Sabtu, 15 Maret 2014

Makna Epistemologi Rasionalisme VS Empirisme

I. PENGATAR 

All Men by the nature to desire to know”[1]. Hakikat manusia yang selalu ingin mengetahui melahirkan kesadaran untuk selalu mencari dan terus mencari. Proses mencari, meneliti, memahami dan merenungkan sesuatu yang menjadi objek perhatiannya menghasilkan sesuatu yang dinamakan pengetahuan. Manusia mendapatkan atau mengetahui sesuatu. Namun usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan merupakan suatu keterampilan untuk mengabungkan segala sesuatu demi pencapaian pengetahuan itu. Akal berperan sebagai faktor utama untuk memikirkan, mengolah dan memahami sesuatu. Selain itu lingkungan atau segala sesuatu yang ada juga merupakan faktor penunjang selain dijadikan sebagai objek perhatian yang melahirkan sesuatu tetapi juga sebagai ruang lingkup pengetahuan itu.
Akal budi atau pikiran dan lingkungan indrawi merupakan sumber terjadinya pengetahuan. Dua sumber yang berbeda sungguh melahirkan perdebatan panjang antara para filsuf pengetahuan di abad pencerahan. Para penganut rasionalisme( Rene Descartes, Baruch Spinoza) menganggap bahwa pengetahuan lahir dari suatu pencarian akal bukan berdasarkan pengalaman indrawi seperti yang dianuti oleh para empirisme( David Hume, Jhon Locke).

II. RASIONALISME

Para filsuf rasionalisme yang diwakili oleh Rene Descartes(1596-1650), Baruch Spinoza(1630-1677) dan Leibniz(1646-1716) sangat mengagungkan rasio atau akal sebagai sumber pengetahuan. Rene Descartes dengan tegas mengatakan bahwa “cogito ergo sum”[2](saya berpikir maka saya ada). Kesadaran(cogito) sebagai faktor penyebab yang bisa melahirkan segala sesuatu. Kesadaran yang bersumber pada otak atau rasio manusia merupakan sumber pengetahuan. Segala sesuatu yang di luar kesadaran(otak) seperti lingkungan indrawi ada oleh karena pikiran itu bahkan Descartes mengatakan dirinya ada oleh karena pikirannya.
Ajaran Descartes ini yang melihat ide atau akal sebagai satu-satunya pencetus pengetahuan itu mendorong Baruch Spinoza untuk melihat Allah sebagai satu-satunya Ide tertinggi. Sedangkan alam merupakan pancaran dari Ide Tunggal itu. Leibniz melihat pengetahuan alam semesta telah ada dalam diri manusia sebagai bawahan.[3] Pengalaman indrawi merupakan hasil eksploitasi akal(pikiran). Pikiran melahirkan pengetahuan akan sesuatu di luar dirinya. Sehingga Leibniz dengan tegas mengatakan bahwa pengalaman sendiri bukanlah sumber pengetahuan melainkan pengetahuan tingkat pertama. Sumber pengetahuan adalah akal atau pikiran.
Aliran rasionlisme di atas melihat unsur utama yang membentuk epistemologi adalah pikiran dan penalaran. Pikiranlah yang menemukan, melahirkan pengetahuan serta mengembangkannya. Sehingga epistemologi yang dihasilkan oleh pikiran adalah benar-benar bisa diterima rasio manusia sebagai suatu pengetahuan baru. Bahkan Rene Descartes berkata bahwa indra adalah yang paling lemah dan rapuh dibandingkan dengan yang lain dalam menemukan pengetahuan.[4] Pengalaman indrawi sangat diragukan kebenarannya. Manusia bisa mengetahui sesuatu oleh karena pikirannya(rasio). Namun para filsuf rasionalisme melihat peran indra hanya sebagai pintu masuk atau hanya sebagai penerima pengalaman indrawi itu. Rasiolah yang mengerti, mengolah bentuk dan wujud dari pengalaman indrawi. Misalnya, kulit merasakan cuaca dingin. Kulit tidak mengatakan itu, namun rasiolah yang berpikir oh cuacanya dingin

