasy Kubro
Zadah berkata bahwa Qotadah bin Da’mah pada suatu hari masuk Masjid Bashrah dan
bergabung dengan majlis Amr bin ‘Ubaid yang disangkanya majlis Hasan Al-Bashri.
Setelah mengetahui bahwa majleis tersebut bukan majlis Hasan al-Bashri, ia
berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu;tazilah”.
Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah
4. Al-Mas’udi memberikan
keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut pautkan
dengan peristiwa antara Washil bin Atho’ dan Hasan al-Bashri. Merieka diberi
nama Mu’tazilah karena berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah
mukmin dan bukan kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin dalam
artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari
golongan mukmin dan kafir
Dari berbagai pendapat yang disampaikan para ulama’, kiranya pendapat
Asy-Syahrastani paling banyak diadopsi oleh beberapa pakar[6],
untuk menunjukkan awal kemunculan kaum pemuja akal ini yang banyak dipengartuhi
oleh Filsafat Yunani melalui proses penterjemahan buku-buku filsafat.[7]
b.
Doktrin kaum Mu’tazilah
Menurut Abu Hasan al-Khayyath seorang belum dikatakan
ber-Mu’tazilah jika belum mengakui pancasila-nya Mu’tazilah yang disebut dengan
al-Ushul al-Khamsah, yaitu tauhid, al-‘adl, al-wa’du wa al-wa’id, al-manzilah
baina al-manzilatain, amar ma’ruf nahi munkar
1.
Tauhid
Tauhid (mengesakan Allah SWT) adalah dasar Islam yang
pertama dan utama, kaum Mu’tazilah mengartikan tauhid
dengan mensucikan Tuhan dari segala sesuatu
yang dapat mengurangai kemahaesaan Tuhan. Tuhan satu-satunya Yang Maha Esa
tidak ada satupun yang dapat menyamainya, oleh karena itu untuk memurnikan
keesaan Tuhan Mu’tazilah menolak konsep antrhropomorphisme dengan peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Sehingga kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan itu ke
dalam sifat dzatiah (esensi Tuhan) dan Sifat fi’liyah (perbuatan-peruatan Tuhan).
Kaum Mu’tazilah menyebutkan bahwa al-Qur’an itu adalah
makhluk karena disampaikan dengan bahasa dan tulisan manusia. Kaum Mu’tazilah
juga membuat konsep bahwa Allah di alam akhirat kelak tidak dapat dilihat,
karena yang terjangkau oleh indera manusia bukanlah Dia.[8]
2.
Al-‘adl
Al-‘Adl ada hubungannya dengan at-Tauhid, kalau
dengan at-Tauhid Mu’tzaliah ingin mensucikan Tuhan dari persamaan makhluk, maka
dengan al-‘Adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan
dengan perbuatan makhluknya. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, Tuhan tidak bisa
berbuat Dzalim, dengan kata lain kalau at-Tauhid membahas keunikan diri Tuhan
maka al-‘Adl membahas keunikan perbuatan Tuhan.
Bagi Mu’tazilah baik dan buruk perbuatan manusia
ditentukan oleh dirinya sendiri, maka al-‘adl diartikan bahwa Allah SWT
akan memberi imbalan bagi manusia sesuai dengan perbuatannya dengan mengingkari
adanya taqdir. Menurut Mu’tazilah perbuatan baik maupun buruk ditentukan oleh manusia
sendiri, karena tidak mungkin Allah menciptakan keburukan.
3.
Al-wa’du wa al-wa’id
Prisnsip dasar yang ketiga, janji dan ancaman
merupakan lanjutan dari ajaran dasar al-‘adl, Tuhan tidak disebut adil
jika tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan tidak menghukum
bagi pelaku keburukan, maka doktrin al-wa’du wa al-wa’id disini dimaksudkan
bahwa Tuhan tidak akan mengingkari janjinya dengan mememberi pahala bagi muslim
yang baik dan memberi siksa kepada muslim yang jahat.[9]
4.
Manzilah Baina al-Manzilatain
Berarti posisi menengah bagi bagi berbuat dosa besar,
juga erat hubungannya dengan keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir,
karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, tetapi bukanlah mukmin
karena keimannya tdak lagi sempurna.[10]
Karena bukan mukmin maka ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir ia
tidak mesti masuk neraka, tetapi karena diakhirat tidak ada tempat kecuali
surga dan neraka, maka ia harusnya ditempatkan diluar surga dan diluar neraka.
Inilah sebenarnya keadilan
5.
Amar ma’ruf nahi munkar
Sebanarnya perintah berbuat baik dan pelarangan
berbuat jahat tidak hanya bagi Mu’tazilah saja, golongan umat Islam yang lain
juga memilikinya. Tetapi kaum Mu’tazilah memliki perbedaan dalam hal
pelaksanaannya. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa perintah berbuat baik cukup
dengan seruan, tetapi kalau diperlukan bisa juga dengan kekerasan.
c.
Washil Bin Atha’ dan Perkembangan
Mu’tazilah
Washil bin Atha’ dilahirkan di Madinah antara tahun
699-700 M/80-81 H dengan nama lengkapnya Washil bin Atha’ al-Ghazzal al-Atha’,
ia meninggal pada antara tahun 748-749 M/130-131
H, Washil bukanlah keturunan Arab asli meskipun lahir dan besar di Madinah, ia
disebut mawali keturunan Bani Dabbah, namun ada pula yang mengatakan dari Bani
mahzum. Washil termasuk tokoh yang sangat serius mendalami berbagai ilmu keIslaman
terutama ilmi kalam yang kemudian menghantarkannya sebagai salah satu
intelektual muslim cukup produktif. Berbagai karya dihasilkan melalui senTuhan
tangannya diantaranya asnaf al-Murji’ah, al-Taubah, al-manzilah baina
al-manzilatain, Ma’ani Qur;an dll.
Gerakan penyebaran faham Mu’tazilah terpusat di dua kota penting yang
kedua-duanya dipimpin oleh tokoh Mu’tazilah yang terkenal, yaitu :
1.
Mu’tazilah di Bashrah
Aliran Mu’tazilah di Bashrah ini dipimpin oleh
pendirinya yaitu Washil bin Atha’ dan Amr bin ‘Ubaid dibantu murid-muridnya
yaitu Ustman bin Ath-Thawil, Hafasah bin Salim dll. Aliran ini berlangsung pada
permulaan abad ke 2 H. setelah keduanya wafat maka tampuk kepemimpinan diteruskan
oleh Abu Huzdail al-‘Allaf yang menyempurnakan doktrin al-Ushul al-Khamsah
2.
Mu’tazilah di Baghdad (Irak)
Di Baghdad Mu’tazilah ini dipimpin oleh Basyir bin
al-Mu’tamar salah seorang penguasa di Bashrah yang pindah ke Baghdad kemudian mendapatkan dukungan dari
kawan-kawannya yaitu Abu Musa al-Musdar, Ahmad bin daud dll. [11]
Ada banyak
kelompok-kelompok kecil dalam tubuh Mu’tazilah yag semua berdasar dari
perbedaan pemikiran dalam setiap tokohnya. Yaitu:
1. Al -washiliyah.
1. Al -washiliyah.
Mereka adalah pengikut abu
hudzaifah washil bin ‘atho’ al- ghazzalah. Dia adalah murid imam Hasan
al-bashri dan keduanya hidup dizaman khalifah Abdullah bin marwan dan Hisyam
bin Abdul Malik.
2. Al-Hudzailiyah
Mereka adalah kelompok yang di gagas oleh Abu Hadzil Hamdan bin
Hadzil Al-‘Allaf, dia termasuk syekhnya mu’tazilah dan orang terkemuka di
antara mereka, dia mendapat faham mu’tazilah dari Utsman bin Kholid At-towil
dari Washil bin ‘Atha’. Persi lain mengatakan bahwa Abu hadzil belajar
Mu'tadzilah itu dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin Hanafiyah, dan persi
lain mengatkan dia mengambil faham itu dari Hasan bin Abi hasan Al basyri.[12]
3. An-Nazzomiyah
Mereka adalah aliran yang dipelopori oleh Ibrohim bin Sayyar bin
Hani’ An-nazzom. Ia telah banyak membaca kitab-kitab Filosof sehingga kemudia
bercampur dengan faham Mu’tazilahnya. Ia berbeda pendapat dengan Mu’tazilah
lain pada beberapa masalah, antara lain ia mengatakan bahwa Allah SWT
menciptakan makhluk ini serentak yaitu manusia, tumbuhan, hewan diciptakan serentak
sebagaiman yang kita lihat sekarang. Pendapat ini di adopsi dari Filosof dan
bertentanga dengan apa yang di sepakati ulama salaf dan khalaf.
4. Al-Khobitiyyah dan Al-Hadatsiyyah
Al-Khobitiyah adalah pengikut Ahmad bin Khobit, demikian juga Al-Hadatsiyah
adalah pengikut Fadhl Al-Hadtsi. Sebetulnya kedua orang ini adalah Mu’tazilah
Nazomiyah namun setelah membaca dan mempelajari banyak buku-buku Filsafat
mereka juga punya pikiran yang melenceng dari Mu’tazilah itu sendiri seperti;
mereka menyakini bahwa dalam diri Nabi ‘Isa as itu ada unsur keTuhanan seperti
apa yang di percayai Nasrani bahwa nanti di akhirat ‘Isa akan ikut menghitung
amal manusia.[13]
5. Al-Bisyriyah
Mereka adalah pengikut Bisyri bin Mu’tamir, dia termasuk
pembesarMu’tazilah.
6.
Al-Mu’ammariyah
Ini adalah pengikut
Mu’ammar bin ‘Abbad As-Salmi, dia termasuk pembesar Qodariyah dan ia banyak
menyimpang dari Ahlusunnah bahkan Mu’tazilah sendiri seperti pendapatnya yang
menapikan Qadar baik dan buruk dari Allah SWT dan mengingkari bahwa Allah SWT
itu Qadim, bahkan menyesatkan dan mengkafirkan orang yang berseberangan
dengannya.
7.
Al-Mardariyah
Tokoh utamanya
adalah ‘Isa bin Sobih Al-Makni yang diberi gelar dengan “Mardar”, ia penah jadi
murid Bisyri bin Mu’tamir dan ia di gelar juga dengan Rohibul Mu’tazilah=guru
besarnya Mu'tazilah. ia berbeda dengan Mu’tazilah lain pada beberapa masalah
seperti; dia berpendapat pada sipat Qudratnya Allah SWT itu termasuk bahwa
Allah SWT sanggup berbohong dan berbuat zalim, dan kalau Allah SWT misalnya berdusta
atau berlaku zalim maka jadialah Ia Tuhan yang zalim dan Tuhan pendusta.
Kemudian sang Mardar inilah yang paling menonjol menggembar-gemborkan bahwa
Al-qur’an itu adalah makhluk dan manusia mampu membuat bacaan yang sama dengan
Al-quran baik dari segi balagah, fasohah dan I’jaznya.[14]
8.
Ats-Tsumamiyah
Ini adalah kelompok
Tsumamah bin Asyros An-Namiry, ia termasuk Mu’tazilah yang ekstrim dan banyak
berbeda dengan Mu’tazilah lain, seperti pendapatnya yang mengatakan bahwa orang
fasiq itu kekal di neraka dan mengatakan bahwa orang kafir dari Yahudi,
Nasrani, Majusi, Dahri, Musyrik dan Zanadiqoh nanti di akhirat akan jadi tanah,
sama dengan binatang dan anak-anak orang beriman. Suatu riwayat menyebutkan
ketika Tsumamah melihat kaum muslimin berlari kemesjid untuk sholat jum’at
karna takut terlambat maka dia berkata” lihatlah para kerbau itu, lihatlah
himar-himar itu”.
9.
Al-Hisyamiyah
Mereka adalah
pengikut Hisyam bin Amru Al-futi, ia adalah orang yang sangat ekstrim pada
masalah Qudratnya Allah SWT.
10.
A-Jahiziyyah
Tokohnya adalah
Amru bin Bahr abu Utsman Al-Jahiz, ia merupakan orang yang dimuliakan di
Mu’tazilah dan termasuk penyusun kitab-kitab mereka. salah satu pendapatnya
yang menyimpang dari Mu’tazilah lain adalah ia berpendapat bahwa orang yang
masuk neraka itu tidak selamanya akan mendapat siksa tapi mereka akan menjelma
jadi unsur dari api itu sendiri.
11.
Al-Khoyyatiyah dan Ka’biyah
Mereka adalah
kelompok Abu Husein bin Abu Amru al-Khoyyat dan Ustadz Abu Qasim bin Muhammad
Al-Ka’bi. Mereka berdua ini adalah Mu’tazilah dari Bagdad, mereka bisa dibilang
satu aliran.
12.
Al-Juba'iyyah dan dan Bahsyamiyah
Mereka adalah pengikut
Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jubbai dan anaknya Abu Hasyim Abdussalam.
Mereka berdua ini adalah orang Mu’tazilah dari Bashrah dan beberapa masalah
berbeda dengan Mu'tazilah lainnya seperti; keduanya mengingkari bahwa Allah SWT
akan dilihat di akhirat, mengatakan bahwa kalam Allah SWT adalah berhuruf,
tersusun dan bersuara.[15]
Dalam
perkembangannya aliran Mu’tazilah ini juga bersentuhan dengan kekuasaan
dibuktikan dengan peresmian aliran Mu’tazilah sebagai madhzab sebuah Negara,
oleh raja-raja dari Abbasiyah dan Mu’awiyah, diantaranya
a). Yazid bin Walid (khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun
125-126 H)
b). Ma’mun bin Harun Al-Rasyid (khlaifah Bani Abbasiyah 198-218)
c). Al-Mu’tashim bin Harun al-Rasyid (khlaifah Bani Abbasiyah 218-227)
d). Al-Watsiq bin al-Mu’tashim (Khalifah bani Abbsiyah 227-231)[16]
Pada masa Khalifah al-Ma’mun,
Mu’tazilah diakui sebagai Madzhan Negara karena al-Ma’mun adalah seorang Murid
dari Abu al-Haudzaih al-Allaf (seorang tokoh Mu’tazailah), sehingga Mu’tazilah
diberikan wewenang penuh untuk untuk melaksanakan dialog-dialog seputar
al-Qur’an teruatama isu telogis mereka tentang kamkhlukan al-Qur’an.
Sementara di sisi lain,
kalangan ahli fiqh dan ahli hadits berpendirian bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk
tetapi Qadim dengan tokohnya Ahmad bin Hanbal dan Muhammad ibnu Nuh yang pada
saat itu tetap bersikeras tidak mau merubah keyakinannya itu. Bagi kaum
Mu’tazilah pemahaman mereka ini dianggap keliru dan syirik maka harus
diluruskan dengan Amar Ma’ruf Nahi Munkar bahkan kalu perlu menggunakan
pemaksaan dan kekerasan, pemaksaan inilah yang melahirkan gerakan al-Mihnah
Al-Mihnah adalah suatu
tuduhan atu introgasi yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap orang-orang
yang tidak sepaham dengan mereka. Al-Mihnah ini muncul seiring dengan adanya
dukungan dari pemerintah yang berkuasa pada saat itu yaitu al-Makmun yang
condoong ke dunia ilmiah dan pemikiran saintifik, dengan dukungan ini kaum
Mu’tazilah merasa pada posisi yang kuat.
Bahkan, kepada para penentangnya diberlakukan 4
tingkatan al-Mihnah, pertama mereka yang menolak tidak dapat lagi
diterima kesaksiannya di Pengadilan, kedua Mereka yang bekerja sebagai
guru dan para Mubaligh diputuskan tunjangan yang diperoleh dari Khalifah, Ketiga
Jika masih menolak maka akn dicambuk dan dirantai serta dijebloskan ke
Penjara, Keempat proses terakhir dengan hukuman mati dengan leher
dipancung
Setelah meninggalnya al-Makmun, yang digantikan oleh
al-Musta’shim kekerasan yang dilakukan oleh Mu’tazilah berkurang karena
khalifah pada saat itu tidak begitu memperhatikan masalah ilmiah, teologi dan
filsafat, namun pada kekhalifahan selanjutnya yiatu al-Watsiq yang sangat
menaruh perhatian terahdap ilmu pengtahuan kembali memberlakukan al-Mihnah
dengan ketat, namun menjelang akhir jabatan kekahlifahannya al-Watsiq sadar dan
bertaubat atas kesalahannya dan tidak memberlakukan al-mihnah lagi. Al-Mihnah
benar-benar berakhir tatkala al-Mutawakkil naik tahta menggantikan al-Watsiq [17]
d.
Pendapat ulama’ tentang aliran
Mu’tazilah
Pandangan mayoritas ulama kepada
Mu’tazilah tergantung kadar ke ekstriman kelompok Mu’tazilah itu sendiri, namun
secara umum memang mayoritas ulama tidak setuju dengan aliran ini karena
cenderung mendewakan akal ketimbang wahyu[18].
Beberapa Ulama yang meyakini
kesesatan Mu’tazilah diantaranya,
1.
Muhammad bin
Hasan mengatakan "siapa yang sholat di belakang Mu’tazilah maka hendaklah
ia mengulangi sholatnya” dan ketika Abu Yusuf ditanya tentang pandangannya
kepada mu’tazilah beliau menjawab "mereka adalah Zanadiqoh/kafir
zindiq" dan di lain pernyataan kita baca ada ungkapan yang lebih keras
dari ini seperti;
2.
Ahlussunnah
berkomentar tentang “Al-futiy “ dan pengikutnya bahwa darah dan harta mereka
halal bagi kaum muslimin, siapa yang membunuh mereka tidak akan dikenakan diat
dan kiparat bahkan membunuh mereka adalah salah satu jalan taqorrub kepada
Allah SWT.
3.
Menurut Ibnu
Taimiyah, kesalahan para kaum rasionalis adalah mereka dusta dan peniadaan
mereka lebih besar daripada kesaahan mereka dalam satu hal yang mereka benarkan
dan mereka ketahui.[19]
4.
Bahkan al-baghdadi, menyebut pengikut
aliran Mu’tazilah ini sebagai golongan sesat (firaq al-Dalal) dan selalu
memakai kata bid’ah, fadihah (perbuatan yang memalukan) dan dalalah (kesesatan)
dalam menggambarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Namun demikian pada perkembangannya adapula
ulama-ulama mutakhirin yang kemudian membela Mu’tazilah dengan ajarannya
diantaranya :
1.
Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abdul,
kedua ulama’ ini adalah pemimpin modernisme yang utama dalam Islam, mereka
berpendapat bahwa al-Nazzam (tokoh Mu’tazilah) adalah orang yang lurus serta
benar yang banyak usahanya dalam membela Islam
2.
Syekh Ali musthofa Al-Ghurabi,
mengucapkan terima kasih atas jasa Mu’tazilah dalam membela Islam dan mendoakan
semua tokoh-tokohnya.
3.
Demikian pula pada kemajuan IPTEK
sekarang ini ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional ini mulai timbul kembali di
kalangan Umat islam terutama kalangan kaum terpelajar[20]
C.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
1.
Kemunculan aliran Mu’tazilah ada beberapa
versi menurut para ulama, namun yang sering diadopsi oleh para pakar adalah
peristiwa perselisiahan antara Wahil bin Atha’ dan Hasan al-Bashri tentang
pelaku dosa besar
2.
Doktrin Mu’tazilah ada 5 yang disebut al-Ushul
al-Khamsah, yang meliputi at-Tauhid, Al-‘Adl, al-Wa’du wa al-Wa’id,
Al-Manzilah baina al-Manzilatain, Amar ma’ruf Nahi Munkar
3.
Mu’tazilah didirikan oleh Washil bin
Atho’ dan temannya Amr ibnu ‘Ubaid yang kemudian mendapat pengakuan dari
Ma’mun, Al-Musta’shim dan al-Watsiq
4.
Ada
ulama yang memberikan komentar yang negative terhadap Mu’tazilah seperti Ibnu
Taimiyah,Muhammad bin Hasan dan al-Baghdadi, sementera itu ada pula yang
membela ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan Modernsme yang diwakili oleh Jamaluddin
al-Afghani dan Muhammad Abduh
DAFTAR
PUSTAKA
A.Nasir, Sahilun, Pemikiran
Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2010
Afrizal M, Ibnu Rusd,
Tujuh Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam, Jakarta : Erlangga, 2006.
Al-Qur’an al-Karim,Bandung : PT Sygma
Examedia Arkanleema, 2007
Madkhali(al), Rabi’ Bin Hadi Umair, Manhaj
Ahlussunnah dalam Mengkritik Tokoh, Kitab, dan Aliran, Jakarta : Najla Press, 2004
Mashuri, Washil bin Atho’, Mu’tazilah, Politik
kekuasaan dan Teologi Transendental, (Makalah, 2011)
Nasution, Harun, Teologi
Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta :
Universitas Indonesia, 2010
Nasution, Harun, Akal
dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta : Universitas
Indonesia,
1986
Shahratsani (al),Abu al-Fath Muhammad abdul al-Karim ,
al-Milal Wa al-Nihal, Beirut
: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992
Nasution, Ismail, Mu’tazilah, pada website http://nast85.multiply.com
diakses pada 16 Desember 2011
Sulaimi, Ruwaifi’ bin , Aliran Mu’tazilah, pada
website http//www.docstos.com/docs, diakses pada tanggal 16 Desember 2011
Wikipedia Ensiklopedia bebas, Mu’tazilah, dalam
website http//id.wikipidea.org, data diakses pada 16 desember 2011
---------------Aliran dan Teologi dalam Islam , Artikel pada
website http//id.shvoong.com yang diakses pada tanggal 16 Desember 2011
---------------Mu’tazilah,
pada Website ttp://fostimpala.blogspot.com yang diakses pada 16 Desember
2011
---------------Aliran Mu’tazilah : Asal
Usul dan al-Ushul al-Khamsah, pada website Http//www.Wikipidea.org, diakses pada 16 Desember 2011
[1] Mashuri,
Washil bin Atho’, Mu’tazilah, Politik kekuasaan dan Teologi Transendental,
(makalah, tidak diterbitkan),2.
[2]
Wikipedia Ensiklopedia bebas, Mu’tazilah, dalam website
http//id.wikipidea.org, data diakses pada 16 desember 2011
[3]
Al-Qur’an al-Karim,(Bandung
: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2007), 92.
[4] Afrizal
M, Ibnu Rusd, Tujuh Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam, (Jakarta : Erlangga, 2006),
30.
[5] Abu
al-Fath Muhammad abdul al-Karim al-Shahratsani, al-Milal Wa al-nihal, (Beirut
: dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 47-48.
[6] Ibid,
3-4.
[7] Menurut
Harun Nasution sebenarnya Mu’tazilah tidak seratus persen meniadakan wayu akan
tetapi merka mengangga kesanggupan akal untuk menyingkap tirai-tirai wahyu,
sehingga menomorduakan wayu sesuadah akal. Harun Nasution, Akal dan Wahyu
Dalam Islam (Jakarta : Universitas Indonesia, 1986),79.
[8] Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2010),45.
[9] Ibid,
56.
[10] Aliran
dan Teologi dalam Islam , Artikel pada website http//id.shvoong.com yang diakses
pada tanggal 16 Desember 2011
[11] Sahilun
A.Nasir, Pemikiran kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya,(Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010), 165
[12] Ismail
Nasution, Mu’tazilah, pada website http://nast85.multiply.com/reviews/item/17,
diakses pada 16 Desember 2011
[13] Ismail
Nasution, Ibid
[14] Mu’tazilah,
pada Website ttp://fostimpala.blogspot.com yang diakses pada 16 Desember
2011
[15] Ibid
[16] Sahilun
A.Nasir, Ibid, 166.
[17] Aliran Mu’tazilah : Asal Usul
dan al-Ushul al-Khamsah, pada website
Http//www.Wikipidea.org, diakses pada 16 Desember 2011
[18]
Ruwaifi’ bin Sulaimi, Aliran Mu’tazilah, pada website
http//www.docstos.com/docs, diakses pada tanggal 16 Desember 2011
[19] Rabi’
Bin Hadi Umair al-Madkhali, Manhaj Ahlussunnah dalam Mengkritik Tokoh,
Kitab, dan Aliran, (Jakarta
: Najla Press, 2004), 134.
[20] Harun
Nasution, 59-60