Masalah
epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan,
perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat
memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan,
kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya
tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap
mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan
epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk
memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa
yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara
bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan
bidang-bidang yang tidak memungkinkannya, karena manusia tidak lah
memiliki pengetahuan yang sejati.
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme
adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara
memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak
empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan
akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam
buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut
Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan
serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta
refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia
memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif
menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua
pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada
pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan
sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak
dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah
pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal
yang faktual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para
penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di
dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika
kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau
menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam
pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
Rasionalisme
dikenalkan pertama kali dalam studi filsafat dengan tokohnya yang
terkenal adalah Rene’ Descrates. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa
sumber pengetahuan adalah rasio. Karena kebenaran berasal dari ratio
(akal). Namun dalam studi hubungan internasional, rasionalisme baru
mulai diperkenalkan pada tahun 1950 oleh Andrew Linklater, dalam bukunya
yang berjudul ‘Rationalism’. Menurutnya, rasionalis awalnya
diperkenalkan dari sebuah asosiasi penulis klasik seperti Gratius dan
Vattel. Sedangkan pemikir modernnya adalah Hadley Bull, Vincent, dan
Watson. Rasionalis merupakan pemikiran yang berada diantara teori
realisme dan idealisme. Dalam bukunya, Linklater mengatakan bahwa
“rasionalisme mengakui bahwa negara melakukan paksaan untuk keamanannya
di dalam kondisi anarkhi, tidak seperti individu-individu dalam
masyarakat sipil. Dan bahwa kompetensi dan konflik sering mengikuti
usahanya untuk realisme objektifnya.
Rasionalisme
diambil berdasarkan teori realisme dan idealisme, dimana realis
memiliki argumen bahwa negara memaksa masyarakat internasional dibawah
kepentingan nasionalnya yang egois. Dua poin penting mengenai
rasionalisme yang ada dalam buku ini, menyebutkan bahwa rasionalis
meyakinkan bahwa tekanan realis dalam bagaimana negara mengeluarkan
maneuver, control, dan mencari kekuatan lebih dari yang lainnya.
Kemudian, tuntutan rasionalis, bahwa kepentingan internasional harusnya
tidak berdasarkan pada jaminan, setelah pencapaian berbahaya yang dapat
memusnahkan dari kekuatan politik agresif atau revolusioner.
Pemisahan
antara pengetahuan dan kepentingan manusiawi yang terwujud dalam
pemisahan teori dan praksis, seperti yang dianut oleh ilmu pengetahuan
modern, bertujuan untuk membersihkan teori dari kepentingan, dimana hal
ini berlangsung dalam dua jalur. Pada jalur pertama tokoh yang berdiri
ialah Plato, Rene Descartes, Malebrache, Spinoza, Leibniz, dan Wolff.
Mereka
percaya, bahwa pengetahuan murni hanya dapat diperoleh melalui rasio
manusia itu sendiri (rasionalisme). Dalam hal ini, plato sangat
menekankan pada peran intuisi. Di jalur kedua, dengan Aristoteles,
Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume berdiri sebagai tokohnya, percaya
bahwa hanya dengan melalui pengamatan empiris terhadap objek
pengetahuan, pengetahuan murni dapat diperoleh (empirisme).
Pengetahuan
empiris analitis yang kemudian menjadi ilmu-ilmu alam, direfleksikan
secara filosofis sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, dan
ditangan Francis Bacon, yang menggunakan pisau Rasionalisme dan
Empirisme, ilmu-ilmu alam memperkembangkan konsep teori murni, yakni
pembebasan pengetahuan dari kepentingan. Kemudian pada titik inilah
lahir pemikiran positivisme, yang menjadi puncak pembersihan pengetahuan
dari kepentingan, serta sebagai awal pencapaian cita-cita untuk
memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang terpisah dan
praksis.
c. Positivisme
Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains.
Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan
(jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan
kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains.
Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan
(jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan
kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
d. Intusionisme
Menurut
Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung
dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara
langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah
satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson
ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping
pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang
dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping
pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar
dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi
dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi
maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya
diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang
biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme –
setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa
pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari
pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh
analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera
hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan
oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak
pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya
intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang
senyatanya.
2. ONTOLOGI
Objek
telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran
studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika.
Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam
konteks filsafat ilmu.
Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan
pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus;
menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Metode dalam ontologi yaitu:
a. Hakekat
Pengertian hakekat manusia adalah sebagai berikut :
a. Makhluk yang memiliki tenga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
b. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
c. yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
d. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
e. Individu
yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk
mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih
baik untuk ditempati
f. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
g. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
h. Individu
yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial,
bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya
tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
b. Materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Materi
dapat dipahami sebagai bahan; benda; segala sesuatu yang tampak.
Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu
yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam
indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada
materi disebut sebagai materialis. Orang-orang ini adalah para pengusung
paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan
semata (harta,uang,dsb).
Ciri-ciri paham materialism:
· Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah).
· Tidak meyakini adanya alam ghaib.
· Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu.
· Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum.
· Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak.
· Adalah
sebuah paham garis pemikiran, dimana manusia sebagai nara sumber dan
juga sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada dengan jalan
dialetis.
c. Idealisme
Idealisme
atau dalam bahasa Inggris disebut Idealism, yang kadang juga disamakan
dengan mentalisme atau imaterialisme. Istilah ini pertama kali digunakan
secara filosofis oleh Leibniz pada mula awal abad ke- 18. Leibniz
memakai dan menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, secara bertolak
belakang dengan materialisme Epikuros. Idealisme ini merupakan kunci
masuk ke hakikat realitas.
Pandangan beberapa filsuf mengenai Idealisme.
1. Schelling
memberikan nama Idealisme subyektif pada filsafat Fichte, dengan alasan
bahwa dalam Fichte dunia merupakan postulat subyek yang memutuskan.
2. Idealisme
obyektif adalah nama yang diberikan oleh Schelling pada pemikiran
filsafatnya. Menurutnya, alam adalah inteligensi yang kelihatan. Hal
tersebut menunjukkan semua filsafat yang mengindentikkan realitas dengan
ide, akal atau roh.
3. Hegel
menerima klasifikasi Schelling, dan mengubahnya menjadi idealisme
absolut sebagai sintesis dari pandangan idealisme subyektif (tesis) dan
obyektif (antitesis).
4. Idealismetransendental
adalah pandangan dan penyebutan dari Immanuel Kant. Sering disebut juga
disebut sebagai idealisme kritis. Pandangan ini mempunyai alternatif
yaitu isi dari pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam
dirinya sendiri, sedangkan ruang dan waktu merupakan forma intuisi kita
sendiri
5. Idealisme
epistemologis merupakan suatu keputusan bahwa kita membuat kontak hanya
dengan ide-ide atau pada peristiwa manapun denga entitas-entitas
psikis.
6. Idealisme personal adalah sisitim filsafat Howison dan Bowne.
7. Idealisme voluntarisme dikembangkan oleh Fouilee dalam suatu sistim yang melibatkan tenaga pemikiran.
8. Idealisme teistik pandangan dan sistim filsafat dari Ward.
9. Idealisme monistik adalah penyebutan dan sistim filsafat dari Paulsen.
10. Idealisme etis adalah pandangan filsafat yang dianut oleh Sorley dan Messer.
11. Idealisme
Jerman, pemicunya adalah Immanuel Kant dan dikembangkan oleh
penerus-penerusnya. Idealisme merupakan pembaharuan dari Platonis,
karena para pemikir melakukan terobosan-terobosan filosofis yang sangat
penting dalam sejarah manusia, hanya dalam tempo yang sangat singkat,
yaitu 40 tahun (1790- 1830) dan gerakan intelektual ini mempunyai
kedalaman dan kekayaan berpikir yang tiada bandingnya.
Dari perkembangan pemikiran idealisme dapat disimpulkan pengertian idealisme, yaitu :
1. Adanya suatu teori bahwa alam semesta beserta isinya adalah suatu penjelmaan pikiran.
2. Untuk menyatakan eksistensi realitas, tergantung pada suatu pikiran dan aktivitas-aktivitas pikiran.
3. Realitas
dijelaskan berkenaan dengan gejala-gejala psikis seperti
pikiran-pikiran, diri, roh, ide-ide, pikiran mutlak, dan lain sebagainya
dan bukan berkenaan dengan materi.
4. Seluruh realitas sangat bersifat mental (spiritual, psikis). Materi dalam bentuk fisik tidak ada.
5. Hanya ada aktivitas berjenis pikiran dan isi pikiran yang ada. dunia eksternal tidak bersifat fisik
d. skeptisisme
Menurut
kamus besar bahasa indonesia skep-tis yaitu kurang percaya, ragu-ragu
(terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan
pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Sedangkan
skeptis-isme adalah aliran (paham) yang memandang sesuatu selalu
tidak pasti (meragukan, mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah
banyak menimbulkan skeptis-isme terhadap kesanggupan dalam menanggapi
gejolak hubungan internasional. Jadi secara umum skeptis-isme adalah
ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum
tentu kebenarannya.
Dalam penggunaan sehari-hari skeptis-isme bisa berarti:
1. suatu sikap keraguan atau disposisi untuk keraguan baik secara umum atau menuju objek tertentu;
2. doktrin yang benar ilmu pengetahuan atau terdapat di wilayah tertentu belum pasti; atau
3. metode ditangguhkan pertimbangan, keraguan sistematis, atau kritik yang karakteristik skeptis (Merriam-Webster).
Dalam
filsafat, skeptis-isme adalah merujuk lebih bermakna khusus untuk suatu
atau dari beberapa sudut pandang. Termasuk sudut pandang tentang:
1. sebuah pertanyaan,
2. metode mendapatkan pengetahuan melalui keraguan sistematis dan terus menerus pengujian,
3. kesembarangan, relativitas, atau subyektivitas dari nilai-nilai moral,
4. keterbatasan pengetahuan,
5. metode intelektual kehati-hatian dan pertimbangan yang ditangguhkan.
ü skeptisme menurut ilmu pengetahuan
Skeptisime
sebagai sebuah pemahaman bisa dirunut dari yunani kuno. Pemahaman yang
kira-kira secara gampangnya “tidak ada yang bisa kita ketahui”, “Tidak
ada yang pasti” “Saya ragu-ragu.” sebuah pernyataan yang akan diprotes
karena memiliki paradoks. Jika memang tidak ada yang bisa diketahui,
darimana kamu mengetahuinya. Jika memang tidak ada yang pasti, perkataan
itu sendiri sesuatu kepastian. Setidaknya dia yakin kalau dirinya
ragu-ragu.
Skeptis
juga bisa dianggap sebagai sifat. Kadang kita juga melakukannya tanpa
kita sadari. Ketika kita mendengar bahwa ada cerita kita diculik pocong
tentu saja kita mengerutkan kening. Kemudian kita tidak mempercayai
dengan mudah, kita anggap isapan jempol, urban legend, palsu. Orang
skeptis bisa memberikan argumen-argumen keberatan terhadap cerita
tersebut. Mereka meminta bukti, menyodorkan fakta kenapa cerita itu tak
mungkin dan lain sebagainya.
Dengan
kata lain meragukan. Sifat skeptis artinya sifat meragukan sesuatu.
Tidak mau menerima dengan mudah apa adanya. Selalu meragukan sesuatu
jika belum ada bukti yang benar-benar jelas. Jika ada cerita maka tidak
langsung mempercayainya.
Sifat
semacam ini penting bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memerlukan
suatu kepastian yang seakurat mungkin karena itu ilmuan diharapkan
skeptis. Ilmuan tidak boleh langsung percaya begitu saja terhadap
berita, percobaan dan lain sebagainya. Ini karena metode dalam ilmu
pengetahuan yang ketat.
Jika
seseorang menyatakan sebuah teori misalnya “Naga itu ada!” Ilmuan
kemudian bertanya. Mana buktinya? Ilmu selalu mempertanyakan bukti. Ini
karena ilmu tidak boleh mudah percaya. Ini karena di dunia banyak penipu
dan pembohong, ada mereka yang menyatakan melihat sesuatu padahal tidak
ada di sana. Ada juga mereka yang merasa melihat sesuatu padahal
sebenarnya tidak. Jika komunitas ilmuan hendak mempercayai hal semacam
ini tanpa bukti dan meminta yang lain supaya percaya, maka celakalah.
ü skeptisisme menurut filsafat
Sikap
skeptis adalh sebuah pendirian didalam epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang menyangsikan kenyataan yang diketahui baik
ciri-cirinya maupun eksistensinya. Para skeptikus sudah ada sejak zaman
yunani kuno, tetapi di dalam filsafat modern, Rene Descartes adalah
perintis sikap ini dalam metode ilmiah. Kesangsian descartes dalam
metode kesangsiannya adalah sebuah sikap skeptis, tetapi skeptis-isme
macam itu bersifat metodis, karena tujuan akhirnya adalh untuk
mendapatkan kepastian yang tak tergoyangkan, yaiutu: cogito atau
subjectum sebagai onstansi akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat
D.Hume kita menjumpai skeptisme radikal, karena ia tidak hanya
menyangsikan hubungan-hubungan kausal, melainkan juga adanya substansi
atau realitas akhir yang bersifat tetap.
Dalam
filsafat klasik, mempertanyakan merujuk kepada ajaran traits mengenai
"Skeptikoi",, Dalam ilmu filsafat dari yang dikatakan bahwa mereka
"tidak menyatakan apa-apa selain pandangan sendiri saja." (Liddell and
Scott) (Liddell and Scott), Dalam hal ini, keraguan filsafati, atau
Pyrrhonisme adalah posisi filsafat yang harus menangguhkan satu
keputusan dalam penyelidikan. Sextus Empiricus, Outlines Of Pyrrhonism, Terjemahan R.G. Bury, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1933, 21
ü skeptisisme menurut agama
Dalam
agama, mempertanyakan merujuk kepada "keraguan tentang prinsip-prinsip
dasar agama (seperti keabadian, pemeliharaan, dan wahyu)."
(Merriam–Webster) Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G.
Barbour, yaitu John F. Haught [1995], yang membagi pendekatan sains dan
agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan
kontak, dan pendekatan konfirmasi.Untuk itu, secara singkat membahas
empat pemikiran Haught tentang hubungan sanis dan agama, sebagai
berikut : Pendekatan Konflik, suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains
dan agama tidak dapat dirujukan atau dipadukan. Artinya banyak pemikir
[saintis] yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan
dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains
menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman,
sedangkan agama berdasarkan keyakinan. Kaum skeptis ilmiah sering
mengatakan agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau
“keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala
sesuatu sebagai benar. Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu
bersandar pada imajinasi yang liar,sedangkan sains bertumpuk pada fakta
yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan subjektif,
sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah,
dan objektif. Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat
dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya
menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa
persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual,
metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat
dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap ”ekspansionis” agama maupun
”sains” menolak pengaplingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit
dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas
wilyah signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak”
didiami oleh dua entitas ini, terbukalah peluang terjadinya konflik
antara keduanya.Pendekatan kontras, suatu pernyataan bahwa tidak adan
pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi
tanggapan terhadapmasalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan
agamawan [teolog]tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan
sains. Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains” sangatlah berbeda
sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya.
Agama dan sains sama-sama absah [valid] meskipun hanya dalam batas ruang
penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai
agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya, oleh karena itu
keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama dan sains
sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja
mereka akan bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai
tugas-tugas yang tidak sama dan tetap menjaga agar sains dan agama
berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains
tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain. Pendekatan Kontak, suatu
pendekatan yang mengupayakan dialog,interaksi, dan kemungkinan adanya
”penyesuaian” antara sains dan agama,dan terutama mengupayakan cara-cara
bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara
untuk menghubungkan agama dengan sains, sebab Haught, tidak rela
membiarkan dunia ini terpilah-pilah menjadi dua ranah [dikotomik].
Tetapi ia juga tidak setuju pada harmoni yang dangkal dalam pendekatan
peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju bahwa sains dan agama
jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam dunia kenyata,
mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan
oleh kubu pendekatan kontras. Kata mempertanyakan dapat menggambarkan
posisi pada sebuah klaim, namun di kalangan lain lebih sering
menjelaskan yang menetapkan kekekalan pikiran dan pendekatan untuk
menerima atau menolak informasi baru. Individu yang menyatakan memiliki
pandangan mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi
sering terlupakan apakah sikap secara filsafati mempertanyakan atau
ketidakpercayaan secara empiris sebenarnya malahan adalah pernyataan
sebuah pengakuan.
e. Agnotisisme
adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi,
metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat
diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas. Seorang agnostik
mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui secara
definitif pengetahuan tentang "Yang-Mutlak"; atau , dapat dikatakan
juga, bahwa walaupun perasaan secara subyektif dimungkinkan, namun
secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki informasi yang dapat
diverifikasi.
Dalam kedua hal ini maka agnostikisme mengandung unsur skeptisisme.
Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (tahu) dan a (tidak). Arti harfiahnya "seseorang yang tidak mengetahui".
Agnostisisme tidak sinonim dengan ateisme.
3. AKSIOLOGI
Dewasa
ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja
menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah
hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan
lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau
dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup
itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan
perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust
yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi
kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat
seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana
batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan
harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi
bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun
bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua
kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia
ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk
menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya
sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah
moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543)
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi
yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa
yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu
dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik.
Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya,
sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada
pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran
diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang
bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada
pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh
pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa
bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah
kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban
telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar.
Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di
halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan
mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual.
Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya
seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat
mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam
petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.”
(adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam
avontur intelektual?).
Jadi
pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral/professional? Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di
ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu
sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun
bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan
perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia
mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun
juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang
menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl
gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi
kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat
seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana
batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan
harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi
bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun
bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua
kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia
ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk
menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya
sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah
moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543)
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi
yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa
yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu
dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik.
Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya,
sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada
pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran
diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang
bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada
pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh
pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa
bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah
kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban
telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar.
Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di
halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan
mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual.
Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya
seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat
mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam
petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.”
(adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam
avontur intelektual?).
Jadi
pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral/professional
DAFTAR PUSTAKA