DI TAHUN 2006, The Armed Forces Journal merilis sebuah peta negeri-negeri muslim. Negeri-negeri di Timur Tengah dibagi berdasarkan etnis dan aliran kepercayaan. Angkatan bersenjata Amerika Serikat dan sekutunya berperan dalam pembentukannya. Persis seperti agenda Kelompok Neo Conservative.
Mari kita kembali ke satu hari di tahun 2006 itu, ketika suasana tegang menyelimuti Kota Quetta, ibukota Provinsi Baluchistan, Pakistan. Sejak kematian pemimpin gerilyawan nasionalis Baluchistan, Nawab Akbar Khan Bugti (79), se-rangkaian kerusuhan terjadi. Kerusuhan itu berawal dari gelombang protes atas serangan pasukan pemerintah yang menewaskan Bugti.
Khan Bugti dikabarkan tewas setelah gua persembunyiannya di kawasan Kohlu, sekitar 220 kilometer dari Quetta, runtuh akibat serangan udara dari pasukan pemerintah, Sabtu (26/8/2006) lalu. Serangan itu dilakukan pemerintah Pakistan untuk meredam tuntutan kaum Nasionalis Baloch pimpinan Bugti yang menginginkan pembagian yang lebih adil atas hasil alam yang diperoleh dari wilayah Baluchistan.
Selama puluhan tahun warga di wilayah yang kaya akan cadangan gas alam, tembaga dan uranium itu melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Presiden Pakistan, Jenderal Pervez Musharraf pun menggelar operasi militer untuk membungkam Bugti yang disebutnya hendak mendirikan negara Baluchistan. Kematian Bugti telah membakar kembali semangat perlawanan terhadap pemerintah pusat.
Ketua Partai Nasional Baluchistan, Mir Hasil Bizenjo menyebut kematian Bugti sangat berpengaruh terhadap situasi politik Baluchistan. Kebencian terhadap pemerintah pusat semakin meningkat dan upaya membentuk negara Baluchistan merdeka akan semakin gencar.
Jika hal ini terlaksana, maka apa yang direncanakan Ralph Peters dalam artikelnya yang dimuat The Armed Forces Journal edisi 20 Agustus 2006 itu benar-benar terbukti. Ralph Peter yang pensiunan letnan kolonel di Dinas Intelijen Angkatan Darat Amerika Serikat ini memaparkan rencana perubahan peta dunia Islam, termasuk munculnya negara Baluchistan merdeka.
Dalam artikel berjudul Blood Borders; How a Better Middle East Would Lookitu, Peters menggambarkan negara-negara Islam yang terbentang dari Timur Tengah hingga Asia Selatan itu menjadi negara-negara baru. Pakistan akan kehilangan beberapa bagian dari wilayahnya, di antaranya lepasnya Ba luchistan menjadi negara sendiri, yang oleh Ralph Peters disebut dengan nama Free Baluchistan. Pakistan juga akan kehilangan wilayah North West Frontier (NWFP) yang akan bergabung dengan Afghanistan. Otomatis wilayah negara Pakistan nantinya hanya terbentang di sebelah timur Sungai Indus, dan sedikit daerah di sebelah baratnya, termasuk Karachi.
Dalam peta barunya itu, Peters membagi negara-negara berdasarkan garis suku yang mendiami wilayahnya. Alhasil negara-negara yang sudah ada sekarang terpecah menjadi negara-negara baru. Afghanistan misalnya, meski mendapat penambahan wilayah dari Pakistan, negeri ini harus kehilangan sebagian wilayah di sebelah baratnya yang dihuni penduduk yang beretnik Persia. Wilayah ini akan bergabung dengan sebagian wilayah Iran yang juga beretnik Persia.
Demikian pula dengan Iran, negeri para Mullah ini pecah berantakan menjadi beberapa negara kecil. Dalam artikel itu, Peters memberi nama negara- negara baru pecahan Iran itu dengan sebutan Unified Azerbaijan, Free Kurdistan, Negara Arab Syiah dan Free Baluchistan. Iran sendiri akan menjadi negara yang penduduknya beretnis Persia. Dalam peta rekaan Peters, wilayah Iran hanya berupa sejumput wilayah di sekitar Herat, yang sekarang masuk ke dalam teritori Afghanistan. Secara historis dan kebahasaan wilayah tersebut memang mendapat pengaruh kuat dari bangsa Persia.
Hal yang sama juga berlaku bagi Uni Emirat Arab. Beberapa negara bagiannya disebutkan akan bergabung dalam Negara Arab Syiah. Sementara wilayah lainnya yang oleh Peters disebut menerapkan budaya hipokrit, seperti Dubai, Kuwait dan Oman akan tetap berstatus seperti statusnya saat ini.
Negara Arab Syiah ini akan terbentuk di sebagian besar wilayah Irak bagian selatan, termasuk sebagian wilayah Arab Saudi dan Iran yang terletak di sepanjang pesisir Teluk Persia. Wilayah ini memang dihuni oleh kaum Syiah.
TIGA provinsi Irak yang mayoritas penduduknya menganut faham Sunni akan membentuk negara Sunni Irak dan bergabung dengan Suriah. Suriah sendiri akan kehilangan wilayah pantainya yang menggabungkan diri dengan Libanon. Sementara suku Kurdi yang mendiami wilayah sebelah utara Irak akan membentuk negara Kurdistan. Mereka akan bergabung dengan suku Kurdi yang berada wilayah Suriah, Iran dan Turki. Sehingga jika nantinya negara Kurdistan ini berdiri, wilayahnya akan terbentang dari Dyarbarkir di Turki hingga Tabriz di Iran. Dan menurut Peters, negara ini akan menjadi negara yang sangat pro Barat.
Bukan tanpa alasan Peters mengungkapkan ide gilanya itu. Dalam artikel itu, ia berargumen bahwa negara-negara Timur Tengah yang ada sekarang adalah buah dari kesalahan fatal orang-orang Inggris dan Perancis di awal abad ke-20. Mereka telah membagi-bagi wilayah yang menjadi daerah jajahannya di abad ke-19 itu secara tidak tepat.
Akibatnya, beberapa kelompok dengan jumlah populasi yang besar mendapat perlakuan tidak adil. Mereka merasa dikhianati dan menderita akibat penindasan kelompok yang berkuasa. Mereka adalah Suku Kurdi, Suku Baloch dan Kaum Arab Syiah. Meski jumlah mereka besar, mereka mendapat perlakuan yang tidak semestinya, sama seperti yang terjadi terhadap kaum minoritas semisal kelompok Kristen, Bahais, Ismailia, Naqshbandi dan sejumlah kelompok minoritas lainnya.
Salah satu bentuk ketidakadilan itu, menurut Peters, adalah tidak adanya negara Kurdi merdeka di wilayah yang terbentang antara Pegunungan Balkan hingga Himalaya. Padahal di sepanjang wilayah tersebut ada 27-36 juta warga Kurdi yang tinggal secara tersebar. Menurutnya, Bangsa Kurdi adalah kelompok etnis terbesar di dunia yang tidak memiliki negara sendiri. Lebih buruk lagi, bangsa ini selalu mendapat tekanan dari pihak pemerintah yang menguasai daerah yang mereka tinggali.
Demikian pula yang terjadi dengan suku-suku lain. Namun, pandangan Peters berbalik ketika mengomentari wilayah Palestina. Ia sama sekali tidak mengomentari bangsa Arab Palestina yang mendapat perlakuan tidak adil dari Yahudi Israel. Ia justru menyebut bahwa Israel memiliki harapan untuk hidup berdampingan dengan damai bersama tetangganya. Dengan persetujuan lokal demi kepentingan bersama, Israel harus mendapatkan kembali perbatasannya seperti sebelum tahun 1967.
Ketidakadilan yang dialami suku- suku mayoritas itu memunculkan kebencian yang kemudian berubah menjadi tindakan kekerasan yang terjadi secara terus-menerus. Inilah yang membuat wilayah Timur Tengah menjadi daerah yang rawan konflik dan penuh pertumpahan darah. “Kita berhubungan dengan wilayah-wilayah buatan manusia yang besar tapi cacat. Yang tidak mampu menghentikan munculnya rasa kebencian dan kekerasan, kecuali wilayah-wilayah itu dikoreksi,” papar Peters dalam artikelnya.
Ia menyebutkan, sebenarnya pihak Amerika Serikat (AS) punya peluang besar membuat batas wilayah baru negara-negara di Timur Tengah ketika pemerintahan Saddam Hus- sein jatuh akibat invasi pasukannya. “Irak seharusnya dibagi menjadi tiga negara yang lebih kecil sesegera mungkin,” ungkapnya.
Namun hal tersebut urung dilakukan mengingat keikutsertaan suku tersebut dalam pemerintahan baru Irak. Tapi Peters yakin bahwa hampir 100 persen warga Kurdi Irak akan segera memilih untuk mendirikan negara sendiri.
Peters juga menyebutkan bahwa Arab Saudi sebagai ancaman bagi terciptanya kedamaian di Timur Tengah. Penguasaan dua kota suci umat Islam–Mekkah dan Madinah— dan sumber-sumber minyak oleh rejim keluarga kerajaan Arab menyebabkan faham Wahabi yang dianut keluarga kerajaan bisa berkembang luas. Faham yang disebut intolerans oleh Ralph Peters ini memang dipercaya sebagai sumber doktrin terorisme di dunia. Maklum teroris nomor satu versi AS, Usamah bin Laden, adalah penganut faham Wahabi.
Peters menilai, kepemilikan sumber minyak yang menghasilkan kekayaan yang melimpah dan monopoli penguasaan kota suci yang menjadi tujuan kaum muslim dari seluruh dunia akan memudahkan penyebaran ajaran Wahabi ke seluruh dunia. Untuk itu, dalam peta yang diajukan oleh pria kelahiran Pottsville, Pennsylvania ini, keluarga kerajaan Saudi harusnya hanya menguasai wilayah di sekitar Riyadh saja. Keluarga ini juga harus merelakan sumber-sumber minyaknya di daerah pantai kepada kaum Arab Syiah yang mendiami wilayah tersebut. Menurutnya, kepemilikan sumber-sumber minyak oleh kelompok Syiah juga sebenarnya tidak disukai oleh pihak AS.
SEDANGKAN penguasaan Mekkah dan Madinah harus diberikan kepada sebuah badan yang beranggotakan perwakilan aliran dan gerakan Islam yang utama. Dengan demikian tak akan ada aliran yang mendominasi, apalagi menjadi doktrin yang tersebar secara luas. Yang ada hanyalah perdebatan di antara aliran-aliran tersebut.
Peta yang dibuat Ralph Peters itu bisa menjadi pembenaran keberadaan pasukan AS di Timur Tengah. Pasukan itu akan menjalankan “tugas mulia” untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Menghapus “kesalahan sejarah” pembagian wilayah bekas kekuasaan Khilafah Turki Utsmaniyah oleh Perancis dan Inggris.
Namun pensiunan militer yang punya nama pena Owen Parry ini juga menegaskan tujuan sebenarnya dari keberadaan mereka di Timur Tengah, menguasai sumber-sumber minyak. “Meanwhile, our men and women in uniform will continue to fight for security from terrorism, for the prospect of democracy and for access to oil supplies in a region that is destined to fight itself,” tegasnya.
Jika ditilik lebih lanjut, skenario perubahan peta negara-negara Muslim Timur Tengah ini sejalan dengan agenda kelompok Neo Conservative (Neocons) yang didengungkan sejak 1997. Kelompok yang digagas Irving Kristol ini meluncurkan Project for the New American Century (PNAC). Proyek ini bertujuan menciptakan kepemimpinan global AS di dunia. AS sebagai satu-satunya negara super power yang tersisa harus memainkan peranan sebagai kekuatan yang mampu menciptakan hegemoni di seluruh dunia.
Proyek ini sejak awal mentargetkan penguasaan atas Irak. Pada bulan Januari 1998 para penggagas proyek ini mengajukan PNAC ini kepada Presiden Bill Clinton. Dalam surat yang ditandatangani Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, John Bolton, Elliot Abrams dan Richard Armitage ini, kelompok Neocons meminta Presiden Clinton untuk segera menurunkan Presiden Irak, Saddam Hussein dari kekuasaannya melalui kekuatan diplomatik, politik bahkan aksi militer.
Pada bulan September 2000, para penggagas PNAC yang dimotori Dick Cheney (Wapres AS saat ini) meluncurkan rencana induk dalam laporan berjudul “Rebuilding America’s Defenses: Strategy, Forces, and Resources for a New Century”. Dalam rencana induk tersebut, para penggagas PNAC mendesak untuk membuat basis militer secara permanen di Selatan Eropa, Asia Tenggara dan Timur Tengah. Hal itu ditujukan untuk memperkuat hegemoni AS di daerah- daerah yang dinilai rawan konflik.
Selain itu gerakan ini juga meminta untuk pemerintah untuk memodernisasi alat-alat tempur yang dimiliki AS, mengembangkan sistem pertahanan global, mengembangkan strategi dominasi udara, menggagas arus utama di dunia maya, serta meningkatkan anggaran militer menjadi 3,8 persen dari keseluruhan anggaran.
Di akhir musim panas 2001, proyek ini mendapat hambatan karena dukungan terhadap pemerintah turun hingga mencapai 51 persen. Hal ini disebabkan anjloknya perekonomian AS. Namun, peristiwa peledakan WTC yang dikenal dengan tragedi 9/11 membuka kembali dukungan rakyat AS terhadap PNAC.
Dengan dalih perang terhadap terorisme, pemerintah AS mendapat dukungan untuk menggelar pasukan dan menguasai wilayah yang disebut- sebut sebagai sarang teroris, tak terkecuali Afganistan dan Irak. Hasilnya, sebuah koran terkemuka di AS, The Wall Street Journal, menyebut bahwa kini AS telah menempatkan pasukannya di 130 negara. AS juga telah memiliki 40 pangkalan militer permanen yang akan terus bertambah jumlahnya.
Mantan anggota Parlemen AS dari Lousiana, David Duke menilai ke- bijakan AS menguasai Irak sebe- narnya bukan untuk kepentingan AS, melainkan untuk kepentingan Israel. Ia menunjuk anggota kelompok Neo- cons yang menggagas PNAC seperti Paul Wolfowitz, Richard Perle, Daniel Feith, dan Elliot Abrams sebagai bagian dari lobi Yahudi yang meng- golkan kepentingan Israel melalui kekuatan AS. “Mereka orang Yahudi yang fanatik, ekstrimis, dan bukan manusia normal,” ujarnya kepada televisi Suriah, Nopember lalu.
Paul Wolfowitz dan Daniel Feith memang dikenal sebagai anggota Lobi Yahudi di pemerintah AS. Mereka mempunyai hubungan yang dengan kaum Yahudi di Israel. Wolfowitz yang memiliki keluarga di Israel telah menjadi kepercayaan Bush dalam menangani hubungan antara AS dan Israel. Sementara Feith adalah aktivis pro Israel yang memperoleh penghargaan dari The Zionist Organization of America.
Gerakan Neocons sendiri adalah gerakan yang digagas oleh para cendikiawan Yahudi (baca Dari Neo- cons Hingga Freemansory). Mereka kemudian membangun sayap-sayap gerakan seperti American Enterprise Institute (AEI), Jewish Institute for National Security Affairs (JINSA), Center for Security Policy (CSP) dan beberapa organ lainnya.
AEI merupakan pusat pemikiran kaum Neocons yang punya pengaruh besar terhadap kebijakan Washington. Sedangkan JINSA adalah lembaga yang selama ini emnjadi penghubung antara lobby Yahudi di AS dengan kekuatan kanan politik Israel, Partai Likud. Sementara CSP merupakan organ yang menyediakan kajian tentang kebijakan militer dan persenjataan. Lembaga ini mengusung motto “mem- promosikan perdamaian dunia melalui kekuatan Amerika”.
“Kesalahan sejarah” yang menyebabkan Ralph Peters membuat peta baru negara-negara Muslim di Timur Tengah erat kaitannya dengan kepentingan Yahudi. Peristiwa yang dianggap kesalahan sejarah oleh Peters adalah perjanjian rahasia antara Inggris dan Perancis pada tahun 1916. Dalam perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Sykes Picot ini, Inggris dan Perancis membagi-bagi wilayah bekas kekuasaan Khilafah Turki Utsmaniah menjadi koloninya. Inggris mendapatkan daerah yang kaya sumber minyak di kawasan Teluk Persia yang meliputi Irak dan Kuwait. Inggris juga mendapat daerah Palestina dan Yordania.
Sedangkan Perancis menguasai Suriah dan Libanon. Perjanjian itu juga memberikan wilayah Anatolia dan sebagian kawasan Kepulauan Mediterania menjadi milik Italia. Pihak Rusia mendapat bagian wilayah Armenia dan Kurdistan.
Pembagian inilah yang mengecewakan kelompok Zionis Yahudi yang telah memberikan dukungannya kepada pihak Inggris. Sejak awal mereka meminta wilayah Palestina menjadi tempat bagi kaum Yahudi untuk mendirikan negara. Namun karena pihak Inggris tidak tegas mengusir bangsa Arab yang mendiami wilayah itu, hingga kini kaum Yahudi mengalami kesulitan untuk mewujudkan mimpinya, mendirikan Eretz Israel yang membentang dari Sungai Eufrat hingga Sungai Tigris.
Tentu saja jika AS yang dikendalikan lobi Yahudi berhasil menjadi kekuatan yang mampu memonopoli dunia, termasuk wilayah Timur Tengah, akan mudah bagi bangsa Yahudi mewujudkan mimpinya. Kaum Yahudi akan memanfaatkan kelemahan negara-negara baru di Timur Tengah untuk mengambil keuntungan, sambil tetap mendompleng kekuatan AS seperti yang selama ini terjadi.
Itulah mimpi gerakan neocons yang akan segera diwujudkan melalui peta yang dibuat Ralph Peters.
[MN Habibi/SAKSI/islampos]