III. EMPIRISME 

Berbeda dengan kaum rasionalis, kaum empirisme yang diwakili oleh John Locke(1632-1764) mengatakan bahwa pengetahuan itu bersumber pada pengalaman.[5] Pengalaman memiliki arti yang sangat luas berhubungan dengan panca indra manusia. Indra manusia yang menjalin relasi dengan alam baik materi, ruang maupun waktu. Alam memberikan sumbangan yang cukup penting dalam pembentukan sebuah pengetahuan yang baru. Panorama alam yang ditangkap oleh panca indra manusia membentuk suatu pengetahuan tentang alam itu. Sebab bagaimana seseorang mengetahui warna laut itu biru kalau ia tidak mempunyai mata untuk melihat? Rasio tak dapat mengolah atau memikirkan bahwa laut itu warnanya biru tanp harus melihat terlebih dahulu. Bahkan John Locke dengan perumpamaannya yang terkenal tentang rasio itu bahwa rasio diibaratkan dengan lembaran putih yang belum terisi dengan tulisan. Lembaran kosong itu akan terisi dengan pengetahuan jika ada pengalaman indrawi yang ditangkap indra kemudian disalurkan kepada rasio itu. Pemikiran atau rasio sama sekali pasif dalam menerima suatu pengetahuan baru.
Para penganut empirisme menemukan suatu pengetahuan baru melalui suatu penelitian empirik. Penelitian empirik dengan segala percobaan. David Hume(1711-1776) seorang filsuf yang sangat radikal mengatakan bahwa buanglah ke dalam api segala buku yang tidak memuat penyelidikan.[6] Dengan demikian ia menguraikan pengetahuan sebagai kesan indra yang secara langsung diperoleh melalui pengalaman entah melalui percobaan ataupun melalui apa yang dirasakan indra( membau, merasa, melihat, menyentuh, mengisap). Kesan panca indralah yang menghantar manusia untuk percaya akan kebenaran pengetahuan itu. Misalnya rasa sakit karena tertusuk benda tajam lebih memberikan pengetahuan seseorang tentang rasa sakit ketimbang rasio memikirkan bagaimanakah rasa sakit itu.
Dari sini para penganut empirisme seperti Locke, Hume melihat pentingnya praktik sebagai salah satu jalan untuk menemukan pengetahuan itu. Dengan melakukan latihan mencoba atau praktik untuk meneliti, mengolah, benda yang ada maka manusia bisa mengetahui segala sesuatu baik apa yang dilihat, dirasa, dibaui, diraba oleh indra. Sebab seseorang tak mungkin mengetahui bahwa garam itu rasanya asin jika ia tidak mengecapnya dengan lidahnya atau contoh lain air itu mendidih jika tingkat kepanasannnya sampai pada suhu 100 C tanpa melalui sebuah percobaan yang akurat. Singkatnya untuk memperoleh suatu kesimpulan tentang pengetahuan harus diawali dengan suatu percobaan(praktik) untuk meneliti hal itu. 

IV. PERTENTANGAN ANTARA RASIONALISME DAN EMPIRISME

Para rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi atau rasio saja. Sedangkan kaum empirisme mengakui pengalaman indrawi sebagai sumber pengetahuan itu. Di sini ada perbedaan pandangan tentang sumber pengetahuan itu. Para rasionalisme menjadikan pikiran sebagi unsur pokok pengetahuan dan mengabaikan unsur pengalaman, kesaksian demikian juga sebaliknya. Boleh dikatakan para rasionalisme dengan empirisme mempertentangkan unsur-unsur terbentuknya epistemologi pengetahuan.
Namun Imanuel Kant(1724-1804) sebagai salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam melahirkan pengetahuan di abab pencerahan. Ia mengemukakan teori subjek dan objek untuk mendamaikan kedua aliran terdahulu(rasionalisme-empirisme) meskipun ia sangat mengagumi filsafat Hume. Penyelidikan struktur subjek yang memungkinkannya mengetahui benda-benda sebagai objek.[7] Dengan demikian ia menguraikan tiga tingkatan proses pengetahuan: Pertama, tingkat pertama pemahaman indrawi( dalam ruang dan waktu); subjek hadir untuk memahami data-data realitas. Kedua, tingkat akal budi; mulai mengolah input yang diberikan oleh tingkat pengalaman indrawi. Ketiga, tingkat itelektual; kemampuan manusia yang tertinggi melebihi akal dan pemahaman indrawi.
Relasi subjek dan objek ditandai dengan peran aktif-reaktif keduanya dalam membentuk suatu kegiatan untuk mengetahui. Subjek mengkonstitusikan objek maka objek itu memiliki peran dalam menentukan peran subjek. Subjek yang berperan aktif disebut sebagai pengertian(understanding) dan indra membantu dalam hal menerima ransangan dari luar(objek). Pengalaman indrawi(objek) menyediakan isi pengetahuan bagi pikiran(subjek). Imanuel Kant menempatkan posisi epistemologis sebagai suatu bentuk “ realisme empiris”(benda-benda menampakkan diri kepada pikiran) dan suatu idealisme trasendental(benda-benda diketahui, dikonstitusikan oleh pikiran).[8]
 
V. PENUTUP 

Akhirnya perbedaan cara pandang antara empirisme dengan kaum rasionalisme tentang sumber pengetahuan bagi Imanuel Kant bukan suatu hal yang rumit. Pengalaman yang merupakan kontak pertama dan langsung dengan realitas(objek) adalah dasar atau awal dari pengetahuan itu. Pengalaman ini menjadi bahan dasar dari intelektualitas(akal budi) untuk selanjutnya pengalaman ini diolah menjadi sebuah konsep. Suatu konsep muncul mengandaikan adanya suatu pengalaman yang baru.
Pengetahuan yang merupakan hasil eksperimen(pengalaman- empiris) yang benar, akurat dan kemudian data ini diterima oleh akal(rasio). Dengan demikian antara emprisme dengan rasionalisme saling berhubungan satu sama lain. Bagaikan dua sayap burung yang selalu bekerja sama agar tubuh burung itu bisa terangkat dan terbang. Eksperimen merupakan bukti bakwa rasio manusia berpikir untuk mencoba sehingga melahirkan suatu pengetahun yang baru.


[1] Demikian perkataan Aristoteles dalam metafikanya seperti yang dikutip oleh F X Armada Ryanto, Pengantar Filsafat,Doing Filosophy( diktat kuliah), STFT Widya Sasana Malang, 2001, p. 3
[2] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual; Konfrontasi dengan Para Filsuf dariZaman Yunani hingga Modern(Yogyakarta: Kanisius,2004), p. 206
[3] Ibid. 221
[4] Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi(Jakarta:Lentera,2001), p. 27-28
[5] Simon Petrus L. Tjahjadi, p. 237
[6] Ibid. p. 247-249
[7] Simon Petrus L. Tjahjadi, p. 282
[8] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar; Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), p. 110-111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar