Senin, 14 Februari 2011

IJTIHAD


BAB I
PENDAHULUAN


A.                Latar belakang

Para Ulama sejak dahulu selalu berusaha mendalami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunah yang kadang-kadang di antara mereka terdapat perbedaan paham dan pendapat dalam menetapkan hukum yang mereka istimbatkan dari Al-Qur’an dan As-Sunah tersebut.

Hal ini dikarenakan para Ulama menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi dan belum ada ketetapan hukumnya. Dengan demikian mereka harus berusaha dengan segala daya serta kemampuannya untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang ada dalam sumber-sumber pokoknya yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah. Usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para Ulama untuk menetapkan hukum Islam inilah yang dikenal dengan sebutan “Ijtihad”.

B.                 Pembatasan masalah

Secara umum permasalahan yang dibahas dalam makalah ini berkaitan dengan ijtihad yang merupakan salah satu upaya untuk memperoleh petunjuk dari Allah agar masyarakat yang menyimpang dari ajaran yang benar dapat diluruskan menjadi berpedoman kepada ajaran yang diridhai oleh Allah yaitu berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunah. Makalah ini hanya membahas makna ijtihad secara garis besarnya saja, tidak membahas permasalahan secara lengkap dan mendetail .


  1. Perumusan masalah

Adapun makalah ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.                  Pengertian Ijtihad
2.                  Asal mula Ijtihad
3.                  Hukum Berijtihad
4.                  Macam-macam Ijtihad
5.                  Syarat Syarat Ijtihad
6.                  Tingkatan Para Mujtahid
7.                  Lapangan Ijtihad
8.                  Hasil Ijtihad

  1. Tujuan

A.                Memberikan Informasi Makna Ijtihad
B.                 Memberikan  Informasi Tahapan-tahapan Dalam Ijtihad
C.                 Memberikan Informasi Bagaimana Menyikapi Hasil Ijtihad

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Ijtihad

Ijtihad berasal dari akar kata bahasa Arab ‘’Jahada’’. Bentuk kata masdar atau asalnya ada dua bentuk yang berbeda arti. Jahdun yang artinya kesungguhan atau sepenuh hati atau serius, dan Juhdun yang artinya kesanggupan atau kemampuan yang didalamnya terkandung arti sulit, berat, dan susah.

Pengertian atau definisi ijtihad menurut beberapa ulama adalah sebagai berikut :
  1. Imam Al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuli memberikan devinisi, “Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hokum syar’i yang bersifatamali melalui cara istinbath  ”.
  2. Ibnu Subki memberikan definisi, “Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hokum syar’i”.
  3. Saifuddin Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam menyempurnakan dua definisi sebelumnya yaitu, “Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hokum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu”[1]
  4. Abu Zahrah memberikan devinisi, “ Ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan yang terdapat pada seorang ahli hukum Islam dalam beristinbath(menggali) hukum Islam yang bersifat praktis dari dalil yang terperinci.”[2]

Dari menganalisa definisi diatas dan membandingkannya dapat diambil hakekat dari ijtihad itu sebagai berikut :

  1. Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal.
  2. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajad tertentu di bidang keilmuan yang disebut faqih[3].
  3. Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’yang bersifat amaliah.
  4. Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath


  1. Asal mula Ijtihad


Sejarah ijtihad berawal sejak zaman Rossulullah dan para sahabat masih hidup. Hal ini bisa dibuktikan lewat Hadist yang diriwatkan oleh Abu Dawud :
Dari Mu'adz bin Jabal ketika Nabi Muhammad saw mengutusnya ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim beliau bertanya kepda Mu'adz apa yang kamu lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus di putuskan? Mua'dz menjawab, "Aku akan memutuskan berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam Kitabullah" Nabi bertanya lagi "Bagaimana jika dalam kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?" Mu'adz menjawab, " dengan berdasarkan Sunnah Rosulullah". Nabi bertanya lagi, "Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula dalam Sunnah Rosullullah?" Mu'adz menjawab, "Aku akan menjawab dengan fikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan" , lalu Mu'adz mengatakan, " Rosullulah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan, segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusanku untuk hal yang melegakan".[4]

Juga Hadist yang diriwatkan oleh Imam Muslim :
Dari Ammar bin Yasir r a, ia berkata : Nabi SAW pernah mengutus aku untuk suatu keperluan , lalu aku junub dan aku tidak mempunyai air. Lalu aku beguling-guling diatas tanah yang berdebu seperti binatang. Kemudian aku datang kepada Nabi, beliau bersabda: cukup bagimu dengan kedua tangan melakukan begini, kemudian beliau menepuk tanah sekali dengan kedua telapak tangannya, kemudian menyapukan tangan kiri dari atas tangan kanan dan belakang dua tapak tangan dan muka (wajahnya).[5]

  1. Hukum Berijtihad

1.      Wajib ain
Yaitu, bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan ia adalah satu-satunya faqih yang dapat melakukan ijtihad dan ia merasa kalo tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus tersebut luput dari hukum.
2.      Wajib kifayah
Yaitu, bila seorang faqih ditanya tentang hokum suatu kasus yang berlaku sedangkan ia adalah satu-satunya faqih waktu itu akan tetapi ia tidak kuatir akan luputnya kasus tersebut dari hokum, atau pada waktu itu ada beberapa orang faqih yang mampu melakukan ijtihad . Hal ini berarti bahwa bila untuk menetapkan hokum suatu kasus tersebut telah ada seorang faqih yang tampil untuk berijtihad, maka faqih yang lain bebas dari kewajiban ijtihad. Namun bila tidak ada seorang faqihpun yang berijtihad  maka semua faqih yang ada disitu berdosa.



3.      Sunnat
Yaitu, bila keadaan yang ditanyakan kepada faqih tersebut belum terjadi secara praktis, tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi timbulnya jasus tersebut.
4.      Haram
Yaitu, bila kasus yang dimintakan hukum adalah kasus yang sudah ada hukum pastinya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, atau bila orang yang melakukan ijtihad belum mencapai derajad faqih.[6]

  1. Macam-macam Ijtihad[7]

1.      Ijtihad bayani
Yaitu, ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya zhanni (tidak pasti) , baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihad bayani ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu diantara beberapa pemahaman yang berbeda. Dalam hal ini, hukumnya tersurat dalam nash, namun tidak dapat memberikan penjelasan yang pasti. Ijtihad disini hanya memberikan penjelasan yang pasti dari dalil nash itu. Contoh : firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 228. “Istri-istri yang tertalak hendaknya ber idah tiga kali quru’ “.  Dalam ayat tersebut memang disebutkan batas waktu iddah yaitu tiga kali quru’, namun lafal quru’ mempunyai dua pengertian yang berbeda. Bisa berarti suci bisa berarti haid. Ijtihad untuk menetapkan pengetian quru’ disebut ijtihad bayani.
2.      Ijtihad qiyasi
Yaitu, ijtihad untuk menggali dan menetapkan hokum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash, baik secara qath’i maupun secara zhani. Juga tidak ada ijma’ yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan dalam illat hukumnya. Dalam hal ini, mujtahid menetapkan hukum suatu kejadian berdasarkan pada kejadian yang telah ada nash nya. Contoh : Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at ?  Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum'at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( ah ) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum ah tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua.
3.      Ijtihad istilahi
Yaitu, karya ijtihad untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hokum syar’i dengan cara menerapkan kaidah untuk kejadian yang ketentuan hokumnya tidak terdapat dalam nash, baik qath’i maupun zhani, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma’. Dasar pegangan dalam ijtihad bentuk ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat maupun menghindarkan mudarat. Contohnya hukum menonton televisi, tidak terdapat dalam nash baik Al-Qur’an maupun Al-Hadish juga dalam ijma’ ulama.


  1. Syarat Berijtihad[8]
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan berijtihad adalah :
  1. Mengetahui isi Al-Qur’an dengan segala seluk-beluknya, baik dari sisi pengetahuan, bahasanya, atau makna-makna yang terkandung didalamnya.
  2. Hengetahui As-Sunnah, mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang hadist, sanad, rawi, matan, dan sebab-sebab munculnya hadist (asbab al-wurud)
  3. Mengetahui seluruh masalah yang hukumnyatelah ditetapkan oleh ijma’
  4. Mengetahui dan mampu menerapkan metode istinbath hukum.
  5. Mengetahui ilmu bahasa Arab dan seluk-beluknya.
  6. Mengetahui kaidah-kaidah hokum Islam dan memiliki kemampuan mengolah dan menganalisis dalil-dalil hokum untuk menghasilkan ketetapan hokum yang dimaksudkan.
  7. Mengetahui maqasid syari’ah, prinsi-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
  8. Memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.

  1. Tingkatan Para Mujtahid
Para mujtahid mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut :
  1. Mujtahid Mutlaq atau mujtahid Mustakhil
Yaitu, mujtahid yang mempunyai pengetahuan lengkap untuk berisbad dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits dengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui kekuatannya oleh tokoh agama yang lain. Para mujtahid ini yang paling terkenal adalah Imam madzhab empat
  1. Mujtahid Muntasib
Yaitu, mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti keterkaitan murid dan guru mereka adalah Imam Abu Yusuf, Zarf bin Huzail yang merupakan murid Imam Abu Hanifah
  1. Mujtahid Fil Madzhab
Yaitu, para ahli yang mengikuti para imamnya baik dalam usul maupun dalam furu' misalnya imam Al-Muzani adalah mujtahid fil madzhab Syafi'i
  1. Mujtahid Tarjih
Yaitu, mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat sebagai imam untuk menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana yang sesuai dengan situasi kondisi yang ada tanpa menyimpang dari nash-nash khot'i dan tujuan syariat, misalnya Abu Ishaq al syirazi, Imam Ghazali.[9]    
  1. Lapangan Ijtihad

        Para Ulama’ Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau hadits Rosulullah yang sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (qath’i) datang dari Allah dan Rosulnya, seperti Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi merupakan lapangan ijtihad dari segi periwayatannya.

Demikian pula para Ulama’Ushul Fiqh telah sepakat bahwa ijtihad tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat atau hadits yang menjelaskan hukum secara tegas dan pasti. Wahab az-Zuhaili menegaskan tidak dibenarkan berijtihad pada hukum-hukum yag sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya kewajiban melakukan sholat lima waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji, dan lain-lain yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapaun yang menjadi lapangan ijtihad, seperti dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rosulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dikategorikan pada tiga macam :
 
  1. Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang atau beberapa orang yang tidak sampai ketingkat Hadits Mutawatir. Hadits Ahad dari segi kepastian datangnya dari Rosulullah hanya sampai ketingkat dugaan kuat dalam arti tidak menutup kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit. Dalam hal ini seorang mujtahid perlu melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebanaran periwayatannya.
  2.  Lafal-lafal redaksi Al-Qur’an atau Al-Hadits yang menunjukkan pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi itu. Ayat-ayat atau hadits-hadits yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi lapangan ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad disini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks. Dan hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat ulama’ dalam menetapkan hukum.
  3. Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadits dan tida pula ada ijma’ yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Fungsi ijtihad di sini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya lewat tujuan hukum, seperti dengan Qiyas dan Istihsan. Di sini terbuka kemungkinan luas untuk berbeda pendapat.[10]

  1. Hasil Ijtihad
Menurut Jumhur Ulama[11] yang termasuk diantaranya adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i, berpendapat bahwa tidak semua mujtahid mencapai kebenaran dalam ijtihadnya tetapi ada yang mencapai kebenaran dan ada yang tidak. Sabda Rasululloh saw :  “Seorang hakim apabila berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad dan ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran) maka ia mendapat satu pahala (HR. Bukhari dan Muslim ). Hadits tersebut menunjukan, bahwa kebenaran itu hanya satu. Sebagian mujtahid dapat mencapainya, maka ia dikatakan yang mencapai kebenaran dan ia akan mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran dan ia akan mendapat satu pahala, pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena kekeliruannya.[12]
Hasil yang dapat dicapai seorang mujtahid bersifat zhanni (tidak pasti) atau tidak qath’ i karena hanya merupakan dugaan kuat yang dapat dicapai mujtahid dalam ijtihadnya.  Jika diungkapkan dalam ucapan maka ucapan mujtahid tentang hasil ijtihadnya adalah , “ Menurut dugaan kuat saya, inilah hokum Allah tentang masalah ini. “  Ia tidak dapat mengatakan secara pasti, “Inilah hokum Allah.” Namun mujtahid itu sendiri harus meyakini bahwa apa yang telah dihasilkannya itu benar-benar hokum Allah. Karena itu, wajar jika ia menganggap hasil ijtihad mujtahid lainnya yang berbeda dengannya dalam bidang yang sama belum tentu benar.[13]



BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan

Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya dengan pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah,  ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya.  Apalagi Islam sebagai agama yang Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluruh alam) dituntut untuk harus selalu bisa menjawab setiap tuntutan dan perkembangan zaman yang dialami umat manusia. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.

  1. Saran
Sebagai umat Islam kita hendaknya memahami betul masalah-masalah mengenai ijtihad. Karena dengan ijtihad umat Islam mampu menetapkan hukum syara' dengan jalan menentukannya dari Kitabullah dan Sunnah Rosul. Dengan ijtihad pula umat Islam akan selalu bisa menjawab problema umat dan menghadapi tantangan zaman.

Daftar Bacaan :
Ushul Fiqh jilid 2, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. Penerbit, “Kencana Perdana Media Grup” Edisi Pertama Cetakan ke lima, 2010.
Fiqh Ushul Fiqh, Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. , Drs. H Januri, M.Ag. Penerbit “Pustaka Setia” Bandung, 2008.
H. Mahrus Ali, Terjemah Bulughul Maraam. Penerbit “Mutiara Ilmu” Surabaya, Cetakan Pertama 30 desember 1995.


[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 hal: 240
[2] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Drs. H. Januri, M.Ag. Fiqh Ushul Fiqh hal: 193
[3] Faqih = Orang yang telah memenuhi syarat sebagai Mujtahid.
[4] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Drs. H. Januri, M.Ag. Fiqh Ushul Fiqh hal:197
[5] H. Mahrus Ali, Terjemah Bulughul Maraam hal : 59
[6] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin , Ushul fiqh jilid 2 hal: 242-243
[7] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin , Ushul fiqh jilid 2 hal: 286-287
[8] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Drs. H. Januri, M.Ag. Fiqh Ushul Fiqh hal: 195
[9] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin , Ushul Fiqh jilid 2 hal:293-297
[10] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin Ushul Fiqh jilid 2 hal: 307
[11] Jumhur Ulama = Mayoritas Ulama.
[12] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin Ushul Fiqh jilid 2 hal: 316
[13] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin Ushul Fiqh jilid 2  hal 318

Tidak ada komentar:

Posting Komentar