Dosen:
Januar
Barkah S.Pd, MM
Makalah
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu
Disusun oleh :
Kelompok IV
1. Nurahman 201014500618
2. Ariyandi 201014500623
3. Siti Sulastri 201014500637
4. Arnisa 201014500590
5. Sri Hartati 201014500634
Fakultas Ilmu Pendidikan dan
Pengetahuan Sosial Universitas Indra Prasta PGRI
Jl. Raya Tengah Kel. Gedong Kec.
Pasar Rebo – Jakarta
Timur
Telp. : (021) 78835283 – 7818718
Website : www.unindra.ac.id E-mail : university@unindra.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam, karena berkat rakhmat dan hidayahNyalah kami kelompok IV telah berhasil menyelesaikan makalah dengan judul "Makna Epistemologi Rasionalisme VS Empirisme''. Sholawat dan sallam tak lupa selalu kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhamad Rasulullah SAW beserta keluarganya, para sahabatnya, para tabi'in, para tabi'ut tabi'in, serta kita semua umatnya hingga akhir zaman. Penulisan makalah ini sesungguhnya adalah sebagian dari syarat untuk mendapatkan nilai semester pada mata kuliah Filsafat Ilmu. Oleh sebab itu kami berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan karya yang terbaik menurut kemampuan kami demi untuk meraih nilai yang terbaik pula.
Akhirnya dengan segala kerendahan
hati, kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Pada kesempatan ini pula kami mengharapkan kritikan dan saran yang
bersifat membangun demi untuk memperbaiki dan meningkatkan agar penulisan
makalah kami di masa yang akan datang bisa menjadi lebih baik lagi. Akhir kata
kami kelompok IV hanya bisa berdo'a semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
kita semua. Amin amin ya Robbal alamin.
Jakarta, April 2014
Kelompok IV
DAFTAR
ISI HALAMAN
KATA
PENGANTAR
i
DAFTAR
ISI ii
BAB
I
PENDAHULUAN
1
A. Latar
Belakang Masalah 1
B. Rumusan
Masalah 2
C. Tujuan
dan Manfaat Penulisan 2
D. Sistematika
Penulisan 3
BAB
II PEMBAHASAN 4
- Epistemologi 5
- Rasionalisme 6
- Empirisme 7
- Rasionalisme vs Empirisme 11
BAB
III PENUTUP 13
- Kesimpulan 13
- Saran 14
Daftar Pustaka : 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Semangat
Renaisans menimbulkan kepercayaan pada otonomi manusia dalam memperoleh
kebenaran. Kebebasan berpikir kembali tumbuh setelah lumpuh oleh dominasi
gereja yang bersikap intoleran terhadap pemikiran bebas. Ilmu pengetahuan yang
tidak berkembang pada abad pertengahan karena dominasi gereja, mulai pesat di
masa Renaisans. Kebenaran tidak lagi bersumber pada teks-teks suci melainkan
pada langkah-langkah metodis berupa pengamatan empiris dan perumusan hipotesa.
Bahkan kemudian melalui Francis Bacon, teks-teks filosofis Yunani Kuno dianggap
sebagai salah satu idola yang dapat mendistorsi objektifitas penelitian ilmiah.
Perkembangan
era Renaisans adalah masa modern. Masa modern dikenal sebagai masa penegasan
subjektivitas manusia, kelanjutan dari semangat Renaisans. Manusia pada masa
Yunani Kuno dianggap semata-mata bagian dari alam dan bernakan menjadi pemegang
status tertinggi dalam hirarki ciptaan Tuhan pada abad pertengahan, di era
modern memperoleh status sebagai subjek bebas dan otonom dalam merumuskan
pengetahuan, nilai-nilai dan kebudayaan. Kecenderungan untuk memandang manusia
sebagai subjek yang otonom dikenal sebagai antroposentrisme (Antroposentrisme adalah paham bahwa manusia adalah spesies paling pusat dan penting daripadaspesies hewan) atau penilaian kenyataan melalui sudut pandang
manusia yang eksklusif) periode modern. Antroposentrisme mewarnai
semua bidang kehidupan mulai dari seni, politik, ilmu pengetahuan dan filsafat.
Modernisasi
tak lepas dari pengaruh filsafat yang telah kembali menemukan jati dirinya
sebagai disiplin yang mengutamakan kebebasan berpikir, kritis dan
radikal. Filsafat modern juga menghasilkan pemikiran-pemikiran baru
di bidang filsafat ilmu pengetahuan yang pada dasarnya ingin meletakkan
landasan filosofis bagi pengetahuan manusia.
Filsafat
ilmu pengetahuan di dunia barrat pada dasarnya dapat dibagi dua wilayah besar
yaitu : eropa daratan dan inggris. Masing-masing memiliki ciri khas. Filsafat
ilmu pengetahuan yang berkembang di Eropa daratan adalah Rasionalisme,
sedangkan yang berkembang di Inggris adalah Empirisme. Kedua sayap pemikiran
tersebut memiliki dasar yang saling bertolak belakang tentang pengetahuan
manusia.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian dari latar belakang diatas,maka secara umum rumusan masalah pada makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.
Apakah
Epistemologi itu ?
2.
Apakahh
Rasionalisme itu ?
3.
Apakah
Empirisme itu ?
4.
Apakah
Rasionalisme berlawanan dengan Empirisme ?
C. Tujuan
dan Manfaat Penulisan
- Tujuan
Tujuan dalam pembahasan makalah ini,
berdasarkan rumusan masalah di atas, adalah untuk membahas hal-hal yang sesuai dengan
permasalahan yang diajukan yaitu :
Untuk
mengetahui pengertian Epistemologi, Rasionalisme, dan Empirisme
- Manfaat
Selain tujuan penulisan makalah,
perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari
penulisan makalah ini adalah dapat menambah khazanah keilmuan terutama di
bidang Filsafat Ilmu
- Sistematika Penulisan
Untuk
memahami lebih jelas Makalah ini, dilakukan dengan cara mengelompokkan materi
menjadi beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
- Rumusan Masalah
- Tujuan dan Manfaat Penulisan
- Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
- Epistemologi
- Rasionalisme
- Empirisme
- Rasionalisme vs Empirisme
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan
- Saran
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang
berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas
masalah-masalah pengetahuan. Di dalam Webster New International Dictionary,
epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology is the theory or
science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its
limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu
pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang
berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya
pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).
Istilah
Epistemologi banyak dipakai di negeri-negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang
dipakai di negeri-negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman
menyebutnya Wessenchaftslehre. Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan
masalah-masalah pengetahuan itu meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan
logika, tetapi pada umumnya epistemologi itu hanya membicarakan tentang teori
pengetahuan dan kebenaran saja.
Epistemologi
atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang
mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai
filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan
kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat
pengetahuan.
Beberapa
pakar lainnya juga mendefinisikan espitemologi, seperti J.A Niels Mulder
menuturkan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak,
batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan,
epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita
miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang
pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang
lain. Pendek kata Epistemologi adalah pengetahuan kita yang mengetahui
pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa
epistemology adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan
tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari
pengetahuan yang telah terjadi itu. (Surajiyo, 2008, hal. 25).
Dari
beberapa definisi yang tampak di atas bahwa semuanya hampir memiliki pemahaman
yang sama. Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas,
sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari
epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan
itu.
Epistemologi atau
Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme,
metode kontemplatis dan metode dialektis.
B.
Rasionalisme
Secara etimologis, rasionalisme
berasal dari kata rationalism (bahasa Inggris),yang
merupakan akar dari kata ratio (bahasa Latin) yang
berarti “akal”. Menurut A.R. Lacey, rasionalisme adalah sebuah pandangan yang
berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara
itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada
prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan
akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul (atas),
dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Jadi
rasionalisme dapat didefenisikan sebagai paham yang menekankan pikiran sebagai
sumber utama pengetahuan dan pemegang otoritas terakhir bagi penentuan
kebenaran. Manusia dengan akalnya memiliki kemampuan untuk mengetahui struktur
dasar alam semesta secara apriori. Pengetahuan diperoleh tanpa melalui
pengalaman inderawi. Singkatnya, Rasionalisme menyatakan bahwa sumber
pengetahuan adalah akal atau ide. Rasionalisme mengidealkan cara kerja deduktif
dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia tentang dunia merupakan
hasil deduksi dari kebenaran-kebenaran apriori yang diketahui secara jernih dan
gamblang oleh akal.
Seperti
yang lazim terjadi pada paham lainnya, rasionalisme juga cenderung mengayun ke
titik ekstrim. Rasionalisme yang berkembang kemudian (abad 18) memperlawankan
otoritas akal budi yang pasti dan dapat diandalkan dengan pertimbangan
berdasarkan perasaan, tahkyul dan iman yang bersifat subjektif dan layak
dipercaya. Voltaire, Diderot dan D’ Alambert termasuk dalam kelompok ini.
Rasionalisme yang mereka anut bersifat Rasionalistik, artinya : terlalu
mendewakan akal-budi dan hanya dapat menerima pernyataan-pernyataan yang
kebenarannya dapat dibuktikan secara ilmiah.
Rasionalisme
abad ke-17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Rene Descrates, Leibniz,
Christian Wolff dan Spinoza.
Rene
Descrates (1596-1650) adalah filsuf Perancis yang dijuluki “bapak Filsafat
modern”. Ia peletak dasar aliran Rasionalisme. Semula Ia belajar filsafat
Skolastik pada kolese yang dipimpin oleh para pater Jesuit. Keprihatinan utama
descrates adalah otoritas gereja dan otoritas filsuf-filsuf Yunani, yang selalu
menjadi tolak ukur suatu kepastian. Lalu Descrates mencanangkan proyek
pencarian landasan yang paling kokoh bagi kepastian pengetahuan manusia. Ia
mendedahkan beberapa karya utama seperti Discourse de la Methode (1637), Meditationes
de prima Philosophia (1641) dan Principia Philosophia (1644).
Orisinalitas
pemikiran Descrates terletak pada idenya tentang Metode kesangsian (dubium
methodicum), untuk memperoleh kebenaran yang tak tergoyahkan. Akhir dari
kesangsian metodis tersebut adalah kebenaran yang tak dapat disangsikan lagi
oleh Descrates yaitu ‘aku yang berpikir”. Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan
yang tak dapat disangkal karena apabila kita meragukannya berarti kita
melakukan apa yang disebut : “kontradiski perfomatoris”. Dari proses kesangsian
Descrates yang konon memerlukan waktu seminggu penuh berdiam di
kamar, muncullah diktumnya yang terkenal, Cogito Ergo Sum :
Aku berpikir maka aku ada. Dengan kata lain, kesangsian secara
langsung menyatakan adanya aku, pikiranku yang kebenarannya bersifat
pasti-tidak tergoyahkan.
Menurut
Descrates apa yang jelas dan terpilah-pilah itu tidak mungkin berasal dari luar
diri kita. Karena penampakan dari luar tidak dapat dipercaya, maka seseorang
mesti mencari kebenaran-kebenaran didalam dirinya sendiri. Yang bersifat pasti.
Descrates adalah bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin menafikan Tuhan
begitu saja. Kaum Rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang
keberadaan Tuhan denga berasumsi bahwa Tuhan yang menciptakan akal kita adalah
juga Tuhan yang menciptakan dunia. Tuhan menurut kaum Rasionalis adalah seorang
matematikawan agung, yang dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasar
rasionalis berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh pikiran manusia.
Kaum
rasionalis pada umumnya mengagumi keniscayaan kebenaran deduktif sebagaimana
terdapat dalam logika, matematika dan geometri yang bersifat apriori. Asumsi
dasar kaum rasionalis tentang hubungan manusia dan semesta adalah adanya
keselarasan antara pikiran dan semesta atau dengan kata lain terdapat
korespondensi antara struktur pikran manusia dan struktur dunia.
C.
Empirisme
Empirisme secara etimologis berasal
dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari
kata bahasaYunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti
“berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, dan “terampil untuk”. Sementara
menurut A.R. Laceyberdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam
filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial
didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis
terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa
sumber seluruhpengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua
ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
Pengalaman inderawiadalah satu-satunya sumber pengetahuan, bukan akal.
Aliran ini bermula dari penolakan
mereka atas dominasilogika Cartesian di daratan Eropa saat itu. Di samping itu,
gelora Renaissancedi daratan Eropa menginspirasi Dataran Britania Raya sampai
ada istilah sendiri yaitu Enlightment (pencerahan).
Tokoh – tokoh empirisme yang terkenal
antara lain,Francis Bacon (1561–1626), ThomasHobbes (1588 – 1679), John Locke
(1632–1704), George Berkeley (1685–1753), dan David Hume (1711–1776).
Empirisme adalah suatu aliran dalam
metode ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman semata. Ilmu
pengetahuan yang sejati adalah yang inderawi, yang terjadi dan ada secara
nyata. Aristoteles(384-322 SM) adalah filsuf Yunani yang sudah terlebih dahulu
menganut metode pengetahuan ini, jauh sebelum Francis Bacon, yang dikenal
sebagai perintis empirisme.
Aristoteles bertolak dari ajaran
gurunya, Plato, yang menganut paham idealis – utopianis. Demikian juga Hobbes,
Locke, Berkeley danHume, dalam hal mencetuskan metode berpengetahuan berdasar
empirisme, bertentangan dengan metode rasionalisme, Rene Descartes.
Menurut Bacon, metode yang benar
ialah mengamat-amatialam semesta tanpa prasangka, setelah itu menetapkan
fakta-fakta berdasarkan percobaan-percobaanyang berkali-kali dilakukan dengan
cara yang bermacam-macam. Pemikirannya tersebut kemudian melahirkan metode
ilmiah. Bacon juga beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi
bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada
kesimpulan umum. Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan
metodeberpikir induksi.
Bacon telah meletakkan dasar-dasar
bahwa ilmu pengetahuanhanya dapat diusahakan melalui pengamatan,
eksperimen-eksperimen dan penyusunan fakta-fakta. Bacon telah berhasil
mempelopori di bidang metode penilitian sedangkan yang telah berhasil menyusun
suatu sistem yang lengkap adalah ThomasHobbes.
Ia berpangkal kepada eksperimen
secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empiris, ia menerima
juga metode yangdipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah
mempersatukan mpirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat
materialistis yangkonsekuen pada zaman modern. Materilisme yang dianut Hobbes
yaitu bahwa segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi yang dimaksud ialah
segala sesuatu yang tidak tergantung kepada gagasan kita. Segala kejadian adalah
gerak, yang berlangsungkarena keharusan. Seluruh realitas bersifat bendawi,
yaitu yang tidak tergantung kepada gagasan kita terhisap di dalam gerak itu.
Dengan demikian maka pengertian substansi diubah menjadi suatu teori
aktualitas. Segala objektivitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu
proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki
“ada” sendiri. Ruang adalah gagasan tentang hal yang berada itu sendiri. Waktu
adalah gagasan tentang gerak.
Empirisme dalam pandangan John Locke,
semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal dari pengamatan atau
refleksi dan sensasi. Locke menentang teori rasionalisme yang mengenai
idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia.
Menurutnya, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih
dari itu. Akal(rasio) adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal
tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semula akal serupa dengan
kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari
pengalaman.
Satu-satunya sasaran atau objek pengetahuan
adalah gagasan-gagasan atau idea-idea yang timbulnya kerena pengalaman lahiriah
(sensation) dan karena pengalaman batiniah (reflection). Pengalaman lahiriah
mengajarkan kepada kita tentang hal-hal diluar kita, sedangpengalaman batiniah
mengajarkan tentang keadaan psikis kita sendiri.
Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi
dari kerjasama antara sensasi dan refleksi. Dimulai haruslah dari sensasi,
sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih. Barulah
kemudian refleksi sebagai pemenuhnya.
Empirisme selanjutnya datang dari
seorang uskup Anglikan berkebangsaan Irlandia bernama George Berkeley. Dalam
risalahnya mengenai prinsip – prinsip dasar pengetahuan manusia, Treatise
Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), manusiamelihat alam
merupakan bahasa atau tulisan tangan Tuhan. Menurutnya, empirisme selanjutnya
akan disebut subjektif idealisme.
Kaum empiris berpandangan bahwa
pengetahuan manusia dapatdiperoleh melalui pengalaman. Hume seperti layaknya
filosof Empirisme lainnyamenganut prinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil
est intelectu quod non antea fuerit in sensu” yang berarti,“tidak ada
satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data inderawi”.
Menurut Hume, dalam budi kata tidak
ada suatu ide yangtidak sesuai dengan impression yang dikarenakan “hal” di luar
kita. Apa sajayang merupakan pengetahuan itu hanya disebabkan oleh pengalaman.
“Hal” nyasendiri tak dapat kita kenal, hanya mendapat impression tersebut.
Adapun yang bersentuhan dengan indera kita adalah sifat-sifat atau
gejala-gejala dari haltersebut.
Substansi itu hanya anggapan (khayalan),
sebenarnya tak ada. Penyebab kita mempunyai pengertian tentang sesuatu yang
tetap (substansi) itu, tidak lain karena adanya perulangan pengalaman, sehingga
kita menganggap mempunyai pengertian tentang suatu hal,tetapi sebetulnya tidak
demikian.
Begitu pula pengertian lainnya yang
tetap dan umum semuanya tak ada halnya. Kita tak mengetahui kesebaban, yang
kita kenal hanya urut-urutan kejadian, misalnya : pukulan dan kemudian kita
rasa sakit. Olehkarena itu, kita kerap kali merasa sakit setelah ada pukulan,
kemudian ada asosiasi antara pukulan dan sakit mengatakan bahwa yang
menyebabkan sakit itu pukul. Namun
sebenarnya tidak demikian. Itu hanya anggapan kita saja.
Sebagai tokoh empirisme, Hume tidak
mengakui hukum sebab akibat(kausalitas). Dalam hukum kausalitas pada umumnya
ada anggapan bahwa penyimpulan dari masalah-masalah yang nyata didasarkan kepada hubungan sebab akibat. Hubungan
sebab akibat, menurut Hume, didapatkan berdasarkan kebiasaan dan harapan belaka
dari peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan satu sama lain. Orang sudah
terbiasa di masa lalu melihat peristiwa matahari terbit di Timur selalu di ikuti
oleh peristiwa tenggelam di Barat dan ia akan mengharapkan peristiwa yang sama
terjadi di masa yang akan datang.
Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak
pernah mampu member pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini. Kebenaran yang
bersifat apriori seperti ditemukan dalam matematika, logika
dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan
kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bias bertambah lewat pengamatan
empiris atau secara aposteriori (Apriori adalah pengetahuan yang ada
sebelum bertemu dengan pengalaman, sedangkan aposteiori adalah pengetahuan yang ada
sesudah bertemu dengan pengalaman).
D. Rasionalisme VS Empirisme
Para
rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi atau rasio
saja. Sedangkan kaum empirisme mengakui pengalaman indrawi sebagai sumber
pengetahuan itu. Di sini ada perbedaan pandangan tentang sumber pengetahuan
itu. Para rasionalisme menjadikan pikiran sebagi unsur pokok pengetahuan dan
mengabaikan unsur pengalaman, kesaksian demikian juga sebaliknya. Boleh
dikatakan para rasionalisme dengan empirisme mempertentangkan unsur-unsur
terbentuknya epistemologi pengetahuan.
Namun
Imanuel Kant(1724-1804) sebagai salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam
melahirkan pengetahuan di abab pencerahan. Ia mengemukakan teori subjek dan
objek untuk mendamaikan kedua aliran terdahulu (rasionalisme-empirisme)
meskipun ia sangat mengagumi filsafat Hume. Penyelidikan struktur subjek yang
memungkinkannya mengetahui benda-benda sebagai objek. Dengan demikian ia menguraikan tiga
tingkatan proses pengetahuan:
- Pertama,
tingkat pertama pemahaman indrawi( dalam ruang dan waktu); subjek hadir untuk
memahami data-data realitas.
- Kedua,
tingkat akal budi; mulai mengolah input yang diberikan oleh tingkat pengalaman
indrawi.
- Ketiga,
tingkat itelektual; kemampuan manusia yang tertinggi melebihi akal dan
pemahaman indrawi.
Relasi
subjek dan objek ditandai dengan peran aktif-reaktif keduanya dalam membentuk
suatu kegiatan untuk mengetahui. Subjek mengkonstitusikan objek maka objek itu
memiliki peran dalam menentukan peran subjek. Subjek yang berperan aktif
disebut sebagai pengertian (understanding) dan indra membantu dalam hal
menerima ransangan dari luar (objek). Pengalaman indrawi (objek) menyediakan
isi pengetahuan bagi pikiran(subjek). Imanuel Kant menempatkan posisi
epistemologis sebagai suatu bentuk “ realisme empiris” (benda-benda menampakkan
diri kepada pikiran) dan suatu idealisme trasendental (benda-benda diketahui,
dikonstitusikan oleh pikiran)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan makalah diatas kami menyimpulkan ;
-
Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas,
sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari
epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan
itu.
-
Rasionalisme dapat didefenisikan sebagai
paham yang menekankan pikiran sebagai sumber utama pengetahuan dan pemegang
otoritas terakhir bagi penentuan kebenaran. Manusia dengan akalnya memiliki
kemampuan untuk mengetahui struktur dasar alam semesta secara apriori.
Pengetahuan diperoleh tanpa melalui pengalaman inderawi. Singkatnya,
Rasionalisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal atau ide.
Rasionalisme mengidealkan cara kerja deduktif dalam memperoleh ilmu
pengetahuan. Pengetahuan manusia tentang dunia merupakan hasil deduksi dari
kebenaran-kebenaran apriori yang diketahui secara jernih dan gamblang oleh
akal.
-
Empirisme adalah suatu aliran dalam metode ilmu pengetahuan yang
didasarkan pada pengalaman semata. Ilmu pengetahuan yang sejati adalah yang
inderawi, yang terjadi dan ada secara nyata. Aristoteles(384-322 SM) adalah
filsuf Yunani yang sudah terlebih dahulu menganut metode pengetahuan ini, jauh
sebelum Francis Bacon, yang dikenal sebagai perintis empirisme.
-
Imanuel
Kant(1724-1804) sebagai salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam
melahirkan pengetahuan di abab pencerahan. Ia mengemukakan teori subjek dan
objek untuk mendamaikan kedua aliran terdahulu (rasionalisme-empirisme)
meskipun ia sangat mengagumi filsafat Hume. Penyelidikan struktur subjek yang
memungkinkannya mengetahui benda-benda sebagai objek.
B. Saran
Untuk
bisa mengerti persesuaian antara filsafat Rasionalisme dan Empirisme kita harus
belajar tentang filfafat Kantianisme, yaitu
paham filsafat ilmu pengetahuan yang dikembangkan filsuf Jerman bernama
Immanuel Kant (1724-1804)
Daftar Pustaka
-
Susriasumantri,
Jujun S. 1987. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
-
Baktiar,
Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
-
Ahmad
Tafsir. 2006. filsafat ilmu. Bandung: Rosdakarya.
-
Salam,
Burhanudin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Rineka Cipta
-
Ugm, Tim
Dosen Filsafat Ilmu. 2007. Filsafat Ilmu. Yogyakarta
-
Susano,
A. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis
Epistemologis, dan Aksiologis.Jakarta : PT. Bumiaksara.
-
Tjahjadi,
Simon Petrus L. PETUALANGAN INTELEKTUAL: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari
Zaman Yunani hingga Modern. Yogyakarta: Kanisius. 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar