Jejak
bangsa-bangsa
terdahulu
HARUN YAHYA
Daftar isi
Tentang Pengarang
Prakata
Daftar Isi
Pendahuluan Generasi-Generasi Terdahulu
Bab 1 Banjir
Nabi Nuh
• Nabi
Nuh dan Banjir dalam Al Quran
• Apakah
Banjir itu Bencana Lokal atau Global?
• Apakah
Seluruh Binatang Dinaikkan ke Atas Perahu?
• Berapa
Tinggikah Banjir Tersebut?
• Lokasi
Banjir Nuh
• Bukti-Bukti
Arkeologis tentang Banjir
• Agama
dan Kebudayaan yang Menyebutkan Banjir Nuh
• Banjir
Nabi Nuh dalam Perjanjian Lama
• Banjir
Nuh dalam Perjanjian Baru
• Penyebutan
Peristiwa Banjir dalam Kebudayaan Lain
Bab 2 Kehidupan
Nabi Ibrahim
• Ibrahim
dalam Perjanjian Lama
• Tempat
Kelahiran Ibrahim Menurut Perjanjian Lama
• Mengapa
Perjanjian Lama Diubah?
Bab 3 Kaum
Luth dan Kota yang Dijungkirbalikkan
• “Tanda-Tanda
yang Nyata” di Danau Luth
• Pompei
Berakhir Serupa
Bab 4 Kaum
‘Ad dan Ubar, Atlantis di Padang Pasir
• Temuan
Arkeologis di Kota Iram
• Kaum
‘Ad
• Bangsa
Hadram, Anak Cucu ‘Ad
• Sumber-Sumber
Mata Air Kebun-Kebun Kaum 'Ad
• Bagaimana
Kaum 'Ad Dihancurkan
Bab 5 Tsamud
• Penyampaian
Risalah Nabi Shalih
• Temuan
Arkeologis dari Kaum Tsamud
Bab 6 Fir’aun
yang Ditenggelamkan
• Otoritas
Para Fir’aun
• Kepercayaan
Religius
• Fir’aun
Amenhotep IV yang Monoteistik
• Kedatangan
Nabi Musa
• Istana
Fir’aun
• Bencana
yang Menimpa Fir’aun dan Para Pembesarnya
• Keluar
dari Mesir
• Di
Manakah Peristiwa itu Terjadi, di Pantai Laut Tengah Mesir atau di Laut Merah?
• Tenggelamnya
Fir’aun dan Orang-orangnya di Lautan
Bab 7 Kaum
Saba’ dan Banjir Arim
• Banjir
Arim yang Dikirim kepada Negeri Saba’
Bab 8 Nabi Sulaiman dan Ratu Saba’
• Istana
Sulaiman
Bab 9 Para
Penghuni Gua
• Apakah
Para Penghuni Gua Ada di Ephesus?
• Apakah
Para Penghuni Gua Ada di Tarsus?
Kesimpulan
KEPADA
PEMBACA
Buku ini berisi fakta-fakta yang
meruntuhkan teori evolusi. Semua ini untuk menangkal kekeliruan pandang akibat
teori ini, yang telah begitu lama menjadi landasan bagi semua filsafat
anti-Tuhan. Darwinisme menolak fakta penciptaan, dan lebih jauh lagi,
penciptaan Allah, dan selama 140 tahun terakhir filsafat ini telah membuat
banyak orang meninggalkan kepercayaannya atau jatuh ke dalam keraguan. Oleh
karena itu, sangat penting kiranya menunjukkan bahwa teori ini merupakan suatu
kekeliruan dan penipuan, dan menyebarkannya kepada semua orang.
Seperti dalam buku-buku lain karangan
penulis, penjelasan yang disampaikan dilengkapi dengan ayat-ayat Al Quran dan
para pembaca diajak untuk mempelajari dan hidup dengan ayat-ayat tersebut.
Semua subjek yang berhubungan dengan ayat-ayat Allah dijelaskan tanpa
meninggalkan ruang apa pun bagi keraguan atau pertanyaan dalam pikiran pembaca.
Penuturan yang tulus, terus-terang
dan lancar akan memungkinkan setiap pembaca dari berbagai usia dan kelompok
sosial memahami buku-buku ini dengan cepat dan mudah. Bahkan mereka yang keras
menentang ketuhanan akan tersentuh dengan fakta-fakta yang diungkapkan dalam
buku-buku ini dan tidak dapat membantah kebenaran isinya.
Buku ini dan semua karya-karya lain
dari penulis dapat dibaca secara perorangan atau dikaji bersama dalam suatu
diskusi. Membaca buku-buku ini dalam kelompok pembaca akan sangat bermanfaat,
karena para pembaca dapat mengutarakan perenungan dan pengalaman mereka kepada
yang lainnya.
Akhirnya, buku-buku yang ditulis
semata untuk mencari keridhaan Allah ini dapat menjadi sarana yang amat efektif
untuk memahami maupun menyampaikan Islam kepada orang lain.
TENTANG
PENGARANG
Pengarang, yang menulis dengan nama
pena HARUN YAHYA, lahir di Ankara pada tahun 1956. Setelah menyelesaikan
sekolah dasar dan menengahnya di Ankara, ia kemudian mempelajari seni di
Universitas Mimar Sinan, Istambul dan filsafat di Universitas Istam-bul.
Semenjak 1980-an, pengarang telah menerbitkan banyak buku bertema politik,
keimanan, dan ilmiah. Harun Yahya terkenal sebagai penulis yang menulis
karya-karya penting yang menyingkap kekeliruan para evolusionis,
ketidak-sahihan klaim-klaim mereka dan hubungan gelap antara Darwinisme dengan
ideologi berdarah seperti fasisme dan komunisme.
Nama penanya berasal dari dua nama
Nabi: “Harun” dan “Yahya” untuk memuliakan dua orang nabi yang berjuang melawan
kekufuran. Stempel Nabi pada cover buku-buku penulis bermakna simbolis yang
berhubungan dengan isi bukunya. Stempel ini mewakili Al Quran, kitabullah
terakhir, dan Nabi kita, penutup segala nabi. Di bawah tuntunan Al Quran dan
Sunah, pengarang menegaskan tujuan utamanya untuk menggugurkan setiap ajaran
fundamental dari idelogi ateis dan memberikan “kata akhir”, sehingga membisukan
sepenuhnya keberatan yang diajukan melawan agama.
Semua karya pengarang ini berpusat
pada satu tujuan: menyampaikan pesan-pesan Al Quran kepada masyarakat, dan
dengan demikian mendorong mereka untuk memikirkan isu-isu yang berhubungan
dengan keimanan, seperti keberadaan Tuhan, keesaan-Nya, dan hari akhirat, dan
untuk menunjukkan dasar-dasar lemah dan karya-karya sesat dari sistem-sistem
tak bertuhan.
Karya-karya Harun Yahya dibaca di
banyak negara, dari India hingga Amerika, dari Inggris hingga Indonesia.
Buku-bukunya tersedia dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Spanyol,
Portugis, Urdu, Arab, Albania, Rusia, Serbia-Kroasia (Bosnia), Polandia,
Melayu, Turki Uygur, dan Indonesia, dan dinikmati oleh pembaca di seluruh
dunia.
Prakata
“Itu adalah sebagian dari
berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang Kami ceritakan kepadamu
(Muhammad); di antara negeri-negeri itu ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya
dan ada (pula) yang telah musnah.
Dan Kami tidaklah menganiaya mereka
tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, karena itu tiadalah
bermanfaat sedikit pun, kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain
Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah
menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud, 11: 100-101) !
Allah menciptakan manusia dan
memberinya bentuk fisik dan spiritual, membiarkannya menjalani kehidupan, dan
akhirnya menunjukkan keberadaan-Nya dengan memberi manusia itu kematian. Allah
menciptakan manusia, dan berdasarkan ayat berikut: “Apakah Allah yang
menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan)?” (QS. Al
Mulk, 67: 14), Ialah satu-satunya yang mengetahui dan mengenal manusia, yang
mengajarinya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Oleh karena itu, satu-satunya
tujuan nyata seseorang dalam hidupnya adalah untuk meninggikan Allah, memohon,
dan mengabdi kepada-Nya. Karena itu juga, ajaran suci dan wahyu Allah yang
disampaikan kepada manusia melalui para nabi-Nya adalah satu-satunya petunjuk
bagi manusia.
Al Quran adalah kitabullah terakhir
dan merupakan wahyu-Nya yang terpelihara. Maka kita wajib menerima Al Quran
sebagai petunjuk yang sebenarnya, dan mencermati semua keputusannya. Inilah
satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia baik di dunia maupun di alam nanti.
Namun demikian, kita perlu menelaah
dengan saksama serta penuh perhatian apa yang diceritakan Al Quran kepada kita,
dan merenung-kannya. Di dalam Al Quran, Allah menyatakan bahwa tujuan utama
diwahyukannya Al Quran tidak lain untuk menyuruh manusia berpikir:
“(Al Quran) ini adalah penjelasan
yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan dia, dan
supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar
orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS. Ibrahim, 12: 52) !
Berita-berita tentang kaum terdahulu
yang merupakan bagian penting dalam Al Quran, jelas-jelas merupakan hal yang
patut kita re-nungkan. Sebagian besar dari kaum ini mengingkari, bahkan
me-musuhi para nabi yang diutus kepada mereka. Kelancangan mereka mengundang
kemurkaan Allah, dan mereka pun disapu bersih dari muka bumi.
Al Quran menjelaskan bahwa
peristiwa-peristiwa penghancuran ini hendaknya menjadi peringatan bagi generasi
berikutnya. Sebagai contoh, langsung setelah penggambaran dari hukuman atas
sekelompok orang Yahudi yang menentang Allah, disebutkan dalam Al Quran:
“Maka Kami jadikan yang demikian itu
peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian,
serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah, 2:
66) !
Dalam buku ini, kita akan menelaah
masyarakat-masyarakat masa lampau yang telah dihancurkan karena penentangan
mereka terhadap Allah. Tujuan kita adalah untuk menyoroti semua peristiwa ini,
yang masing-masingnya merupakan “contoh bagi mereka di masa itu”, sehingga
mereka dapat menjadi sebuah “peringatan”.
Alasan kedua kita mempelajari
penghancuran ini adalah untuk menunjukkan bahwa apa yang diungkapkan Al Quran
benar-benar terjadi di dunia dan membuktikan keotentikan cerita-cerita dalam Al
Quran. Di dalam Al Quran, Allah menjamin bahwa ayat-ayat-Nya dapat diamati pada
konteks dunia luar.
“Dan katakanlah: “Segala puji bagi
Allah, Dia akan memperlihat-kan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu
akan mengetahuinya.” (QS. An-Naml, 27: 93) !
Mengetahui serta mengenali itu semua
merupakan salah satu jalan utama yang membimbing kepada keimanan.
Hampir semua peristiwa penghancuran
yang diceritakan dalam Al Quran “dapat diamati” dan “dapat dikenali” berkat
berbagai penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini terhadap arsip serta
temuan-temuan arkeologis. Dalam penelitian ini kita akan berhubungan dengan
jejak-jejak dari beberapa peristiwa penghancuran yang disebutkan dalam Al
Quran. (Haruslah dicatat bahwa kaum-kaum yang diceritakan dalam Al Quran belum
seluruhnya tercakup dalam buku ini, karena dalam Al Quran sebagiannya tidak
dinyatakan dengan waktu dan tempat yang terperinci, hanya disebutkan perilaku
penentangan serta kejahatan mereka terhadap Allah dan para nabi-Nya, serta
bencana yang menimpa mereka sebagai akibatnya. Dengan demikian, manusia diseru
untuk mengambil peringatan dari mereka).
Tujuan utama kita adalah menyoroti
berbagai kenyataan dalam Al Quran melalui berbagai penemuan saat ini, sehingga
menunjukkan kebenaran agama Allah kepada semua orang, baik beriman maupun
tidak.
Pendahuluan:
generasi-generasi terdahulu
“Belumkah datang kepada mereka berita
penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Ad, Tsamud,
kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah?
Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata;
maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. At-Taubah, 9: 70) !
Risalah yang ditujukan Allah kepada
manusia melalui rasul-rasul-Nya, telah sampai kepada kita sejak penciptaan
manusia. Seba-gian kaum menerima risalah ini dan sebagian mengingkarinya.
Sering kali, dari suatu kaum yang menerima risalah tersebut, hanya seke-lompok
kecil mengikuti sang rasul.
Namun sebagian besar dari masyarakat
yang telah didatangi risalah tersebut menolaknya. Mereka tidak hanya
mengabaikan risalah yang di-sampaikan oleh sang rasul, namun juga berusaha
melakukan perbuatan keji terhadap rasul tersebut dan para pengikutnya. Para
utusan Allah ter-sebut biasanya dituduh sebagai “pembohong, tukang sihir, gila,
dan som-bong”, dan pemimpin-pemimpin dari banyak kaum berusaha membu-nuh
mereka.
Yang diinginkan oleh para nabi dari
kaumnya hanyalah kepatuhan mereka kepada Allah. Mereka tidak meminta balasan
uang ataupun ke-untungan dunia, tidak juga memaksa. Mereka hanya ingin mengajak
kaum mereka kepada agama yang hak dan hendak memulai jalan hidup berbeda
bersama para pengikutnya, terpisah dari kaum tersebut.
Apa yang telah terjadi antara Syu'aib
dan penduduk Madyan di mana ia diutus, menggambarkan hubungan itu. Reaksi
mereka terhadap Nabi Syu'aib, yang menyeru agar mereka beriman kepada Allah dan
menghen-tikan semua kecurangan yang mereka lakukan, serta bagai-mana akhir
semua itu sangatlah menarik :
“Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami
utus) saudara mereka Syu'aib, Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tiada Tuhan selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan
timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan
sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan
(kiamat).”
Dan Syu'aib berkata: “Hai kaumku,
cukupkanlah takaran dan tim-bangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan
manusia ter-hadap hak-hak mereka dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka
bumi dengan membuat kerusakan.
Sisa (keuntungan) dari Allah adalah
lebih baik bagi kamu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah
seorang penjaga atas diri kamu.”
Mereka berkata: “Hai Syu'aib, apakah
sembahyangmu menyuruh ka-mu agar meninggalkan apa yang disembah oleh
bapak-bapak kami atau melarang kami berbuat apa yang kami kehendaki tentang
harta kami. Sesungguhnya kamu adalah seorang yang sangat penyantun lagi
berakal.”
Syu'aib berkata: “Hai kaumku,
bagaimana pikiranmu jika aku mem-punyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan
dianugerahi-Nya aku daripada-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi
perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan menger-jakan) apa
yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (menda-tangkan) perbaikan selama
aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku, melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah
aku kem-bali.
Hai kaumku, janganlah hendaknya
pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga
kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Shalih,
sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu.
Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu,
kemudian bertaubatlah ke-pada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi
Maha Pengasih.
Mereka berkata: “Hai Syu'aib, kami
tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami
benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah
karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang ka-mu pun bukanlah
seorang yang berwibawa di sisi kami.”
Syu'aib menjawab: “Hai kaumku, apakah
keluargaku lebih terhor-mat menurut pandanganmu daripada Allah, sedangkan Allah
kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu? Sesungguhnya (pe-ngetahuan)
Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan.”
Dan (dia berkata): “Hai kaumku,
berbuatlah menurut kemampuan-mu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak
kamu akan menge-tahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan
siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhanku), sesungguhnya aku pun
menunggu bersama kamu.”
Dan tatkala datang azab Kami, Kami
selamatkan Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan
rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang
mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di tem-pat tinggalnya.
Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, kebinasaanlah
bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum Tsamud yang telah binasa.” (QS. Huud, 11:
84-95) !
Karena merencanakan untuk “merajam
Syu'aib” yang hanya menye-ru mereka kepada kebaikan, penduduk Madyan dihukum
oleh kemurka-an Allah dan mereka pun dibinasakan sebagaimana disebutkan dalam
ayat-ayat di atas. Penduduk Madyan bukanlah satu-satunya contoh. Sebaliknya,
sebagaimana diutarakan Syu'aib ketika berbicara kepada kaumnya, banyak
masyarakat sebelum mereka telah dibinasakan. Dan se-telah Madyan, banyak
masyarakat lain juga dihancurkan oleh kemurkaan Allah.
Pada halaman-halaman berikut, akan
diuraikan tentang masyarakat-masyarakat yang telah dibinasakan tersebut dan
sisa-sisa peninggalan mereka. Dalam Al Quran, masyarakat-masyarakat ini
disebutkan secara terperinci dan manusia diajak untuk merenungkan dan mengambil
pela-jaran serta peringatan tentang bagaimana kaum-kaum ini berakhir.
Pada titik ini, Al Quran secara
khusus menunjukkan kenyataan bah-wa sebagian besar dari masyarakat yang
dihancurkan tersebut memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Di dalam Al Quran,
sifat-sifat dari kaum-kaum yang dihancurkan dijelaskan sebagai berikut:
“Dan berapa banyakkah umat-umat yang
telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya
daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah
menjajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari
kebinasaan)?” (QS. Qaaf, 50: 36) !
Dalam ayat tersebut, ditekankan
secara khusus dua sifat dari kaum yang telah dihancurkan. Pertama, mereka
“lebih besar kekuatannya”. Artinya, masyarakat-masyarakat tersebut telah
mencapai sistem biro-krasi-militer yang kuat dan disiplin, dan meraih kekuasaan
di wilayah mereka dengan kekuatan. Kedua, masyarakat-masyarakat itu mendirikan
kota-kota besar yang dicirikan dengan karya-karya arsitektur mereka.
Patut diperhatikan bahwa kedua sifat
ini dimiliki oleh peradaban zaman sekarang, yang telah membentuk sebuah
kebudayaan dunia yang begitu luas melalui ilmu pengetahuan dan teknologi saat
ini, serta telah mendirikan negara-negara yang tersentralisasi, kota-kota
besar, namun mengingkari dan mengabaikan Allah, dengan melupakan bahwa semua
itu dimungkinkan oleh kekuasan Allah. Namun, sebagaimana diungkap-kan pada ayat
di atas, peradaban yang mereka kembangkan tidak dapat menyelamatkan
masyarakat-masyarakat tersebut, karena peradaban mereka berlandaskan
pengingkaran terhadap Allah. Akhir dari peradab-an saat ini pun tidak akan
berbeda, selama ia berdasarkan kepada peng-ingkaran dan perilaku jahat di
dunia.
Sejumlah peristiwa penghancuran,
beberapa di antaranya dicerita-kan dalam Al Quran, telah dibenarkan oleh
berbagai penelitian arkeologis di zaman modern. Temuan-temuan ini secara jelas
membuktikan bahwa peristiwa-peristiwa yang dikutip dalam Al Quran benar-benar
pernah terjadi, menjelaskan perlunya “diperingatkan terlebih dahulu” yang
banyak digambarkan dalam kisah-kisah Al Quran. Allah berfirman di dalam Al
Quran bahwa penting untuk “bepergian di muka bumi” dan “melihat bagaimana
kesudahan orang-orang sebelum mereka”.
“Kami tidak mengutus sebelum kamu,
melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk
negeri. Maka tidaklah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagai-mana
kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya
kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah
kamu memikirkannya?
Sehingga apabila para rasul tidak
mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa
mereka telah didus-takan, datanglah kepada rasul itu pertolongan Kami, lalu
disela-matkanlah orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa
Kami daripada orang-orang yang berdosa.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka
itu terdapat pengajaran ba-gi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman.” (QS. Yusuf, 12: 109-111) !
Sesungguhnya, terdapat banyak contoh
dalam kisah-kisah tentang masyarakat di waktu lampau bagi orang-orang yang
dikaruniai ke-pahaman. Kehancuran mereka, yang disebabkan penentangan mereka
terhadap Allah dan penolakan terhadap perintah-perintah-Nya, meng-ungkapkan
kepada kita betapa lemah dan tidak berdayanya umat manu-sia di hadapan Allah.
Pada halaman-halaman berikut, kita akan mengkaji contoh-contoh tersebut dalam
urutan kronologis.
Bab 1
banjir nabi nuh
Banjir Nuh, yang disebutkan dalam
hampir seluruh kebudayaan, adalah satu contoh yang paling banyak diuraikan
dalam Al Qur-an. Keengganan umat Nabi Nuh terhadap nasihat dan peringat-annya,
reaksi mereka terhadap risalah Nabi Nuh, serta peristiwa banjir selengkapnya,
semua diceritakan secara rinci dalam banyak ayat Al Quran.
Nabi Nuh diutus untuk mengingatkan
umatnya yang telah mening-galkan ayat-ayat Allah dan menyekutukan-Nya, dan
mengajak mereka menyembah Allah semata dan menghentikan pembangkangan mereka.
Meskipun Nabi Nuh telah berkali-kali menasihati umatnya agar menaati perintah
Allah serta mengingatkan akan kemurkaan Allah, mereka masih saja menolak dan
terus menyekutukan Allah. Dalam Surat Al Mu'mi-nuun, perkembangan peristiwa itu
dilukiskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Nuh kepada kaumnya. Lalu ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah,
(karena) sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak
bertakwa (kepada-Nya)?
Maka pemuka-pemuka orang yang kafir
di antara kaumnya men-jawab: “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti
kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan
kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum
pernah kami mendengar seruan (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang
kami yang dahulu.
Ia tidak lain hanyalah seorang
laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai
suatu waktu. Nuh berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendusta-kanku.”
(QS. Al Mu’minuun, 23: 23-26) !
Sebagaimana dikemukakan dalam
ayat-ayat tersebut, pemuka ma-syarakat di sekitar Nabi Nuh menuduh Nabi Nuh
berusaha meraih ke-unggulan atas kaumnya, yakni, mencari keuntungan pribadi
seperti status, kekuasaan, dan kekayaan, dan mereka mencoba menunjuk dia
sebagai “kesurupan”, dan mereka memutuskan untuk membiarkannya sementara waktu,
dan menekannya.
Karena itulah, Allah menyampaikan
pada Nuh bahwa mereka yang menolak kebenaran dan melakukan kesalahan akan
dihukum dengan ditenggelamkan, dan mereka yang beriman akan diselamatkan.
Maka, pada saat hukuman datang, air
dan aliran yang sangat deras muncul dan menyembur dari dalam tanah, dibarengi
dengan hujan yang sangat lebat, menyebabkan banjir dahsyat. Allah memerintahkan
kepada Nuh untuk “menaikkan ke atas perahu pasangan-pasangan dari setiap jenis,
jantan dan betina, serta keluarganya, kecuali mereka yang menen-tang apa yang
telah dinyatakan wahyu”. Seluruh manusia di daratan tersebut ditenggelamkan,
termasuk “anak laki-laki” Nabi Nuh yang semula berpikir bahwa dia bisa selamat
dengan berlindung ke gunung terdekat. Semuanya tenggelam kecuali yang naik ke
perahu bersama Nabi Nuh. Ketika air surut di akhir banjir, dan “kejadian telah
berakhir”, perahu terdampar di Judi, yaitu sebuah tempat yang tinggi,
sebagaimana yang diinformasikan Al Quran kepada kita.
Studi arkeologis, geologis, dan
historis menunjukkan bahwa peris-tiwa tersebut terjadi sebagaimana diceritakan
Al Quran. Banjir tersebut juga digambarkan secara hampir serupa pada banyak
catatan peradaban-peradaban masa lalu dan dalam banyak dokumen sejarah, meski
ciri-ciri dan nama-nama tempat beragam, dan “semua yang terjadi pada manusia
yang salah” disajikan untuk manusia saat ini sebagai peringatan.
Di samping dikemukakan dalam
Perjanjian Lama dan Baru, kisah tentang banjir Nuh ini diungkap secara serupa
dalam catatan-catatan sejarah Sumeria dan Asiria-Babilonia, dalam
legenda-legenda Yunani, dalam epik Shatapatha Brahmana dan Mahabarata dari
India, dalam beberapa legenda Wales di Kepulauan Inggris, dalam Nordic Edda,
dalam legenda-legenda Lithuania, dan bahkan dalam cerita-cerita yang berakar
dari Cina.
Bagaimana mungkin cerita-cerita yang
begitu rinci dan relevan dapat dikumpulkan dari berbagai daratan yang jauh
secara geografis dan budaya, saling berjauhan sesamanya, juga dengan wilayah
banjir?
Jawabannya jelas: Fakta bahwa
peristiwa yang sama dituturkan dalam berbagai catatan sejarah berbagai bangsa
tersebut, yang kecil kemungkinan saling berkomunikasi, merupakan bukti nyata
bahwa mereka menerima pengetahuan dari sebuah sumber ilahiah. Tampak bahwa
Banjir Nuh, salah satu kejadian terbesar dan paling destruktif dalam sejarah,
telah diwartakan oleh banyak nabi yang diutus ke pelbagai peradaban dengan
tujuan untuk memberi contoh. Dengan demikian, berita tentang banjir Nuh
tersebar ke berbagai kebudayaan.
Namun, walau banyak diriwayatkan
dalam berbagai budaya dan sumber ajaran berbagai agama, cerita tentang banjir
dan Nabi Nuh itu telah banyak berubah dan membias dari kisah aslinya karena
kepalsuan sumber, kekeliruan penyampaian, atau bahkan mungkin karena tujuan
yang tidak benar. Riset menunjukkan bahwa di antara sekian banyak riwayat yang
menuturkan peristiwa tersebut dengan berbagai perbedaan, penggambaran paling
konsisten hanya terdapat dalam Al Quran.
Nabi Nuh dan Banjir dalam Al Quran
Banjir Nuh disebutkan dalam banyak
ayat di dalam Al Quran. Di bawah ini bisa dilihat ayat-ayat yang disusun
berdasarkan urut-urutan peristiwa banjir tersebut:
Ajakan Nabi Nuh atas Kaumnya kepada
Agama Kebenaran
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh
kepada kaumnya, lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali
tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah
Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat)’.” (QS.
Al A’raaf, 7: 59) !
“Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan
(yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan
aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak
lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Maka ber-takwalah kepada Allah dan
taatlah kepadaku.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 107-110) !
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Nuh kepada kaumnya. Lalu ia berkata “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah,
(karena) sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa ka-mu
tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Al Mu’minuun, 23: 23) !
Peringatan Nabi Nuh kepada Kaumnya
akan Hukuman dari Allah
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh
kepada kaumnya (dengan memerintahkan): “Berilah kaummu peringatan sebelum
datang ke-padanya azab yang pedih.” (QS. Nuh, 71: 1) !
“Kelak kamu akan mengetahui siapa
yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang
kekal.” (QS. Huud, 11: 39) !
Agar kamu tidak menyembah selain
Allah. Sesungguhnya aku kha-watir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang
sangat menyedih-kan. (QS. Huud, 11: 26) !
Pembangkangan Kaum Nabi Nuh
“Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata:
‘Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata’.” (QS. Al
A’raaf, 7: 60) !
“Mereka berkata: ‘Hai Nuh, sesungguhnya
kamu telah berbantah de-ngan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu
terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada
kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar’.” (QS. Huud, 11: 32) !
“Dan mulailah Nuh membuat bahtera.
Dan setiap kali pemimpin ka-umnya berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya.
Berkata Nuh: ‘Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) menge-jekmu
sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami)’.” (QS. Huud, 11: 38) !
“Maka pemuka-pemuka orang yang kafir
di antara kaumnya men-jawab: ‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti
kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan
kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum
pernah kami mendengar seruan (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang
kami yang dahulu. Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit
gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu’.” (QS. Al
Mu’minuun, 23: 24-25) !”
“Sebelum mereka, telah mendustakan
(pula) kaum Nuh, maka mere-ka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: ‘Dia
seorang gila dan dia sudah pernah diberi ancaman’.” (QS. Al Qamar, 54: 9) !
Penghinaan terhadap Para Pengikut Nabi Nuh
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang
kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang
manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti
kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya
saja, dan kami tidak melihat kamu memi-liki sesuatu kelebihan apa pun atas
kami, bahkan kami yakin bah-wa kamu adalah orang-orang yang dusta’.” (QS. Huud,
11: 27) !
“Mereka berkata: “Apakah kami akan
beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?” Nuh
menja-wab: “Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan?”
Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau
kamu menyadari. Dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang
beriman. Aku (ini) tidak lain melainkan pemberi peringatan yang menjelaskan.”
(QS. Asy-Syu’araa’, 26: 111-115) !
Peringatan Allah agar Nabi Nuh Tidak Bersedih
“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya
sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah
beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu
mereka kerjakan.” (QS. Huud, 11: 36) !
Doa Nabi Nuh
“Maka itu adakanlah suatu
keputusan antaraku dan antara mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang
yang mukmin besertaku.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 118) !
“Maka dia mengadu kepada Tuhannya:
‘Bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu tolonglah
(aku)’.” (QS. Al Qamar, 54: 10) !
“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah menyeru kaum-ku malam dan siang. Maka seruanku itu
hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)’.” (QS. Nuh, 71: 5-6) !
“Nuh berdoa: ‘Ya Tuhanku, tolonglah
aku, karena mereka mendusta-kan aku’.” (QS. Al Mu'minuun, 23: 26) !
“Sesungguhnya Nuh telah menyeru Kami:
Maka sesungguhnya seba-ik-baik yang memperkenankan (adalah Kami).” (QS.
Ash-Shaaffaat: 75) !
Pembuatan Bahtera
“Dan buatlah bahtera itu dengan
pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku
tentang orang-orang zalim itu, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”
(QS. Huud, 11: 37) !
Penghancuran Umat Nabi Nuh dengan Cara Ditenggelamkan
“Maka mereka mendustakan Nuh,
kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera,
dan Kami teng-gelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Sesung-guhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).” (QS. Al A’raaf, 7:
64) !
“Kemudian sesudah itu Kami
tenggelamkan orang-orang yang tinggal.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 120) !
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima
puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang
yang zalim.” (QS. Al Ankabuut, 29: 14) !
Dibinasakannya Putra Nabi Nuh
Sehubungan dengan dialog antara Nabi
Nuh dan putranya, pada permulaan banjir, Al Quran mengungkapkan:
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka
dalam gelombang lak-sana gunung, dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu
berada di tempat jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami
dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab:
“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!”
Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah
(saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara ke-duanya;
maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang diteng-gelamkan.” (QS. Huud,
11: 42-43) !
Diselamatkannya Orang-Orang yang
Beriman dari Banjir
“Maka Kami selamatkan Nuh dan
orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan.” (QS.
Asy-Syu’araa’, 26: 119) !
“Maka kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang
bahtera itu dan kami jadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua umat manusia.”
(QS. Al Ankabuut, 29: 15) !
Bentuk Fisik dari Banjir yang Terjadi
“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit
dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan
mata-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh
te-lah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari
papan dan paku.” (QS. Al Qamar, 54: 11-13) !
“Hingga apabila perintah Kami datang
dan 'dapur' (permukaan bu-mi yang memancarkan air hingga menyebabkan timbulnya
taufan) telah memancarkan air, Kami berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu
dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu,
kecuali orang yang telah terdahulu kete-tapan terhadapnya dan (muatkan pula)
orang-orang yang beriman.”
Dan tidak beriman bersama dengan Nuh
itu kecuali sedikit. Dan Nuh berkata: “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan
menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dan bahtera itu berlayar membawa
mereka dalam gelombang lak-sana gunung, dan Nuh memanggil anaknya sedang anak
itu berada di tempat jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama
kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (QS. Huud, 11:
40-42) !
“Lalu Kami wahyukan kepadanya:
“Buatlah bahtera di bawah peni-likan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah
Kami telah datang dan 'tannur' telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam
bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali
orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka.
Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya
mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Al Mu’minuun, 23: 27) !
Terdamparnya Perahu di Tempat yang
Tinggi
“Dan difirmankan: “Hai bumi tahanlah
airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan air pun disurutkan, perintah
pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi, dan
dikatakan: ‘Binasa-lah orang-orang yang zalim’.” (QS. Huud, 11: 44) !
Pelajaran dari Peristiwa Banjir
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah
naik (sampai ke gunung), Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera, agar
Kami jadi-kan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh
telinga yang mau mendengar.” (QS. Al Haaqqah, 69:11-12) !
Pujian Allah terhadap Nabi Nuh
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh
di seluruh alam”. Sesungguh-nya demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ash-Shaaffaat, 37: 79-81) !
Apakah Banjir itu Bencana Lokal
atau Global ?
Mereka yang menolak terjadinya Banjir
Nuh mendukung pendirian mereka dengan menyatakan bahwa banjir atas seluruh
dunia adalah mus-tahil. Namun, penyangkalan mereka atas banjir apa pun juga
ditujukan untuk menyerang Al Quran. Menurut mereka, semua kitab yang
diwah-yukan, termasuk Al Quran, sepertinya mempertahankan terjadinya banjir
global dan karenanya keliru.
Namun, penolakan terhadap Al Quran
ini tidak benar. Al Quran di-wahyukan oleh Allah, dan merupakan satu-satunya
kitab suci yang tidak terubah. Al Quran memandang Banjir dengan sudut pandang
yang sangat berbeda dibandingkan Pentateuch dan legenda-legenda lain tentang
banjir yang diriwayatkan dalam berbagai kebudayaan. Penta-teuch, yakni lima
kitab pertama dalam Perjanjian Lama, menyatakan bahwa banjir tersebut bersifat
global; menutupi seluruh bumi. Namun, Al Quran tidak memberikan keterangan
seperti itu, sebaliknya ayat-ayat tentang peristiwa ini membawa pada kesimpulan
bahwa banjir itu bersi-fat regional dan tidak menutupi seluruh bumi, namun
hanya meneng-gelamkan umat Nabi Nuh saja yang telah diberi peringatan, lalu
dihu-kum.
Ketika riwayat-riwayat tentang Banjir
dalam Perjanjian Lama dan Al Quran diuji, perbedaannya sederhana saja.
Perjanjian Lama, yang telah mengalami banyak perubahan dalam penambahan
sepanjang sejarah-nya, sehingga tidak dapat dinilai sebagai wahyu yang
orisinil, menggam-barkan bagaimana banjir berawal dalam uraian berikut:
Dan Tuhan melihat bahwa kejahatan
manusia di bumi adalah besar, dan bahwa setiap imajinasi dari pikiran-pikiran
dalam hatinya hanya selalu perbuatan jahat. Dan ini menjadikan Allah menyesali
bahwa Dia telah menciptakan manusia di bumi, dan ini menyedih-kan hati-Nya. Dan
Tuhan berkata, “Aku akan membinasakan manu-sia yang telah kuciptakan dari
permukaan bumi; kedua jenis yang ada, manusia dan binatang, dan segala yang
merayap, dan unggas-unggas di udara, yang karena telah mengecewakan-Ku yang
telah menciptakan mereka. Akan tetapi, (Nabi) Nuh mendapatkan kasih sayang di
mata Tuhan. (Kejadian, 6: 5-8)
Namun, dalam Al Quran, jelas
ditunjukkan bahwa tidak seluruh du-nia, tetapi hanya umat Nabi Nuh yang
dihancurkan. Sebagaimana Nabi Hud diutus hanya untuk kaum ‘Ad (QS. Huud,
11:50), Nabi Shalih diutus untuk kaum Tsamud (QS. Huud, 11:61), serta seluruh
nabi sebelum Mu-hammad hanya diutus untuk umat mereka saja, Nabi Nuh hanya
diutus kepada umatnya dan banjir tersebut hanya memusnahkan umat Nabi Nuh:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan
yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesung-guhnya aku
khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” (QS.
Huud, 11: 25-26) !
Mereka yang dimusnahkan adalah
orang-orang yang sepenuhnya menolak pernyataan kerasulan Nuh dan berkeras
menentang. Ayat-ayat yang senada cukup gamblang:
“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian
kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami
tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka
adalah kaum yang buta (mata hatinya).” (QS. Al A’raaf, 7: 64) !
Di samping itu, dalam Al Quran, Allah
menegaskan bahwa Dia tidak akan menghancurkan suatu umat kecuali telah diutus
seorang rasul kepada mereka. Penghancuran hanya terjadi jika seorang pemberi
per-ingatan telah sampai kepada suatu kaum, dan ia didustakan. Allah
me-nyatakan dalam Surat Al Qashash:
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan
kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan
ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan
kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan keza-liman.” (QS. Al
Qashash, 28: 59) !
Allah tidak akan menghancurkan suatu
kaum sebelum menurunkan rasul kepada mereka. Sebagai pemberi peringatan, Nuh
hanya diutus untuk kaumnya. Karena itu, Allah tidak menghancurkan kaum-kaum
yang belum diutus rasul, hanya umat Nabi Nuh.
Dari pernyataan-pernyataan dalam Al
Quran, kita bisa memastikan bahwa banjir Nuh adalah bencana regional, bukan
global. Penggalian-penggalian pada daerah-daerah arkeologis yang diperkirakan
sebagai lo-kasi terjadinya banjir yang akan kita bahas berikutnya menunjukkan
bah-wa banjir tersebut bukanlah sebuah peristiwa global yang mempengaruhi
seluruh bumi, akan tetapi merupakan sebuah bencana yang sangat luas yang
mempengaruhi bagian tertentu dari wilayah Mesopotamia.
Apakah Seluruh Binatang Dinaikkan ke atas Perahu?
Para penafsir Bibel yakin bahwa Nabi
Nuh memasukkan seluruh spesies binatang di muka bumi ke atas perahu dan
binatang-binatang itu bisa selamat dari kepunahan berkat Nabi Nuh. Menurut
keyakinan ini, sepasang dari tiap spesies penghuni daratan dibawa bersama ke
atas pe-rahu.
Mereka yang mempertahankan pernyataan
ini sudah tentu harus menghadapi banyak kejanggalan serius dalam berbagai hal.
Pertanyaan tentang bagaimana binatang yang diangkut itu diberi makan, bagaimana
mereka ditempatkan di dalam perahu itu, atau bagaimana mereka di-
Pisahkan satu sama lain mustahil
dapat terjawab. Lagi pula, masih ada pertanyaan: Bagaimana binatang-binatang
dari berbagai benua yang berbeda dapat dibawa bersamaan – berbagai mamalia di
kutub, kanguru dari Australia, atau bison yang ada di Amerika? Juga, lebih banyak
lagi pertanyaan menyusul, seperti bagaimana binatang yang sangat berba-haya –
yang berbisa seperti ular, kalajengking, dan binatang-binatang buas bisa
ditangkap, serta bagaimana mereka dapat bertahan terpisah dari habitat
alamiahnya hingga banjir itu surut?
Inilah berbagai pertanyaan yang
dihadapi Perjanjian Lama. Dalam Al Quran, tidak ada pernyataan yang
mengindikasikan bahwa seluruh spe-sies binatang di muka bumi dinaikkan ke atas
perahu. Dan sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, banjir tersebut hanya
terjadi pada suatu wi-layah tertentu, sehingga binatang yang dinaikkan ke
perahu pun hanya-lah yang hidup di wilayah umat Nabi Nuh tinggal.
Meski demikian, jelas mustahil
sekalipun hanya untuk mengumpul-kan seluruh jenis binatang yang hidup di
wilayah tersebut. Sukar mem-bayangkan bahwa Nabi Nuh beserta sejumlah kecil
orang-orang beriman yang menyertainya (QS. Huud, 11: 40) menyebar ke segala
penjuru untuk mengumpulkan masing-masing dua ekor dari ratusan spesies binatang
di sekitar mereka. Bahkan, lebih mustahil lagi bagi mereka untuk mengumpulkan
berbagai tipe serangga yang hidup di wilayah mereka, apatah lagi untuk
memisahkan antara yang jantan dan betina! Inilah alasan mengapa lebih
memungkinkan jika yang dikumpulkan itu hanya binatang yang mudah ditangkap dan
dipelihara, dan karenanya, merupa-kan binatang ternak yang secara khusus
berguna bagi manusia. Nabi Nuh agaknya menaikkan ke atas perahu binatang
sejenis itu, seperti sapi, biri-biri, kuda, unggas, unta, dan sejenisnya,
karena inilah binatang-binatang yang dibutuhkan untuk menyangga kehidupan baru
di wilayah yang telah kehilangan sejumlah besar prasarana hidup karena Banjir
tersebut.
Poin penting di sini adalah bahwa
kebijaksanaan ilahiah dalam pe-rintah Allah kepada Nabi Nuh untuk mengumpulkan
berbagai binatang adalah untuk menunjang kehidupan baru setelah banjir
berakhir, bukan untuk kepentingan mempertahankan genus berbagai binatang.
Selama banjir itu bersifat regional, maka kepunahan berbagai jenis binatang
tidak akan mungkin terjadi. Besar kemungkinan, setelah banjir, berbagai
binatang dari wilayah-wilayah lain perlahan-lahan akan bermigrasi ke wilayah
tersebut dan kembali memadati daerah itu sebagaimana sebe-lumnya. Yang penting
adalah kehidupan yang akan dirintis kembali begi-tu banjir berakhir, dan
binatang-binatang yang dikumpulkan dimaksud-kan untuk tujuan ini.
Berapa Tinggikah Banjir Tersebut?
Perdebatan lain di seputar Banjir itu
adalah, apakah ketinggian air cukup untuk menenggelamkan gunung? Sebagaimana
diketahui, Al Quran menginformasikan kepada kita bahwa perahu Nabi Nuh itu
terdampar di “Al Judi” seusai banjir. Umumnya, kata “Judi” dirujuk sebagai
lokasi gunung tertentu, sementara kata itu berarti “tempat yang tinggi atau
bukit” dalam bahasa Arab. Karenanya, jangan dilupakan bahwa dalam Al Quran,
“Judi” bisa jadi tidak digunakan sebagai nama gunung tertentu, akan tetapi
untuk mengisyaratkan bahwa perahu Nuh telah terdampar pada suatu ketinggian. Di
samping itu, makna kata “judi” yang disebutkan di atas mungkin juga menunjukkan
bahwa air bah itu mencapai ketinggian tertentu, tetapi tidak mencapai
ketinggian pun-cak gunung. Dengan kata lain bahwa banjir itu kemungkinan besar
tidak menenggelamkan seluruh bumi dan semua gunung-gunung sebagai-mana
digambarkan dalam Perjanjian Lama, tetapi hanya menggenangi wilayah tertentu.
Lokasi Banjir Nuh
Daratan Mesopotamia diduga kuat
sebagai lokasi Banjir Nuh. Di sini terdapat peradaban tertua yang dikenal
sejarah. Lagi pula, karena berada di antara sungai Tigris dan Eufrat, secara
geografis tempat ini sangat memungkinkan terjadinya sebuah banjir besar. Di
antara faktor penyebab terjadinya banjir besar kemungkinan karena kedua sungai
ini meluap dan membanjiri wilayah tersebut.
Alasan kedua, daerah tersebut diduga
kuat sebagai tempat terjadinya banjir bersifat historis. Dalam catatan sejarah
berbagai peradaban manu-sia di wilayah tersebut, banyak dokumen yang ditemukan
merujuk pada sebuah banjir yang terjadi dalam periode yang sama. Setelah
menyak-sikan kebinasaan kaum Nabi Nuh, peradaban-peradaban tersebut agak-nya
merasa perlu mencatat dalam sejarah mereka, bagaimana bencana itu terjadi,
serta akibat-akibat yang ditimbulkannya. Diketahui pula bahwa mayoritas legenda
tentang banjir tersebut berasal dari Mesopotamia. Lebih penting lagi bagi kita
adalah temuan-temuan arkeologis. Temuan-temuan tersebut membenarkan terjadinya
sebuah banjir besar di wilayah ini. Sebagaimana akan kita bahas secara rinci
pada halaman-halaman be-rikut, banjir ini telah menyebabkan tertundanya
peradaban selama perio-de tertentu. Dalam penggalian-penggalian yang dilakukan,
tersingkap jejak-jejak nyata sebuah bencana dahsyat.
Penggalian-penggalian di wilayah
Mesopotamia mengungkap bah-wa berkali-kali dalam sejarah, wilayah ini diserang
berbagai bencana sebagai akibat dari banjir dan meluapnya Sungai Eufrat dan
Tigris. Misal-nya, pada alaf kedua Sebelum Masehi (SM), pada masa Ibbisin,
penguasa negeri Ur yang luas, yang berlokasi di sebelah selatan Mesopotamia,
sebuah tahun tertentu ditandai dengan “pasca Banjir yang melenyapkan garis batas
antara langit dan bumi”.1 Sekitar 1700 SM, pada masa kekua-saan Hamurabi dari
Babilonia, sebuah tahun ditandai dengan terjadinya peristiwa “kehancuran kota
Eshnunna oleh air bah”.
Pada abad ke-10 SM, pada masa
pemerintahan Nabu-mukin-apal, sebuah banjir terjadi di kota Babilon.2 Setelah
zaman Nabi Isa (Jesus) pada abad ke-7, ke-8, ke-10, ke-11, dan ke-12,
banjir-banjir yang bersejarah terjadi di wilayah tersebut. Dalam abad ke-20,
kejadian serupa terjadi pa-da tahun 1925, 1930, dan 1954.3 Jelaslah bahwa
wilayah ini telah senantiasa diserang bencana banjir, dan sebagaimana
ditunjukkan dalam Al Quran, sangat mungkin suatu banjir besar-besaran telah
membinasa-kan suatu komunitas secara keseluruhan.
Bukti-Bukti Arkeologis tentang Banjir
Bukanlah suatu kebetulan bila
sekarang ini kita menemukan jejak-jejak dari kebanyakan kaum yang menurut Al
Quran telah dibinasakan. Bukti-bukti arkeologis menyajikan fakta, bahwa semakin
mendadak ke-hancuran suatu kaum, semakin memungkinkan bagi kita untuk
men-dapati sebagian bekasnya.
Jika sebuah peradaban hancur secara
tiba-tiba, yang dapat terjadi ka-rena bencana alam, emigrasi yang mendadak,
atau perang, jejak-jejak peradaban ini sering dapat lebih terpelihara.
Rumah-rumah yang pernah mereka huni, peralatan-peralatan yang pernah mereka
gunakan dalam kehidupan sehari-hari, segera akan terkubur. Maka, semua itu
dapat terpelihara dalam waktu yang lama tanpa tersentuh tangan manusia, dan
menjadi bukti penting tentang masa lampau bila dikeluarkan.
Jadi begitulah hingga banyak bukti
tentang Banjir Nabi Nuh ter-ungkap saat ini. Diperkirakan terjadi sekitar alaf
ke-3 SM, Banjir itu telah mengakhiri suatu peradaban seluruhnya dengan
seketika, dan selanjut-nya menyebabkan lahirnya sebuah peradaban baru sebagai
gantinya. Jadi, bukti-bukti nyata tentang Banjir ini telah terpelihara selama
ribuan tahun agar kita bisa mengambil pelajaran darinya.
Banyak penggalian telah dilakukan
untuk menyelidiki banjir yang telah menenggelamkan daratan-daratan Mesopotamia.
Dalam berbagai penggalian di wilayah tersebut, di empat kota utama ditemukan
jejak-je-jak yang menunjukkan terjadinya sebuah banjir besar. Kota-kota
tersebut ada-lah kota-kota penting di Mesopotamia; Ur, Erech, Kish, dan
Shuruppak.
Penggalian-penggalian di kota-kota ini
mengungkap bahwa keempat kota ini telah dilanda sebuah banjir sekitar alaf ke-3
SM.
Pertama, mari kita lihat
penggalian-penggalian yang dilakukan di kota Ur.
Sisa-sisa tertua dari sebuah
peradaban yang tersingkap dari peng-galian terdapat di kota Ur, yang kini telah
berganti nama menjadi “Tell al Muqayyar”, berusia 7000 tahun SM. Sebagai situs
dari salah satu per-adaban tertua, kota Ur telah menjadi wilayah hunian tempat
silih ber-gantinya berbagai kebudayaan.
Temuan arkeologis dari kota Ur
memperlihatkan bahwa di sini per-adaban pernah terputus setelah terjadinya
sebuah banjir dahsyat, dan kemudian peradaban-peradaban baru tampil. R. H. Hall
dari British Mu-seum melakukan penggalian pertama di tempat ini. Leonard
Woolley yang melakukan penggalian setelah Hall, menjadi pengawas penggalian
yang secara kolektif dikelola oleh the British Museum dan University of
Pennsylvania. Penggalian-penggalian yang dipimpin Woolley, yang ber-pengaruh di
seluruh dunia, berlangsung dari 1922 sampai 1934.
Penggalian-penggalian oleh Sir
Woolley dilakukan di tengah padang pasir antara Baghdad dan Teluk Persia.
Pendiri pertama kota Ur adalah kaum yang datang dari Mesopotamia Utara dan
menyebut diri mereka “bangsa Ubaid.” Pada awalnya, penggalian itu dilakukan
untuk meng-himpun informasi tentang mereka. Penggalian yang dilakukan Woolley
digambarkan oleh seorang arkeolog Jerman, Werner Keller, sebagai berikut:
“Kuburan Raja-Raja Ur” begitu
Woolley, dalam kegembiraan atas penemu-annya, menamakan makam para bangsawan
Sumeria tersebut. Kehebatan kekuasaan mereka terungkap saat sekop para arkeolog
mengenai sebuah tanggul sepanjang 50 kaki di sebelah selatan candi dan
mengungkap deretan panjang pekuburan yang tertimbun. Kuburan-kuburan batu yang
ditemu-kan benar-benar merupakan tempat penyimpanan harta, karena dipenuhi
piala-piala mahal, beraneka kendi dan vas yang indah, barang becah belah dari
perunggu, kepingan-kepingan mutiara, lapis lazuli, dan perak yang mengelilingi
jasad-jasad yang telah menjadi debu. Harpa dan lira tersandar di dinding-dinding.
“Hampir seketika” dia kemudian menulis dalam buku hariannya, “Penemuan-penemuan
menegaskan kecurigaan-kecurigaan kami. Tepat di bawah lantai dari salah satu
lubang kubur para raja, di bawah lapisan abu kayu, kami menemukan tablet-tablet
tanah liat, yang dipenuhi huruf yang jauh lebih tua daripada tulisan pada
kuburan. Melihat sifat dari tulisan, tablet-tablet tersebut kemungkinan dibuat
sekitar tahun 3.000 SM. Berarti, mereka dua atau tiga abad lebih awal dari
makam tersebut.”
Lubang itu bertambah dalam. Tingkatan
yang baru, dengan pecahan-pecah-an kendi, pot, dan mangkuk terus muncul. Para
ahli memperhatikan bahwa sisa tembikar itu secara mengejutkan tidak terlalu
berubah; tampak serupa dengan yang ditemukan di pekuburan para raja. Karena itulah,
sepertinya selama berabad-abad peradaban Sumeria tidak mengalami perubahan yang
radikal. Mereka tentunya, menurut kesimpulan, telah mencapai tingkat
perkembangan yang tinggi jauh lebih awal lagi.
Ketika beberapa hari kemudian, para
pekerja berteriak, “Kita sampai di ting-kat dasar.” Woolley sendiri turun ke
lantai lubang galian untuk memuaskan dirinya. Pikiran Woolley pertama kali,
“Inilah dia akhirnya”. Lantai itu berupa pasir, jenis pasir murni yang hanya
bisa didepositkan oleh air.
Mereka memutuskan untuk terus
menggali dan membuat lubang itu lebih dalam lagi. Sekop menggali semakin dalam
dan semakin dalam: tiga kaki, enam kaki masih berupa lumpur murni. Tiba-tiba,
pada kedalaman sepuluh kaki, lapisan lumpur terhenti sama mendadak dengan
bermulanya. Di bawah deposit tanah liat setebal kurang lebih sepuluh kaki,
mereka dikejutkan oleh bukti-bukti baru dari hunian manusia. Wujud dan kualitas
dari tembikar tampak sangat berubah. Di sini, barang-barang tersebut dibuat
dengan tangan. Sisa-sisa logam tak ditemukan di mana-mana. Peralatan primitif
yang muncul terbuat dari pengerjaan dengan batu api. Ini mesti berasal dari
Zaman Batu!
Banjir itulah penjelasan satu-satunya
bagi besarnya deposit tanah liat di bawah bukit di kota Ur, yang dengan cukup
jelas memisahkan dua masa kehidupan. Laut telah meninggalkan jejak-jejak yang
tidak terpungkiri dalam bentuk sisa-sisa organisme laut kecil yang tersimpan
dalam lumpur.4
Analisis mikroskopis mengungkapkan
bahwa deposit tanah liat yang besar di bawah bukit di kota Ur telah
terakumulasi sebagai akibat dari ba-njir teramat besar yang laksana melenyapkan
peradaban Sumeria kuno. Epik tentang Gilgamesh dan cerita tentang Nuh
tersatukan dengan lu-bang galian yang jauh di bawah gurun Mesopotamia.
Max Mallowan menuturkan pikiran-pikiran
Leonard Woolley, yang menyatakan bahwa endapan masif sebesar itu dan terbentuk
dalam suatu periode waktu hanya bisa terjadi karena bencana banjir yang sangat
besar. Woolley juga menguraikan bahwa lapisan banjir yang memisahkan kota
Sumeria di kota Ur dengan kota Al Ubaid yang penduduknya mengguna-kan tembikar
yang dicat, sebagai sisa dari Banjir tersebut.5
Ini semua menunjukkan bahwa kota Ur
adalah salah satu dari ber-bagai daerah yang terkena Banjir Nuh. Digambarkan
oleh Werner Keller bahwa arti penting penggalian arkeologis di Mesopotamia
adalah bahwa sisa-sisa kota di bawah lapisan berlumpur tersebut membuktikan
pernah terjadinya banjir di tempat ini pada dahulu kala.6
Kota lain di Mesopotamia yang juga
menyimpan jejak-jejak Banjir Nuh adalah kota Kish di Sumeria, yang saat ini
dikenal sebagai “Tall Al Uhaimer”. Menurut sumber-sumber Sumeria kuno, kota ini
merupakan “kedudukan dari dinasti 'pascadiluvian' yang pertama”.7
Kota Shuruppak di sebelah selatan
Mesopotamia, yang saat ini ber-nama “Tall Far’ah” pun menyimpan jejak-jejak
nyata dari banjir tersebut. Studi arkeologis yang dilakukan di kota ini
dipimpin oleh Erich Schmidt dari Universitas Pennsylvania antara tahun
1922-1930. Penggalian-peng-galian ini mengungkapkan tiga lapisan hunian manusia
dalam rentang waktu sejak masa prasejarah hingga dinasti Ur ketiga (2112-2004
SM). Temuan paling istimewa adalah reruntuhan rumah-rumah yang dibangun dengan
baik, sekaligus dengan tablet-tablet bertulisan paku (cuneiform) tentang
catatan administratif dan daftar kata-kata, yang mengindikasikan keberadaan
suatu masyarakat yang telah maju pada akhir alaf ke-4 SM.8
Poin terpenting adalah dimengerti
bahwa sebuah banjir besar telah terjadi di kota ini sekitar tahun 2900-3000 SM.
Menurut catatan Mallo-wan, 4-5 meter di bawah tanah, Schmidt telah mencapai
lapisan tanah kuning (dibentuk oleh banjir) yang berupa campuran tanah liat dan
pasir. Lapisan ini lebih dekat ke lapisan datar daripada profil tumulus dan
dapat teramati di seputar tumulus.… Schmidt memastikan bahwa lapisan yang
terbentuk dari campuran tanah liat dan pasir ini, yang tersisa dari masa
kerajaan kuno Cemdet Nasr, sebagai “pasir yang berasal dari dalam sungai” dan
ini menghubungkannya dengan Banjir Nuh.9
Pada penggalian yang dilakukan di
kota Shuruppak, ditemukan sisa-sisa banjir yang terjadi kurang lebih tahun
2900-3000 SM. Mungkin, kota Shuruppak terkena imbas dari banjir sebesar
kota-kota lain.10
Tempat terakhir yang menunjukkan
terjadinya banjir adalah kota Erech di selatan kota Shuruppak yang kini dinamai
“Tall al-Warka”. Di kota ini, sebagaimana di kota-kota yang lainnya, ditemukan
lapisan ban-jir. Lapisan ini berjangka waktu antara 2900-3000 SM seperti yang
lain.11
Sebagaimana diketahui, sungai Eufrat
dan Tigris melintasi Mesopo-tamia dari ujung ke ujung. Tampaknya selama
peristiwa itu, kedua sungai ini meluap, begitupun banyak sumber mata air
lainnya, besar maupun kecil, dan ketika bersatu dengan air hujan, telah
menyebabkan sebuah banjir yang dahsyat. Peristiwa itu digambarkan dalam Al Quran:
“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit
dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan
mata-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah
ditetapkan.” (QS. Al Qamar, 54:11-12) !
Jika faktor-faktor penyebab banjir
itu dibahas satu per satu, tampak-lah bahwa kesemuanya itu merupakan fenomena
yang sangat alami. Adapun yang menjadikan peristiwa itu penuh mukjizat adalah
karena kejadiannya bersamaan dan peringatan Nabi Nuh kepada kaumnya ten-tang
bencana seperti itu terlebih dahulu.
Pengujian terhadap bukti yang didapat
dari kajian lengkap meng-ungkapkan bahwa daerah banjir membentang sekitar 160
km (lebar) dari timur ke barat, dan 600 km (panjang) dari utara ke selatan. Ini
menunjuk-kan bahwa banjir tersebut menutupi seluruh daratan Mesopotamia. Jika
kita uji urutan kota-kota Ur, Erech, Shuruppak, dan Kish yang menunjuk-kan
jejak-jejak banjir Nuh, tampaklah bahwa kota-kota ini berada dalam satu garis
sepanjang rute tersebut. Oleh karena itu, banjir tersebut pastilah telah
melanda keempat kota ini dan daerah-daerah sekitarnya. Di sam-ping itu, harus
dicatat bahwa pada sekitar 3.000 tahun SM, struktur geografis daratan
Mesopotamia berbeda dengan kondisi sekarang. Pada masa itu, posisi sungai
Eufrat terletak lebih ke timur dibandingkan de-ngan posisi saat ini; garis arus
sungai itu sesuai dengan garis yang mele-wati kota Ur, Erech, Shuruppak, dan
Kish. Dengan terbukanya “mata air di bumi dan di surga”, agaknya sungai Eufrat
meluap menyebar sehingga merusak empat kota di atas.
Agama dan Kebudayaan yang Menyebutkan Banjir Nuh
Peristiwa Banjir Nuh tersebut
disebarluaskan ke hampir semua ma-nusia melalui lisan para nabi yang
menyampaikan agama yang hak, tetapi akhirnya menjadi legenda oleh berbagai
kaum, dan kisah itu mengalami berbagai penambahan dan pengurangan dalam
periwayatannya.
Allah telah menyampaikan kisah
tentang Banjir Nuh kepada manu-sia melalui para rasul dan kitab-kitab yang Dia
turunkan kepada berbagai masyarakat agar hal itu menjadi peringatan atau
permisalan. Namun, tiap masa kitab-kitab tersebut telah dirubah dari aslinya,
dan penggambaran Banjir Nuh juga telah ditambahi unsur-unsur mitologis. Hanya
Al Quran satu-satunya sumber yang secara mendasar sesuai dengan temuan-temu-an dan
observasi empiris. Hal ini tidak lain karena Allah telah menjaga Al Quran dari
perubahan, meski sebuah perubahan kecil sekalipun, maupun pengurangan. Sesuai
isyarat Al Quran “Kami telah dengan tanpa keragu-an menurunkan risalah, dan
Kami dengan pasti akan menjaganya (dari pengurangan)” (QS. Al-Hijr, 15: 9), Al
Quran berada di bawah pengawas-an khusus Allah.
Pada bagian akhir bab ini, kita akan
melihat, bagaimana peristiwa Banjir Nuh digambarkan meski telah sangat berubah
dalam berbagai ke-budayaan, serta dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Banjir Nabi Nuh dalam Perjanjian Lama
Kitab yang sebenarnya diwahyukan
kepada Nabi Musa adalah Tau-rat. Nyaris tidak ada dari wahyu ini tersisa, dan
kitab Injil “Pentateuch” (lima buku pertama dari kitab Perjanjian Lama),
seiring perjalanan waktu, telah kehilangan hubungannya dengan wahyu yang asli.
Bahkan kemudi-an sebagian besar isinya telah diubah oleh para rabbi Yahudi.
Begitu pula, wahyu-wahyu yang dibawa nabi-nabi lain yang diutus kepada Bani
Israil setelah Nabi Musa, mendapat perlakuan serupa dan sangat banyak
per-ubahan. Kondisi inilah yang membuat kita menyebutnya sebagai “Penta-teuch
yang Diubah” karena telah kehilangan hubungan dengan wahyu aslinya, dan
menganggapnya sebagai karya manusia yang berupaya men-catat sejarah suku
bangsanya, bukan sebagai sebuah kitab suci. Tidaklah mengherankan jika keadaan
Pentateuch yang Diubah itu dan berbagai kontradiksi yang dikandungnya sangat
tampak pada pemaparannya ten-tang kisah Nabi Nuh, meskipun mempunyai kesamaan dengan
Al Quran dalam beberapa bagian.
Menurut Perjanjian Lama, Tuhan
berfirman kepada Nuh bahwa semua orang, kecuali mereka yang beriman, akan
dihancurkan karena bumi telah penuh dengan berbagai kejahatan. Untuk menghadapi
ini, Tuhan memerintahkan Musa membuat bahtera dan mengajarkan dengan rinci
bagaimana mengerjakannya. Tuhan juga menyuruhnya membawa keluarganya, tiga
orang anaknya, istri-istri mereka, sepasang dari setiap makhluk hidup, dan
persediaan bahan pangan.
Tujuh hari kemudian, ketika tiba
waktunya Banjir, semua sumber air dalam tanah memancar, pintu-pintu langit
terbuka, dan sebuah banjir be-sar menenggelamkan segala sesuatu. Hal ini
berlangsung selama empat puluh hari dan empat puluh malam. Bahtera Nuh melayari
air yang menutupi semua pegunungan dan dataran tinggi. Mereka yang bersama Nuh
selamat, sedang sisanya terseret air bah dan mati tenggelam. Hujan berhenti
setelah terjadi banjir, yang berlangsung selama empat puluh hari empat puluh
malam, dan air mulai surut 150 hari kemudian.
Kemudian, pada hari ketujuh belas
pada bulan ketujuh, kapal ter-sebut terdampar di pegunungan Ararat (Agri). Nuh
mengirim seekor merpati untuk melihat apakah air telah benar-benar surut, dan
ketika akhirnya merpati tersebut tidak kembali lagi, Nuh menyadari bahwa air
telah surut seluruhnya. Tuhan memerintahkan mereka meninggalkan kapal dan
menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Salah satu kontradiksi pada kisah
dalam Perjanjian Lama adalah: Se-telah uraian ini, dalam versi “Yahudi”,
disebutkan bahwa Tuhan meme-rintahkan Nuh untuk membawa tujuh jantan dan betina
dari setiap jenis hewan-hewan tersebut, yang disebut-Nya “bersih” dan hanya
sepasang dari setiap jenis hewan-hewan tersebut yang disebut-Nya “tidak
bersih”.
Ini jelas bertentangan dengan teks di atas. Di
samping itu, dalam Per-janjian Lama jangka waktu terjadinya banjir juga
berbeda. Menurut versi Yahudi juga, peristiwa naiknya air terjadi selama empat
puluh hari, se-dangkan berdasarkan orang-orang awam, dikatakan terjadi selama
150 hari.
Sebagian dari Perjanjian Lama yang
menceritakan tentang banjir Nuh adalah sebagai berikut:
Berfirmanlah Allah kepada Nuh, “Aku
telah memutuskan untuk mengakhiri hidup sebagian makhluk, sebab bumi telah
penuh dengan kekerasan oleh mereka; jadi Aku akan memusnahkan mereka
bersa-ma-sama dengan bumi. Buatlah bagimu perahu dari kayu gofir; ....
Sebab sesungguhnya, Aku akan
mendatangkan air bah meliputi bumi untuk memusnahkan segala yang hidup dan
bernyawa di kolong la-ngit; segala yang ada di bumi akan mati binasa. Tetapi
dengan eng-kau Aku akan mengadakan perjanjian-Ku, dan engkau akan masuk ke
dalam bahtera itu: engkau bersama-sama dengan anakmu, dan istrimu, dan
istri-istri anak-anakmu. Dan dari segala yang hidup, dari segala makhluk, dari
semuanya haruslah engkau bawa satu pasang dalam bahtera itu, ....
…Lalu Nuh melakukan semuanya itu; tepat
seperti yang diperintah-kan Allah kepadanya.” (Kejadian, 6: 13-22)
Dalam bulan ketujuh, pada hari yang
ketujuh belas bulan itu, ter-kandaslah bahtera pada pegunungan Ararat.
(Kejadian, 8:4)
Dari segala binatang yang tidak haram
haruslah kauambil tujuh pa-sang, jantan dan betinanya, tetapi dari binatang
yang haram satu pasang, jantan dan betinanya; juga dari burung-burung di udara
tujuh pasang, jantan dan betina, supaya terpelihara hidup keturun-annya di
seluruh bumi. (Kejadian, 7: 2-3)
Maka Kuadakan perjanjian-Ku dengan
kamu, bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah
lagi, dan tidak ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi.” (Kejadian, 9: 11)
Menurut Perjanjian Lama, sesuai
dengan pernyataan bahwa “semua makhluk di dunia akan mati” dalam sebuah banjir
yang menggenangi seluruh permukaan bumi, maka seluruh manusia dihukum, dan yang
selamat hanya mereka yang menaiki bahtera bersama Nuh.
Banjir Nuh dalam Perjanjian Baru
Perjanjian Baru yang kita dapati saat
ini juga bukan sebuah kitab suci dalam arti kata yang sebenarnya. Perjanjian
Baru yang terdiri dari perka-taan dan perbuatan dari Isa (Jesus), dimulai
dengan empat “Injil” yang ditulis satu abad setelah keberadaan Isa, oleh
orang-orang yang belum pernah melihat atau bertemu dengannya; yaitu Matius,
Markus, Lukas, dan Johanes. Terdapat berbagai kontradiksi yang sangat gamblang
di-
antara keempat gospel ini. Khususnya,
Injil Johanes sangat berbeda dengan tiga injil yang lain (Injil Sinoptik), yang
hingga beberapa derajat, tapi tidak sepenuhnya, saling mendukung sesamanya.
Buku-buku lain dari Perjanjian Baru terdiri dari surat-surat yang ditulis oleh
para murid dan Saul dari Tarsus (kemudian disebut Santo Paulus) yang
menye-butkan perbuatan para murid setelah kematian Isa.
Jadi, Perjanjian Baru yang terdapat
saat ini bukanlah naskah suci, namun lebih merupakan buku semi-sejarah.
Dalam Perjanjian Baru, Banjir Nuh
disebutkan secara singkat sebagai berikut; Nuh diutus sebagai utusan kepada
sebuah masyarakat yang tidak patuh dan menyimpang, namun kaumnya tidak mau
mengikutinya dan meneruskan kesesatan mereka. Oleh karena itu, Allah menimpakan
banjir kepada mereka yang menolak beriman dan menyelamatkan Nuh dan para
pengikutnya dengan menempatkan mereka ke dalam bahtera. Beberapa bab dari
Perjanjian Baru yang berkaitan dengan hal ini adalah sebagai berikut:
Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh,
demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak manusia. Sebab sebagaimana
mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan,
sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu akan
sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pula
halnya kelak pada kedatangan Anak manusia.” (Matius, 24: 37-39)
“Dan jikalau Allah tidak menyayangkan
dunia purba, tetapi harus menyelamatkan Nuh, pemberita kebenaran itu, dengan
tujuh orang lain, ketika Ia mendatangkan air bah atas dunia orang-orang fasik.”
(Petrus Kedua, 2: 5)
“Dan sama seperti terjadi pada zaman
Nuh, demikian pulalah kelak halnya Anak manusia pada hari kedatangan-Nya:
mereka makan dan minum, mereka kawin dan dikawinkan, sampai kepada hari Nuh
masuk ke dalam bahtera, lalu datanglah air bah dan mem-binasakan mereka semua.”
(Lukas, 17: 26-27)
“…mereka yang dahulu pada waktu Nuh
tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti dengan sabar waktu Nuh
sedang memper-siapkan bahteranya, di mana hanya sedikit, yaitu delapan orang,
yang diselamatkan oleh air bah itu.” (Petrus Pertama, 3: 20)
“Mereka sengaja tidak mau tahu, bahwa
oleh firman Allah langit te-lah ada sejak dahulu, dan juga bumi yang berasal
dari air dan oleh air, dan bahwa oleh air itu, bumi yang dahulu telah binasa,
di-musnahkan oleh air bah.” (Petrus Kedua, 3:5-6)
Penyebutan Peristiwa Banjir dalam Kebudayaan Lain
Kebudayaan Sumeria: Dewa yang bernama
Enlil memberi tahu orang-orang bahwa dewa-dewa yang lain ingin menghancurkan
umat manusia, namun ia berkenan untuk meyelamatkan mereka. Pahlawan dalam kisah
ini adalah Ziusudra, raja yang taat dari negeri Sippur. Dewa Enlil memberi tahu
Ziusudra apa yang harus dilakukan agar selamat dari Banjir. Teks yang
menceritakan pembuatan kapal tersebut hilang, namun fakta bahwa bagian ini
pernah ada terungkap dalam bagian-bagian yang menyebutkan bagaimana Ziusudra
diselamatkan. Begitupun berdasar-kan versi Babilonia tentang banjir, dapat
disimpulkan bahwa dalam versi Sumeria yang lengkap tentulah terdapat rincian
yang lebih menyeluruh tentang penyebab kejadian tersebut dan bagaimana perahu
dibuat.
Kebudayaan Babilonia: Ut-Napishtim
adalah padanan bangsa Babi-lonia terhadap Ziusudra, pahlawan Sumeria dalam
peristiwa banjir. To-koh penting yang lain adalah Gilgamesh. Menurut legenda,
Gilga-mesh memutuskan untuk mencari dan menemukan para leluhurnya untuk
mendapatkan rahasia kehidupan abadi. Ia diperingatkan akan berbagai bahaya dan
kesulitan dalam perjalanan itu. Ia diberi tahu bahwa ia harus melakukan
perjalanan melewati “pegunungan Mashu dan perairan ma-ut”; dan perjalanan
seperti itu hanya pernah diselesaikan oleh dewa ma-tahari Shamash. Namun
Gilgamesh menghadapi semua bahaya perjalan-an dan akhirnya berhasil mencapai
Ut-Napishtim.
Naskah ini terpotong pada bagian yang
menceritakan pertemuan antara Gilgamesh dan Ut-Napishtim; dan selanjutnya
ketika teks dapat terbaca, Ut-Napishtim menceritakan kepada Gilgamesh bahwa
“para dewa menyimpan rahasia kematian dan kehidupan bagi diri mereka sendiri”
(mereka tidak akan memberikannya kepada manusia). Atas jawaban ini, Gilgamesh
bertanya bagaimana Ut-Napishtim dapat mem-peroleh keabadian; dan Ut-Napishtim
menceritakan kepadanya kisah banjir sebagai jawaban atas pertanyaan ini. Banjir
tersebut juga dicerita-kan dalam kisah “dua belas meja “ yang terkenal dalam epik
tentang Gilgamesh.
Ut-Napishtim memulai dengan
mengatakan bahwa kisah yang akan diceritakan kepada Gilgamesh merupakan
“sesuatu yang rahasia, sebuah rahasia dari dewa-dewa”. Ia bercerita bahwa ia
berasal dari kota Shurup-pak, kota tertua di antara kota-kota di daratan Akkad.
Berdasarkan cerita-nya, dewa “Ea” telah memanggilnya melalui dinding kayu
gubuknya dan menyatakan bahwa para dewa telah memutuskan untuk menghancurkan
semua benih kehidupan dengan sebuah banjir; namun penyebab kepu-tusan mereka
tidak diterangkan dalam cerita banjir Babilonia sebagai-mana halnya dalam kisah
banjir Sumeria. Ut-Napishtim menceritakan bahwa Ea telah menyuruhnya membuat
sebuah perahu dan ia harus membawa serta “benih-benih dari semua makhluk
hidup”dengan perahu itu. Ea memberitahunya ukuran dan bentuk kapal itu;
berdasarkan hal ini, lebar, panjang, dan tinggi kapal menjadi sama. Badai besar
menjung-kirbalikkan segala sesuatu selama enam hari dan enam malam. Pada hari
ketujuh, badai reda. Ut-Napishtim melihat bahwa di luar kapal, “semua telah
berubah menjadi lumpur yang lengket”. Kapal tersebut terdampar di gunung Nisir.
Menurut catatan Sumeria-Babilonia,
Xisuthros atau Khasisatra dise-lamatkan dari banjir oleh sebuah kapal yang
panjangnya 925 meter, ber-sama keluarganya, teman-temannya, dan berbagai jenis
burung dan bina-tang. Disebutkan bahwa “air meluap hingga ke langit, lautan
menu-tupi pantai, dan sungai meluap dari tepiannya”. Dan kapal itu pun akhirnya
terdampar di gunung Corydaean.
Menurut catatan Asiria-Babilonia,
Ubar Tutu atau Khasisatra disela-matkan bersama keluarga, pembantu, ternaknya,
dan binatang-binatang liar dalam sebuah kapal yang panjangnya 600 kubit, tinggi
dan lebarnya 60 kubit. Banjir tersebut berlangsung selama 6 hari dan 6 malam.
Ketika kapal tersebut mencapai gunung Nizar, merpati yang dilepaskan kem-bali,
sedangkan burung gagak tidak kembali.
Berdasarkan beberapa catatan Sumeria,
Asiria dan Babylonia, Ut-Napishtim beserta keluarganya selamat dari banjir yang
terjadi selama 6 hari dan 6 malam. Dikatakan “Pada hari ketujuh Ut-napishtim
melihat keluar. Semuanya sangat sepi. Manusia sekali lagi menjadi lumpur.”
Ketika kapal terdampar di gunung Nizar, Ut-napishtim mengirim ma-sing-masing
seekor burung merpati, burung gagak dan burung pipit. Burung gagak tinggal
memakan bangkai, sedangkan dua burung yang lain tidak kembali.
Kebudayaan India: Dalam epik
Shatapatha Brahmana dan Maha-bharata dari India, seseorang bernama Manu
diselamatkan dari banjir bersama Rishiz. Menurut legenda, seekor ikan yang
ditangkap oleh Manu dan dilepaskannya, tiba-tiba berubah menjadi besar dan menyuruhnya
untuk membuat sebuah perahu dan mengikatkan ke tanduknya. Ikan ini dianggap
penjelmaan dari dewa Wishnu. Ikan tersebut menarik kapal mengarungi ombak yang
besar dan membawanya ke utara, ke gunung Hismavat.
Kebudayaan Wales: Menurut legenda
Wales (dari Wales, wilayah Celtic di Inggris), Dwynwen dan Dwyfach selamat dari
bencana besar dengan sebuah kapal. Ketika bah yang amat mengerikan yang terjadi
akibat meluapnya Llynllion yang dinamai Danau Gelombang surut, mereka berdua
memulai kembali kehidupan di daratan Inggris.
Kebudayaan Skandinavia: Legenda
Nordic Edda mengisahkan tentang Bergalmir dan istrinya yang selamat dari banjir
dengan sebuah kapal besar.
Kebudayaan Lithuania: Dalam legenda
Lithuania, diceritakan bah-wa beberapa pasang manusia dan binatang diselamatkan
dengan berlin-dung di puncak sebuah gunung yang tinggi. Ketika angin dan banjir
yang berlangsung selama dua belas hari dan dua belas malam tersebut mulai
mencapai ketinggian gunung yang hampir menenggelamkan mereka yang ada di sana,
Sang Pencipta melemparkan sebuah kulit kacang raksasa kepada mereka. Mereka
yang ada di gunung tersebut selamat dari bencana dengan berlayar bersama kulit
kacang raksasa ini.
Kebudayaan Cina: Sumber-sumber bangsa
Cina mengisahkan ten-tang seseorang yang bernama Yao bersama tujuh orang lain,
atau Fa Li bersama istri dan anak-anaknya, selamat dari bencana banjir dan
gempa bumi dalam sebuah perahu layar. Dikatakan bahwa “seluruh dunia han-cur.
Air menyembur dan menenggelamkan semua tempat”. Akhirnya, air pun surut.
Banjir Nuh dalam Mitologi Yunani:
Dewa Zeus memutuskan untuk memusnahkan manusia yang menjadi semakin sesat,
dengan sebuah banjir. Hanya Deucalion dan istrinya Pyrrha yang selamat dari
banjir, karena ayah Deucalion sebelumnya telah menyarankan anaknya untuk
membuat sebuah kapal. Pasangan ini mendarat di gunung Parnassis sem-bilan hari
setelah menaiki kapal.
Semua legenda ini mengindikasikan
sebuah realitas sejarah yang konkret. Dalam sejarah, setiap masyarakat menerima
risalah, setiap insan menerima wahyu suci, sehingga banyak kaum yang mengetahui
peristi-wa Banjir Nuh. Sayangnya, begitu manusia berpaling dari esensi wahyu
suci, catatan tentang peristiwa banjir besar pun mengalami banyak per-ubahan
dan berubah menjadi legenda dan mitos.
Satu-satunya sumber bagi kita untuk
menemukan kisah sejati tentang Nuh dan kaum yang menolaknya adalah Al Quran,
yang merupakan sumber tunggal wahyu suci yang tidak mengalami perubahan.
Al Quran memberi kita keterangan yang
benar, tidak hanya tentang banjir Nuh, namun juga tentang pelbagai kaum dan
peristiwa sejarah lainnya. Pada bab-bab berikut kita akan meninjau kembali
kisah-kisah sejati ini.
Picture Text
WILAYAH BANJIR Menurut temuan
arkeologis, Banjir Nuh terjadi di dataran Mesopotamia. Dataran tersebut
dahulunya memiliki bentuk yang berbeda. Pada diagram di samping, perbatasan
dataran saat ini ditandai dengan garis putus-putus merah. Bagian luas yang
besar di belakang garis merah diketahui sebagai bagian dari laut pada saat itu.
Penggalian yang dilaku-kan Sir
Leonard Woolley di dataran Mesopotamia mengungkapkan adanya lapisan
lumpur-tanah liat setebal 2,5 m jauh di dalam bumi. Lapisan lumpur-tanah liat
ini kemungkinan besar terbentuk oleh massa tanah liat yang terbawa oleh air bah
dan, dari seluruh dunia, hanya terdapat di bawah dataran Meso-potamia. Penemuan
ini menjadi bagian bukti penting bahwa Banjir tersebut hanya terjadi di dataran
Mesopotamia.
Bab 2
kehidupan nabi ibrahim
“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan
bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi
menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan
orang yang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim adalah
orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad) serta orang-orang yang
beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang yang
beriman.”
(QS. Ali 'Imran, 3: 67-68) !
Nabi Ibrahim (Abraham) sering
disebutkan di dalam Al Quran dan mendapat tempat yang istimewa di sisi Allah
sebagai con-toh bagi manusia. Dia menyampaikan risalah Allah kepada umatnya
yang menyembah berhala, dan mengingatkan mereka agar takut kepada Allah. Kaum
Ibrahim tidak mendengarkan peringatan itu, bahkan menentangnya. Ketika
penindasan kaumnya meningkat, Ibrahim terpaksa menyingkir bersama istrinya,
Nabi Luth, dan beberapa orang pengikut. Ibrahim adalah keturunan Nuh. Al Quran
mengemukakan bahwa dia mengikuti ajaran Nabi Nuh.
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di
seluruh alam. Sesungguh-nya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik. Sesungguhnya dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang
beriman. Kemudian Kami tenggelamkan orang-orang yang lain. Dan sesungguhnya
Ibrahim benar-benar termasuk golong-annya (Nuh).” (QS. Ash-Shaaffaat, 37:
79-83) !
Pada masa Nabi Ibrahim, banyak orang
yang menghuni dataran Me-sopotamia bagian Tengah dan Timur Anatolia menyembah
langit dan bintang-bintang. Dewa yang terpenting adalah "Sin", sang
dewa bulan. Ia digambarkan sebagai sesosok manusia berjenggot panjang, memakai
pa-kaian panjang bergambar bulan sabit. Mereka juga membuat gambar-gambar
timbul dan patung-patung dari tuhan mereka dan menyembah-nya. Inilah sistem
kepercayaan yang berkembang subur di Timur Dekat, dan keberadaannya terpelihara
lama. Penduduk wilayah ini terus me-nyembah tuhan-tuhan tersebut hingga sekitar
tahun 600 M. Akibat-nya, di daerah yang membentang dari Mesopotamia hingga ke
kedalaman Anatolia, banyak terdapat bangunan yang dikenal sebagai “zigurat”,
yang digunakan sebagai pengamat bintang sekaligus kuil peribadatan, dan di
sinilah beberapa tuhan, terutama dewa bulan yang bernama “Sin” disembah12.
Bentuk kepercayaan ini, sekarang
hanya dapat ditemukan dalam penggalian arkeologis. Sebagaimana disebutkan dalam
Al Quran, Ibra-him menolak penyembahan tuhan-tuhan tersebut dan menyembah Allah
semata, satu-satunya Tuhan yang sebenarnya. Dalam Al Quran, jalan hidup Ibrahim
digambarkan sebagai berikut :
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim
berkata kepada bapaknya Aazar: “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala
sebagai tuhan-tu-han? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan
yang nyata.”
Dan demikianlah Kami perlihatkan
kepada Ibrahim tanda-tanda ke-agungan (Kami yang terdapat) di langit dan di
bumi, dan (Kami mem-perlihatkannya) agar dia termasuk orang-orang yang yakin.
Ketika malam telah menjadi gelap, dia
melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”.
Kemudian tatkala dia melihat bulan
terbit, dia berkata: “Inilah tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia
berkata: “Sesung-guhnya jika Tuhanku tidak memberikan petunjuk kepadaku
pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”.
Kemudian tatkala dia melihat matahari
terbit, dia berkata: “Inilah tuhanku, ini lebih besar”, maka tatkala matahari
itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan.
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku
kepada Tuhan yang mencip-takan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang memperseku-tukan Tuhan.”
(QS. Al An'aam, 6: 74-79) !
Dalam Al Quran, tempat kelahiran
Ibrahim dan tempat tinggalnya tidak disebutkan secara detail. Tetapi
diisyaratkan bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Luth hidup berdekatan dan sezaman,
dengan fakta bahwa malaikat yang diutus kepada kaum Luth mendatangi Ibrahim dan
mem-beri kabar gembira kepada istrinya tentang kelahiran seorang bayi
laki-laki, sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju Nabi Luth.
Hal penting tentang Nabi Ibrahim
dalam Al Quran yang tidak dise-butkan dalam Perjanjian Lama adalah tentang
pembangunan Ka’bah. Dalam Al Quran, kita diberi tahu bahwa Ka’bah dibangun oleh
Ibrahim dan putranya Ismail. Sekarang ini, satu-satunya hal yang diketahui oleh
ahli sejarah tentang Ka’bah adalah bahwa Ka'bah merupakan tempat suci sejak
dahulu sekali. Adapun penempatan berhala-berhala dalam Ka’bah semasa jahiliyah
sebelum diutusnya Nabi Muhammad merupakan akibat dari kemunduran dan
penyimpangan atas agama suci ilahi yang pernah diwahyukan kepada Nabi Ibrahim.
Ibrahim dalam Perjanjian Lama
Perjanjian Lama kemungkinan besar
merupakan sumber paling deta-il tentang Ibrahim, meskipun banyak di antaranya
mungkin tidak dapat dipercaya. Menurut penuturan Perjanjian Lama, Ibrahim lahir
sekitar 1900 SM di kota Ur, salah satu kota terpenting saat itu, yang berlokasi
di tenggara dataran Mesopotamia. Pada saat lahir, ia belum bernama
"Abra-ham", tetapi "Abram". Namanya kemudian diubah oleh
Tuhan (Yahweh).
Pada suatu hari, menurut Perjanjian
Lama, Tuhan menyuruh Ibrahim mengadakan perjalanan meninggalkan negeri dan
kaumnya, menuju suatu negeri yang tidak pasti dan memulai sebuah masyarakat
baru di sa-na. Abram, saat itu berusia 75 tahun, mematuhi panggilan itu dan
melaku-kan perjalanan bersama istrinya yang mandul yang bernama Sarai -
kemudian dikenal sebagai “Sarah”, yang berarti putri raja - dan Luth, putra
saudaranya. Dalam perjalanan menuju ke "Tanah Terpilih" mereka
singgah sebentar di Harran dan kemudian melanjutkan perjalanan. Keti-ka sampai
di tanah Kanaan yang dijanjikan Tuhan kepada mereka, mere-ka diberi tahu bahwa
tempat tersebut dipilihkan khusus dan dianugerah-kan buat mereka. Ketika
mencapai usia 99 tahun, Abram membuat perjan-jian dengan Tuhan dan namanya
diubah menjadi Abraham. Dia mening-gal pada usia 175 tahun dan dikebumikan
dalam gua Machpelah dekat kota Hebron (Al Khalil) di Tepi Barat, yang saat ini
berada di bawah pendudukan Israel. Tanah yang dibeli Ibrahim dengan sejumlah
uang tersebut merupakan milik pertama ia dan keluarganya di Tanah yang
Dijanjikan itu.
Tempat Kelahiran Ibrahim Menurut Perjanjian Lama
Di mana Ibrahim dilahirkan senantiasa
menjadi perdebatan. Semen-tara orang Nasrani dan Yahudi menyatakan bahwa
Ibrahim dilahirkan di Selatan Mesopotamia, pemikiran yang lazim dalam dunia
Islam adalah bahwa tempat kelahirannya berada di sekitar Urfa-Harran. Beberapa
penemuan baru menunjukkan bahwa pendapat kaum Yahudi dan Nas-rani tidaklah mencerminkan
kebenaran yang seutuhnya.
Orang Yahudi dan Nasrani menyandarkan
pendapat mereka pada Perjanjian Lama, karena di dalamnya Ibrahim dikatakan
telah dilahirkan di kota Ur sebelah selatan Mesopotamia. Setelah lahir dan
dibesarkan di kota ini, Ibrahim diceritakan menempuh perjalanan menuju Mesir,
dan mencapainya setelah perjalanan panjang yang melewati wilayah Harran di
Turki.
Namun, sebuah manuskrip Perjanjian
Lama yang ditemukan baru-baru ini, telah memunculkan keraguan yang serius
tentang kesahihan informasi di atas. Dalam manuskrip berbahasa Yunani dari
sekitar abad ketiga SM ini, yang dianggap sebagai salinan tertua dari
Perjanjian Lama yang pernah ditemukan, “Ur” tidak pernah disebutkan. Hari ini
banyak peneliti Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa kata “Ur” tidak akurat
atau merupakan tambahan belakangan. Ini berarti Ibrahim tidak dilahir-kan di
kota Ur dan mungkin juga tidak pernah berada di wilayah Meso-potamia sepanjang
hidupnya.
Di samping itu, nama-nama beberapa
tempat, serta daerah yang di-tunjukkannya, telah berubah karena perkembangan
zaman. Saat ini, dataran Mesopotamia umumnya merujuk kepada tepi selatan
daratan Irak, di antara sungai Eufrat dan Tigris. Namun, dua alaf silam, daerah
Mesopotamia menunjuk sebuah daerah lebih ke utara, bahkan hingga sejauh Harran,
dan membentang ke daerah Turki saat ini. Oleh karena itu, sekalipun kita
menerima ungkapan “dataran Mesopotamia” dalam Perjanjian Lama, tetap saja
keliru jika menganggap Mesopotamia dua alaf yang lalu dan Mesopotamia hari ini
sebagi tempat yang persis sama.
Bahkan jika ada keraguan serius dan
ketidaksepakatan tentang kota Ur sebagai tempat kelahiran Ibrahim, terdapat
sebuah persetujuan ber-sama tentang fakta bahwa Harran dan daerah sekitarnya
merupakan tempat tinggal Nabi Ibrahim. Lebih dari itu, penelitian singkat
terhadap isi Perjanjian Lama sendiri memunculkan beberapa informasi yang
men-dukung pandangan bahwa tempat kelahiran Nabi Ibrahim adalah Harran.
Misalnya, dalam Perjanjian Lama, daerah Harran ditunjuk seba-gai “daerah Aram”
(Kejadian, 11: 31 dan 28: 10). Disebutkan bahwa mereka yang berasal dari
keluarga Ibrahim adalah “anak-anak dari se-orang Arami” (Deutoronomi, 26: 5).
Penyebutan Ibrahim sebagai “se-orang Arami” menunjukkan bahwa ia hidup di
daerah ini.
Dalam berbagai sumber Islam, terdapat
bukti kuat bahwa tempat kela-hiran Ibrahim adalah Harran dan Urfa. Di Urfa yang
disebut dengan "kota para nabi" terdapat banyak cerita dan legenda
tentang Ibrahim.
Mengapa Perjanjian Lama Diubah?
Perjanjian Lama dan Al Quran
tampaknya hampir-hampir meng-gambarkan dua orang sosok nabi yang berbeda,
bernama Abraham dan Ibrahim. Dalam Al Quran, Ibrahim diutus sebagai rasul bagi
suatu kaum penyembah berhala. Kaum Ibrahim menyembah langit, bintang-bintang
dan bulan, serta berbagai berhala. Dia berjuang melawan kaumnya, men-coba
membuat mereka meninggalkan kepercayaan-kepercayaan takhyul, dan tidak
terhindarkan, membangkitkan permusuhan dari seluruh ka-umnya, termasuk ayahnya
sendiri.
Ternyata, tidak ada satu pun dari hal
di atas diceritakan dalam Per-janjian Lama. Dilemparkannya Ibrahim ke dalam
api, penghancuran ber-hala-berhala kaumnya, tidak disebutkan dalam Perjanjian
Lama. Secara umum Ibrahim digambarkan sebagai nenek moyang bangsa Yahudi da-lam
Perjanjian Lama. Nyatalah bahwa pandangan dalam Perjanjian Lama ini dibuat oleh
para pemimpin bangsa Yahudi yang berusaha mengang-kat konsep “ras” ke
permukaan. Bangsa Yahudi percaya bahwa mereka adalah kaum yang dipilih Tuhan
untuk selama-nya dan diberi keunggul-an. Mereka dengan sengaja dan penuh hasrat
mengubah kitab suci me-reka dan membuat berbagai penambahan serta pengurangan
berdasar-kan keyakinan ini. Inilah sebabnya mengapa Ibrahim digambarkan sebagai
nenek moyang bangsa Yahudi belaka dalam Perjanjian Lama.
Orang Nasrani yang mempercayai
Perjanjian Lama, menganggap Ibrahim sebagai nenek moyang bangsa Yahudi, namun
dengan satu per-bedaan: Menurut mereka, Ibrahim bukanlah seorang Yahudi
melainkan seorang Nasrani. Orang Nasrani yang tidak begitu memperhatikan
kon-sep ras sebagaimana Yahudi, mempertahankan pandangan ini dan hal tersebut
menjadi salah satu penyebab perbedaan dan pertentangan di antara kedua agama
ini. Allah memberi penjelasan atas perdebatan terse-but dalam Al Quran sebagai
berikut :
“Hai ahli kitab, mengapa kamu
bantah-membantah tentang hal Ibra-him, padahal Taurat dan Injil tidak
diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir?
Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya)
bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah
membantah dalam hal yang tidak kamu ketahui; Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui.
Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan
bukan (pula) seorang Nasrani akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi
menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan
orang yang musyrik.
Sesungguhnya orang yang paling dekat
kepada Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad)
serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung
semua orang-orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imran , 3: 65-68) !
Dalam Al Quran, sangat berbeda
dengan yang ditulis dalam Per-janjian Lama, Ibrahim adalah seseorang yang
memperingatkan kaumnya agar mereka takut kepada Allah, serta berjuang melawan
mereka karena itu. Sejak masa mudanya, ia memperingatkan kaumnya yang
menyem-bah berhala-berhala, agar menghentikan perbuatan itu. Sebagai balasan,
mereka berupaya membunuh Ibrahim. Setelah terhindar dari kejahatan kaumnya,
maka Ibrahim akhirnya berimigrasi.
Picture Text
Pada masa Nabi Ibrahim, agama
politheisme menyebar di wilayah Mesopotamia. Sang Dewa Bulan "Sin",
merupakan salah satu berhala yang paling penting. Orang-orang membuat patung
dari tuhan-tuhan mereka dan menyembahnya. Di atas tampak patung Sin. Bentuk bulan
sabit terlihat jelas pada dada patung tersebut.
Zigurat, yang digunakan baik sebagai
kuil atau tempat pengamatan bintang, merupakan bangunan yang dibuat dengan
teknik paling maju pada masa itu. Bintang, bulan, dan matahari menjadi objek
utama penyembahan, dan karenanya, langit merupakan hal sangat penting. Di
sebelah kiri dan bawah adalah zigurat utama bangsa Mesopotamia.
Bab 3
Kaum Nabi Luth dan Kota
yang Dijungkirbalikkan
“Kaum Luth pun telah mendustakan
ancaman-ancaman (Nabinya). Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka
angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth.
Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing, sebagai nikmat dari
Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Dan
sesungguhnya dia (Luth) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami, maka
mereka mendustakan ancaman-ancaman itu.”
(QS. Al Qamar, 54: 33-36) !
Luth hidup semasa dengan Ibrahim.
Luth diutus sebagai rasul atas salah satu kaum tetangga Ibrahim. Kaum ini,
sebagaimana di-utarakan oleh Al Quran, mempraktikkan perilaku menyimpang yang
belum dikenal dunia saat itu, yaitu sodomi. Ketika Luth menyeru mereka untuk
menghentikan penyimpangan tersebut dan menyampai-kan peringatan Allah, mereka
mengabaikannya, mengingkari kenabi-annya, dan meneruskan penyimpangan mereka.
Pada akhirnya kaum ini dimusnahkan dengan bencana yang mengerikan.
Kota kediaman Luth, dalam Perjanjian
Lama disebut sebagai kota Sodom. Karena berada di utara Laut Merah, kaum ini
diketahui telah di-hancurkan sebagaimana termaktub dalam Al Quran. Kajian
arkeologis mengungkapkan bahwa kota tersebut berada di wilayah Laut Mati yang
terbentang memanjang di antara perbatasan Israel-Yordania.
Sebelum mencermati sisa-sisa dari
bencana ini, marilah kita lihat mengapa kaum Luth dihukum seperti ini. Al Quran
menceritakan bagai-mana Luth memperingatkan kaumnya dan apa jawaban mereka:
“Kaum Luth telah mendustakan rasulnya,
ketika saudara mereka Luth, berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak
bertakwa?”. Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus)
kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku
sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah
dari Tuhan semesta alam. Mengapa ka-mu mendatangi jenis lelaki di antara
manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan Tuhanmu untukmu, bahkan
kamu adalah orang-orang yang melampaui batas. Mereka menjawab “Hai Luth,
sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang yang
diusir”. Luth berkata ‘Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu ‘.”
(QS. Asy-Syu’araa’, 26: 160-168 ) !
Sebagai jawaban atas ajakan ke jalan
yang benar, kaum Luth justru mengancamnya. Kaumnya membenci Luth karena ia
menunjuki mereka jalan yang benar, dan bermaksud menyingkirkannya dan
orang-orang yang beriman bersamanya. Dalam ayat lain, kejadian ini dikisahkan
se-bagai berikut:
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth
(kepada kaumnya). (Ingatlah ) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu
mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang
pun (di dunia ini) sebelummu?”. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk
melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini
adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan:
“Usirlah mereka (Luth dan para pengikutnya) dari kotamu ini, sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri .” (QS. Al A'raaf,
7: 80-82) !
Luth menyeru kaumnya kepada sebuah
kebenaran yang begitu nyata dan memperingatkan mereka dengan jelas, namun
kaumnya sama sekali tidak mengindahkan peringatan macam apa pun dan terus
menolak Luth dan tidak mengacuhkan azab yang telah ia sampaikan kepada mereka:
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata
kepada kaumnya: “Sesungguh-nya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat
keji yang sebelumnya belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat
sebelum kamu”. Apakah sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki, menyamun, dan
mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” Maka jawaban kaumnya
tidak lain hanya menga-takan: “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu
termasuk orang-orang yang benar.” ( QS. Al ‘Ankabuut, 29: 28-29) !
Karena menerima jawaban sedemikian
dari kaumnya, Luth meminta pertolongan kepada Allah.
“Ia berkata: “Ya Tuhanku, tolonglah aku
(dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.” (QS. Al
‘Ankabuut, 29: 30) !
“Ya Tuhanku, selamatkanlah aku
beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” ( QS.
Asy-Syu’araa’, 26:169) !
Atas doa Luth tersebut, Allah
mengirimkan dua malaikat dalam wu-jud manusia. Kedua malaikat ini mengunjungi
Ibrahim sebelum menda-tangi Luth. Di samping membawa kabar gembira kepada
Ibrahim bahwa istrinya akan melahirkan seorang jabang bayi, kedua utusan itu
menjelas-kan alasan pengiriman mereka: Kaum Luth yang angkara akan
dihan-curkan:
“Ibrahim bertanya, “Apakah urusanmu hai
para utusan?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang
berdosa (kaum Luth), agar kami timpakan kepada mereka batu-batu dari tanah yang
(keras), yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk (membi-nasakan) orang-orang yang
melampaui batas.” (QS. Adz-Dzaariyaat, 51: 31-34) !
“Kecuali Luth beserta
pengikut-pengikutnya. Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan mereka semuanya,
kecuali istrinya. Kami telah menentukan bahwa sesungguhnya ia itu termasuk
orang-orang yang tertinggal (bersama-sama dengan orang kafir lainnya).” (QS. Al
Hijr, 15: 59-60) !
Setelah meninggalkan Ibrahim, para
malaikat yang dikirim sebagai utusan lalu mendatangi Luth. Karena belum pernah
bertemu utusan sebe-lumnya, Luth awalnya merasa khawatir, namun kemudian ia
merasa te-nang setelah berbicara dengan mereka.
“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami
(para malaikat) itu kepa-da Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya
karena keda-tangan mereka, dan dia berkata, “Inilah hari yang amat sulit.” (QS.
Huud, 11: 77) !
“Ia berkata: “Sesungguhnya kamu adalah
orang-orang yang tidak di-kenal”. Para utusan menjawab: “Sebenarnya kami ini
datang kepa-damu dengan membawa azab yang selalu mereka dustakan. Dan ka-mi
datang kepadamu membawa kebenaran dan sesungguhnya kami betul-betul orang yang benar.
Maka pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu, dan ikutilah
mereka dari belakang dan janganlah seorang pun di antara kamu menoleh ke
belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang diperintahkan kepadamu”. Dan
Kami telah wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bah-wa mereka akan
ditumpas habis di waktu subuh.” (QS. Al Hijr, 15 : 62-66) !
Sementara itu, kaum Luth telah
mengetahui bahwa ia kedatangan tamu. Mereka tidak ragu-ragu untuk mendatangi
tamu-tamu tersebut de-ngan niat buruk sebagaimana terhadap yang lain-lain
sebelumnya. Mere-ka mengepung rumah Luth. Karena khawatir atas keselamatan
tamunya, Luth berbicara kepada kaumnya sebagai berikut:
“Luth berkata: “Sesungguhnya mereka
adalah tamuku; maka jangan-lah kamu memberi malu (kepadaku), dan bertakwalah
kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina.” (QS. Al Hijr, 15 : 68-69)
!
Kaum Luth menjawab dengan marah:
“Mereka berkata: “Dan bukankah kami
telah melarangmu dari (me-lindungi) manusia.” (QS. Al Hijr, 15: 70) !
Merasa bahwa ia dan tamunya akan
mendapatkan perlakuan keji, Luth berkata:
“Seandainya aku mempunyai kekuatan
(untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat
(tentu akan aku lakukan).” (QS. Huud, 11: 80) !
“Tamu”-nya mengingatkannya bahwa
sesungguhnya mereka adalah utusan Allah dan berkata:
“Para utusan (malaikat) berkata: ”Hai
Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak
akan da-pat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan
pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang
tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa
mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu
subuh; bukankah subuh itu sudah dekat ?“ (QS. Huud, 11 : 81) !
Ketika kelakuan jahat warga kota
memuncak, Allah menyelamatkan Luth dengan perantaraan malaikat. Pagi harinya,
kaum Luth dihancur-leburkan dengan bencana yang sebelumnya telah ia sampaikan.
“Dan sesungguhnya mereka telah
membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata
mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Dan sesungguhnya pada
esok harinya mereka ditimpa azab yang kekal.” (QS. Al Qamar, 54: 37-38) !
Ayat yang menerangkan penghancuran
kaum ini sebagai berikut :
“Maka mereka dibinasakan oleh suara
keras yang mengguntur, keti-ka matahari akan terbit. Maka kami jadikan bahagian
atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu belerang
yang keras. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Kami) bagi orang-orang yang meperhatikan tanda-tanda. Dan sesungguhnya kota itu
benar-benar terletak di jalan yang masih tetap (dilalui manusia).” (QS. Al
Hijr, 15: 73-76) !
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami
jadikan negeri kaum Luth itu yang atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami
hujani mereka dengan (batu belerang) tanah yang terbakar secara bertubi-tubi,
yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang
yang zalim.” (QS. Huud, 11: 82-83) !
“Kemudian Kami binasakan yang lain,
dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu belerang), maka amat kejamlah hujan
yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu. Sesungguh-nya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti yang nyata. Dan adalah
kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesung-guhnya Tuhanmu, benar-benar Dialah
Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 172-175) !
Ketika kaum tersebut dihancurkan,
hanya Luth dan pengikutnya, yang tidak lebih dari “sebuah keluarga”, yang
diselamatkan. Istri Luth sendiri juga tidak percaya, dan ia juga dihancurkan.
“Dan (Kami juga yang telah mengutus)
Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa
kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerja-kan oleh
seorang pun (di dunia ini) sebelumnya?”. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki
untuk melepaskan nafsumu (kepada mere-ka), bukan kepada wanita, malah kamu ini
adalah kaum yang me-lampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan:
“Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang berpura-pura me-nyucikan diri”. Kemudian Kami
selamatkan dia dan pengikut-pengi-kutnya kecuali istrinya; dia termasuk
orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka
hujan (batu belerang), maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
memperturutkan dirinya dengan dosa dan kejahatan itu.” (QS. Al A'raaf, 7:
80-84) !
Demikianlah, Nabi Luth diselamatkan
bersama para pengikut dan keluarganya, kecuali istrinya. Sebagaimana disebutkan
dalam Perjanjian Lama, ia (Luth) berimigrasi bersama Ibrahim. Akan halnya kaum yang
sesat itu, mereka dihancurkan dan tempat tinggal mereka diratakan de-ngan
tanah.
"Tanda-Tanda yang
Nyata" di Danau Luth
Ayat ke-82 Surat Huud dengan jelas
menyebutkan jenis bencana yang menimpa kaum Luth. “Maka tatkala datang azab
Kami, Kami jadikan negeri Kaum Luth itu yang atas ke bawah (Kami balikkan), dan
Kami hujani mereka dengan (batu belerang) tanah yang terbakar secara
bertubi-tubi.”
Pernyataan “menjungkirbalikkan
(kota)” bermakna kawasan terse-but diluluhlantakkan oleh gempa bumi yang dahsyat.
Sesuai dengan ini, Danau Luth, tempat penghancuran terjadi, mengandung bukti
“nyata” dari bencana tersebut.
Kita kutip apa yang di-katakan oleh
ahli arkeologi Jerman bernama Werner Keller, sebagai berikut:
Bersama dengan dasar dari retakan
yang sangat lebar ini, yang persis me-lewati daerah ini, Lembah Siddim,
termasuk Sodom dan Gomorrah, dalam sa-tu hari terjerumus ke ke-dalaman.
Kehancuran mereka terjadi melalui se-buah peristiwa gempa bu-mi dahsyat yang
mung-kin disertai dengan letus-an, petir, keluarnya gas alam serta lautan
api.13
Malahan, Danau Luth, atau yang lebih
dikenal dengan Laut Mati, ter-letak tepat di puncak suatu kawasan seismik
aktif, yaitu daerah gempa bumi:
Dasar dari Laut Mati berdekatan
dengan runtuhan yang berasal dari peristi-wa tektonik. Lembah ini terletak pada
sebuah tegangan yang merentang antara Danau Taberiya di Utara dan tengah-tengah
Danau Arabah di Selatan.14
Peristiwa tersebut dilukiskan dengan
“Kami menghujani mereka de-ngan batu belerang keras sebagaimana tanah liat yang
terbakar secara bertubi-tubi” pada bagian akhir ayat. Ini semua mungkin berarti
letusan gunung api yang terjadi di tepian Danau Luth, dan karenanya cadas dan
batu yang meletus berbentuk “terbakar“ (kejadian serupa diceritakan da-lam ayat
ke-173 Surat Asy-Syu’araa’ yang menyebutkan: “Kami menghu-jani mereka (dengan
belerang), maka amat kejamlah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi
peringatan itu.“)
Berkaitan dengan hal ini, Werner
Keller menulis :
Pergeseran patahan membangkitkan
tenaga vulkanik yang telah tertidur lama sepanjang patahan. Di lembah yang
tinggi di Jordania dekat Bashan masih terdapat kawah yang menjulang dari gunung
api yang sudah mati; bentangan lava yang luas dan lapisan basal yang dalam yang
telah terdeposit pada permukaan batu kapur.15
Lava dan lapisan basal merupakan
bukti terbesar bahwa letusan gu-nung api dan gempa bumi pernah terjadi di sini.
Bencana yang dilukiskan dengan ungkapan “Kami menghujani mereka dengan batu
belerang keras sebagaimana tanah liat yang terbakar secara bertubi-tubi“ dalam
Al Quran besar kemungkinan menunjuk letusan vulkanis ini, dan Allah-lah Yang
Mahatahu. Ungkapan “Ketika firman Kami telah terbukti, Kami jungkir-balikkan
(kota)“, dalam ayat yang sama, mestilah menunjuk pada gempa bumi yang meng-akibatkan
letusan gunung api di atas permukaan bu-mi dengan akibat yang dahsyat, serta
retakan dan reruntuhan yang diaki-batkannya, dan hanya Allah yang mengetahui
kebenarannya.
“Tanda-tanda nyata” yang disampaikan
oleh Danau Luth tentu sangat menarik. Umum
nya, ke-jadian yang diceritakan dalam Al Quran terjadi di Timur Tengah,
Jazirah Arab, dan Mesir. Tepat di tengah-tengah semua ka-wasan ini terletak
Danau Luth. Danau Luth, serta sebagian peristiwa yang terjadi di sekitarnya,
pa-tut mendapat perhatian secara geologis. Danau tersebut diperkirakan berada
400 meter di bawah permukaan Laut Tengah. Karena lokasi ter-dalam dari danau
tersebut adalah 400 meter, dasarnya berada di keda-laman 800 meter di bawah
Laut Tengah. Inilah titik yang terendah di seluruh permukaan bumi. Di daerah
lain yang lebih rendah dari permu-kaan laut, paling dalam adalah 100 meter.
Sifat lain dari Danau Luth adalah kandungan garamnya yang sangat tinggi,
kepekatannya hampir mencapai 30%. Oleh karena itu, tidak ada organisme hidup,
semacam ikan atau lumut, yang dapat hidup di dalam danau ini. Hal inilah yang
menyebabkan Danau Luth dalam literatur-literatur Barat lebih sering disebut
sebagai “ Laut Mati”.
Kejadian yang menimpa kaum Luth, yang
disebutkan dalam Al Quran berdasarkan perkiraan terjadi sekitar 1.800 SM.
Berdasarkan pada penelitian arkeologis dan geologis, peneliti Jerman Werner
Keller mencatat bahwa kota Sodom dan Gomorah benar-benar berada di lembah
Siddim yang merupakan daerah terjauh dan terendah dari Danau Luth, dan bahwa pernah
terdapat situs yang besar dan dihuni di daerah itu.
Karakteristik paling menarik dari
struktur Danau Luth adalah bukti yang menunjukkan bagaimana peristiwa bencana
yang diceritakan dalam Al Quran terjadi:
Pada pantai timur Laut Mati,
semenanjung Al Lisan menjulur seperti lidah jauh ke dalam air. Al Lisan berarti
"lidah" dalam ba-hasa Arab. Dari daratan tidak tampak bahwa tanah
berguguran di bawah permukaan air pada su-dut yang sangat luar biasa,
me-misahkan laut menjadi dua ba-gian. Di sebelah kanan semenan-jung, lereng
menghunjam tajam ke kedalaman 1200 kaki. Di sebe-lah kiri semenanjung, secara
luar biasa kedalaman air tetap dang-kal. Penelitian yang dilakukan beberapa
tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kedalam-annya hanya berkisar antara 50 - 60
kaki. Bagian dangkal yang luar biasa dari Laut Mati ini, mulai dari semenanjung
Al Lisan sampai ke ujung paling Selatan, dulunya merupakan Lembah Siddim16.
Werner Keller menenggarai bahwa
bagian dangkal ini, yang ditemu-kan terbentuk belakangan, merupakan hasil dari
gempa bumi dahsyat yang telah disebutkan di atas. Di sinilah Sodom dan Gomorah
berada, yakni tempat kaum Luth pernah hidup.
Suatu ketika, daerah ini dapat
dilintasi dengan berjalan kaki. Namun sekarang, Lembah Siddim, tempat Sodom dan
Gomorah dahulunya ber-ada, ditutupi oleh permukaan datar bagian Laut Mati yang
rendah. Ke-runtuhan dasar danau akibat bencana alam mengerikan yang terjadi di
awal alaf kedua sebelum Masehi mengakibatkan air garam dari utara mengalir ke
rongga yang baru terbentuk ini dan memenuhi lembah sungai dengan air asin.
Jejak-jejak Danau Luth dapat
terlihat.... Jika seseorang bersampan me-lintasi Danau Luth ke titik paling
utara dan matahari sedang bersinar pada arah yang tepat, maka ia akan melihat
sesuatu yang sangat me-nakjubkan. Pada jarak tertentu dari pantai dan jelas
terlihat di bawah permukaan air, tampaklah gambaran bentuk hutan yang diawetkan
oleh kandungan garam Laut Mati yang sangat tinggi. Batang dan akar di bawah air
yang berwarna hijau berkilauan tampak sangat kuno. Lembah Siddim, di mana
pepohonan ini dahulu kala bermekaran daunnya menutupi batang dan ranting
merupakan salah satu tempat terindah di daerah ini. Aspek mekanis dari bencana
yang menimpa kaum Luth diungkapkan oleh para peneliti geologi. Mereka mengungkapkan
bahwa gempa bumi yang menghancurkan kaum Luth terjadi sebagai akibat rekahan
yang sangat panjang di dalam kerak bumi (garis patahan) sepan-jang 190 km yang
membentuk dasar sungai Sheri’at. Sungai Sheri’at membuat air terjun sepanjang
180 meter keseluruhannya. Kedua hal ini dan fakta bahwa Danau Luth berada 400
meter di bawah permukaan laut adalah dua bukti penting yang menunjukkan bahwa
peristiwa geologis yang sangat hebat pernah terjadi di sini.
Struktur Sungai Sheri’at dan Danau
Luth yang menarik hanya merupakan sebagian kecil dari re-kahan atau patahan
yang melintas dari kawasan bumi tersebut. Kon-disi dan panjang rekahan ini baru
ditemukan akhir-akhir ini.
Rekahan tersebut berawal da-ri tepian
Gunung Taurus, meman-jang ke pantai selatan Danau Luth dan berlanjut melewati
Gurun Arabia ke Teluk Aqaba dan terus melintasi Laut Merah, dan ber-akhir di
Afrika. Di sepanjangnya teramati kegiatan-kegiatan vulkanis yang kuat. Batuan
basal hitam dan lava terdapat di Gunung Galilea di Israel, daerah dataran tinggi
Yordan, Teluk Aqaba, dan daerah sekitarnya.
Seluruh reruntuhan dan bukti
geografis tersebut menunjukan bahwa bencana geologis dahsyat pernah terjadi di
Danau Luth. Werner Keller menulis:
Bersama dengan dasar dari retakan
yang sangat lebar ini, yang persis me-lewati daerah ini, Lembah Siddim,
termasuk Sodom dan Gomorrah, dalam satu hari terjerumus ke kedalaman.
Kehancuran mereka terjadi melalui sebu-ah peristiwa gempa bumi dahsyat yang
mungkin disertai dengan letusan, petir, keluarnya gas alam serta lautan api.
Pergeseran patahan membang-kitkan tenaga vulkanik yang telah tertidur lama
sepanjang patahan. Di lembah yang tinggi di Jordania dekat Bashan masih
terdapat kawah yang menjulang dari gunung api yang sudah mati; bentangan lava
yang luas dan lapisan basal yang dalam yang telah terdeposit pada permukaan
batu kapur.17
National Geographic edisi Desember
1957 menyatakan sebagai berikut:
Gunung Sodom, tanah gersang dan
tandus muncul secara tajam di atas Laut Mati. Belum pernah seorang pun
menemukan kota Sodom dan Gomorrah yang dihancurkan, namum para akademisi
percaya bahwa mereka berada di lembah Siddim yang melintang dari tebing terjal
ini. Kemungkinan air bah dari Laut Mati menelan mereka setelah gempa bumi.18
Pompei Berakhir Serupa
Al Quran memberi tahu kita dalam ayat
berikut bahwa tidak ada perubahan dalam hukum Allah.
“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah
dengan sekuat-kuatnya sumpah; sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang
pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu
umat-umat (yang lain). Tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, maka
kedatangannya itu tidak menambah kepada mere-ka, kecuali jauhnya mereka dari
(kebenaran), karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana
(mereka) yang jahat. Ren-cana itu tidak akan menimpa selain orang yang
merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan
(berlaku-nya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang
ter-dahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan menemui penyimpangan bagi sunnah
Allah.” (QS. Faathir, 35: 42-43) !
Ya, “tidak akan ditemukan
perubahan dalam sunnah Allah”. Siapa pun, yang menentang hukum-Nya dan
memberontak terhadap-Nya, akan menghadapi hukum suci yang sama. Pompei, sebuah
simbol keme-rosotan Kekaisaran Romawi, juga melakukan perilaku seksual
menyim-pang. Kesudahannya pun serupa dengan kaum Luth.
Kehancuran Pompei disebabkan oleh
letusan gunung Vesuvius.
Gunung Vesuvius adalah simbol bagi
Italia, terutama kota Naples. Karena berdiam diri selama dua ribu tahun
terakhir, Vesuvius dinamai “Gunung Peringatan”. Gunung ini dinamai demikian
bukannya tanpa sebab. Bencana yang menimpa Sodom dan Gomorrah sangat mirip
dengan bencana yang menghancurkan Pompei.
Di sebelah kanan Vesuvius terletak
kota Naples dan di sebelah timur terletak Pompei. Lava dan debu dari letusan
vulkanis dahsyat yang terjadi dua alaf yang lalu memerangkap warga kota
tersebut. Bencana tersebut terjadi begitu tiba-tiba, sehingga segala sesuatu di
kota itu terperangkap di tengah kehidupan sehari-hari dan hingga kini tetap
seperti apa adanya dua alaf yang lalu. Seolah waktu telah dibekukan.
Pemusnahan Pompei dari muka bumi
dengan bencana seperti ini bu-kan tanpa alasan. Catatan historis menunjukkan
bahwa kota tersebut ada-lah sarang foya-foya dan perilaku menyimpang. Kota ini
dikenal dengan meningkatnya pelacuran begitu tinggi sampai-sampai jumlah rumah
bordil tidak terhitung lagi. Tiruan alat kelamin dalam ukuran aslinya
di-gantungkan di depan pintu-pintu rumah bordil. Menurut tradisi yang ber-akar
dari kepercayaan Mithra ini, organ seksual dan persetubuhan tidak seharusnya
disembunyikan, namun diper-tontonkan secara terang-terangan.
Namun lava Vesuvius telah menyapu
bersih seluruh kota dari peta dengan seke-tika. Segi yang paling menarik dari
peris-tiwa ini adalah bahwa tidak ada seorang pun melarikan diri walau demikian
he-bohnya letusan Vesuvius. Sepertinya me-reka sama sekali tidak menyadari
bencana tersebut, seolah-olah mereka sedang ter-kena mantra. Sebuah keluarga
yang sedang menyantap makanan mereka membatu saat itu juga. Banyak pasangan
ditemukan membatu dalam keadaan se-dang berhubungan badan. Hal yang pa-ling
menarik adalah bahwa terdapat pa-sangan berjenis kelamin sama dan pasang-an muda-mudi
yang masih kecil. Wajah dari beberapa jasad membatu yang digali dari Pompei
tidak rusak, ekspresi wajah-wajah tersebut pada umumnya menun-jukkan
kebingungan.
Di sinilah terdapat aspek yang paling
tak terpahami dari bencana itu. Bagaimana mungkin ribuan orang yang menunggu
untuk dijemput maut tanpa melihat dan mendengar apa pun?
Aspek ini menunjukkan bahwa musnahnya
Pompei mirip dengan peristiwa-peristiwa penghancuran yang disebutkan dalam Al
Quran, karena Al Quran secara jelas menyebutkan “pembinasaan yang tiba-tiba“
ketika menceritakan berbagai peristiwa itu. Sebagai contoh, “warga kota” yang
disebutkan dalam Surat Yaasiin mati seketika secara bersamaan. Keadaan ini
diceritakan dalam Surat Yaasiin ayat 29 sebagai berikut:
“Tidak ada siksaan atas mereka melainkan
satu teriakan saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati.”
Dalam ayat 31 Surat Al Qamar, sekali
lagi “pembinasaan seketika” ditekankan ketika penghancuran kaum Tsamud
dikisahkan:
“Sesungguhnya Kami menimpakan atas
mereka satu suara yang keras mengguntur, maka jadilah mereka seperti
rumput-rumput ke-ring (yang dikumpulkan oleh) yang punya kandang binatang.”
Kematian warga kota Pompei terjadi
seketika sebagaimana peristiwa-peristiwa yang diceritakan pada ayat-ayat di
atas.
Meskpun demikian, tidak banyak hal
yang berubah di tempat Pompei pernah berdiri. Daerah Naples, tempat terjadinya
kerusakan, tidak meng-alami yang terjadi di daerah Pompei yang tidak bermoral.
Kepulauan Capri adalah basis bagi kaum homoseksual dan kaum nudis bertempat tinggal.
Kepulauan Capri ditampilkan sebagai “surga homoseksual” da-lam iklan
pariwisata. Tidak hanya di kepulauan Capri dan di Italia saja, namun hampir di
seluruh dunia kemerosotan moral yang sama sedang terjadi, dan manusia tetap
berkeras untuk tidak mengambil pelajaran dari pengalaman mengerikan kaum-kaum
terdahulu.
Picture Text
Sebuah foto satelit dari daerah
tempat tinggal kaum Luth dahulu.
Danau Luth, atau disebut juga Laut
Mati.
Foto-foto Danau Luth yang diambil
dari satelit.
Sebuah ilustrasi yang menunjukkan
letusan gunung berapi dan keruntuhan yang mengikutinya, yang memusnahkan
seluruh kaum.
Pandangan jarak jauh dari Danau Luth
Pandangan atas dari pegunungan di
sekitar Danau Luth
Sisa-sisa dari kota yang terkubur ke
dalam danau, ditemukan di tepian danau. Peninggalan ini menunjukkan bahwa kaum
Luth telah memiliki standar hidup yang cukup tinggi.
Penghancuran kaum Luth telah
mengilhami banyak pelukis. Salah satunya seperti tampak di atas.
Gambar di atas menunjukkan kemewahan
dan kemakmuran kota Pompei sebelum terjadinya bencana.
Mayat-mayat membatu yang ditemukan
pada penggalian di Pompei.
Contoh lain dari mayat-mayat membatu
yang ditemukan
di antara reruntuhan Pompei.
Beberapa contoh lain dari mayat-mayat
membatu yang ditemukan di Pompei. Gambar di sebelah kiri adalah contoh yang
sangat tepat untuk menunjukkan betapa cepatnya bencana tersebut terjadi.
Bab
4
Kaum ’Ad dan Ubar,
“Atlantis di Padang Pasir”
“Adapun kaum ‘Ad, maka mereka telah
dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, Allah menimpakan
angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus; maka
kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul
pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka kamu tidak melihat seorang pun yang
tinggal di antara mereka.” (QS. Al Haaqqah, 69: 6-8) !
Kaum lain yang dimusnahkan dan
diberitakan dalam berbagai surat dalam Al Quran adalah kaum 'Ad, yang disebutkan
sete-lah kaum Nuh. Nabi Hud yang diutus untuk kaum ‘Ad meme-rintahkan mereka,
sebagaimana yang telah dilakukan nabi-nabi lainnya, untuk beriman kepada Allah
dengan tidak menyekutukan-Nya dan mematuhi dirinya sebagai nabi pada waktu itu.
Namun mereka menang-gapinya dengan rasa permusuhan. Ia didakwa sebagai seorang
bodoh, pembohong, dan berusaha mengubah apa yang telah dilakukan para leluhur
mereka.
Dalam Surat Hud semua hal yang
terjadi antara Hud dengan kaum-nya diceritakan secara terperinci:
“Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus)
saudara mereka Hud. Ia berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak
ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja.”
“Hai kaumku, aku tidak meminta upah
kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah
menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?”
Dan (dia berkata): ”Hai kaumku,
mohonlah ampun kepada Tuhan-mu, lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia
menurunkan hujan yang sangat deras atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan
kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.”
Kaum ‘Ad berkata: ”Hai Hud, kamu
tidak mendatangkan kepada ka-mi suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali
tidak akan mening-galkan sembahan-sembahan kami karena perbuatanmu, dan kami
tidak akan sekali-kali mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa
sebagian sembahan kami telah menimpakan pe-nyakit gila atas dirimu.”
Hud menjawab: “Sesungguhnya aku
bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu
jalan-kanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh
kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak
ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya.
Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.
Jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus
(untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum
yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikit
pun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu. “
Dan tatkala datang azab Kami, Kami
selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari
Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat.
Dan itulah (kisah) kaum ‘Ad yang
mengingkari tanda-tanda kekua-saan Tuhan mereka, dan mendurhakai rasul-rasul
Allah dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi
menantang (kebenaran).
Dan mereka selalu diikuti dengan
kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya
kaum ‘Ad itu kafir kepada Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum ‘Ad
(yaitu) kaum Hud itu.” (QS. Huud, 11: 50-60) !
Surat lain yang menyebutkan tentang
kaum ‘Ad adalah surat Asy-Syu’araa’. Dalam surat ini ditekankan beberapa
karakteristik dari kaum ‘Ad. Menurut surat ini kaum ‘Ad adalah kaum yang
“mendirikan ba-ngunan di setiap tempat yang tinggi” dan orang-orangnya
“membangun gedung-gedung yang indah dengan harapan mereka akan hidup di
dalamnya (selamanya)”. Disamping itu, mereka berbuat kejahatan dan berlaku
bengis. Ketika Hud memperingatkan kaumnya, mereka mengo-mentari kata-katanya
sebagai “kebiasaan kuno”. Mereka sangat yakin bahwa tidak ada hal yang akan
terjadi terhadap mereka.
“Kaum ‘Ad telah mendustakan para
rasul.
Ketika saudara mereka Hud berkata
kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertakwa?
Sesungguhnya aku adalah seorang
rasul; kepercayaan (yang diutus) kepadamu.
Maka bertakwalah kepada Allah dan
taatlah kepadaku. Dan sekali-kali aku tidak meminta upah kepadamu atas ajakan
itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.
Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap
tanah tinggi bangunan un-tuk bermain-main, dan kamu membuat benteng-benteng
dengan mak-sud supaya kamu kekal (di dunia)?
Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu
menyiksa sebagai orang-orang yang kejam dan bengis.
Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah
kepadaku.
Dan bertakwalah kepada Allah yang
telah menganugerahkan kepa-damu apa yang kamu ketahui.
Dia telah menganugerahkan kepadamu
binatang-binatang ternak dan anak-anak,
dan kebun-kebun dan mata air,
sesungguhnya aku takut kamu akan
ditimpa azab hari yang besar.”
Mereka menjawab: ”Adalah sama saja
bagi kami, apakah kamu memberi nasihat atau tidak memberi nasihat, (agama kami)
ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu, dan kami sekali-kali tidak
akan diazab”.
Maka mereka mendustakan Hud, lalu
Kami binasakan mereka. Se-sungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.
Dan sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang
Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 123-140) !
Kaum yang menunjukkan permusuhan
kepada Hud dan melawan Allah itu benar-benar dibinasakan. Badai pasir yang
mengerikan membi-nasakan kaum ‘Ad seakan-akan mereka “tidak pernah ada”.
Temuan Arkeologis di Kota Iram
Pada awal tahun 1990 muncul
keterangan pers dalam beberapa surat kabar terkemuka di dunia yang menyatakan
“Kota Legenda Arabia yang Hilang Telah Ditemukan”, “Kota Legenda Arabia
Ditemukan”, “Ubar, Atlantis di Padang Pasir.” Yang membuat temuan arkeologis ini
lebih menarik adalah kenyataan bahwa kota ini juga disebut dalam Al Quran.
Banyak orang, yang sejak dahulu beranggapan bahwa kaum ‘Ad sebagai-mana
diceritakan dalam Al Quran hanyalah sebuah legenda atau berang-gapan bahwa
lokasi mereka tidak akan pernah ditemukan, tidak dapat menyembunyikan keheranan
mereka atas penemuan ini. Penemuan kota ini, yang hanya disebutkan dalam cerita
lisan Suku Badui, membangkit-kan minat dan rasa keingintahuan yang besar.
Adalah Nicholas Clapp, seorang
arkeolog amatir yang menemukan kota legendaris yang disebutkan dalam Al Quran
ini19. Sebagai seorang Arabophile dan pembuat film dokumenter berkualitas,
Clapp telah men-jumpai sebuah buku yang sangat menarik selama penelitiannya
tentang sejarah Arab. Buku ini berjudul Arabia Felix yang ditulis oleh seorang
pe-neliti Inggris bernama Bertram Thomas pada tahun 1932. Arabia Felix adalah
penamaan Romawi untuk bagian selatan semenanjung Arabia yang dewasa ini
mencakup Yaman dan sebagian besar Oman. Bangsa Yunani menyebut daerah ini “Eudaimon
Arabia”. Sarjana Arab abad per-tengahan menyebutnya sebagai “Al Yaman
As-Sa'idah”20.
Semua nama tersebut berarti “Arabia
yang Beruntung”, karena orang-orang yang hidup di daerah tersebut di masa lalu
dikenal sebagai orang-orang yang paling beruntung pada zamannya. Lalu, apakah
yang menjadi alasan bagi penamaan seperti itu?
Keberuntungan mereka sebagian
berkaitan dengan letak mereka yang strategis menjadi perantara dalam
perdagangan rempah-rempah antara India dengan tempat-tempat di utara semenanjung
Arab. Di sam-ping itu, orang-orang yang berdiam di daerah ini memproduksi dan
men-distribusikan "frankincense" sejenis getah wangi dari pepohonan
langka. Karena sangat disukai oleh masyarakat kuno, tanaman ini digunakan
sebagai dupa dalam berbagai ritus keagamaan. Pada saat itu, tanaman tersebut
setidaknya sama berharganya dengan emas.
Thomas, sang peneliti Inggris
memaparkan tentang suku-suku yang “beruntung” ini dengan panjang lebar dan
menyatakan bahwa ia telah menemukan jejak sebuah kota kuno yang dibangun oleh
salah satu dari suku-suku ini21. Itulah kota yang dikenal suku Badui dengan
sebutan “Ubar”. Pada salah satu perjalanannya ke daerah tersebut, orang-orang
Badui yang hidup di padang pasir itu menunjukkan jalur-jalur usang dan
menyatakan bahwa jalur-jalur tersebut mengarah ke kota kuno Ubar. Thomas, yang
sangat berminat dengan hal ini meninggal sebelum mampu menuntaskan
penelitiannya.
Clapp, setelah mengkaji tulisan
Thomas, meyakini keberadaan kota yang hilang tersebut. Tanpa banyak membuang
waktu, ia memulai pene-litiannya. Clapp membuktikan keberadaan Ubar dengan dua
cara. Perta-ma, ia menemukan jalur-jalur yang menurut suku Badui benar-benar
ada. Ia meminta NASA (Badan Luar Angkasa Nasional Amerika Serikat) un-tuk
menyediakan foto satelit daerah tersebut. Setelah perjuangan yang panjang, ia
berhasil membujuk pihak yang berwenang untuk memotret daerah tersebut22.
Clapp melanjutkan mempelajari
berbagai manuskrip dan peta kuno di perpustakan Huntington di California.
Tujuannya adalah untuk mene-mukan peta dari daerah tesebut. Setelah melalui
penelitian singkat, ia me-nemukannya. Yang ditemukannya adalah sebuah peta yang
digambar oleh Ptolomeus, ahli geografi Yunani-Mesir di tahun 200 M. Pada peta
ini ditunjukkan lokasi sebuah kota tua yang ditemukan di daerah tersebut dan
jalan-jalan yang menuju kota tersebut.
Sementara itu, ia menerima kabar
bahwa NASA telah melakukan pemotretan. Dalam foto-foto tersebut, beberapa jalur
kafilah menjadi ter-lihat, suatu hal yang sulit dikenali dengan mata telanjang,
namun dapat dilihat sebagai satu kesatuan dari luar angkasa. Dengan
membandingkan foto-foto ini dengan peta tua yang di tangannya, akhirnya Clapp
menca-pai kesimpulan yang ia cari: jalur-jalur dalam peta tua sesuai dengan
jalur-jalur dalam gambar yang diambil dengan satelit. Tujuan akhir dari
jejak-jejak ini adalah sebuah situs yang luas yang ditengarai dahulunya
merupakan sebuah kota.
Akhirnya, lokasi kota legendaris yang
menjadi subjek cerita-cerita lisan suku Badui ditemukan. Tidak berapa lama
kemudian, penggalian dimulai dan peninggalan dari sebuah kota mulai tampak di
bawah gurun pasir. Demikianlah, kota yang hilang ini disebut sebagai “Ubar,
Atlantis di Padang Pasir”.
Lalu, apakah yang membuktikan kota
ini sebagai kota kaum ‘Ad yang disebutkan dalam Al Quran?
Begitu reruntuhan-reruntuhan mulai
digali, diketahui bahwa kota yang hancur ini adalah milik kaum ‘Ad dan berupa
pilar-pilar Iram yang disebutkan dalam Al Quran, karena di antara berbagai
struktur yang di-gali terdapat menara-menara yang secara khusus disebutkan
dalam Al Quran. Dr. Zarins, seorang anggota tim penelitian yang memimpin
peng-galian mengatakan bahwa karena menara-menara itu disebut sebagai bentuk
khas kota 'Ubar, dan karena Iram disebut mempunyai menara-menara atau
tiang-tiang, maka itulah bukti terkuat sejauh ini, bahwa situs yang mereka gali
adalah Iram, kota kaum ‘Ad yang disebutkan dalam Al Quran:
Apakah kamu tidak memperhatikan
bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad, (yaitu) penduduk Iram yang
mempunyai ba-ngunan-bangunan yang tinggi yang belum pernah dibangun (suatu
kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. (QS. Al Fajr, 89: 6-8) !
Kaum ‘Ad
Sejauh ini kita telah melihat
kemungkinan Ubar sebagai kota Iram yang disebutkan dalam Al Quran. Menurut Al
Quran, warga kota terse-but tidak mengindahkan seruan Nabi Hud yang membawakan
risalah kepada mereka dan memberi peringatan mereka, maka akhirnya mereka pun
dibinasakan.
Identitas kaum ‘Ad yang membangun
kota Iram juga telah menim-bulkan banyak perdebatan. Dalam berbagai catatan
sejarah tidak pernah disebutkan tentang suatu kaum pun yang telah memiliki
kebudayaan yang begitu maju atau tentang peradaban yang mereka kembangkan.
Mungkin akan dianggap aneh bahwa nama dari sebuah kaum semacam itu tidak
ditemukan dalam catatan sejarah.
Di sisi lain, seharusnya tidak
terlalu mengherankan bila tidak di-temukan keberadaan kaum ini dalam berbagai
catatan dan arsip pera-daban lama. Alasannya adalah bahwa kaum ini tinggal di
Arabia Selatan, sebuah daerah yang jauh dari kaum lain yang hidup di daerah Mesopo-tamia
dan Timur Tengah, dan hanya memiliki hubungan yang terbatas dengan mereka.
Adalah hal yang umum bagi sebuah negara, yang sangat jarang dikenal, untuk
tidak tercantum dalam catatan sejarah. Namun di samping itu, sangat mungkin
untuk menemukan cerita-cerita tentang kaum ‘Ad di antara orang-orang yang hidup
di sekitar Timur Tengah.
Alasan terpenting mengapa kaum ‘Ad
tidak disebutkan dalam catatan tertulis adalah karena saat itu komunikasi
tertulis tidak lazim di daerah tersebut. Sehingga, sangat mungkin kaum ‘Ad
telah membangun sebuah peradaban, namun belum pernah disebutkan dalam catatan
seja-rah dari peradaban lain yang melakukan dokumentasi. Jika saja kebuda-yaan
ini berlangsung sedikit lebih lama, mungkin lebih banyak lagi yang dapat
diketahui tentang kaum ‘Ad di saat ini.
Tidak ada catatan tertulis tentang
kaum ‘Ad, namun memungkinkan untuk menemukan informasi penting tentang
“keturunan” mereka dan untuk mendapatkan gambaran tentang kaum ‘Ad dari
informasi ini.
Bangsa Hadram, Anak Cucu ‘Ad
Tempat pertama yang diamati untuk
mencari kemungkinan jejak-jejak peradaban yang didirikan kaum 'Ad atau anak
cucu mereka, adalah Yaman Selatan di mana “Ubar, Atlantis di padang pasir”
ditemukan dan yang disebut sebagai “Arabia yang Beruntung”. Di Yaman selatan,
empat bangsa telah hidup sebelum zaman kita, dan disebut orang Yunani sebagai
“Arab yang Beruntung”. Mereka adalah bangsa Hadram, Saba’, Mina, dan Qataba.
Keempat bangsa ini berkuasa dalam waktu yang sing-kat pada daerah-daerah yang
saling berdekatan.
Banyak ilmuwan kontemporer mengatakan
bahwa kaum ‘Ad telah memasuki satu periode perubahan dan kemudian muncul
kembali di panggung sejarah. Dr. Mikhail H. Rahman seorang peneliti dari
Univer-sity of Ohio merasa yakin bahwa kaum ‘Ad adalah nenek moyang dari bangsa
Hadram, salah satu dari empat bangsa yang pernah menghuni Yaman Selatan. Bangsa
Hadramaut, yang muncul sekitar 500 SM, setidaknya dikenal di antara
bangsa-bangsa yang dinamai “Arabia yang Beruntung”. Bangsa-bangsa ini berkuasa
di wilayah Yaman Selatan cukup lama dan menghilang sepenuhnya pada 240 M pada
akhir dari periode panjang kemunduran.
Nama Hadram mengisyaratkan bahwa
mereka mungkin merupakan keturuan dari kaum ‘Ad. Penulis Yunani Pliny, yang
hidup pada abad ke-3 SM, menyebut suku bangsa ini sebagai "Adramitai"
yang berarti bangsa Hadram. Pengistilahan nama dalam bahasa Yunani adalah
akhiran - kata benda, kata benda "Adram" langsung mengisyaratkan
bahwa ia merupa-kan perubahan dari kata "Ad-i Ram" yang disebutkan
dalam Al Quran.
Ptolomeus, seorang ahli geografi
Yunani (150-100 SM) menunjukkan bagian selatan Semenanjung Arabia sebagai
tempat kaum yang disebut “Adramitai” pernah hidup. Daerah ini sampai sekarang
dikenal dengan nama “Hadhramaut”23. Ibu kota negara Hadram, Shabwah terletak di
barat Lembah Hadhramaut. Menurut berbagai legenda tua, Nabi Hud yang diutus
kepada kaum ‘Ad dimakamkan di Hadhramaut.
Faktor lain yang membenarkan
pemikiran bahwa Hadhramaut ada-lah penerus dari kaum ‘Ad adalah kekayaan
mereka. Bangsa Yunani me-negaskan kaum Hadram sebagai “suku bangsa terkaya di
dunia…”. Ca-tatan sejarah mengatakan bahwa Hadram sangat maju dalam pertanian
frankincense, salah satu tanaman paling berharga waktu itu. Mereka telah
menemukan cara-cara penggunaan baru bagi tanaman ini dan memper-luas
penggunaannya. Hasil pertanian bangsa Hadram jauh lebih banyak daripada
produksi tanaman tersebut di masa kini.
Apa yang ditemukan pada penggalian di
Shabwah yang dikenal seba-gai ibu kota Hadram sangatlah menarik. Dalam berbagai
penggalian yang dimulai pada tahun 1975 para ahli arkeologi sangat sulit
mencapai sisa-sisa kota tersebut karena tertimbun di bawah gurun pasir. Temuan
yang dihasilkan di akhir penggalian amat menakjubkan, karena kota kuno yang
belum tergali itu merupakan salah satu kota yang teramat luar biasa menarik
yang ditemukan hingga saat itu. Kota dikelilingi dinding yang berhasil diungkap
memiliki ukuran lebih luas daripada situs kuno Yaman mana pun dan istananya
merupakan bangunan yang sangat menakjub-kan.
Tidak diragukan lagi, sangat logis
untuk menduga bahwa bangsa Hadram telah mewarisi keunggulan arsitektur ini dari
pendahulunya kaum ‘Ad. Hud berkata kepada kaum ‘Ad ketika memperingatkan
mere-ka:
“Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap
tanah tinggi bangunan untuk bermain-main? Dan kamu membuat benteng-benteng
dengan maksud supaya kamu kekal (di dalamnya)?” (QS. Asy-Syu’araa’, 26:
128-129) !
Ciri menarik lainnya dari
bangunan-bangunan di Shabwah adalah tiang-tiang yang sangat rumit. Tiang-tiang
di Shabwah tampak sangat unik karena bundar dan disusun dalam serambi-serambi
melengkung, semen-tara semua situs di Yaman sejauh itu baru ditemukan memiliki
tiang-tiang monolit berbentuk persegi. Orang-orang Shabwah tentunya mewarisi
gaya arsitektur dari para leluhurnya, kaum ‘Ad. Fotius, Patriach Yunani
Bizantium dari Konstantinopel pada awal abad ke-9 M, melaku-kan penelitian
besar-besaran tentang Arabia Selatan dan aktivitas perda-gangan mereka, karena
ia mempunyai akses pada manuskrip Yunani Kuno yang sudah musnah saat ini, dan
khususnya karya Agatharachides (132 SM) tentang Laut Eritrea (Laut Merah).
Fotius menyebutkan dalam salah satu artikel-nya: “Diwartakan bahwa mereka
(bangsa Arab Selatan) telah membangun banyak tiang berlapis emas atau terbuat
dari perak. Ruangan-ruangan di antara tiang-tiang tersebut sangat mengagumkan
untuk dilihat”24.
Walaupun tidak langsung merujuk
kepada bangsa Hadram, tetap sa-ja pernyataan Fotius tersebut memberikan
gambaran tentang kemakmur-an dan kecakapan membangun orang-orang yang tinggal
di wilayah itu. Penulis klasik Yunani, Pliny dan Strabo menggambarkan kota-kota
ini sebagai “dihiasi oleh berbagai kuil dan istana yang indah”.
Ketika kita memikirkan bahwa para
penghuni kota ini adalah ketu-runan kaum ‘Ad, jelaslah mengapa Al Quran
menyebutkan tempat ting-gal kaum ‘Ad sebagai “kota Iram dengan tiang-tiangnya
yang tinggi”. (QS. Al Fajr, 89: 7).
Sumber-Sumber Mata Air dan Kebun-Kebun Kaum 'Ad
Saat ini, pemandangan paling sering
ditemui seseorang yang mela-kukan perjalanan ke Arab Selatan adalah padang
pasir teramat luas. Hampir semua tempat dihampari pasir, kecuali kota-kota dan
daerah-daerah yang telah dihijaukan kemudian. Gurun pasir ini telah ada sejak
ratusan dan mungkin ribuan tahun.
Namun dalam Al Quran, terdapat
informasi menarik dalam salah satu ayat yang berkenaan dengan kaum ‘Ad. Ketika
memperingatkan kaumnya, Nabi Hud mengingatkan tentang mata air dan kebun yang
telah dianugerahkan Allah kepada kaum ‘Ad:
“Maka bertakwalah kepada Allah dan
taatlah kepadaku. Dan ber-takwalah kepada Allah yang telah menganugerahkan
kepadamu apa yang kamu ketahui. Dia telah menganugerahkan kepadamu
bina-tang-binatang ternak dan anak-anak, dan kebun-kebun dan mata air,
sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar.” (QS.
Asy-Syu'araa', 26: 131-135) !
Namun sebagaimana telah kita catat
sebelumnya, Ubar, yang dikenal dengan kota Iram dan tempat-tempat lainnya yang
berkemungkinan sebagai daerah hunian kaum ‘Ad, saat ini tertutup pasir
seluruhnya. Lalu, mengapa Hud menggunakan ungkapan semacam itu ketika memper-ingatkan
kaumnya?
Jawabannya tersembunyi dalam sejarah
perubahan iklim. Berbagai catatan sejarah mengungkapkan bahwa daerah-daerah
yang sekarang telah menjadi gurun pasir, pada suatu ketika pernah merupakan
tanah yang sangat hijau dan produktif. Kurang dari seribu tahun yang lampau,
sebagian besar wilayah tersebut dihampari kawasan hijau dan mata-mata air
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, dan penghuninya meman-faatkan karunia
itu. Hutan-hutan melunakkan kerasnya iklim wilayah tersebut dan membuatnya dapat
dihuni. Padang pasir memang ada, namun tidak seluas seperti saat ini.
Di Arabia Selatan, bukti-bukti
penting telah diperoleh di wilayah tempat kaum ‘Ad pernah hidup, yang dapat
memberikan titik terang atas persoalan ini. Di sini nampak bahwa penduduk dari
daerah ini menggu-nakan sistem pengairan yang sudah sangat maju. Sistem
pengairan ini kemungkinan besar hanya dimaksudkan untuk satu tujuan, yaitu
perta-nian. Wilayah-wilayah tersebut, yang sekarang tak lagi layak huni, pada
suatu masa pernah diolah manusia.
Pencitraan satelit juga telah
mengungkapkan suatu sistem saluran-saluran air kuno yang luas dan
bendungan-bendungan yang digunakan untuk pengairan di sekitar Ramlat As
Sab’atayan yang diperkirakan mampu menghidupi sekitar 200.000 orang di
kota-kota yang berdekatan25. Seperti dinyatakan Doe, salah seorang peneliti
yang melakukan riset: “Begitu suburnya daerah di sekitar Ma’rib, sehingga
seseorang akan menganggap bahwa seluruh daerah di antara Ma’rib dan Hadhramaut
dahulunya pernah berada di bawah satu pengelolaan26.
Seorang penulis klasik Yunani, Pliny
menggambarkan bahwa wila-yah ini dahulunya sangat subur dengan gunung berhutan
lebat berse-limut kabut, sungai dan hutan yang tidak ada putusnya. Dalam
berbagai prasasti yang ditemukan di beberapa kuil kuno dekat Shabwah, ibu kota
Hadram, dikatakan bahwa binatang-binatang diburu di daerah tersebut dan
sebagiannya tersebut untuk dikorbankan. Semua ini mengungkap-kan bahwa daerah
tersebut pernah dihampari tanah yang subur, di sam-ping gurun pasir.
Kecepatan gurun pasir itu berkembang,
dapat dilihat pada beberapa riset terbaru yang dilakukan oleh Institut
Smithsonian di Pakistan. Se-buah kawasan yang dikenal sangat subur di abad
pertengahan telah ber-ubah menjadi gurun pasir dengan bukit-bukit pasir setinggi
enam meter; gurun tersebut diketahui bertambah rata-rata 6 inci per harinya.
Dengan kecepatan seperti ini pasir dapat menelan bangunan tertinggi sekalipun
dan menguburnya sehingga bangunan itu bagaikan tidak pernah ada. Dengan
demikian penggalian di Timna, Yaman pada tahun 1950 hampir seluruhnya tertimbun
lagi oleh pasir. Piramid-piramid di Mesir dulunya juga pernah tertimbun pasir
dan baru muncul ke permukaan setelah melalui penggalian yang sangat lama.
Singkatnya, jelaslah bahwa daerah yang kini dikenal sebagai gurun pasir mungkin
memiliki tampilan yang sangat jauh berbeda di masa lalu.
Bagaimana Kaum ‘Ad Dihancurkan?
Di dalam Al Quran, dituturkan bahwa
kaum ‘Ad telah dibinasakan dengan “angin badai yang dahsyat”. Dalam ayat-ayat
ini disebutkan bah-wa angin badai yang hebat berlangsung selama tujuh malam
delapan hari dan menghancurkan kaum ‘Ad keseluruhannya:
“Kaum ‘Ad pun telah mendustakan (pula).
Maka alangkah dahsyat-nya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Sesungguhnya Kami
telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari yang naas
terus-menerus.” (QS. Al Qamar, 54: 18-20) !
“Adapun kaum ‘Ad maka mereka telah
dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah
menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus
menerus; maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati berge-limpangan
seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (QS. Al
Haaqqah, 69: 6-7) !
Meskipun telah diperingatkan
sebelumnya, mereka tidak mengin-dahkan peringatan dan terus menolak nabi
mereka. Mereka berada dalam angan-angan seperti itu, sehingga mereka tidak
memahami apa yang sedang terjadi ketika melihat penghancuran tersebut
menghampiri mereka, dan tetap dalam keingkarannya :
“Maka tatkala mereka melihat azab itu
berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah
awan yang akan menurunkan hujan kepada kami. (Bukan!) bahkan itulah azab yang
kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang
pedih.” (QS. Al Ahqaaf, 46: 24) !
Dalam ayat ini disebutkan bahwa
mereka melihat awan yang akan menghancurkan mereka, namun tidak dapat
memahaminya dan berpikir bahwa itu merupakan awan yang membawa hujan. Ini
merupakan pe-tunjuk penting bagaimana bencana itu saat mendekati mereka, karena
sebuah badai topan yang sedang menyapu sepanjang gurun pasir juga akan tampak
seperti sebuah awan hujan dari kejauhan. Mungkin kaum ‘Ad tertipu oleh
pemunculan ini dan tidak menyadari bencana tersebut. Doe memberikan sebuah
deskripsi tentang badai pasir (yang sepertinya berdasarkan pengalaman
pribadinya): “Tanda pertama (dari badai debu atau pasir) adalah mendekatnya
tembok udara mengandung pasir yang tingginya mungkin mencapai ribuan kaki, yang
diangkat oleh aliran yang meninggi dengan kuat dan diaduk oleh angin yang cukup
kuat”27.
“Ubar, Atlantis di padang pasir“ yang
dianggap sebagai sisa-sisa peninggalan kaum ‘Ad telah ditemukan kembali dari
bawah lapisan pasir yang bermeter-meter tebalnya. Tampaknya angin dahsyat yang
berlang-sung selama “tujuh malam dan delapan hari” sebagaimana disebutkan Al
Quran, menumpuk berton-ton pasir di atas kota itu dan menimbun pen-duduknya
hidup-hidup. Penggalian-penggalian di Ubar menunjukkan kemungkinan yang sama.
Majalah Prancis, Ca M'Interesse menyatakan hal yang serupa; “Ubar terkubur di
bawah pasir setebal 12 meter karena sebuah badai”28.
Bukti paling penting yang menunjukkan
bahwa kaum ‘Ad dikubur oleh sebuah badai pasir adalah kata “ahqaf” yang
digunakan dalam Al Quran untuk menandai lokasi dari kaum ‘Ad. Deskripsi yang
digunakan dalam ayat 21 surat Al Ahqaaf adalah sebagai berikut:
“Dan ingatlah (Hud) saudara kaum ‘Ad
yaitu ketika ia memberi peringatan kepada kaumnya di Al Ahqaf dan sesungguhnya
telah terdahulu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan sesu-dahnya
(dengan mengatakan): “Janganlah kamu menyembah selain Allah, sesungguhnya aku
khawatir kamu akan ditimpa azab hari yang besar.”
Ahqaaf dalam bahasa Arab berarti
“bukit-bukti pasir“ adalah bentuk plural dari kata “hiqf” yang berarti sebuah
bukit pasir. Ini menunjukkan bahwa kaum ‘Ad hidup di daerah yang penuh dengan
“bukit-bukit pasir” yang memberikan landasan paling masuk akal untuk sebuah
fakta bahwa mereka dikubur oleh sebuah badai pasir. Menurut sebuah interpretasi,
ahqaaf kehilangan artinya sebagai “bukit-bukit pasir” dan menjadi nama sebuah
tempat di selatan Yaman di mana kaum ‘Ad hidup. Ini tidak mengubah fakta bahwa
akar kata ini adalah bukit-bukit pasir, namun hanya menunjukkan bahwa kata ini
telah menjadi khas untuk daerah ini karena banyaknya bukit pasir.
Penghancuran yang menimpa kaum ‘Ad
yang berasal dari badai pasir yang “mencabut orang-orang seakan mereka adalah
akar pohon palem yang tercerabut (dari dalam tanah)”, tentunya telah
memusnahkan seluruh penduduk dalam waktu yang sangat singkat, mereka yang
hing-ga saat itu hidup dengan mengolah lahan-lahan subur dan membangun
bendungan-bendungan serta saluran-saluran air irigasi untuk mereka sendiri.
Semua ladang olahan yang subur, saluran irigasi, dan bendungan milik masyarakat
yang pernah hidup di sana tertutup oleh pasir, dan seluruh kota dan penduduknya
terkubur hidup-hidup dalam pasir, setelah mereka dihancurkan, padang pasir
berkembang di sana dan menutupinya tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
Sebagai akibatnya dapat dikatakan
bahwa temuan sejarah dan arkeo-logi mengindikasikan bahwa kaum ‘Ad dan kota
Iram benar-benar per-nah ada dan dihancurkan seperti disebutkan dalam Al Quran.
Berdasar-kan penelitian lebih lanjut, sisa-sisa dari kaum ini telah ditemukan
kem-bali dari dalam gurun pasir.
Apa yang seharusnya dilakukan
seseorang kala memperhatikan sisa-sisa yang terkubur di dalam pasir adalah
mengambil peringatan sebagai-mana ditegaskan dalam Al Quran. Al Quran
menyatakan bahwa kaum ‘Ad telah sesat karena kesombongan mereka dan berkata: ”Siapakah
kekuatannya yang lebih besar dari kami?.” Di akhir ayat, dikatakan, “Dan apakah
mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah Yang mencipta-kan mereka adalah
lebih besar kekuatan-Nya dari mereka?” (QS. Al Fushilaat, 41 : 15). !
Yang seharusnya dilakukan oleh
seorang insan adalah mengingat kenyataan yang tidak berubah sepanjang waktu ini
dan memahami bahwa Allah Yang Mahabesar dan Mahamulia; seorang insan hanya
dapat menjadi sejahtera dengan menyembah-Nya.
Picture Text
Sisa-sisa dari kota Ubar, tempat
tinggal kaum 'Ad, ditemukan di suatu tempat dekat tanjung Oman.
Banyak karya seni dan monumen dari
peradaban maju pernah dibangun di Ubar sebagaimana disebutkan dalam Al Quran.
Saat ini, hanya peningggalan-peninggalan di atas yang tersisa.
Penggalian yang dilakukan di Ubar.
Lokasi kota 'Ad ditemukan dengan
foto-foto yang diambil dari pesawat ulang alik. Dalam foto tersebut, tempat
jalur-jalur kafilah bertemu ditandai, dan mengarah ke Ubar.
1. Ubar, hanya dapat dilihat dari
luar angkasa sebelum dilakukan penggalian.
2. Kota yang berada 12 meter di bawah
pasir ditemukan dengan penggalian.
Saat ini, daerah dimana kaum 'Ad
pernah hidup penuh dengan gundukan pasir.
Penggalian-penggalian yang dilakukan
di Ubar, di mana sisa-sisa sebuah kota ditemukan di bawah lapisan pasir yang
ketebalannya bermeter-meter. Di daerah ini, diketahui bahwa bencana badai pasir
dapat menyebabkan pasir dalam jumlah yang sangat besar terkumpul dalam waktu
sekejap. Hal ini dapat terjadi secara tiba-tiba dan dengan cara yang tidak
terduga-duga.
Bab 5 Tsamud
“Kaum Tsamud pun telah mendustakan ancaman-ancaman
itu. Maka mereka berkata: “Bagaimana kita akan mengikuti saja seorang manusia
(biasa) di antara kita? Sesungguhnya kalau kita begitu, benar-benar berada
dalam keadaan sesat dan gila”. Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya di antara
kita? Sebenarnya dia adalah seorang yang amat pendusta lagi sombong. Kelak
mereka akan mengetahui siapakah yang sebenarnya amat pendusta lagi sombong.”
(QS. Al Qamar, 54: 23-26) !
Sebagaimana disebutkan dalam Al
Quran, kaum Tsamud menolak peringatan-peringatan dari Allah sebagaimana
dilakukan kaum ‘Ad, dan sebagai konsekuensinya mereka pun dihancurkan. Kini,
dari hasil studi arkeologi dan sejarah, banyak hal yang tidak diketahui sebelumnya
telah ditemukan, misalnya lokasi tempat tinggal kaum Tsamud, rumah-rumah yang
mereka buat, dan gaya hidup mereka. Kaum Tsamud yang disebutkan dalam Al Quran
merupakan fakta sejarah yang dibenarkan oleh banyak temuan arkeologis saat ini.
Sebelum lebih jauh melihat temuan
arkeologis yang berkaitan dengan kaum Tsamud, sangatlah bermanfaat untuk
mempelajari cerita di dalam Al Quran serta mengamati pertarungan kaum ini
dengan nabi mereka. Karena Al Quran adalah kitab yang diperuntukkan untuk
sepanjang massa, pengingkaran kaum Tsamud atas peringatan-per-ingatan yang
datang kepada mereka adalah sebuah peristiwa yang merupakan sebuah peringatan
kepada semua orang di sepanjang masa.
Penyampaian Risalah Nabi Shalih
Di dalam Al Quran disebutkan bahwa
Nabi Shalih diutus untuk memperingatkan mereka. Shalih adalah orang yang
terpandang di ka-langan masyarakat Tsamud. Kaumnya, yang tidak menduga ia akan
mengumumkan agama kebenaran, terkejut dengan seruannya untuk me-ninggalkan
penyimpangan mereka. Reaksi pertama adalah menghujat dan mengutuknya:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara
mereka Shalih. Shalih berkata: ”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak
ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan
menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya. Sesungguhnya
Tuhanku amatlah dekat (Rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya). Kaum
Tsamud berka-ta: ”Hai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di
antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami un-tuk menyembah apa
yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan se-sungguhnya kamu betul-betul berada
dalam keraguan yang mengge-lisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada
kami.” (QS. Huud, 11: 61-62) !
Segolongan kecil kaum Tsamud memenuhi
panggilan Nabi Shalih, namun kebanyakan mereka tidak menerima apa yang
dikatakannya. Para pemimpin kaum tersebut, khususnya, menolak dan menentang
Shalih. Mereka mencoba menghalang-halangi dan menekan kaum yang beriman kepada
Nabi Shalih. Mereka sangat murka kepada Shalih, karena ia mengajak mereka
menyembah Allah. Kemarahan ini tidak khusus hanya pada kaum Tsamud; mereka
hanya mengulangi kesalahan yang dibuat kaum Nuh dan kaum ‘Ad yang hidup sebelum
mereka. Karena itulah Al Quran menyebutkan ketiga kaum ini sebagai berikut:
“Belumkah sampai kepadamu berita
orang-orang sebelum kamu (ya-itu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan orang-orang
sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Telah datang
kepada me-reka rasul-rasul (membawa) bukti-bukti yang nyata lalu mereka
me-nutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian) dan berkata: ”Sesungguhnya
kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyam-paikannya (kepada kami), dan
sesungguhnya kami benar-benar dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap apa
yang kamu ajak kami kepadanya”. (QS. Ibrahim, 14: 9) !
Tanpa mengindahkan
peringatan-peringatan Nabi Shalih, orang-orang membiarkan kesangsian menguasai
mereka. Namun masih ada sekelompok kecil yang percaya terhadap kenabian Shalih
dan merekalah orang-orang yang diselamatkan bersamanya ketika bencana besar
da-tang. Para pemuka masyarakat tersebut berupaya menekan kelompok yang
mempercayai Shalih:
“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri
di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah ber-iman
di antara mereka: “Tahukah kamu bahwa Shalih diutus (menja-di rasul) oleh
Tuhannya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu yang Shalih
diutus untuk menyampaikan-nya”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata:
”Sesungguh-nya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani
itu.” (QS. Al A'raaf, 7: 75-76) !
Kaum Tsamud terus menyangsikan Allah
dan kenabian Shalih. Lebih jauh, kelompok tertentu secara terang-terangan
menyangkalnya. Seke-lompok di antara mereka yang menolak keimanan — menurut
dugaan, dengan nama Allah — merencanakan untuk membunuh Shalih:
‘Mereka menjawab; “Kami mendapat nasib
yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang bersama kamu”. Shalih
berkata: “Nasib-mu ada pada sisi Allah (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi
ka-mu yang diuji”. Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat
kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaik-an. Mereka berkata:
“Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bah-wa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya
dengan tiba-tiba ber-sama keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan
kepada warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan
sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar”. Dan mereka pun merencanakan
makar dengan sesungguh-sungguhnya dan Kami merencanakan makar (pula), sedang
mereka tidak menya-dari.” (QS. An-Naml, 27: 47-50) !
Untuk mengetahui apakah kaumnya
akan mematuhi perintah Allah atau tidak, Shalih menunjukkan kepada mereka
seekor unta betina sebagai ujian. Untuk mengetahui apakah mereka akan
mematuhinya atau tidak, Shalih menyuruh kaumnya untuk berbagi air dengan unta
betina tersebut dan tidak menyakitinya. Kaumnya menjawab dengan membunuh unta
betina tersebut. Dalam surat Asy-Syu’araa’ kejadian tersebut disebutkan sebagai
berikut:
“Kaum Tsamud telah mendustakan
rasul-rasul.
Ketika saudara mereka Shalih, berkata
kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertakwa?
Sesungguhnya aku adalah seorang rasul
kepercayaan (yang diutus) kepadamu,
maka bertakwalah kepada Allah dan
taatlah kepadaku.
Dan aku sekali-kali tidak minta upah
kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.
Adakah kamu akan dibiarkan tinggal di
sini (di negeri ini) dengan aman, di dalam kebun-kebun serta mata air,
dan tanaman-tanaman dan pohon-pohon
kurma yang mayangnya lembut.
Dan kamu pahat sebagian dari
gunung-gunung untuk dijadikan ru-mah-rumah dengan rajin;
maka bertakwalah kepada Allah dan
taatlah kepadaku;
dan janganlah kamu menaati perintah
orang-orang yang melewati batas,
yang membuat kerusakan di muka bumi
dan tidak mengadakan perbaikan”.
Mereka berkata: ”Sesungguhnya kamu
adalah seorang dari orang-orang yang terkena sihir;
kamu tidak lain melainkan seorang
manusia seperti kami; maka da-tangkanlah sesuatu mukjizat jika kamu memang
termasuk orang-orang yang benar”.
Shalih menjawab: ”Ini seekor unta
betina, ia mempunyai giliran un-tuk mendapatkan air dan kamu mempunyai giliran
pula untuk men-dapatkan air di hari tertentu.
Dan janganlah kamu sentuh unta betina
itu dengan sesuatu keja-hatan, yang menyebabkan kamu akan ditimpa oleh azab
hari yang besar.
Kemudian mereka membunuhnya, lalu
mereka menyesal, maka me-reka ditimpakan azab.
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan mereka tidak
beriman.” (QS. Asy-Syu’araa’ , 26: 141-158) !
Perjuangan Nabi Shalih terhadap
kaumnya dikisahkan sebagai beri-kut:
“Kaum Tsamud pun telah mendustakan
ancaman-ancaman (itu).
Maka mereka berkata: “Bagaimana kita
akan mengikuti saja, se-orang manusia (biasa) di antara kita? Sesungguhnya
kalau kita begi-tu, benar-benar berada dalam keadaan sesat dan gila. Apakah
wahyu itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia adalah seorang
yang amat pendusta lagi sombong.“
Kelak mereka akan mengetahui siapakah
sebenarnya yang amat pen-dusta lagi sombong. Sesungguhnya Kami akan mengirimkan
unta betina sebagai cobaan bagi mereka, maka tunggulah (tindakan) mere-ka dan
bersabarlah.
Dan beritakanlah kepada mereka bahwa
sesungguhnya air itu terba-gi antara mereka (dengan unta betina itu); tiap-tiap
giliran minum dihadiri (oleh yang punya gilirannya).
Maka mereka memanggil kawannya, lalu
kawannya menangkap (unta itu) dan membunuhnya.” (QS. Al Qamar, 54: 23-29) !
Kenyataan bahwa mereka tidak dilaknat
pada saat itu juga, semakin meningkatkan keangkaramurkaan kaum ini. Mereka
menyerang Shalih, mengkritik, dan menuduhnya sebagai pendusta :
“Kemudian mereka sembelih unta betina
itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata:
”Wahai Sha-lih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika
(betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah).” (QS. Al A'raaf, 7: 77)
!
Allah melemahkan rencana dan tipu
daya mereka, dan menyelamat-kan Shalih dari tangan-tangan yang ingin
mencelakakannya. Setelah ke-jadian ini, karena Shalih merasa telah menyampaikan
seruan kepada kaumnya dengan berbagai cara, dan tetap tak ada seorang pun yang
mengindahkan nasihatnya, Shalih berkata kepada kaumnya bahwa mereka akan
dihancurkan dalam waktu tiga hari:
“Mereka membunuh unta itu, maka
berkatalah Shalih: ”Bersukaria kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu
adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (QS. Huud, 11: 65) !
Begitulah, tiga hari kemudian ancaman
Shalih menjadi kenyataan dan kaum Tsamud dihancurkan.
“Dan satu suara yang keras yang mengguntur
menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di tempat
tinggal mereka, seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu.
Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah,
kebinasaan bagi kaum Tsamud.” (QS. Huud, 11: 67-68) !
Temuan Arkeologis dari Kaum Tsamud
Dari berbagai kaum yang disebutkan
dalam Al Quran, Tsamud ada-lah kaum yang saat ini telah banyak diketahui
keberadaannya. Sumber-sumber sejarah mengungkapkan bahwa sekelompok orang yang
disebut dengan kaum Tsamud benar-benar pernah ada.
Penduduk Al Hijr yang disebutkan
dalam Al Quran diperkirakan adalah orang-orang yang sama dengan kaum Tsamud.
Nama lain dari Tsamud adalah Ashab Al Hijr. Jadi kata “Tsamud” merupakan nama
kaum, sementara kota Al Hijr adalah salah satu dari beberapa kota yang dibangun
oleh kaum tersebut.
Ahli geografi Yunani, Pliny sepakat
dengan ini. Pliny menulis bahwa Domatha dan Hegra adalah lokasi tempat kaum
Tsamud berada, dan kota Al Hegra inilah yang menjadi kota Al Hijr saat ini.29
Sumber tertua yang diketahui
berkaitan dengan kaum Tsamud adalah tarikh kemenangan Raja Babilonia Sargon II
(abad ke-8 SM) yang mengalahkan kaum ini dalam sebuah pertempuran di Arabia
Selatan. Bangsa Yunani juga menyebut kaum ini sebagai “Tamudaei”, yakni,
“Tsamud”, dalam tulisan Aristoteles, Ptolemeus, dan Pliny.30 Sebelum zaman Nabi
Muhammad SAW, sekitar tahun 400-600 M , mereka benar-benar punah.
Dalam Al Quran, kaum ‘Ad dan Tsamud
selalu disebutkan bersama-an. Lebih jauh lagi, ayat-ayat tersebut menasihati
kaum Tsamud untuk mengambil pelajaran dari penghancuran kaum ‘Ad. Ini
menunjukkan bahwa kaum Tsamud memiliki informasi detail tentang kaum ‘Ad.
“Dan (Kami telah mengutus) kepada
kaum Tsamud saudara mereka Shalih. Ia berkata; ”Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang
nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka
biarkanlah ia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya, dengan
gangguan apa pun, maka kamu ditimpa siksaan yang pedih.
Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan
menjadikan kamu peng-ganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan
memberi-kan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya
yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah dan jangan-lah kamu merajalela di muka bu-mi membuat
kerusakan.” (QS. Al A’raaf, 7: 73-74) !
Sebagaimana dapat dipahami dari
ayat ini, terdapat hubungan antara kaum ‘Ad dan kaum Tsamud, bahkan mungkin
kaum ‘Ad pernah menjadi bagian dari sejarah dan budaya kaum Tsamud. Nabi Shalih
memerintahkan untuk mengingat kejadian kaum ‘Ad dan mengambil peringatan dari
me-reka.
Kaum ‘Ad ditunjukkan kepada contoh
dari kaum Nabi Nuh yang per-nah hidup sebelum mereka. Sebagaimana kaum ‘Ad
mempunyai kaitan penting untuk sejarah kaum Tsamud, kaum Nabi Nuh juga
mempunyai kaitan penting untuk sejarah kaum 'Ad. Kaum-kaum ini saling mengenal
dan kemungkinan berasal dari garis keturunan yang sama.
Dari sini dapat disusun urutan
kejadian yang diceritakan dalam Al Quran. Jika kita perkirakan kaum Tsamud
muncul paling dulu di abad 8 SM, maka dapat ditarik sebuah kronologi. Yang
terlebih dahulu dihan-curkan setelah kaum Nuh adalah kaum Luth, kemudian dalam masa
Nabi Musa terjadi penenggelaman Fir'aun (kemungkinan besar Ramses II) dan
tentaranya di Laut Merah. Berikutnya adalah dikirimkannya angin badai yang
menghancurkan kaum ‘Ad dan terakhir adalah penghancuran ka-um Tsamud. Hukuman
terhadap kaum Nabi Nuh adalah yang pertama terjadi. Bila urut-urutan ini dapat
dipertimbangkan, maka tabelnya adalah sebagai berikut :
Tentu saja urut-urutan ini tidak bisa
dikatakan sangat tepat, namun hal ini menghasilkan sebuah urutan, baik menurut
penggambaran dalam Al Quran dan data-data sejarah.
Kita telah menyebutkan bahwa Al Quran
menceritakan tentang ada-nya hubungan antara kaum ‘Ad dan Tsamud. Kaum Tsamud
diingatkan untuk mengingat kejadian kaum ‘Ad serta mengambil pelajaran dari
penghancuran mereka. Meskipun secara geografis kaum ‘Ad dan Tsa-mud sangat
berjauhan dan sepertinya tidak berhubungan, namun dalam ayat yang ditujukan
kepada kaum Tsamud dikatakan untuk mengingat kaum ‘Ad.
Jawabannya muncul setelah
penyelidikan singkat dari berbagai sum-ber, bahwa memang terdapat hubungan yang
sangat kuat antara kaum Tsamud dan kaum ‘Ad. Kaum Tsamud mengenal kaum ‘Ad
karena ke-dua kaum ini sepertinya berasal dari asal usul yang sama. Britannica
Micropaedia menuliskan tentang orang-orang ini dalam sebuah tulisan berjudul
“Tsamud”:
Di Arabia Kuno, suku atau kelompok
suku tampaknya telah memiliki keung-gulan sejak sekitar abad 4 SM sampai
pertengahan awal abad 7 M. Meskipun kaum Tsamud mungkin berasal dari Arabia
Selatan, sekelompok besar tam-paknya pindah ke utara pada masa-masa awal,
secara tradisional berdiam di lereng gunung (jabal) Athlab. Penelitian
arkeologi terakhir mengungkapkan sejumlah besar tulisan dan gambar-gambar batu
tentang kaum Tsamud, tidak hanya di Jabal Athlab, tetapi juga di seluruh Arabia
Tengah.31
Tulisan yang secara grafis mirip
dengan abjad Smaitis (yang disebut Tsamudis) telah diketemukan mulai dari
Arabia Selatan hingga ke Hijaz.32 Tulisan itu, yang pertama ditemukan di daerah
Utara Yaman Tengah yang dikenal sebagai Tsamud, dibawa ke Utara dekat Rub’al
Khali, ke selatan dekat Hadhramaut serta ke Barat dekat Shabwah.
Sebelumnya kita telah memahami bahwa
kaum ‘Ad adalah seke-lompok orang yang hidup di Arabia Selatan. Ada kenyataan
penting bah-wa banyak peninggalan kaum Tsamud ditemukan di daerah tempat ka-um
‘Ad pernah hidup, khususnya sekitar bangsa Hadhram, anak cucu ‘Ad, mendirikan
ibu kotanya. Keadaan ini menjelaskan hubungan kaum ‘Ad dan Tsamud yang
disebutkan dalam Al Quran. Hubungan tersebut diterangkan dalam perkataan Nabi
Shalih ketika mengatakan bahwa kaum Tsamud datang untuk menggantikan kaum ‘Ad :
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum
Tsamud saudara mereka Shalih. Ia berkata; ”Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain-Nya.... Dan ingatlah olehmu di waktu
Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan
memberikan tempat bagimu di bumi.” (QS. Al A’raaf, 7: 73-74) !
Singkatnya, kaum Tsamud telah
mendapat ganjaran atas pembang-kangan terhadap nabi mereka, dan dihancurkan.
Bangunan-bangunan yang telah mereka bangun dan karya seni yang telah mereka
buat tidak dapat melindungi mereka dari azab. Kaum Tsamud dihancurkan dengan
azab yang mengerikan seperti halnya umat-umat lainnya yang meng-ingkari
kebenaran, yang terdahulu maupun yang terkemudian.
Picture Text
Dari Al Quran diketahui bahwa kaum
Tsamud adalah anak cucu dari kaum ‘Ad. Bersesuaian dengan ini, temuan-temuan arkeologis
memperlihatkan bahwa akar dari kaum Tsamud yang hidup di utara Semenanjung
Arabia, berasal dari selatan Arabia di mana kaum ‘Ad pernah hidup.
Dua ribu tahun silam, kaum Tsamud
telah mendirikan sebuah kerajaan bersama bangsa Arab yang lain, yaitu kaum
Nabatea. Saat ini di Lembah Rum yang juga disebut dengan Lembah Petra di
Yordania, dapat dilihat berbagai contoh terbaik karya pahat batu kaum ini.
Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, keunggulan kaum Tsamud adalah dalam
pertukangan.
Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan
menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan
memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya
yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat
kerusakan.
(QS. Al A'raaf, 7: 74)
BAB 6
FIR’AUN
YANG DITENGGELAMKAN
“(Keadaan mereka) serupa dengan
keadaan Fir’aun
dan pengikut-pengikutnya serta
orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami
membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan
pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al
Anfaal, 8: 54). !
Peradaban Mesir Kuno, bersama negara-negara
kota lainnya di Mesopotamia dalam masa yang sama, dikenal sebagai salah satu
peradaban tertua di dunia dan dikenal sebagai negara terorganis-asi dengan
tatanan sosial paling maju di zamannya. Fakta bahwa mereka telah menemukan dan
menggunakan tulisan sekitar alaf ke-3 SM, serta memanfaatkan Sungai Nil dan
terlindung dari berbagai bahaya dari luar berkaitan dengan kondisi alamiah
negeri tersebut, sangat berarti bagi bangsa Mesir untuk peningkatan peradaban
mereka.
Namun, pada masyarakat yang “beradab”
ini pula berlaku “pemerin-tahan Fir’aun”, suatu sistem kekafiran yang paling
jelas dan lugas dise-butkan dalam Al Quran. Mereka penuh kesombongan,
mengesamping-kan kebenaran, dan menghina Tuhan. Dan pada akhirnya, peradaban
me-reka yang maju, tatanan sosial politik, bahkan militer mereka yang kuat
tidak bisa menyelamatkan mereka dari kehancuran.
Otoritas Para Fir'aun
Peradaban bangsa Mesir bersumber dari
kesuburan Sungai Nil. Bang-sa Mesir menghuni Lembah Nil karena melimpahnya air
di sungai ini, hingga mereka dapat mengolah tanah dengan persediaan air dari
sungai tanpa tergantung kepada musim hujan. Ahli sejarah Ernest H. Gombrich
menyatakan dalam tulisannya bahwa Afrika sangat panas dan terkadang tidak ada
hujan selama berbulan-bulan. Karena itulah, banyak wilayah di benua besar ini
luar biasa keringnya. Bagian-bagian itu dihampari oleh lautan pasir yang sangat
luas. Kedua sisi Sungai Nil juga ditutupi pasir dan di Mesir pun jarang turun hujan.
Namun di negeri ini, hujan tidak terlalu dibutuhkan karena Sungai Nil mengalir
tepat di tengah seluruh negeri.33
Jadi barang siapa dapat menguasai
Sungai Nil yang begitu penting-nya, dia pun dapat menguasai sumber terbesar
perdagangan dan per-tanian Mesir. Para Fir’aun bisa melanggengkan dominasinya
atas Mesir dengan jalan ini.
Lembah Nil yang sempit dan memanjang
tidak memungkinkan unit-unit kependudukan yang bertempat di sekitar sungai
berkembang ba-nyak. Karena itulah bangsa Mesir membentuk peradaban yang
terbangun dari kota-kota kecil dan perkampungan, bukan dari kota-kota besar.
Faktor ini juga memperkuat dominasi para fir’aun atas masyarakatnya.
Raja Menes dikenal sebagai fir’aun
Mesir pertama yang menyatukan seluruh Mesir Kuno untuk pertama kalinya dalam
sejarah dalam sebuah negara kesatuan, kurang lebih pada alaf ke-3 SM.
Kenyataannya, istilah “fir’aun” semula merujuk kepada istana raja Mesir, namun
perlahan-lahan menjadi gelar dari raja-raja Mesir. Begitulah sebabnya raja yang
memerintah Mesir kuno mulai disebut ”fir’aun”.
Sebagai pemilik, pengatur dan
penguasa dari keseluruhan negara dan wilayah-wilayahnya, para fir’aun ini
dianggap sebagai pengejawan-tahan dari dewa terbesar dalam kepercayaan Mesir
Kuno yang politeistik dan menyimpang. Administrasi tanah rakyat Mesir,
pembagian, penda-patan mereka, singkatnya, seluruh pertanian, jasa, dan
produksi dalam batas-batas wilayah negara dikelola atas nama fir’aun.
Absolutisme dalam rezim tersebut
melengkapi pemerintahan fir’aun dengan kekuasaan yang memungkinkannya melakukan
apa pun yang ia inginkan. Pada saat penegakan dinasti pertama, kala Menes yang
menjadi raja Mesir pertama dengan menyatukan Mesir Hulu dan Hilir, Sungai Nil
disalurkan kepada penduduk melalui saluran-saluran air. Di samping itu, seluruh
produksi berada di bawah kontrol dan seluruh barang dan jasa diberikan untuk
sang raja. Rajalah yang mendistri-busikan dan membagi barang dan jasa dalam
proporsi yang dibutuhkan rakyat. Hal ini tidaklah sulit bagi raja, yang telah
menggalang kekuasaan sedemikian besar di negeri itu, untuk menekan rakyat dalam
ketun-dukan. Raja Mesir, atau kelak disebut fir’aun, dipandang sebagai makhluk
suci yang memegang kekuasaan besar dan mencukupi semua kebutuhan rakyatnya: dan
ia dipandang sebagai tuhan. Akhirnya, para fir’aun percaya bahwa mereka memang
tuhan.
Perkataan Fir’aun yang disebutkan
dalam Al Quran dan diucapkan-nya dalam percakapan dengan Musa membuktikan bahwa
mereka me-megang kepercayaan ini. Ia mencoba mengancam Musa dengan mengata-kan:
”Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan
kamu salah seorang yang dipenjarakan”. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 29), dan ia
berkata kepada orang-orang di sekelilingnya: ”Aku tidak mengetahui tuhan bagimu
selain aku”. (QS. Al Qashash, 28: 38). Ia mengatakan ini semua karena
menganggap dirinya adalah tuhan.
Kepercayaan Religius
Menurut Herodotus, seorang ahli
sejarah, bangsa Mesir Kuno adalah bangsa yang paling “taat” di dunia. Namun
agama mereka bukanlah aga-ma kebenaran, melainkan sebuah bentuk politeisme
sesat, dan mereka tidak bisa meninggalkan agama mereka yang sesat karena teguh
me-megang tradisi.
Bangsa Mesir Kuno sangat dipengaruhi
oleh lingkungan alam mere-ka. Keadaan alam Mesir secara sempurna melindungi
negara tersebut dari serangan luar. Mesir dikelilingi gurun pasir, pegunungan,
dan lautan di semua sisi. Serangan terhadap negara tersebut hanya mungkin
dilaku-kan dengan dua jalan, dan sangat mudah bagi mereka untuk memperta-hankan
diri. Bangsa Mesir tetap terisolasi dari dunia luar berkat faktor-faktor alam
ini. Namun abad-abad yang berlalu mengubah isolasi ini menjadi kefanatikan
buta. Akhirnya, bangsa Mesir memperoleh cara berpikir yang membelenggu mereka
dari perkembangan dan hal-hal yang baru, serta sangat konservatif terhadap agama
mereka. “Agama nenek moyang” yang sering disebutkan dalam Al Quran menjadi
nilai paling penting bagi mereka.
Karena itulah Fir’aun dan para
petingginya ingkar ketika Musa dan Harun mengumum-kan agama yang hak kepada
mereka, dengan mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada ka-mi untuk
memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek mo-yang kami mengerjakannya,
dan supaya kamu berdua mempu-nyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan
mempercayai kamu berdua.” (QS. Yunus, 10: 78) !
Agama bangsa Mesir Kuno
ber-cabang-cabang, yang terpenting adalah agama resmi negara, berba-gai
kepercayaan rakyat, dan keper-cayaan terhadap kehidupan setelah kematian.
Menurut agama resmi negara, fir’aun
adalah mahkluk yang suci. Dia adalah pengejawantahan dari tuhan-tuhan mereka di
muka bumi dan tujuannya adalah untuk menyelenggarakan keadilan dan melin-dungi
mereka di dunia.
Kepercayaan yang berkembang luas di
kalangan masyarakat sangat rumit dan unsur-unsur yang berbenturan dengan
kepercayaan resmi negara ditekan oleh pemerintahan para fir’aun. Pada dasarnya,
mereka mempercayai banyak tuhan, dan tuhan-tuhan ini biasanya digambarkan
memiliki kepala binatang dengan tubuh manusia.
Kehidupan setelah mati merupakan
bagian terpenting dalam keper-cayaan bangsa Mesir. Mereka percaya bahwa roh
akan terus hidup setelah jasad mati. Menurut kepercayaan ini, roh-roh orang
mati dibawa oleh ma-laikat-malaikat khusus kepada Tuhan yang menjadi hakim dan
42 saksi hakim lain; sebuah timbangan diletakkan di tengah-tengah, dan hati
sang roh ditimbang dengannya. Mereka yang kebaikannya lebih berat dibawa ke
suatu tempat yang indah dan hidup dalam kebahagiaan, sedang mereka yang
kejahatannya lebih berat dikirim ke suatu tempat di mana mereka mendapatkan
siksaan yang berat. Di sana mereka disiksa selama-lamanya oleh sebuah makhluk
aneh yang disebut dengan “Pemakan Kematian”.
Kepercayaan bangsa Mesir terhadap
hari akhirat jelas menunjukkan kesejajaran dengan kepercayaan monoteistik dan
agama yang benar. Bah-kan kepercayaan mereka kepada hari akhirat saja
membuktikan bahwa agama yang benar dan wahyu telah mencapai peradaban Mesir
Kuno, namun agama ini kemudian diselewengkan, dan monoteisme berubah menjadi
politeisme. Seperti telah diketahui, para pemberi peringatan yang menyeru
manusia untuk mengesakan Allah dan memerintahkan mereka untuk menjadi
hamba-Nya, telah diutus di Mesir dari masa ke masa, sebagaimana kepada seluruh
penduduk dunia pada satu masa atau masa yang lain. Salah satunya adalah Nabi
Yusuf yang kehidupannya secara terperinci diceritakan dalam Al Quran. Sejarah
Nabi Yusuf adalah sangat penting karena menyebutkan kehadiran Bani Israil di
Mesir dan bermukimnya mereka di sana.
Sementara, dalam sumber-sumber
sejarah terdapat rujukan tentang orang-orang Mesir yang menyeru manusia kepada
agama-agama Mono-teistik, bahkan sebelum nabi Musa. Salah satunya adalah
fir'aun yang paling menarik dalam sejarah Mesir, yakni Amenhotep IV.
Fir'aun Amenhotep IV yang Monoteistik
Fir’aun-fir’aun Mesir pada umumnya
bersifat brutal, menindas, suka berperang dan bengis. Umumnya mereka menganut
agama politeisme Mesir dan mendewakan diri mereka melalui agama ini.
Namun ada seorang fir’aun dalam
sejarah Mesir yang sangat berbeda dengan lainnya. Fir'aun ini mempertahankan
kepercayaan terhadap Pencipta tunggal dan mendapatkan perlawanan hebat dari
para pendeta Ammon, yang mendapat keuntungan dari agama politeisme dan
bebe-rapa prajurit yang mendukung mereka, sehingga akhirnya ia terbunuh.
Fir’aun ini adalah Amenhotep IV yang mulai berkuasa di abad ke-14 SM.
Ketika dinobatkan pada tahun 1375 SM,
Amenhotep IV berseberang-an dengan konservatisme dan tradisionalisme yang telah
berlangsung selama berabad-abad. Hingga saat itu, struktur masyarakat dalam
hu-bungan rakyat dengan istana kerajaan terus berlanjut tanpa perubahan.
Masyarakat menutup pintu rapat-rapat dari peristiwa di luar dan pem-baruan
agama. Konservatisme ekstrem ini, yang juga disebutkan oleh para pengembara
Yunani Kuno, diakibatkan oleh kondisi geografis alam Mesir yang telah
disebutkan di atas.
Agama resmi yang ditekankan para
fir'aun kepada rakyat menuntut kepercayaan yang tidak terbatas dalam segala hal
yang lama dan tradisi-onal. Namun Amenhotep IV tidak menganut agama resmi
tersebut. Ahli sejarah Ernst Gombrich menulis:
Dia (Amenhotep IV) mengubah banyak
kebiasaan yang disucikan oleh tradisi yang telah berbilang abad. Ia tidak mau
menyembah berbagai tuhan kaumnya yang aneh-aneh bentuknya. Baginya hanya ada
satu Tuhan yang perkasa, Aton, yang ia sembah dan tampilkan dalam bentuk
matahari. Ia menyebut dirinya Akhenaton, mengikuti nama tuhannya dan
memindahkan istananya di luar jangkauan para pendeta dari tuhan-tuhan yang lain
ke suatu tempat yang sekarang disebut El-Amarna.34
Setelah kematian ayahnya, Amenhotep
IV muda men-dapat tekanan hebat. Tekanan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ia
mengembangkan sebuah agama yang berdasarkan monoteisme dengan mengubah agama
politeistik tradisi-onal Mesir dan berupaya melakukan perubahan-perubahan
radikal dalam berbagai bidang. Namun para pemimpin Thebes tidak mengizinkannya
menyampaikan ajaran agama ini. Amen-hotep IV dan para pengikutnya kemudian
pindah dari kota Thebes dan bermukim di Tell-El-Amarna. Di sini mereka
membangun sebuah kota baru dan modern yang dinamakan ”Akh-en-aton”. Amenhotep
IV mengubah namanya yang berarti “Kegembiraan Amon” menjadi Akh-en-aton yang
berarti “Tunduk kepada Aton”. Amon adalah nama yang diberikan kepada totem
terbesar dalam kepercayaan politeisme bangsa Mesir. Menurut Amenhotep, Aton
adalah “pencipta langit dan bumi”, penyamaan sebutannya untuk Allah.
Karena merasa terganggu oleh
perkembangan ini, para pendeta Ammon berkeinginan merenggut kekuatan Akhenaton
dengan mengambil kesempatan dari terjadinya krisis ekonomi di Mesir. Akhenaton
akhirnya mati diracun oleh komplotan itu. Para fir’aun setelahnya berhati-hati
untuk tetap berada di bawah pengaruh para pendeta tersebut.
Setelah Akhenaton, berkuasa para
fir’aun dengan latar belakang ke-militeran. Mereka membuat tersebarnya kembali
politeisme dari tradisi lama dan berusaha keras untuk kembali ke masa lalu.
Hampir seabad kemudian, Ramses II, yang paling lama kekuasaannya dalam sejarah
Mesir, diangkat menjadi raja. Menurut banyak ahli sejarah, Ramses ada-lah
fir’aun yang menyiksa bani Israil dan berperang melawan Nabi Musa.35
Kedatangan Nabi Musa
Karena begitu hebatnya kefanatikan
mereka, bangsa Mesir Kuno ti-dak mau meninggalkan kepercayaan mereka yang
tertanam kuat. Walau telah datang kepada mereka beberapa orang yang menyerukan
untuk me-nyembah Allah semata, kaum Fir’aun selalu berpaling kepada
keper-cayaan mereka yang sesat. Akhirnya, Nabi Musa diutus Allah sebagai rasul
bagi mereka, selain karena mereka telah mengambil sistem penuh kepalsuan yang
bertentangan dengan agama yang hak, juga karena mere-ka telah melakukan perbudakan
atas Bani Israel. Musa diperintahkan untuk mengajak bangsa Mesir kepada agama
yang hak, juga menye-lamatkan Bani Israil dari perbudakan dan menunjuki mereka
jalan yang benar. Dalam Al Quran hal ini disebutkan:
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari
kisah Musa dan Fir'-aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman.
Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadi-kan
penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih
anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.
Sesungguhnya Fir'aun termasuk ke dalam orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan
Kami hendak mem-beri karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir)
itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang
yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedu-dukan mereka di muka bumi dan
akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman beserta tentaranya apa yang
selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.” (QS. Al Qashash, 28: 3-6) !
Fir'aun ingin mencegah bertambahnya
Bani Israil dengan cara mem-bunuh semua bayi laki-laki yang baru lahir. Karena
itulah, dengan ilham dari Allah SWT, ibunda Musa menempatkan Musa ke dalam
sebuah ke-ranjang dan menghanyutkannya ke sungai. Hal inilah yang membawa-nya
ke istana Fir'aun. Inilah ayat dalam Al Quran yang menyebutkan hal ini:
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa;
”Susukanlah dia dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke
dalam sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih
hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepada-mu, dan
menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. Maka dipu-ngutlah ia oleh
keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.
Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beser-ta tentara-tentaranya adalah orang-orang
yang bersalah.”
Dan berkatalah istri Fir’aun: ”(Ia) biji
mata bagiku dan bagimu. Ja-nganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia
bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak”, sedangkan mereka tiada
menyadari.” (QS. Al Qashash, 28 : 7-9) !
Istri Fir’aun mencegah Musa dibunuh
dan mengangkatnya menjadi anak. Begitulah, Musa menghabiskan masa kecilnya di
istana Fir'aun. Dengan pertolongan Allah, ibu kandung Musa dibawa ke istana
sebagai ibu asuhnya.
Ketika telah dewasa, suatu hari Musa
melihat seorang Bani Israil dianiaya oleh seorang Mesir. Lalu Musa menengahi
dan memukul si orang Mesir dengan satu pukulan yang ternyata mengakibatkan
kema-tiannya. Walau Musa hidup di istana Fir’aun dan telah diangkat anak oleh
permaisuri, pimpinan kota memutuskan hukuman mati untuk Musa. Mendengar ini,
Musa pun melarikan diri dari Mesir dan pergi ke Madyan. Pada akhir periode yang
ia habiskan di sana, Allah berfirman langsung kepadanya dan memberinya status
kenabian. Ia diperintahkan kembali kepada Fir’aun dan menyampaikan risalah
Allah kepadanya.
Istana Fir’aun
Musa dan Harun pergi kepada Fir’aun
untuk menjalankan perintah Allah dan menyampaikan kepadanya risalah agama
kebenaran. Mereka meminta Fir’aun berhenti menyiksa bani Israel dan membiarkan
mereka pergi bersama Musa dan Harun. Fir'aun tak dapat menerima kenyataan bahwa
Musa yang telah dipeliharanya bertahun-tahun dan kemungkin-an besar menjadi
pewaris tahtanya kelak, menentangnya dan berbicara kepadanya seperti itu.
Dengan alasan itu, Fir’aun menuduh Musa tidak tahu berterima kasih:
“Fir'aun menjawab: ”Bukankah kami telah
mengasuhmu di dalam (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu
tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu, dan kamu telah berbuat suatu
perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang
yang tidak membalas guna”. (QS. Asy-Syu'araa’, 26: 18-19) !
Fir’aun mencoba mempermainkan
perasaan Musa dan mempenga-ruhi kata hatinya. Seolah ia mengatakan bahwa karena
ia dan istrinyalah yang telah membesarkan Musa, maka Musalah yang seharusnya
mema-tuhi mereka. Apalagi, Musa telah membunuh seorang Mesir. Semua tin-dakan
ini diganjar dengan hukuman berat menurut bangsa Mesir. Suasa-na emosional yang
coba diciptakan Fir’aun juga ditujukan untuk mempe-ngaruhi para pemimpin dari
rakyatnya, sehingga mereka pun menyetujui Fir’aun.
Di sisi lain, risalah agama kebenaran
yang disampaikan Musa mengurangi kekuasaan Fir'aun dan menurunkan derajatnya
setingkat orang-orang kebanyakan. Selanjutnya, akan terungkap bahwa ia
bukan-lah tuhan dan lebih jauh lagi, ia akan harus tunduk kepada Musa. Di
samping itu, jika ia membebaskan bani Israil, ia akan kehilangan banyak tenaga
kerja penting dan akan menimbulkan bahaya besar.
Karena semua itulah, Fir’aun tidak
mau mendengarkan Musa. Ia mencoba mempermainkannya dan berusaha mengubah pokok
pembica-raan dengan mengajukan pertanyaan yang tidak berarti. Ia sekaligus
mencoba untuk mencitrakan Musa dan Harun sebagai pembuat keonaran dan menuduh
mereka mempunyai motif-motif politik tertentu. Akhir-nya, baik Fir’aun maupun
para pemimpin kaum serta para pembesarnya, kecuali para tukang sihir, menolak
Musa dan Harun. Mereka menging-kari agama kebenaran yang ditunjukkan kepada mereka.
Itulah sebabnya Allah pertama-tama mengirimkan berbagai bencana kepada mereka.
Bencana yang Menimpa Fir'aun dan Para Pembesarnya
Fir’aun dan para pembesarnya sangat
terikat terhadap politeisme dan keberhalaan, “agama leluhur mereka”, sehinga
tidak terpikirkan oleh mereka untuk meninggalkannya. Bahkan dua mukjizat Musa,
tangannya yang mengeluarkan sinar putih serta tongkatnya yang berubah menjadi
ular, tidaklah cukup untuk membuat mereka untuk berpaling dari takhyul mereka.
Lebih-lebih lagi, mereka mengungkapkan hal ini secara terbuka. Mereka berkata: ”Bagaimanapun
kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan
itu, maka kami sekali-kali tidak akan pernah beriman kepadamu”. (QS Al A’raaf,
7: 132).
Karena sikap mereka, Allah
mengirimkan sejumlah bencana kepada mereka sebagai “mukjizat tersendiri” untuk
membuat mereka merasa-kan azab di dunia, sebelum siksaan abadi di alam
keabadian. Pertama-tama mereka diberi masa kekeringan panjang dan paceklik.
Berkaitan dengan ini dikatakan dalam Al Quran: ”Dan sesungguhnya Kami telah
menghukum (Fir'aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang
panjang dan kekurangan buah-buahan supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al
A'raaf, 7: 130).
Sistem pertanian Bangsa Mesir
berbasis pada Sungai Nil dan karena itu, mereka tidak terpengaruh oleh
perubahan keadaan alam. Namun se-buah bencana yang tak terduga menimpa mereka
karena Fir’aun dan kalangan dekatnya yang sombong dan angkuh terhadap Allah dan
mengingkari Rasul-Nya. Kemungkinan besar, dengan berbagai sebab, permukaan
Sungai Nil menyusut secara mencolok dan saluran irigasi yang berasal dari
sungai tidak mampu mengalirkan air yang cukup untuk lahan pertanian mereka.
Panas yang menyengat menyebabkan tanaman pertanian mengering. Dengan demikian,
bencana menimpa Fir’aun dan lingkaran dekatnya dari arah yang sama sekali tidak
terduga, dari Sungai Nil yang mereka andalkan. Musim kemarau yang
berkepanjangan men-cemaskan hati Fir’aun yang sebelumnya biasa berkata kepada
kaumnya sebagai berikut: ”Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini
kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah
kamu tidak melihat(nya)?” (QS. Az-Zukhruf, 43: 51).
Namun, bukannya memberi perhatian
sebagaimana ditunjukkan ayat-ayat tersebut, mereka malahan menganggap semua
kejadian ter-sebut karena kesialan yang dibawa oleh Musa dan bani Israil.
Mereka dikuasai oleh keyakinan seperti itu karena kepercayaan takhyul dan agama
leluhur mereka. Karenanya, mereka memilih untuk menderita oleh bencana yang
hebat. Namun, yang menimpa mereka tidaklah ter-batas sampai di sini. Ini
hanyalah permulaan. Selanjutnya, Allah me-ngirimkan kepada mereka serangkaian
bencana lain. Bencana-bencana ini disebutkan sebagai berikut dalam Al Quran: :
“Maka Kami kirimkan kepada mereka
taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka
tetap menyom-bongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa”. (QS. Al A’raaf,
7: 133) !
Bencana-bencana yang dikirimkan Allah
terhadap Fir’aun dan orang-orang ingkar di sekitarnya disebutkan pula dalam
Perjanjian Lama seba-gaimana dalam Al Quran :
“Dan di
seluruh tanah Mesir ada darah. (Keluaran, 7: 21)
Jika engkau menolak membiarkannya
pergi, maka Aku akan menu-lahi seluruh daerahmu dengan katak. Katak-katak akan
mengeriap dalam Sungai Nil, lalu naik dan masuk ke dalam istanamu dan ka-mar
tidurmu, ya, dan sampai ke dalam tempat tidurmu, ke dalam rumah
pegawai-pegawaimu, dan rakyatmu, bahkan ke dalam pem-bakaran rotimu serta ke
dalam tempat adonanmu. (Keluaran, 8: 2-3)
Berfirmanlah Tuhan kepada Musa,
“Katakanlah kepada Harun: Ulurkanlah tongkatmu dan pukulkanlah itu ke debu
tanah, maka debu itu akan menjadi nyamuk di seluruh tanah Mesir.” (Keluaran, 8:
16)
Datanglah belalang meliputi seluruh
tanah Mesir, dan hinggap di seluruh daerah Mesir, sangat banyak; sebelum itu
tidak pernah ada belalang yang demikian banyaknya dan sesudah itu pun tidak
akan terjadi lagi yang demikian. (Keluaran, 10: 14)
Lalu berkatalah para ahli itu kepada
Fir'aun: “Inilah tangan Allah.” Tetapi hati Fir'aun berkeras, dan ia tidak mau
mendengarkan mereka seperti yang telah difirmankan Tuhan.” (Keluaran, 8: 19)
Bencana yang mengerikan terus menimpa
Fir’aun dan para pembe-sarnya. Beberapa dari bencana ini disebabkan oleh objek
yang disembah oleh orang-orang musyrik ini. Sebagai contoh, Sungai Nil dan
katak mere-ka keramatkan dan pertuhankan. Saat mereka mengharapkan petunjuk dan
meminta pertolongan dari “tuhan-tuhan” mereka, Allah menghu-kum mereka melalui
“tuhan-tuhan” itu sendiri, sehingga mereka dapat melihat kesalahan mereka dan
menerima ganjaran atas kesesatan yang mereka lakukan.
Menurut para penafsir Perjanjian
Lama, yang dimaksud dengan “da-rah” adalah perubahan Sungai Nil menjadi merah.
Hal ini dijelaskan seba-gai suatu perumpamaan bagi berubahnya Sungai Nil
menjadi merah kental. Menurut sebuah penafsiran, yang mengakibatkan warna merah
adalah sejenis bakteri.
Sungai Nil adalah sumber kehidupan
utama bagi bangsa Mesir. Keru-sakan apa pun yang terjadi pada sumber ini dapat
berarti kematian bagi seluruh Mesir. Jika bakteri telah menutupi seluruh
permukaan Sungai Nil sampai mengubahnya berwarna merah, setiap mahkluk hidup
yang menggunakan air tersebut akan terinfeksi oleh bakteri ini.
Penjelasan terbaru tentang penyebab
merahnya warna air telah me-nunjuk protozoa, zooplankton, ganggang
(fitoplankton) air asin maupun tawar, dan dinoflagellata sebagai kemungkinan
besar. Semua jenis ini baik tumbuhan, jamur, ataupun protozoa mengisap oksigen
dari dalam air dan menghasilkan racun yang berbahaya baik bagi ikan maupun
katak.
Dengan mengutip peristiwa Eksodus
dalam Kitab Injil, Patricia A Tester dari National Marine Fisheries Service
yang menulis dalam Annals of the New York Academy of Science mencatat bahwa
walau kurang dari 50 spesies, dari sekitar 5000 spesies fitoplankton yang
dikenal, adalah be-racun, namun spesies beracun tersebut dapat membahayakan
kehidupan air. Dalam terbitan yang sama, Ewen C.D. Todd dari Health Canada,
dengan merujuk data sejarah dan prasejarah, mengutip hampir dua lusin contoh
dari fitoplankton tertentu yang menyebabkan berbagai wabah penyakit di seluruh
penjuru dunia. W.W. Carmichael dan I.R. Falconer mendaftar penyakit-penyakit
yang berkaitan dengan ganggang biru-hijau yang hidup di air tawar. Joann M.
Burkholder, ahli Ekologi perairan dari North Carolina State University
menyebutkan bahwa sejenis dinoflagellata, Pfiesteria piscimorte (ditemukan di
perairan muara), seperti ditunjukkan namanya, dapat membunuh ikan .36
Di masa Fir’aun, rangkaian bencana
seperti ini tampaknya terjadi. Menurut skenario ini, ketika Sungai Nil
tercemar, maka ikan-ikan pun mati dan bangsa Mesir kehilangan salah satu sumber
nutrisinya yang sangat penting. Tanpa ikan pemangsa, maka katak-katak dapat
berkem-bang biak dengan sangat bebas di kolam-kolam dan di sungai Nil,
sehing-ga melimpahi sungai, kemudian menghindari lingkungan beracun dan
membusuk dengan berpindah ke daratan, hingga di sini mereka mati dan terurai
bersama ikan-ikan. Sungai Nil dan tanah yang berdekatan de-ngannya membusuk,
dan airnya berbahaya untuk diminum maupun digunakan untuk mandi. Terlebih lagi
punahnya spesies katak menye-babkan berbagai jenis serangga seperti caplak dan
kutu ber-kembang biak secara besar-besaran.
Akhirnya, bagaimanapun terjadinya
bencana tersebut dan apa pun dampak yang diakibatkannya, baik Fir’aun maupun
kaumnya tetap tidak berpaling kepada Allah dengan penuh perhatian, mereka malah
tetap bertahan dengan keangkuhannya.
Fir’aun dan para pembesarnya begitu
hipokrit, sehingga mereka me-ngira bahwa mereka dapat memperdayakan Musa dan
juga, Allah. Ketika hukuman yang mengerikan menimpa mereka, mereka segera
memanggil Musa dan memintanya untuk menyelamatkan mereka dari bencana tersebut:
“Dan ketika ditimpa azab (yang telah
diterangkan itu) mereka pun berkata: Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada
Tuhanmu de-ngan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu.
Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu daripada kami pasti kami
akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu”. Maka
setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka
sampai kepadanya, tiba-tiba mereka pun mengingkarinya.” (QS. Al A’raaf, 7:
134-135) !
Keluar dari Mesir
Allah menerangkan kepada Fir’aun dan
para pembesarnya melalui Musa apa yang seharusnya mereka perhatikan, lalu
memberi peringatan kepada mereka. Sebagai tanggapan, mereka menolak dan menuduh
Mu-sa kesurupan dan berdusta. Allah mempersiapkan akhir yang menghina-kan bagi
mereka. Ia mengungkapkan kepada Musa apa yang akan terjadi:
“Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada
Musa: “Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil),
kare-na sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli.” Kemudian Fir’aun mengirimkan
orang yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. (Fir’aun berkata):
“Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil, dan sesungguhnya
mereka membuat hal-hal yang me-nimbulkan amarah kita, dan sesungguhnya kita
benar-benar golong-an yang selalu berjaga-jaga”. Maka Kami keluarkan Fir’aun
dan ka-umnya dari taman-taman dan mata air, dan (dari) perbendaharaan dan
kedudukan yang mulia, demikianlah halnya dan Kami anuge-rahkan semuanya (itu)
kepada Bani Israil. Maka Fir’aun dan bala tentaranya menyusuli mereka di waktu
matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. (QS.
Asy-Syu’araa’, 26: 52-61) !
Dalam keadaan di mana bani Israil
merasa terjebak, dan orang-orang Fir’aun mengira bahwa mereka akan segera
menangkap bani Israil, Musa berkata, tanpa pernah kehilangan kepercayaan akan
pertolongan Allah:
“Sekali-kali tidak akan tersusul;
sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS.
Asy-Syu’araa’, 26: 62) !
Pada saat itu Allah menyelamatkan
Musa dan Bani Israel dengan membelah lautan. Fir’aun dan orang-orangnya
tenggelam di dalam air yang menutup di atas kepala mereka setelah bani Israil
menyeberang dengan selamat.
“Lalu Kami wahyukan kepada Musa:
”Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan
tiap-tiap belahan ada-lah seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami
dekatkan go-longan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang
besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat)
dan tetapi kebanyakan dari mere-ka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy-Syu’araa’,
26: 63-68) !
Tongkat Musa memiliki mukjizat. Allah
telah mengubahnya menjadi ular dalam penyampaian wahyu yang pertama kepadanya,
dan kemu-dian tongkat ini pula yang berubah menjadi ular yang menelan ular-ular
jadi-jadian dari ahli sihir Fir'aun. Sekarang, Musa membelah lautan de-ngan
tongkat yang sama. Inilah mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi Musa.
Di Manakah Peristiwa itu Terjadi,
di Pantai Laut Tengah Mesir atau
di Laut Merah?
Tidak ada kesamaan pendapat tentang
tempat Musa membelah la-utan. Karena tidak ada perincian tentang hal ini di
dalam Al Quran, kita tidak dapat meyakini ketepatan dari pandangan mana pun
terhadapnya. Beberapa sumber menunjukkan pantai Laut Tengah di Mesir sebagai
tempat lautan terbelah. Di dalam Ensiklopedia Judaica dikatakan:
Pendapat mayoritas dewasa ini
mengidentifikasi Laut Merah dalam Eksodus sebagai sebuah laguna di pantai Laut
Tengah.37
David Ben Gurion menyatakan bahwa
peristiwa tersebut kemung-kinan terjadi dalam masa pemerintahan Ramses II,
setelah kekalahan di Kadesh. Dalam Kitab Keluaran pada Perjanjian Lama,
dikatakan bahwa kejadiannya adalah di Migdol dan Baal-Zephon yang terletak di
sebelah utara delta. 38
Pandangan ini berdasarkan Perjanjian
Lama. Dalam terjemahan Kitab Keluaran dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa
Fir’aun dan orang-orangnya ditenggelamkan di Laut Merah. Namun menurut mereka
yang berpegang pada pandangan ini, kata yang diterjemahkan sebagai “Laut Merah
(Red Sea)” sebenarnya adalah “ Lautan Alang-Alang (Sea of Reeds)”. Kata ini
dikenal sebagai “Laut Merah” dalam berbagai sumber dan digu-nakan untuk lokasi
tersebut. Namun, “Lautan Alang-Alang” sebenarnya digunakan untuk merujuk kepada
pantai Laut Tengah di Mesir. Dalam Perjanjian Lama, ketika menyebutkan jalur
yang diambil oleh Musa dan para pengikutnya, kata Migdol dan Baal-Zephon
disebutkan, dan tempat-tempat ini terletak di utara Delta Nil, di pantai Mesir.
Sebagai implikasi-nya, Lautan Alang-Alang mendukung kemung-kinan bahwa kejadian
tersebut terjadi di pantai Mesir, karena di daerah ini, sesuai dengan namanya,
banyak tumbuh alang-alang berkat tanah lumpur delta.
Tenggelamnya Fir’aun dan Orang-orangnya di Lautan
Al Quran mewartakan kepada kita
tentang aspek-aspek terpenting dari peristiwa terbelahnya Laut Merah. Menurut
penuturan Al Quran, Musa berangkat meninggalkan Mesir bersama Bani Israil yang
mema-tuhinya. Namun Fir’aun tidak dapat menerima kepergian mereka yang tanpa
seizinnya. Ia dan tentaranya mengikuti mereka “dalam amarah dan dendam” (QS.
Yunus, 10: 90). Begitu Musa dan Bani Israil mencapai pan-tai, Fir'aun dan bala
tentaranya telah menyusul mereka. Beberapa orang Bani Israil yang melihat ini
mulai mengeluh kepada Musa. Menurut Per-janjian Lama mereka berkata kepada
Musa: ”Mengapa kamu membawa kami pergi dari negeri kami, di sana kami
diperbudak namun dapat hidup, sekarang kita akan mati”. Kelemahan komunitas ini
juga disebutkan dalam Al Quran dalam ayat berikut:
“Maka setelah kedua golongan itu saling
melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: ”Sesungguhnya kita benar-benar akan
ter-susul.” (QS Asy-Syu’araa’, 26: 61) !
Kenyataannya, ini bukanlah pertama
maupun terakhir kalinya Bani Israil menunjukkan perilaku sedemikian yang
menunjukkan ketidak-patuhan mereka. Kaum Musa sebelumnya pernah mengeluh
kepadanya dengan berkata:
“Kami telah ditindas (oleh Fir’aun)
sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab:
“Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di muka
bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (QS. Al A’raaf, 7:
129) !
Berlawanan dengan tingkah laku
umatnya yang lemah, Musa sangat percaya diri, karena ketinggian imannya kepada
Allah. Semenjak awal perjuangannya, Allah telah memberitahu ia bahwa
pertolongan dan du-kungan-Nya akan selalu bersama Musa:
“Janganlah kamu berdua khawatir,
sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. Maka datanglah
kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua
adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama ka-mi dan janganlah
kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa
bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan
kepada orang yang mengikuti petunjuk.” (QS. Thaahaa, 20: 46-47) !
Ketika pertama kali bertemu dengan
tukang sihir Fir’aun, Musa “me-rasa takut dalam hatinya” (QS. Thaahaa, 20: 67).
Karena itu, Allah pun mewahyukan kepada Musa untuk tidak takut; ”Janganlah kamu
takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang).” (QS. Thaahaa, 20:
68). Dengan demikian, Musa dididik oleh Allah dan memperoleh kema-tangan penuh
terhadap jalan-Nya. Sehingga, ketika sebagian kaumnya merasa takut akan tertangkap,
ia berkata: ”Sekali-kali tidak akan tersu-sul; sesungguhnya Tuhanku besertaku,
kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 62)
Allah mewahyukan kepada Musa bahwa ia
harus memukul lautan dengan tongkatnya: ”Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”.
Maka, ter-belahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang
besar. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 63). Sebenarnya, pada saat Fir’aun melihat
mukjizat tersebut, seharusnya ia menyadari bahwa telah terjadi suatu hal yang sangat
luar biasa, dan bahwa ia sedang melihat campur tangan ilahiah. Laut terbuka
bagi orang-orang yang ingin dihancurkan Fir’aun. Lebih jauh lagi, tidak ada
jaminan bahwa lautan tidak akan menutup kembali setelah mereka menyeberang.
Namun, ia dan bala tentaranya tetap mengejar Bani Israil ke dalam laut.
Kemungkinan besar, Fir’aun dan tentaranya telah kehilangan kemampuan untuk
berpikir sehat karena amarah dan kedengkian mereka, dan tidak mampu memahami
mukjizat dari keadaan tersebut.
Al Quran menggambarkan saat-saat
terakhir Fir’aun sebagai berikut:
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil
melintasi laut, lalu mereka di-ikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena
hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir
tengge-lam berkatalah ia: ”Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melain-kan Tuhan
yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah
diri (kepada Allah).” (QS. Yunus, 10: 90) !
Kita dapat melihat mukjizat lain Nabi
Musa dalam ayat berikut:
“Musa berkata: ”Ya Tuhan kami,
sesungguhnya Engkau telah mem-beri kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya
perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami, akibatnya
mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah
harta mereka dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga
mereka melihat siksaan yang pedih”. Allah berfirman: ”Sesungguhnya telah
diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan
yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang
tidak mengetahui.” (QS. Yunus, 10: 88-89) !
Dapat dipahami dengan jelas dari ayat
ini bahwa Musa diberi tahu sebagai jawaban atas permintaannya bahwa Fir’aun
akan percaya kepada Allah pada saat ia menghadapi azab yang pedih. Fir’aun
memang berkata bahwa ia beriman kepada Allah ketika air mulai
menenggelamkannya. Namun, sangat jelas bahwa perilakunya tidak tulus dan palsu.
Fir’aun kemungkinan besar mengatakan ini untuk menyelamatkan diri dari
kematian.
“Apakah sekarang (kamu baru percaya),
padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk
orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu
supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan
sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuatan Kami.”
(QS. Yunus, 10: 91-92) !
Kita juga diwartakan bahwa
orang-orang Fir'aun, sebagaimana Fir’aun sendiri, juga menerima bagian hukuman
mereka. Karena bala tentara Fir’aun adalah orang-orang yang “angkara murka dan
penuh kebencian” (QS. Yunus, 10: 91), “orang-orang yang berdosa” (QS. Al
Qashash, 28: 8), “berlaku salah” (QS. Al Qashash, 28: 40), dan “mengira bahwa
mereka tidak akan pernah kembali kepada Allah” (QS. Qashash, 28: 39) seperti
halnya Fir’aun, mereka pun patut menerima hukuman dari Allah. Maka Allah pun
melemparkan Fir'aun dan bala tentaranya ke dalam laut (QS. Al Qashash, 28: 40).
“Kemudian Allah menghukum mereka, dan
menenggelamkan mereka di laut karena mereka mendustakan dan lalai akan
ayat-ayat-Nya.” (QS. Al A’raaf, 7: 136) !
Allah menyebutkan dalam Al Quran
semua yang terjadi setelah ke-matian Fir'aun :
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang
ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang
telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang
baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka, dan Kami
hancurkan apa yang telah diperbuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah
dibangun oleh mereka.” (QS. Al A’raaf, 7: 137) !
Picture Text
Kepercayaan religius bangsa Mesir
kebanyakan berdasarkan kepada pengabdian terhadap tuhan-tuhan mereka. ”Perantara”
antara tuhan-tuhan ini dengan manusia adalah para pendeta yang merupakan bagian
dari para pemuka masyarakat. Karena berurusan dengan ilmu magis dan sihir, para
pendeta menjadi kelas penting yang digunakan oleh para fir’aun untuk menjaga
kepatuhan rakyatnya.
Orang-orang yang di-perbudak oleh
Fir'aun. Khususnya pada masa Kerajaan Baru, kaum minoritas yang hidup di negara
tersebut dipaksa bekerja dalam proyek konstruksi yang sangat berat, termasuk di
antaranya Bani Israel. Pada gambar atas, budak-budak yang tampak sedang bekerja
dalam pembangunan sebuah kuil kemungkinan besar adalah Bani Israil. Gambar
bawah menunjukkan berbagai persiapan teknis para budak, yang juga diperkirakan
adalah Bani Israil, sebelum bekerja di proyek pembangunan. Para budak sedang
membuat batu bata dengan membakar lumpur di dalam api dan mempersiapkan adukan
semen.
Ramses II, yang diperkirakan banyak
ahli sejarah sebagai fir’aun yang disebutkan dalam Al Quran, tampak sedang
membunuh beberapa budak yang ia tangkap. Sebagaimana juga diungkapkan lukisan
dinding ini, para fir’un mencitrakan dan menggambarkan diri mereka sebagai
pejuang-pejuang yang perkasa. Mereka ditampilkan sebagai pahlawan-pahlawan
tinggi berbahu lebar yang mampu mengalahkan sejumlah orang sekaligus.
Atas: Karena menganggap diri mereka
mahkluk suci, para fir’aun berupaya untuk tampak lebih unggul dibanding
orang-orang lain.
Kanan: Tawanan perang yang tertangkap
oleh orang Mesir tampak sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati mereka.
Ramses II tampak dalam kereta
perangnya menghalau sejumlah besar pasukan musuh. Seperti juga yang lainnya,
ini merupakan skenario khayalan yang digambar atas perintah Fir'aun.
Perang Kadesh. Dalam pertempuran
antara Ramses dan Hitties, dipalsukan dalam sejarah bangsa Mesir sebagai kemenangan
Fir'aun yang gilang gemilang. Padahal kenyataannya Fir'aun diselamatkan dari
kematian pada saat-saat terakhir dan ia dipaksa untuk melakukan perdamaian.
"Maka pada hari ini Kami selamatkan
badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang
sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda
kekuasaan Kami". (QS. Yunus, 10: 92) !
BAB 7
Kaum Saba' dan Banjir Arim
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda
(kekuasan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah
kanan dan kiri, (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah
negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka
berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti
kedua kebun-kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang
berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba’, 34: 15-16)
!
Masyarakat Saba’ adalah satu di
antara empat peradaban terbe-sar yang pernah hidup di Arabia Selatan. Kaum ini
diperkira-kan berkembang sekitar tahun 1000-750 SM dan musnah sekitar tahun 550
M, setelah serangan-serangan selama dua abad dari bangsa Persia dan Arab.
Masa keberadaan peradaban Saba’
banyak diperbincangkan. Kaum Saba' mulai mencatat laporan pemerintahannya
sekitar 600 SM. Karena itulah tidak terdapat catatan tentang mereka sebelum
tahun tersebut.
Sumber tertua yang menyebutkan
tentang kaum Saba’ adalah catatan perang tahunan yang berasal dari masa raja
Asiria Sargon II (722-705 SM). Kala mencatat bangsa-bangsa yang membayar pajak
kepadanya, Sargon juga menyebutkan raja Saba’, Yith’i-amara (It’amara). Catatan
ini meru-pakan sumber tertulis tertua yang memberikan informasi tentang
per-adaban Saba’. Namun, tidak terlalu tepat untuk menarik kesimpulan bah-wa
kebudayaan Saba’ dibangun sekitar 700 SM hanya berdasarkan data ini, karena
sangat mungkin kaum Saba’ telah ada lama sebelum tercatat dalam catatan
tertulis. Artinya, sejarah Saba’ mungkin lebih awal dari waktu di atas. Memang,
dalam prasasti Arad-Nannar, salah satu raja terakhir dari negara Ur, digunakan
kata “Sabum” yang diperkirakan berarti “negeri Saba’”.39 Jika kata ini
benar-benar berarti Saba', maka ini berarti sejarah Saba’ mundur sampai sejauh
2500 SM.
Sumber-sumber sejarah yang
menceritakan tentang Saba’ biasanya menyebutkannya sebagai sebuah kebudayaan,
yang seperti bangsa Punisia, terutama bergerak dalam kegiatan perdagangan.
Begitu pula, kaum ini memiliki dan mengatur sejumlah jalur perdagangan yang
melintasi Arabia Selatan. Agar dapat membawa barang-barangnya ke Laut Tengah
dan Gaza, yang berarti melintasi Arabia Selatan, orang-orang Saba’ harus
mendapatkan izin dari Raja Sargon II, penguasa selu-ruh wilayah tersebut, atau
membayar pajak dengan jumlah tertentu kepa-danya. Begitu kaum Saba’ mulai
membayar pajak kepada kerajaan Asiria, nama mereka mulai tercatat dalam sejarah
negeri ini.
Kaum Saba’ telah dikenal sebagai
orang-orang yang beradab dalam sejarah. Dalam prasasti para penguasa Saba’
sering digunakan kata-kata seperti “memperbaiki”, “mempersembahkan”, dan
“membangun”. Ben-dungan Ma’rib, yang merupakan salah satu monumen terpenting
kaum ini, adalah indikasi penting dari tingkatan teknologi yang telah diraih
oleh kaum ini. Namun, ini tidak berarti bahwa kekuatan militer Saba’ lemah;
bala tentara Saba’ adalah salah satu faktor terpenting yang menyokong ketahanan
kebudayaan mereka dalam jangka waktu demikian lama tanpa keruntuhan.
Negara Saba’ memiliki salah satu bala
tentara terkuat di kawasan ter-sebut. Negara mampu melakukan politik ekspansi
berkat angkatan ber-senjatanya. Negara Saba’ telah menaklukkan wilayah-wilayah
dari nega-ra Qataban Lama. Negara Saba’ memiliki banyak tanah di benua Afrika.
Selama abad ke-24 SM, selama ekspedisi ke Magrib, tentara Saba’ dengan telak
mengalahkan tentara Marcus Aelius Gallus, Gubernur Mesir untuk Kekaisaran
Romawi yang jelas-jelas merupakan negara terkuat pada ma-sa itu. Saba’ dapatlah
digambarkan sebagai sebuah negara yang menerap-kan kebijakan moderat, namun
tidak ragu-ragu menggunakan kekuatan jika diperlukan. Dengan kebudayaan dan
militernya yang maju, negara Saba’ jelas merupakan salah satu “adi daya” di
daerah tersebut kala itu.
Angkatan bersenjata Saba’ yang luar
biasa kuat ini juga digambarkan di dalam Al Quran. Sebuah ungkapan dari para
komandan tentara Saba’ yang diceritakan dalam Al Quran menunjukkan besarnya
rasa percaya diri yang dimiliki oleh bala tentara ini. Para komandan berkata
kepada sang ratu:
”Kita adalah orang-orang yang memiliki
kekuatan dan (juga) memi-liki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan
keputusan ber-ada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.”
(QS. An-Naml, 27: 33) !
Ibu kota negara Saba’ adalah Ma’rib
yang sangat makmur berkat letak geografisnya yang sangat menguntungkan. Ibu
kota ini sangat dekat de-ngan Sungai Adhanah. Titik di mana sungai mencapai
Jabal Balaq sangat tepat untuk membangun sebuah bendungan. Dengan memanfaatkan
keadaan ini, kaum Saba’ membangun sebuah bendungan di sana, ketika peradaban
mereka pertama kali berdiri, dan memulai sistem pengairan mereka. Mereka
benar-benar mencapai tingkat kemakmuran yang sangat tinggi. Ibu kota Ma’rib,
adalah salah satu kota termaju saat itu. Penulis Yunani Pliny yang telah
mengunjungi daerah ini dan sangat memujinya, juga menyebutkan betapa hijaunya
kawasan ini.40
Bendungan di Ma’rib tingginya 16
meter, lebarnya 60 meter dan pan-jangnya 620 meter. Berdasarkan perhitungan,
total wilayah yang dapat diairi oleh bendungan ini adalah 9.600 hektar, dengan
5.300 hektar terma-suk dataran bagian selatan dan sisanya termasuk dataran
sebelah barat. Dua dataran ini disebutkan sebagai “Ma’rib dan dua dataran“
dalam prasasti Saba’.41 Ungkapan dalam Al Quran, “dua buah kebun di sisi kiri
dan kanan“, menunjukkan kebun-kebun dan kebun anggur yang menge-sankan di kedua
lembah ini. Berkat bendungan ini dan sistem pengairan-nya, daerah ini menjadi
terkenal sebagai kawasan berpengairan terbaik dan paling menghasilkan di Yaman.
J. Holevy dari Prancis dan Glaser dari Austria membuktikan dari berbagai
dokumen tertulis bahwa bendungan Ma’rib telah ada sejak zaman kuno. Dalam
dokumen-dokumen yang tertulis dalam dialek Himer, disebutkan bahwa bendungan
ini membuat kawasan tersebut sangat produktif.
Bendungan ini diperbaiki secara
besar-besaran selama abad 5 dan 6 M. Namun demikian, perbaikan-perbaikan ini
tidak mampu mencegah bendungan ini dari keruntuhan pada tahun 542 M. Runtuhnya
ben-dungan tersebut mengakibatkan “banjir besar Arim” yang disebutkan da-lam Al
Quran serta mengakibatkan kerusakan hebat. Kebun-kebun anggur, kebun-kebun,
serta ladang-ladang pertanian kaum Saba'’yang telah mereka tanami selama
ratusan tahun hancur seluruhnya. Diketahui juga bahwa kaum Saba’ segera
mengalami masa resesi setelah kehancur-an bendungan tersebut. Berakhirlah
negara Saba’pada ujung periode yang diawali oleh hancurnya bendungan tersebut.
Banjir Arim yang Dikirim kepada Negeri Saba’
Ketika kita kaji Al Quran dengan
kelengkapan data sejarah di atas, maka kita akan mengamati bahwa ada kesamaan
yang sangat mendasar dalam hal ini. Keduanya, temuan arkeologis dan data
sejarah membenar-kan apa yang dicatat dalam Al Quran. Sebagaimana disebutkan
dalam ayat tersebut, kaum ini, yang tidak mendengarkan peringatan dari nabi
mereka dan tanpa rasa syukur telah menolak keimanan, akhirnya dihu-kum dengan
banjir yang mengerikan. Banjir ini digambarkan dalam Al Quran dalam ayat-ayat
sebagai berikut :
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda
(kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah
kanan dan kiri, (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah
negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka
berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti
kedua kebun-kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang
berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi
balasan kepada mereka karena ke-kafiran mereka. Dan kami tidak menjatuhkan azab
(yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (QS
Saba’, 34: 15-17). !
Sebagaimana ditekankan dalam
ayat-ayat diatas, kaum Saba’ yang hidup di suatu daerah yang diberkahi dengan
kebun-kebun dan kebun-kebun anggur yang subur dan luar biasa indah. Karena
terletak di jalur perdagangan, negeri Saba’ memiliki standar kehidupan yang
sangat tinggi dan menjadi salah satu kota yang disukai pada masa itu.
Di sebuah negeri dengan standar
kehidupan dan keadaan yang sa-ngat bagus, yang seharusnya dilakukan oleh Kaum
Saba’ adalah “Makan-lah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya” sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Namun,
mereka tidak melakukannya. Mereka memilih untuk mengklaim kemakmuran itu
sebagai milik mereka. Mereka menganggap negeri itu adalah milik mereka sendiri,
bahwa merekalah yang menjadikan semua keadaan yang luar biasa tersebut ada.
Mereka memilih untuk menjadi sombong bukan-nya bersyukur, dan dalam ungkapan
ayat tersebut, mereka “berpaling dari Allah”…
Karena mereka mengaku-aku bahwa semua
kekayaan adalah milik mereka, maka mereka pun kehilangan semua yang mereka
miliki.
Di dalam Al Quran, azab yang
dikirimkan kepada kaum Saba’ dina-makan “Sail Al Arim” yang berarti “banjir
Arim”. Ungkapan yang di-gunakan dalam Al Quran ini juga menceritakan kepada
kita bagaimana bencana ini terjadi. Kata “Arim” berarti bendungan atau
rintangan. Ungkapan “Sail Al-Arim” menggambarkan banjir yang datang dengan
runtuhnya bendungan ini. Para pengamat Islam telah menetapkan waktu dan tempat
kejadian dengan dipandu ungkapan yang digunakan dalam Al Quran tentang banjir
Arim. Maududi menulis dalam komentarnya:
Sebagaimana digunakan pula dalam
ungkapan Sail Al Arim, kata “Arim” diturunkan dari kata “arimen” yang digunakan
dalam dialek Arab Selatan yang berarti “bendungan, rintangan”. Dalam reruntuhan
yang terungkap dalam penggalian yang dilakukan di Yaman, kata tersebut
tampaknya sering digunakan dalam pengertian ini. Misalnya, dalam prasasti yang
dipesan oleh Ebrehe (Abrahah), raja Yaman Habesh, setelah perbaikan dinding
Ma'rib yang besar pada tahun 542 dan 543 M, kata ini berkali-kali digunakan
untuk mengartikan bendungan. Jadi, ungkapan sail al-Arim berarti “sebuah
ben-cana banjir yang terjadi setelah runtuhnya sebuah bendungan.”
“Kami ganti kedua kebun mereka dengan
dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan
sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba’, 34: 16). Yakni, setelah runtuhnya dinding
bendungan, seluruh negeri digenangi banjir. Saluran-saluran yang telah digali
oleh kaum Saba’ serta dinding yang telah didirikan dengan membangun perintang
di antara gunung-gunung tersebut runtuh, dan sistem pengairan pun hancur
be-rantakan. Akibatnya, kawasan yang seperti kebun tersebut berubah menjadi
hutan. Tidak ada lagi buah yang tersisa kecuali buah seperti ceri dari
pepohonan kecil bertunggul. 42
Werner Keller, seorang ahli arkeologi
Kristen penulis buku Und die Bible Hat Doch Recht (Alkitab Terbukti Benar),
setuju bahwa banjir Arim terjadi sebagaimana digambarkan dalam Al Quran dan
menulis bahwa keberadaan bendungan semacam itu dan kehancuran seluruh negeri
ka-rena keruntuhannya membuktikan bahwa contoh yang diberikan dalam Al Quran
tentang kaum pemilik kebun-kebun tersebut adalah benar adanya .43
Setelah bencana banjir Arim, daerah
tersebut mulai berubah menjadi padang pasir dan kaum Saba’ kehilangan sumber
pendapatan mereka yang terpenting dengan hilangnya lahan pertanian mereka. Kaum
terse-but, yang tidak mengindahkan seruan Allah untuk beriman dan ber-syukur
kepada-Nya, akhirnya diazab dengan sebuah bencana seperti ini. Setelah
kehancuran besar yang disebabkan oleh banjir, kaum tersebut mulai
terpecah-belah. Kaum Saba’ mulai meninggalkan rumah-rumah mereka dan berpindah
ke Arab Selatan, Makkah, dan Syria. 44
Karena banjir tersebut terjadi
setelah penyusunan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, peristiwa ini hanya
disebutkan di dalam Al Quran.
Kota Ma'rib yang pernah dihuni oleh
Kaum Saba’, namun sekarang hanyalah reruntuhan yang terpencil, tidak diragukan
lagi merupakan peringatan bagi mereka yang mengulangi kesalahan yang sama
sebagai-mana kaum Saba’. Kaum Saba’ bukanlah satu-satunya kaum yang
di-hancurkan oleh banjir. Dalam Al Quran surat Al Kahfi diceritakan kisah dua
pemilik kebun. Salah satunya memiliki kebun yang sangat mengesankan dan
menghasilkan seperti yang dimiliki oleh kaum Saba’. Namun, ia pun melakukan
kesalahan serupa sebagaimana mereka: ber-paling dari Allah. Ia mengira anugerah
yang dilimpahkan kepadanya “dimilikinya” sendiri, yakni ialah penyebab semua
itu:
“Dan berikanlah kepada mereka sebuah
perumpamaan dua orang laki-laki, kami jadikan bagi seorang di antara keduanya
(yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan
pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah
kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun,
dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai
kekayaan yang besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika ia
ber-cakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari hartamu dan
pengikut-pengikutku lebih kuat.” Dan dia memasuki kebunnya se-dang dia zalim
kepada dirinya sendiri; Ia berkata: ”Aku kira kebun ini tidak akan binasa
selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika
sekiranya aku dikembalikan kepa-da Tuhanku, pasti aku akan mendapat kembali
tempat yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. Kawannya (yang mukmin)
berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir
kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air
mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?. Tetapi aku
(percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhan-ku dan aku tidak mempersekutukan seorang
pun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki
ke-bunmu “Masya Allah - tidak ada kekuatan kecuali dengan (perto-longan)
Allah?”. Jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal harta dan
anak, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik
daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir)
dari langit kepada kebun-kebunmu, hingga (kebun itu) men-jadi tanah yang licin;
atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat
menemukannya lagi”. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia
membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap biaya yang telah
dibelan-jakannya untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya
dan dia berkata: “Aduhai kiranya dahulu aku tidak mem-persekutukan seorang pun
dengan Tuhanku”. Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya
selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana
pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi
Pahala dan sebaik-baik Pemberi Balasan.” (QS. Al Kahfi, 18: 32-44). !
Sebagaimana dapat dipahami dari
ayat-ayat ini, kesalahan yang di-lakukan oleh pemilik kebun bukanlah
mengingkari keberadaan Allah. Ia tidak mengingkari keberadaan Allah, sebaliknya
ia mengira bahwa “meskipun jika dikembalikan kepada Tuhannya” ia tentu akan
menda-patkan balasan yang lebih baik. Ia meyakini bahwa keadaan yang
diala-minya, hanyalah disebabkan oleh usaha-usahanya sendiri yang sukses.
Sebenarnya, ini persis maknanya
dengan mempersekutukan Allah: mencoba untuk mengaku-aku atas segala sesuatu
milik Allah dan hilang-nya rasa takut seseorang kepada Allah karena menganggap
bahwa sese-orang memiliki keagungan tertentu dari dirinya sendiri, dan Allah
bagai-manapun akan “menunjukkan kemurahan” pada seseorang.
Inilah yang juga dilakukan oleh kaum
Saba’, hukuman mereka adalah sama - semua daerah kekuasaannya hancur - sehingga
mereka dapat memahami bahwa mereka bukanlah “pemilik “ kekuatan tetapi kekuatan
itu hanyalah “dikaruniakan” kepada mereka....
Picture Text
Prasasti yang tertulis dalam bahasa
bangsa Saba'.
Dengan Bendungan Ma'rib yang telah
mereka bangun dengan teknologi yang sangat maju, kaum Saba' memiliki sistem
pengairan berkapasitas besar. Lalu, tanah subur yang mereka peroleh dan
penguasaan mereka atas jalur perdagangan memungkinkan mereka memiliki gaya
hidup yang luar biasa dan mewah. Namun, mereka kemudian “berpaling” dari Allah,
padahal kepada-Nya mereka seharusnya bersyukur atas semua kemurahan itu.
Karenanya, bendungan mereka pun runtuh dan “banjir Arim” menghancurkan semua
pencapaian mereka.
Saat ini, bendungan kaum Saba' yang
terkenal kembali menjadi fasilitas pengairan.
Bendungan Ma'rib yang tampak sebagai
reruntuhan di atas adalah salah satu karya terpenting dari kaum Saba'.
Bendungan ini runtuh dikarenakan banjir Arim yang disebutkan dalam Al Quran dan
semua daerah pertaniannya tergenang. Karena wilayahnya hancur dengan runtuhnya
bendungan, negara Saba' kehilangan kekuatan ekonominya dalam waktu yang sangat
singkat dan segera runtuh.
Al Quran menceritakan kepada kita
bahwa Ratu Saba' dan kaumnya “menyembah matahari selain menyembah Allah”
sebelum ia mengikuti Sulaiman. Informasi dari berbagai prasasti membenarkan
kenyataan ini dan menunjukkan bahwa mereka menyembah matahari dan bulan dalam
kuil-kuil mereka, salah satunya tampak pada gambar di atas. Dalam pilar-pilar,
terdapat prasasti yang tertulis dalam bahasa Saba'.
Bab 8
Nabi Sulaiman dan Ratu
Saba'
“Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam
istana. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang
besar, dan disingkapkannya kedua betisnya”. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya
ia adalah istana licin terbuat dari kaca.” Berkatalah Balqis: ”Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri
bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. An-Naml, 27: 44) !
Catatan sejarah mengenai pertemuan
antara Sulaiman dengan Ratu Saba’ menjadi jelas dengan penelitian yang
dilakukan nege-ri tua Saba’ di Yaman Selatan. Penelitian yang dilakukan
ter-hadap reruntuhan mengungkapkan bahwa seorang “ratu” pernah hidup di kawasan
ini antara tahun 1000-950 SM dan melakukan perjalanan ke utara (ke Yerusalem).
Rincian tentang apa yang terjadi
antara dua penguasa ini, kekuatan ekonomi dan politik negara mereka,
pemerintahan mereka dan rincian lainnya, semua diterangkan dalam Surat An-Naml.
Kisah ini, yang me-liputi sebagian besar Surat An-Naml, memulai rujukannya
tentang Ratu Saba’ dengan berita yang dibawa kepada Sulaiman oleh burung
Hud-Hud, salah satu anggota tentaranya:
“Maka tidak lama kemudian (datanglah
Hud-Hud), lalu ia berkata: ”Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum
mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba’ suatu berita penting yang
diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang meme-rintah mereka,
dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.
Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah
matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah
per-buatan-perbuatan mereka, lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah),
sehingga mereka tidak mendapat petunjuk, agar mereka ti-dak menyembah Allah
yang mengeluarkan apa yang terpendam di la-ngit dan di bumi dan yang mengetahui
apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan yang
disembah kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai ‘Ársy yang besar.” Berkata Sulaiman:
”Akan kami lihat, apa kamu benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.”
(QS. An-Naml, 27: 22-27) !
Setelah menerima berita ini dari
burung Hud-Hud, Sulaiman pun memberikan perintah sebagai berikut :
“Pergilah dengan (membawa) suratku ini,
lalu jatuhkanlah kepada mereka kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah
apa yang mereka bicarakan.” (QS. An- Naml, 27: 28) !
Setelah ini, Al Quran menceritakan
kejadian yang berkembang sete-lah Ratu Saba' menerima surat tersebut:
“Berkata ia (Balqis): “Hai
pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang
mulia. Sesungguhnya surat ini dari Sulaiman dan sesungguhnya (isinya): “Dengan
menyebut na-ma Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa ja-nganlah
kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai
orang-orang yang berserah diri.”
Berkata dia (Balqis): “Hai para
pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah
memutuskan sesuatu per-soalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).”
Mereka menjawab: “Kita adalah
orang-orang yang memiliki keku-atan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat
(dalam peperang-an), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah
apa yang akan kamu perintahkan.”
Dia berkata: “Sesungguhnya raja-raja
apabila memasuki suatu nege-ri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah apa yang akan mereka
perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirimkan utusan kepada mereka dengan
(membawa) hadiah dan (aku akan) menunggu apa yang dibawa kembali oleh
utusan-utusanku itu.”
Maka tatkala utusan itu sampai kepada
Sulaiman, Sulaiman pun berkata: “Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta?
Maka apa yang diberikan oleh Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang
diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.
Kembalilah kepada mereka, dan sungguh
kami akan mendatangi me-reka dengan bala tentara yang mereka tidak kuasa
melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba') dengan
ter-hina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina”.
Berkata Sulaiman: “Hai
pembesar-pembesar, siapakah di antara ka-mu sekalian yang sanggup membawa
singgasananya kepadaku seba-gai orang-orang yang berserah diri”. Berkata Ifrit
(yang cerdik) dari golongan jin: ”Aku akan datang kepadamu dengan membawa
singga-sana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat duduk-mu;
sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”.
Berkatalah seorang yang mempunyai
ilmu dari Al Kitab: ”Aku akan membawa singgasana itu kepa-damu sebelum matamu
berke-dip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana tersebut ter-letak di
hadapannya, ia pun ber-kata: “Ini termasuk karunia Tu-hanku untuk mencoba aku
apa-kah aku bersyukur atau meng-ingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa
yang bersyu-kur, sesungguhnya dia bersyu-kur untuk (kebaikan) dirinya sendiri,
dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tu-hanku Mahakaya lagi
Maha-mulia.”
Dia berkata: “Ubahlah baginya
singgasananya; maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk
orang-orang yang tidak mengenali-(nya)”.
Dan ketika Balqis datang,
di-tanyakanlah kepadanya: “Seru-pa inikah singgasana-mu?” Dia menjawab:
“Seakan-akan sing-gasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan
sebe-lumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.”
Dan apa yang disembahnya selama ini
selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya
ia dahulu-nya termasuk orang-orang yang kafir. Dikatakanlah kepadanya:
“Masuklah ke dalam istana.” Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya
kolam air yang besar dan disingkapkannya kedua be-tisnya. Berkatalah Sulaiman:
“Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.” Berkatalah Balqis:
“Ya, Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku
berserah diri bersa-ma Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS.
An-Naml, 27: 29-44) !
Istana Sulaiman
Dalam surat dan ayat yang merujuk
tentang ratu Saba’, Nabi Sulaiman juga disebutkan. Tatkala diceritakan dalam Al
Quran bahwa Sulaiman mempunyai kerajaan serta istana yang mengagumkan, banyak
perincian lain juga diberikan.
Berdasarkan ini, Sulaiman memiliki
teknologi yang paling maju di masanya. Di istananya terdapat berbagai karya
seni yang menakjubkan dan benda-benda berharga, yang memesona semua yang
melihatnya. Jalan masuk istana terbuat dari kaca. Al Quran menggambarkan istana
ini dan pengaruhnya terhadap ratu Saba’ dalam ayat berikut :
“Dikatakanlah kepadanya: “Masuklah ke
dalam istana.” Maka tat-kala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air
yang besar dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman:
“Se-sungguhnya ia adalah istana licin terbu-at dari kaca”. Berkatalah Balqis:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbu-at zalim terhadap diriku dan aku
berse-rah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS.
An-Naml, 27: 44) !
Istana Nabi Sulaiman disebut “Haikal
Sulaiman” dalam literatur Ya-hudi. Saat ini, hanya “Tembok Barat” dari apa yang
disebut haikal atau istana yang masih berdiri, dan ini pula tempat yang
dinamakan “Tembok Ratapan” oleh orang Yahudi. Penyebab istana ini dihancurkan,
sebagai-mana juga banyak tempat lain di Jerusalem, adalah perilaku jahat serta
sombong dari bangsa Yahudi. Al Quran menjelaskan kepada kita sebagai berikut :
“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani
Israil dalam kitab itu: “Se-sungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi
ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesom-bongan yang
besar”. Maka apabila datang saat hukuman bagi (keja-hatan) pertama dari kedua
(kejahatan) itu, Kami datangkan kepada-mu hamba-hamba Kami yang mempunyai
kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah
ketetapan yang pasti terlaksana.
Kemudian Kami berikan kepadamu giliran
untuk mengalahkan mere-ka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan
anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat
baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat
jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendi-ri, dan apabila datang saat hukuman
bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk
menyuramkan muka-mu-ka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana
musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasa-kan
sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (QS. Al Israa’, 17: 4-7) !
Seluruh kaum yang disebutkan dalam
bab-bab terdahulu patut mene-rima hukuman karena keingkaran dan
ketakbersyukuran mereka atas karunia Allah, sehingga mereka pun ditimpa
bencana. Setelah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa negara
dan wilayah, dan akhirnya menemukan tempat tinggal di tanah suci pada masa
Sulaiman, bangsa Yahudi sekali lagi dihancurkan karena perilaku mereka yang di
luar batas, dan karena tindakan mereka yang merusak dan membang-kang. Yahudi
modern yang telah menetap di daerah yang sama dengan daerah di masa lalu,
kembali menyebabkan kerusakan dan ”berbesar hati dengan kesombongan yang luar
biasa” sebagaimana mereka lakukan sebelum peringatan yang pertama.
Picture Text
Ratu Saba' sangat terkesan ketika ia
melihat istana Sulaiman dan ia berserah diri kepada Allah bersama Sulaiman.
Sebuah peta yang menunjukkan jalur
perjalanan ratu Saba'.
Bawah: Miniatur Haikal Sulaiman.
Setelah Haikal Sulaiman dihancurkan, satu-satunya dinding kuil yang tersisa
diubah menjadi “Tembok Ratapan” oleh bangsa Yahudi. Setelah penaklukan
Yerusalem selama abad ke-7, kaum Muslim membangun Masjid Umar (Masjid Al-Aqsha)
dan Kubah Batu (Dome of the Rock) di tempat kuil tersebut dahulunya berada.
Pada gambar di sebelah kiri tampak
Kubah Batu.
Haikal Sulaiman memiliki teknologi
yang paling maju saat itu dan pemahaman estetika yang unggul. Pada gambar di
atas ditunjukkan pusat kota Jerusalem selama masa pemerintahan Nabi Sulaiman.
1) Pintu barat daya,
2) Istana ratu,
3) Istana Sulaiman,
4) Gerbang masuk dengan 32
pilar,
5) Gedung pengadilan,
6) Hutan Libanon,
7) Kediaman pendeta tingkat
tinggi,
8) Pintu masuk ke kuil,
9) Alun-alun kuil,
10) Haikal Sulaiman.
Bab 9
para penghuni goa
“Atau kamu mengira bahwa orang-orang
yang mendiami gua dan (yang mempunyai) prasasti itu, mereka, termasuk
tanda-tanda Kami yang mengherankan.” (QS. Al Kahfi, 18: 9) !
Surat ke-18 Al Quran yang dinamakan
“Al Kahfi” yang berarti “gua”, menceritakan tentang sekelompok pemuda yang
berlin-dung di sebuah gua untuk bersembunyi dari penguasa yang meng-ingkari
Allah dan melakukan penindasan dan ketidakadilan atas mereka yang beriman.
Ayat-ayat yang menerangkan tentang hal ini adalah sebagai berikut :
“Atau kamu mengira bahwa orang-orang
yang mendiami gua dan (yang mempunyai) prasasti itu, mereka termasuk
tanda-tanda Kami yang mengherankan? (Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari
tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami,
berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurna-kanlah bagi kami
petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.
Maka Kami tutup telinga mereka
beberapa tahun dalam gua itu, ke-mudian Kami bangunkan mereka, agar Kami
mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam
menghitung bera-pa lamanya mereka tinggal (di dalam gua itu). Kami menceritakan
kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesung-guhnya mereka itu
adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada
mereka petunjuk; dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri
lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali
tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesung-guhnya kami kalau demikian telah
mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”. Kaum kami ini telah
menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka
tidak mengemuka-kan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah
yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah? Dan apabila kamu meninggalkan mere-ka dan apa yang mereka sembah selain
Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan
melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang ber-guna
bagimu dalam urusan kamu. Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit condong
dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka
ke sebelah kiri sedang me-reka dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk
oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang
disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang
dapat memberi petunjuk kepadanya.
Dan kamu mengira mereka itu bangun
padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan kiri, sedang
anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu
menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan
(diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka.
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka
agar mereka saling berta-nya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang
di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)?”. Mereka
menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain
lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka
suruhlah salah satu orang di antara ka-mu pergi ke kota dengan membawa uang
perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka
hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah
lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan hal-mu kepada seorang pun.
Sesungguhnya jika mereka dapat
mengetahui tempatmu, niscaya me-reka akan melempar kamu dengan batu atau
memaksamu kembali kepada agama mereka dan jika demikian niscaya kamu tidak akan
beruntung selama-lamanya.”
Dan demikianlah (Kami) mempertemukan
(manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui bahwa kedatangan hari
kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang
urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah ba-ngunan di atas
(gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-orang yang
berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah
rumah peribadatan di atasnya”. Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mere-ka)
adalah tiga orang, yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan:
“(Jumlah mereka) adalah lima orang, yang ke-enam adalah anjingnya,” sebagai
terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: “(Jumlah
mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.” Katakanlah: “Tuhanku
lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bi-langan)
mereka kecuali sedikit”. Karena itu janganlah kamu (Mu-hammad) bertengkar
tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan
tentang mereka (pemuda-pemu-da itu) kepada seorang pun di antara mereka.
Dan janganlah sekali-kali kamu
mengatakan terhadap sesuatu; “Se-sungguhnya aku akan mengerjakan itu besok
pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu
jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku memberiku petun-juk
kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”. Dan mere-ka tinggal di
dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).
Katakanlah: ”Allah lebih mengetahui
berapa lamanya mereka ting-gal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang
tersembunyi di langit dan bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah
tajam pen-dengaran-Nya; tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain daripada-Nya,
dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi seku-tu-Nya dalam menetapkan
keputusan.” (QS. Al Kahfi, 18: 9-26) !
Menurut kepercayaan yang umum, para
Penghuni Gua yang dipuji baik oleh sumber Islam maupun Nasrani, adalah korban
dari tirani yang kejam dari Decius, kaisar Romawi. Karena menghadapi penindasan
dan kesewenang-wenangan Decius, para pemuda ini memperingatkan kaum-nya
berulang kali untuk tidak meninggalkan agama Allah. Ketidakacuh-an kaum mereka
terhadap penyampaian risalah tersebut, meningkatnya penindasan kaisar, dan
ancaman pembunuhan terhadap mereka, mem-buat mereka meninggalkan tempat tinggal
mereka.
Sebagaimana dibenarkan
dokumen-dokumen sejarah, pada saat itu, banyak kaisar yang melaksanakan
kebijakan teror, penindasan dan kese-wenang-wenangan secara meluas terhadap
mereka yang memegang agama Nasrani yang awal dalam bentuknya yang asli dan
murni.
Dalam sebuah surat yang ditulis oleh
Gubernur Romawi Pilinius (69-113 M) yang berada di Barat Laut Anatolia kepada
Kaisar Trayanus, ia merujuk sekelompok Messiah (Nasrani) yang dihukum karena
menolak menyembah patung kaisar. Surat ini adalah salah satu dokumen
terpen-ting yang menyebutkan penindasan yang menimpa orang-orang Nasrani pada
masa awalnya. Dalam situasi demikian, para pemuda ini, yang diperintahkan untuk
tunduk kepada sistem yang non-agamis dan untuk menyembah kaisar sebagai tuhan
selain Allah, tidak menerima ini dan berkata:
“Tuhan kami adalah Tuhan langit dan
bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau
demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran. Kaum kami
ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa
mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka).
Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah?” (QS. Al Kahfi, 18: 14-15) !
Sehubungan dengan daerah tempat
tinggal Para Penghuni Gua, ter-dapat beberapa pandangan yang berbeda. Di
antaranya yang paling bisa diterima akal adalah daerah Ephesus dan Tarsus.
Hampir semua sumber Nasrani menunjuk
Ephesus sebagai lokasi dari Gua tempat para pemuda beriman ini berlindung.
Beberapa peneliti Muslim dan pengamat Al Quran bersepakat dengan kaum Nasrani
ten-tang Ephesus. Beberapa lainnya, menerangkan dengan terperinci bahwa tempat
itu bukanlah Ephesus, dan kemudian berusaha untuk membukti-kan bahwa
kejadiannya adalah di Tarsus. Dalam penelitian ini, kedua alternatif ini akan
dibahas. Walau begitu, semua peneliti dan pengamat, termasuk kalangan Kristen
mengatakan bahwa kejadian tersebut berlang-sung pada masa Kaisar Romawi Decius
(disebut juga sebagai Decianus) sekitar tahun 250 M.
Decius, bersama dengan Nero, dikenal
sebagai kaisar Romawi yang menyiksa kaum Nasrani dengan amat kejam. Dalam masa
pemerintahan-nya yang singkat, ia mensahkan suatu hukum yang memaksa semua
orang di bawah kekuasaannya untuk melakukan persembahan terhadap dewa-dewa
Romawi. Setiap orang diwajibkan untuk melakukan persem-bahan ini dan lebih jauh
lagi, mendapatkan sertifikat yang menyatakan bahwa mereka telah melakukannya,
yang harus mereka tunjukkan kepa-da petugas pemerintahan. Mereka yang tidak
patuh akan dihukum mati. Dalam sumber-sumber Nasrani, dituliskan bahwa sebagian
besar kaum Nasrani menolak tindakan musyrik ini dan melarikan diri dari “satu
kota ke kota lain”, atau bersembunyi di perlindungan rahasia. Para Penghuni Gua
kemungkinan besar adalah salah satu kelompok di antara kaum Nasrani awal ini.
Sementara itu, ada satu poin yang
harus ditekankan di sini: Topik ini telah diceritakan dalam bentuk cerita oleh
sejumlah ahli sejarah dan peng-amat Islam dan Kristen, dan berubah menjadi
legenda akibat penambah-an banyak kepalsuan dan kabar burung. Namun demikian,
kejadian ini adalah suatu kenyataan sejarah.
Apakah Para Penghuni Gua Ada di Ephesus?
Bersangkutan dengan kota tempat
tinggal para pemuda ini dan gua tempat mereka berlindung, beberapa tempat
ditunjukkan dalam berbagai sumber yang berbeda. Alasan utama untuk ini adalah:
orang-orang ingin mempercayai bahwa orang-orang yang berani dan teguh hati
seperti itu hidup di kotanya, dan sangat miripnya gua-gua di daerah tersebut.
Seba-gai contoh, hampir di semua tempat ini terdapat tempat peribadatan yang
katanya dibangun di atas gua.
Sebagaimana dikenal luas, Ephesus
dianggap sebagai sebuah tempat suci bagi orang Nasrani, karena di kota tersebut
ada sebuah rumah yang katanya dimiliki Perawan Maria dan kemudian berubah
menjadi sebuah gereja. Jadi sangatlah mungkin bahwa para Penghuni Gua pernah
hidup di salah satu di antara tempat-tempat suci tersebut. Bahkan, beberapa
sumber Nasrani menyatakan kepastiannya bahwa itulah tempatnya.
Sumber tertua tentang hal ini adalah
pendeta Syria bernama James dari Saruc (lahir 452 M). Ahli sejarah terkemuka,
Gibbon, banyak mengutip dari penelitian James dalam bukunya yang berjudul The
Decline and Fall of the Roman Empire (Kemunduran dan Keruntuhan Kekaisaran
Romawi). Menurut buku ini, nama kaisar yang menyiksa ketujuh pemu-da Nasrani
yang beriman tersebut dan memaksa mereka bersembunyi di dalam gua, adalah
Decius. Decius memerintah Kekaisaran Romawi antara tahun 249-251 M dan masa
kekuasaannya dikenal luas dengan penyiksaan yang ia lakukan terhadap para
pengikut Isa (Jesus). Menurut para pengamat Islam, daerah tempat terjadinya peristiwa
itu adalah “Aphesus” atau “Aphesos”. Menurut Gibbon, nama tempat ini adalah
Ephesus. Terletak di pantai Barat Anatolia, kota ini merupakan salah satu
pelabuhan dan kota terbesar dari kekaisaran Romawi. Saat ini, reruntuh-an kota
ini dikenal sebagai “Kota Antik Ephesus”.
Nama kaisar yang memerintah di masa
para Penghuni Gua terba-ngun dari tidur mereka yang panjang adalah Tezusius
menurut para peneliti Muslim, dan Theodosius II menurut Gibbons. Kaisar ini
meme-rintah antara tahun 408-450 M, setelah kekaisaran Romawi berubah memeluk
agama Nasrani.
Dengan merujuk kepada ayat di bawah
ini, dalam beberapa tempat disebutkan bahwa pintu masuk gua menghadap ke utara,
sehingga sinar matahari tidak dapat masuk. Dengan demikian, orang yang melewati
gua tidak dapat melihat sama sekali apa yang ada di dalamnya. Ayat Al Quran
yang berkaitan dengan hal ini mengatakan :
“Dan kamu akan melihat matahari ketika
terbit condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam
menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka dalam tempat yang luas dalam gua
itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang
diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa
yang disesatkan-Nya maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang
dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al Kahfi, 18: 17) !
Ahli Arkeologi Dr. Musa Baran
menunjuk Ephesus sebagai tempat kelompok pemuda beriman ini hidup, dalam
bukunya yang berjudul “Ephesus”, ia menambahkan:
Di tahun 250 SM, tujuh orang pemuda
yang hidup di Ephesus memilih untuk memeluk Nasrani dan menolak keberhalaan.
Saat mencoba untuk mencari jalan keluar, para pemuda ini menemukan sebuah gua
di lereng timur Gunung Pion. Tentara Romawi melihat ini dan membangun dinding
di pintu gua tersebut. 45
Saat ini, diketahui bahwa di atas
reruntuhan tua dan kuburan ini ba-nyak didirikan bangunan religius. Penggalian
yang dilakukan oleh Instit-ut Arkeologi Austria pada tahun 1926 mengungkapkan
bahwa reruntuh-an yang ditemukan di lereng timur Gunung Pion berasal dari
bangunan yang didirikan atas nama para Penghuni Gua di pertengahan abad ke-7
(selama pemerintahan Theodosius II). 46
Apakah Para Penghuni Gua Ada di Tarsus ?
Tempat kedua yang diajukan sebagai
tempat Penghuni Gua pernah hidup adalah Tarsus. Memang, terdapat sebuah gua
yang mirip dengan gua yang disebutkan dalam Al Quran, yang terletak di sebuah
gunung yang dikenal sebagai Encilus atau Bencilus, di Barat Laut Tarsus.
Gagasan bahwa Tarsus adalah tempat
yang tepat adalah pandangan dari banyak ilmuwan Islam. Salah seorang ahli
tafsir Al Quran terkemu-ka, Ath-Thabari menetapkan bahwa nama gunung tempat gua
tersebut berada adalah “Bencilus” dalam kitabnya yang berjudul “Tarikh Al Umam,
dan menambahkan bahwa gunung ini terletak di Tarsus.47
Juga, ahli Tafsir Al Quran lain
bernama Muhammad Amin menyata-kan bahwa nama gunung tersebut adalah “Pencilus”
dan berada di Tarsus. Nama yang diucapkan sebagai “Pencilus” kadangkala
diucapkan sebagai “Encilus”. Menurutnya, perbedaan antar kata-kata itu
disebab-kan perbedaan pengucapan huruf “B” atau oleh hilangnya huruf dari kata
aslinya, yang disebut dengan “abrasi kata-kata historis”.48
Fakhruddin Ar-Razi seorang ulama Al
Quran terkenal lainnya, men-jelaskan dalam karyanya bahwa “meskipun tempat ini
disebut Ephesus, tujuan dasarnya di sini adalah untuk mengatakan Tarsus, karena
Ephesus hanyalah nama lain dari Tarsus”. 49
Sebagai tambahan, dalam Tafsir Qadi
Al Baidhawi dan An-Nasafi, dalam Tafsir Al Jalalain dan At-Tibyan, dalam
komentar dari Elmali dan O. Nasuhi Bilman, dan banyak ulama lainnya, tempat ini
ditunjuk sebagai “Tarsus”. Di samping itu, semua ahli tafsir ini menerangkan
bahwa kalimat dalam ayat 17, “matahari ketika terbit condong dari gua mereka ke
sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri”
dengan mengatakan bahwa mulut gua di pegunungan menghadap ke utara. 50
Tempat tinggal Para Penghuni Gua juga
menjadi pokok perhatian pa-da masa kekaisaran Turki Utsmani dan sejumlah
penelitian dilakukan terhadap hal ini. Terdapat beberapa korespondensi dan
pertukaran infor-masi tentang hal ini dalam arsip kementerian Utsmani. Sebagai
contoh, dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada Penguasa Perbendaharaan
Negara Turki oleh pemerintahan lokal Tarsus, ada sebuah permintaan resmi dan
lampiran yang menyebutkan permintaan mereka untuk mem-beri gaji kepada
orang-orang yang berurusan dengan pembersihan dan pemeliharaan gua Ashabul
Kahfi (Para Penghuni Gua). Jawaban terhadap surat ini menyatakan bahwa agar
gaji para pekerja itu bisa diambil dari perbendaharaan negara, perlu diselidiki
apakah gua ini benar-benar tem-pat Para Penghuni Gua pernah berada. Penelitian
yang dilakukan untuk tujuan ini sangat berguna dalam penentuan letak sebenarnya
dari gua tersebut.
Dalam laporan yang dipersiapkan
setelah suatu penyelidikan yang dilakukan oleh Dewan Nasional, dinyatakan: “Di
sebelah utara Tarsus, sebuah propinsi Adana, terdapat sebuah gua di sebuah
gunung yang dua jam jauhnya dari Tarsus, dan mulut gua tersebut menghadap ke utara
sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran.”51
Perdebatan yang berkembang tentang
siapa para Penghuni Gua, di mana dan kapan mereka hidup, selalu mengarahkan
pihak berwenang untuk mengadakan penelitian terhadap hal ini dan banyak
komentar di-buat tentang hal ini. Namun belum satu pun komentar-komentar ini
da-pat dipertimbangkan pasti, sehingga pertanyaan seperti: Pada periode mana
para pemuda yang beriman ini hidup dan di mana gua yang dise-butkan dalam
ayat-ayat tersebut, tetap ada tanpa jawaban yang menda-sar.
Picture Text
Bagian dalam dari gua di Ephesus yang
dianggap sebagai gua yang ditempati Para Penghuni Gua.
Gua di Ephesus tampak dari luar.
Gua di Tarsus yang diduga ditempati
Para Penghuni Gua.
Kesimpulan
“Dan apakah mereka tidak mengadakan
perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh
orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka
(sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak
dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka
rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah tidak
sekali-kali berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku
zalim kepada diri sendiri.” (QS. Ar-Ruum, 30: 9).!
Semua kaum yang telah kita pelajari
sampai sekarang, mempunyai beberapa sifat umum seperti: melanggar batas-batas
yang telah ditetapkan Allah, menyekutukan-Nya, berlaku sombong di muka bumi,
dengan sewenang-wenang menguasai hak milik orang lain, cende-rung terhadap
perilaku seksual yang menyimpang, dan angkara murka. Sifat umum lainnya adalah
penindasan dan kesewenangan mereka ter-hadap kaum Muslim di sekitar mereka.
Mereka mencoba segala cara un-tuk mengintimidasi kaum Muslim.
Tujuan dari peringatan-peringatan Al
Quran tentu saja tidak hanya untuk memberikan berbagai pelajaran sejarah. Al
Quran menyatakan bahwa kisah-kisah para nabi diceritakan hanya untuk memberikan
sebu-ah “permisalan”. Para nabi yang telah terlebih dahulu tiada hendaklah
membawa mereka yang datang kemudian ke jalan yang benar :
“Maka tidaklah menjadi petunjuk bagi
mereka (kaum musyrikin) be-rapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum
mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu?
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang
berakal.” (QS. Thaahaa, 20: 128) !
Jika kita menganggap semua ini
sebagai “contoh-contoh”, maka kita dapat melihat bahwa sebagian dari masyarakat
kita tidaklah lebih baik, dalam hal kemerosotan moral dan pelanggaran, daripada
kaum-kaum yang telah dibinasakan dan disebutkan dalam kisah-kisah ini.
Sebagai contoh, sebagian besar
masyarakat saat ini menyimpan ba-nyak pelaku sodomi dan homoseksual, yang
mengingatkan kita kepada “kaum Luth”. Para homoseksual, yang melakukan pesta
seks dengan “pa-ra pemuka masyarakat”, memperlihatkan segala macam penyimpangan
seksual yang melebihi rekan-rekan mereka di Sodom dan Gomorrah. Khususnya, ada
sekelompok mereka yang hidup di kota-kota terbesar di dunia, yang telah
“melangkah lebih lanjut” daripada mereka yang ada di Pompeii.
Semua kaum yang telah kita pelajari
sebelumnya telah dibinasakan melalui berbagai bencana alam seperti gempa bumi,
badai, banjir, dan sebagainya. Sama halnya, kaum-kaum yang sesat dan berani
melakukan tindakan pelanggaran seperti kaum-kaum terdahulu juga akan dihukum
dengan cara yang sama.
Seharusnya tidak kita lupakan bahwa
Allah mungkin menghukum orang atau bangsa mana pun yang dikehendaki-Nya kapan
pun Ia berke-hendak. Atau, Ia mungkin membiarkan siapa pun yang Ia ingini
menja-lani kehidupan biasa di dunia ini, dan menghukumnya di akhirat nanti. Al
Quran menyatakan:
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami
siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan
kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa dengan suara
yang keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke
dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami teng-gelamkan, dan Allah
sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al 'Ankabuut, 29: 40) !
Al Quran juga menceritakan tentang
seorang yang beriman yang ber-asal dari keluarga Fir'aun dan hidup di masa Nabi
Musa, namun me-nyembunyikan keimanannya. Ia berkata kepada kaumnya:
“Hai kaumku, sesungguhnya aku
khawatir kamu akan ditimpa (ben-cana) seperti peristiwa kehancuran golongan
yang bersekutu. (Yakni) seperti keadaan kaum Nuh, 'Ad, Tsamud dan orang-orang
yang da-tang sesudah mereka. Dan Allah tidak menghendaki berbuat keza-liman
terhadap hamba-hamba-Nya.
Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir
terhadapmu akan siksaan hari panggil-memanggil. (Yaitu) hari ketika kamu (lari)
berpaling ke belakang, tidak ada bagimu yang menyelamatkan kamu dari (azab)
Allah , dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pun
yang akan memberi petunjuk.” (QS. Al Mu'min, 40: 30-33) !
Semua nabi dan rasul memperingatkan
kaumnya, menunjukkan ke-pada mereka tentang Hari Pembalasan dan mencoba membuat
mereka takut akan azab dari Allah, sebagaimana yang dilakukan pengikut yang
menyembunyikan keimanannya ini. Kehidupan dari semua nabi dan pembawa risalah
dihabiskan untuk menerangkan hal-hal ini kepada ka-um mereka berulang kali.
Namun lebih sering, kaum mereka sendiri menuduh mereka berdusta, berupaya
mencari keuntungan materi, atau mencoba untuk menunjukkan keunggulan atas
mereka, lalu mereka pun terus menerapkan sistem mereka sendiri tanpa memikirkan
perkataan pa-ra nabi ataupun mempertanyakan perbuatan mereka. Segolongan mereka
telah bertindak lebih jauh dan mencoba untuk membunuh atau mengusir orang-orang
yang beriman. Sering kali jumlah orang-orang mukmin yang patuh dan menurut
sangat sedikit. Walau begitu, dalam kasus-kasus masyarakat yang ingkar, Allah
senantiasa menyelamatkan para nabi dan pengikutnya saja.
Meskipun telah berlalu ribuan tahun,
dan terjadi berbagai perubahan tempat, perilaku, teknologi, dan peradaban,
namun tidak banyak yang berubah dalam struktur sosial dan sistem dari
orang-orang tidak beriman yang telah disebutkan tadi. Sebagaimana telah
ditekankan di atas, sego-longan tertentu dari masyarakat di mana kita hidup
memiliki semua sifat buruk dari kaum-kaum yang digambarkan dalam Al Quran.
Seperti halnya kaum Tsamud yang mengurangi timbangan, saat ini juga terdapat
banyak pemalsu dan penipu. Terdapat pula “komunitas homoseksual” yang dibela
kapan saja perbuatan itu muncul, dan para anggotanya yang tidak kurang dari
kaum Luth, di mana penyimpangan seksual telah men-capai puncaknya. Segolongan
besar dari masyarakat terdiri dari orang-orang yang tidak bersyukur dan ingkar,
sebagaimana kaum Saba', yang tidak bersyukur atas kekayaan yang dianugerahkan
kepada mereka sebagaimana kaum Iram, yang tidak patuh dan penuh penghinaan
ter-hadap orang mukmin sebagaimana kaum Nuh, dan yang tidak acuh terhadap
keadilan sosial sebagaimana kaum ‘Ad.
Semua ini adalah tanda-tanda yang
sangat jelas....
Kita hendaknya selalu mencamkan dalam
pikiran bahwa apa pun perbedaan dalam berbagai masyarakat, pada tingkat
perkembangan tek-nologi mana pun mereka, atau apa pun potensi mereka, hal ini
tidak ada artinya sama sekali. Tidak satu pun dari hal-hal ini dapat
menyelamatkan seseorang dari hukuman dan azab Allah. Al Quran mengingatkan kita
atas kenyataan ini:
“Dan apakah mereka tidak mengadakan
perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh
orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka
(sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memak-murkannya lebih banyak
dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka
rasul-rasul mereka dengan memba-wa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah tidak
sekali-kali berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku
zalim kepada diri sendiri.” (QS. Ar-Ruum, 30: 9) !
"Mahasuci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui
selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan
kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana."
(QS. Al Baqarah, 2: 32) !