I. PENGATAR
“All Men by the nature to desire to know”[1].
Hakikat manusia yang selalu ingin mengetahui melahirkan kesadaran untuk
selalu mencari dan terus mencari. Proses mencari, meneliti, memahami
dan merenungkan sesuatu yang menjadi objek perhatiannya menghasilkan
sesuatu yang dinamakan pengetahuan. Manusia mendapatkan atau mengetahui
sesuatu. Namun usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan merupakan
suatu keterampilan untuk mengabungkan segala sesuatu demi pencapaian
pengetahuan itu. Akal berperan sebagai faktor utama untuk memikirkan,
mengolah dan memahami sesuatu. Selain itu lingkungan atau segala sesuatu
yang ada juga merupakan faktor penunjang selain dijadikan sebagai objek
perhatian yang melahirkan sesuatu tetapi juga sebagai ruang lingkup
pengetahuan itu.
Akal budi atau pikiran dan lingkungan indrawi merupakan sumber terjadinya pengetahuan. Dua sumber yang berbeda sungguh
melahirkan perdebatan panjang antara para filsuf pengetahuan di abad
pencerahan. Para penganut rasionalisme( Rene Descartes, Baruch
Spinoza) menganggap bahwa pengetahuan lahir dari suatu pencarian akal
bukan berdasarkan pengalaman indrawi seperti yang dianuti oleh para
empirisme( David Hume, Jhon Locke).
II. RASIONALISME
Para
filsuf rasionalisme yang diwakili oleh Rene Descartes(1596-1650),
Baruch Spinoza(1630-1677) dan Leibniz(1646-1716) sangat mengagungkan
rasio atau akal sebagai sumber pengetahuan. Rene Descartes dengan tegas
mengatakan bahwa “cogito ergo sum”[2](saya berpikir maka saya ada). Kesadaran(cogito) sebagai faktor penyebab yang bisa
melahirkan segala sesuatu. Kesadaran yang bersumber pada otak atau
rasio manusia merupakan sumber pengetahuan. Segala sesuatu yang di luar
kesadaran(otak) seperti lingkungan indrawi ada oleh karena pikiran itu
bahkan Descartes mengatakan dirinya ada oleh karena pikirannya.
Ajaran
Descartes ini yang melihat ide atau akal sebagai satu-satunya pencetus
pengetahuan itu mendorong Baruch Spinoza untuk melihat Allah sebagai
satu-satunya Ide tertinggi. Sedangkan alam merupakan pancaran dari Ide
Tunggal itu. Leibniz melihat pengetahuan alam semesta telah ada dalam
diri manusia sebagai bawahan.[3]
Pengalaman indrawi merupakan hasil eksploitasi akal(pikiran). Pikiran
melahirkan pengetahuan akan sesuatu di luar dirinya. Sehingga Leibniz
dengan tegas mengatakan bahwa pengalaman sendiri bukanlah sumber
pengetahuan melainkan pengetahuan tingkat pertama. Sumber pengetahuan
adalah akal atau pikiran.
Aliran rasionlisme di
atas melihat unsur utama yang membentuk epistemologi adalah pikiran dan
penalaran. Pikiranlah yang menemukan, melahirkan pengetahuan serta
mengembangkannya. Sehingga epistemologi yang dihasilkan oleh pikiran
adalah benar-benar bisa diterima rasio manusia sebagai suatu pengetahuan
baru. Bahkan Rene Descartes berkata bahwa indra adalah yang paling
lemah dan rapuh dibandingkan dengan yang lain dalam menemukan
pengetahuan.[4]
Pengalaman indrawi sangat diragukan kebenarannya. Manusia bisa
mengetahui sesuatu oleh karena pikirannya(rasio). Namun para filsuf
rasionalisme melihat peran indra hanya sebagai pintu masuk atau hanya
sebagai penerima pengalaman indrawi itu. Rasiolah yang mengerti,
mengolah bentuk dan wujud dari pengalaman indrawi. Misalnya, kulit
merasakan cuaca dingin. Kulit tidak mengatakan itu, namun rasiolah yang berpikir oh cuacanya dingin.
III. EMPIRISME
Berbeda dengan kaum rasionalis, kaum empirisme yang diwakili oleh John Locke(1632-1764) mengatakan bahwa pengetahuan itu bersumber pada pengalaman.[5]
Pengalaman memiliki arti yang sangat luas berhubungan dengan panca
indra manusia. Indra manusia yang menjalin relasi dengan alam baik
materi, ruang maupun waktu. Alam memberikan sumbangan yang cukup penting
dalam pembentukan sebuah pengetahuan yang baru. Panorama alam yang
ditangkap oleh panca indra manusia membentuk suatu pengetahuan tentang alam
itu. Sebab bagaimana seseorang mengetahui warna laut itu biru kalau ia
tidak mempunyai mata untuk melihat? Rasio tak dapat mengolah atau
memikirkan bahwa laut itu warnanya biru tanp harus melihat terlebih
dahulu. Bahkan John Locke dengan perumpamaannya yang terkenal tentang
rasio itu bahwa rasio diibaratkan dengan lembaran putih yang belum
terisi dengan tulisan. Lembaran kosong itu akan terisi dengan
pengetahuan jika ada pengalaman indrawi yang ditangkap indra kemudian
disalurkan kepada rasio itu. Pemikiran atau rasio sama sekali pasif
dalam menerima suatu pengetahuan baru.
Para
penganut empirisme menemukan suatu pengetahuan baru melalui suatu
penelitian empirik. Penelitian empirik dengan segala percobaan. David
Hume(1711-1776) seorang filsuf yang sangat radikal mengatakan bahwa
buanglah ke dalam api segala buku yang tidak memuat penyelidikan.[6] Dengan
demikian ia menguraikan pengetahuan sebagai kesan indra yang secara
langsung diperoleh melalui pengalaman entah melalui percobaan ataupun
melalui apa yang dirasakan indra( membau, merasa, melihat, menyentuh,
mengisap). Kesan panca indralah yang menghantar manusia untuk percaya
akan kebenaran pengetahuan itu. Misalnya rasa sakit karena tertusuk
benda tajam lebih memberikan pengetahuan seseorang tentang rasa sakit
ketimbang rasio memikirkan bagaimanakah rasa sakit itu.
Dari
sini para penganut empirisme seperti Locke, Hume melihat pentingnya
praktik sebagai salah satu jalan untuk menemukan pengetahuan itu. Dengan
melakukan latihan mencoba atau praktik untuk meneliti, mengolah, benda
yang ada maka manusia bisa mengetahui segala sesuatu baik apa yang
dilihat, dirasa, dibaui, diraba oleh indra. Sebab seseorang tak mungkin
mengetahui bahwa garam itu rasanya asin jika ia tidak mengecapnya dengan
lidahnya atau contoh lain air itu mendidih jika tingkat kepanasannnya
sampai pada suhu 100 C tanpa melalui sebuah percobaan yang akurat.
Singkatnya untuk memperoleh suatu kesimpulan tentang pengetahuan harus
diawali dengan suatu percobaan(praktik) untuk meneliti hal itu.
IV. PERTENTANGAN ANTARA RASIONALISME DAN EMPIRISME
Para
rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi atau
rasio saja. Sedangkan kaum empirisme mengakui pengalaman indrawi sebagai
sumber pengetahuan itu. Di sini ada perbedaan
pandangan tentang sumber pengetahuan itu. Para rasionalisme menjadikan
pikiran sebagi unsur pokok pengetahuan dan mengabaikan unsur pengalaman,
kesaksian demikian juga sebaliknya. Boleh dikatakan para rasionalisme
dengan empirisme mempertentangkan unsur-unsur terbentuknya epistemologi
pengetahuan.
Namun
Imanuel Kant(1724-1804) sebagai salah satu tokoh yang sangat
berpengaruh dalam melahirkan pengetahuan di abab pencerahan. Ia
mengemukakan teori subjek dan objek untuk mendamaikan kedua aliran
terdahulu(rasionalisme-empirisme) meskipun ia sangat mengagumi filsafat
Hume. Penyelidikan struktur subjek yang memungkinkannya mengetahui
benda-benda sebagai objek.[7] Dengan demikian ia menguraikan tiga tingkatan proses pengetahuan: Pertama, tingkat pertama pemahaman indrawi( dalam ruang dan waktu); subjek hadir untuk memahami data-data realitas. Kedua, tingkat akal budi; mulai mengolah input yang diberikan oleh tingkat pengalaman indrawi. Ketiga, tingkat itelektual; kemampuan manusia yang tertinggi melebihi akal dan pemahaman indrawi.
Relasi
subjek dan objek ditandai dengan peran aktif-reaktif keduanya dalam
membentuk suatu kegiatan untuk mengetahui. Subjek mengkonstitusikan
objek maka objek itu memiliki peran dalam menentukan peran subjek.
Subjek yang berperan aktif disebut sebagai pengertian(understanding) dan
indra membantu dalam hal menerima ransangan dari luar(objek).
Pengalaman indrawi(objek) menyediakan isi pengetahuan bagi
pikiran(subjek). Imanuel Kant menempatkan posisi epistemologis sebagai
suatu bentuk “ realisme empiris”(benda-benda menampakkan diri kepada
pikiran) dan suatu idealisme trasendental(benda-benda diketahui,
dikonstitusikan oleh pikiran).[8]
V. PENUTUP
Akhirnya perbedaan cara pandang antara empirisme dengan
kaum rasionalisme tentang sumber pengetahuan bagi Imanuel Kant bukan
suatu hal yang rumit. Pengalaman yang merupakan kontak pertama dan
langsung dengan realitas(objek) adalah dasar atau awal dari pengetahuan
itu. Pengalaman ini menjadi bahan dasar dari intelektualitas(akal budi)
untuk selanjutnya pengalaman ini diolah menjadi sebuah konsep. Suatu
konsep muncul mengandaikan adanya suatu pengalaman yang baru.
Pengetahuan
yang merupakan hasil eksperimen(pengalaman- empiris) yang benar, akurat
dan kemudian data ini diterima oleh akal(rasio). Dengan demikian antara emprisme
dengan rasionalisme saling berhubungan satu sama lain. Bagaikan dua
sayap burung yang selalu bekerja sama agar tubuh burung itu bisa
terangkat dan terbang. Eksperimen merupakan bukti bakwa rasio manusia
berpikir untuk mencoba sehingga melahirkan suatu pengetahun yang baru.
[1] Demikian perkataan Aristoteles dalam metafikanya seperti yang dikutip oleh F X Armada Ryanto, Pengantar Filsafat,Doing Filosophy( diktat kuliah), STFT Widya Sasana Malang, 2001, p. 3
[2] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual; Konfrontasi dengan Para Filsuf dariZaman Yunani hingga Modern(Yogyakarta: Kanisius,2004), p. 206
[3] Ibid. 221
[4] Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi(Jakarta:Lentera,2001), p. 27-28
[8] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar; Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), p. 110-111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar