Minggu, 27 April 2014

Makna Epistemologi Rasionalisme VS Empirisme






Dosen:
Januar Barkah S.Pd, MM
                                 Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
 Filsafat Ilmu


Disusun oleh :
Kelompok IV
1. Nurahman                               201014500618
2. Ariyandi                                    201014500623
3. Siti Sulastri                               201014500637
4. Arnisa                                      201014500590
5. Sri Hartati                               201014500634



Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial Universitas Indra Prasta PGRI
Jl. Raya Tengah Kel. Gedong Kec. Pasar Rebo – Jakarta Timur
Telp. : (021) 78835283 – 7818718
Website : www.unindra.ac.id     E-mail : university@unindra.ac.id





KATA PENGANTAR

            Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam, karena berkat rakhmat dan hidayahNyalah kami kelompok IV telah berhasil menyelesaikan makalah dengan judul "Makna Epistemologi Rasionalisme VS Empirisme''. Sholawat dan sallam tak lupa selalu kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhamad Rasulullah SAW beserta keluarganya, para sahabatnya, para tabi'in, para tabi'ut tabi'in, serta kita semua umatnya hingga akhir zaman. Penulisan makalah ini sesungguhnya adalah sebagian dari syarat untuk mendapatkan nilai semester pada mata kuliah Filsafat Ilmu. Oleh sebab itu kami berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan karya yang terbaik menurut kemampuan kami demi untuk meraih nilai yang terbaik pula.

            Akhirnya dengan segala kerendahan hati, kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Pada kesempatan ini pula kami mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun demi untuk memperbaiki dan meningkatkan agar penulisan makalah kami di masa yang akan datang bisa menjadi lebih baik lagi. Akhir kata kami kelompok IV hanya bisa berdo'a semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin amin ya Robbal alamin.




Jakarta, April 2014



    Kelompok IV








DAFTAR ISI                                                                                                              HALAMAN

KATA PENGANTAR                                                                                                             i
DAFTAR ISI                                                                                                                           ii
BAB I PENDAHULUAN                                                                                                      1
A. Latar Belakang Masalah                                                                                             1
B.  Rumusan Masalah                                                                                                       2
C.  Tujuan dan Manfaat Penulisan                                                                                   2   
D. Sistematika Penulisan                                                                               3                                                                                                                        
BAB II PEMBAHASAN                                                                                                      4
  1. Epistemologi                                                                                                               5
  2. Rasionalisme                                                                                                               6
  3. Empirisme                                                                                                                   7
  4. Rasionalisme vs Empirisme                                                                                         11

BAB III PENUTUP                                                                                                               13
  1. Kesimpulan                                                                                                                 13
  2. Saran                                                                                                                           14

Daftar Pustaka :                                                                                                                      15









BAB I
PENDAHULUAN



        A. Latar Belakang Masalah

            Semangat Renaisans menimbulkan kepercayaan pada otonomi manusia dalam memperoleh kebenaran. Kebebasan berpikir kembali tumbuh setelah lumpuh oleh dominasi gereja yang bersikap intoleran terhadap pemikiran bebas. Ilmu pengetahuan yang tidak berkembang pada abad pertengahan karena dominasi gereja, mulai pesat di masa Renaisans. Kebenaran tidak lagi bersumber pada teks-teks suci melainkan pada langkah-langkah metodis berupa pengamatan empiris dan perumusan hipotesa. Bahkan kemudian melalui Francis Bacon, teks-teks filosofis Yunani Kuno dianggap sebagai salah satu idola yang dapat mendistorsi objektifitas penelitian ilmiah.
            Perkembangan era Renaisans adalah masa modern. Masa modern dikenal sebagai masa penegasan subjektivitas manusia, kelanjutan dari semangat Renaisans. Manusia pada masa Yunani Kuno dianggap semata-mata bagian dari alam dan bernakan menjadi pemegang status tertinggi dalam hirarki ciptaan Tuhan pada abad pertengahan, di era modern memperoleh status sebagai subjek bebas dan otonom dalam merumuskan pengetahuan, nilai-nilai dan kebudayaan. Kecenderungan untuk memandang manusia sebagai subjek yang otonom dikenal sebagai antroposentrisme (Antroposentrisme adalah paham bahwa manusia adalah spesies paling pusat dan penting daripadaspesies hewan) atau penilaian kenyataan melalui sudut pandang manusia yang eksklusif) periode modern. Antroposentrisme mewarnai semua bidang kehidupan mulai dari seni, politik, ilmu pengetahuan dan filsafat.
            Modernisasi tak lepas dari pengaruh filsafat yang telah kembali menemukan jati dirinya sebagai disiplin yang mengutamakan kebebasan berpikir, kritis dan radikal.  Filsafat modern juga menghasilkan pemikiran-pemikiran baru di bidang filsafat ilmu pengetahuan yang pada dasarnya ingin meletakkan landasan filosofis bagi pengetahuan manusia.
Filsafat ilmu pengetahuan di dunia barrat pada dasarnya dapat dibagi dua wilayah besar yaitu : eropa daratan dan inggris. Masing-masing memiliki ciri khas. Filsafat ilmu pengetahuan yang berkembang di Eropa daratan adalah Rasionalisme, sedangkan yang berkembang di Inggris adalah Empirisme. Kedua sayap pemikiran tersebut memiliki dasar yang saling bertolak belakang tentang pengetahuan manusia.

  1. Rumusan Masalah

            Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas,maka secara umum rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apakah Epistemologi itu ?
2.      Apakahh Rasionalisme itu ?
3.      Apakah Empirisme itu ?
4.      Apakah Rasionalisme berlawanan dengan Empirisme ?


        C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  1. Tujuan
Tujuan dalam pembahasan makalah ini, berdasarkan rumusan masalah di atas, adalah untuk membahas hal-hal yang sesuai dengan permasalahan yang diajukan yaitu :
Untuk mengetahui pengertian Epistemologi, Rasionalisme, dan Empirisme
  1. Manfaat
Selain tujuan penulisan makalah, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah dapat menambah khazanah keilmuan terutama di bidang Filsafat Ilmu



  1. Sistematika Penulisan
            Untuk memahami lebih jelas Makalah ini, dilakukan dengan cara mengelompokkan materi menjadi beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:


BAB I         : PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
  2. Rumusan Masalah
  3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
  4. Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
  1. Epistemologi
  2. Rasionalisme
  3. Empirisme
  4. Rasionalisme vs Empirisme

BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan
  2. Saran

Daftar Pustaka








BAB II
PEMBAHASAN






A.    Epistemologi

            Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Di dalam Webster New International Dictionary, epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology is the theory or science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).

            Istilah Epistemologi banyak dipakai di negeri-negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang dipakai di negeri-negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman menyebutnya Wessenchaftslehre. Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan masalah-masalah pengetahuan itu meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan logika, tetapi pada umumnya epistemologi itu hanya membicarakan tentang teori pengetahuan dan kebenaran saja.

            Epistemologi atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.

            Beberapa pakar lainnya juga mendefinisikan espitemologi, seperti J.A Niels Mulder menuturkan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan, epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang lain. Pendek kata Epistemologi adalah pengetahuan kita yang mengetahui pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemology adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu. (Surajiyo, 2008, hal. 25).

            Dari beberapa definisi yang tampak di atas bahwa semuanya hampir memiliki pemahaman yang sama. Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.

            Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.



B.     Rasionalisme

            Secara etimologis, rasionalisme berasal dari kata rationalism (bahasa Inggris),yang merupakan akar dari kata ratio (bahasa Latin) yang berarti “akal”. Menurut A.R. Lacey, rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul (atas), dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.

            Jadi rasionalisme dapat didefenisikan sebagai paham yang menekankan pikiran sebagai sumber utama pengetahuan dan pemegang otoritas terakhir bagi penentuan kebenaran. Manusia dengan akalnya memiliki kemampuan untuk mengetahui struktur dasar alam semesta secara apriori. Pengetahuan diperoleh tanpa melalui pengalaman inderawi. Singkatnya, Rasionalisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal atau ide. Rasionalisme mengidealkan cara kerja deduktif dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia tentang dunia merupakan hasil deduksi dari kebenaran-kebenaran apriori yang diketahui secara jernih dan gamblang oleh akal.
            Seperti yang lazim terjadi pada paham lainnya, rasionalisme juga cenderung mengayun ke titik ekstrim. Rasionalisme yang berkembang kemudian (abad 18) memperlawankan otoritas akal budi yang pasti dan dapat diandalkan dengan pertimbangan berdasarkan perasaan, tahkyul dan iman yang bersifat subjektif dan layak dipercaya. Voltaire, Diderot dan D’ Alambert termasuk dalam kelompok ini. Rasionalisme yang mereka anut bersifat Rasionalistik, artinya : terlalu mendewakan akal-budi dan hanya dapat menerima pernyataan-pernyataan yang kebenarannya dapat dibuktikan secara ilmiah.
Rasionalisme abad ke-17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Rene Descrates, Leibniz, Christian Wolff dan Spinoza.
            Rene Descrates (1596-1650) adalah filsuf Perancis yang dijuluki “bapak Filsafat modern”. Ia peletak dasar aliran Rasionalisme. Semula Ia belajar filsafat Skolastik pada kolese yang dipimpin oleh para pater Jesuit. Keprihatinan utama descrates adalah otoritas gereja dan otoritas filsuf-filsuf Yunani, yang selalu menjadi tolak ukur suatu kepastian. Lalu Descrates mencanangkan proyek pencarian landasan yang paling kokoh bagi kepastian pengetahuan manusia. Ia mendedahkan beberapa karya utama seperti Discourse de la Methode (1637), Meditationes de prima Philosophia (1641) dan Principia Philosophia (1644).
            Orisinalitas pemikiran Descrates terletak pada idenya tentang Metode kesangsian (dubium methodicum), untuk memperoleh kebenaran yang tak tergoyahkan. Akhir dari kesangsian metodis tersebut adalah kebenaran yang tak dapat disangsikan lagi oleh Descrates yaitu ‘aku yang berpikir”. Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan yang tak dapat disangkal karena apabila kita meragukannya berarti kita melakukan apa yang disebut : “kontradiski perfomatoris”. Dari proses kesangsian Descrates  yang konon memerlukan waktu seminggu penuh berdiam di kamar, muncullah diktumnya yang terkenal, Cogito Ergo Sum : Aku berpikir maka aku ada. Dengan kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku, pikiranku yang kebenarannya bersifat pasti-tidak tergoyahkan.
            Menurut Descrates apa yang jelas dan terpilah-pilah itu tidak mungkin berasal dari luar diri kita. Karena penampakan dari luar tidak dapat dipercaya, maka seseorang mesti mencari kebenaran-kebenaran didalam dirinya sendiri. Yang bersifat pasti. Descrates adalah bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin menafikan Tuhan begitu saja. Kaum Rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang keberadaan Tuhan denga berasumsi bahwa Tuhan yang menciptakan akal kita adalah juga Tuhan yang menciptakan dunia. Tuhan menurut kaum Rasionalis adalah seorang matematikawan agung, yang dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasar rasionalis berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh pikiran manusia.
            Kaum rasionalis pada umumnya mengagumi keniscayaan kebenaran deduktif sebagaimana terdapat dalam logika, matematika dan geometri yang bersifat apriori. Asumsi dasar kaum rasionalis tentang hubungan manusia dan semesta adalah adanya keselarasan antara pikiran dan semesta atau dengan kata lain terdapat korespondensi antara struktur pikran manusia dan struktur dunia.


C.    Empirisme
            Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasaYunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, dan “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Laceyberdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.


            Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruhpengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami. Pengalaman inderawiadalah satu-satunya sumber pengetahuan,  bukan akal.

            Aliran ini bermula dari penolakan mereka atas dominasilogika Cartesian di daratan Eropa saat itu. Di samping itu, gelora Renaissancedi daratan Eropa menginspirasi Dataran Britania Raya sampai ada istilah sendiri yaitu Enlightment (pencerahan).

            Tokoh – tokoh empirisme yang terkenal antara lain,Francis Bacon (1561–1626), ThomasHobbes (1588 – 1679), John Locke (1632–1704), George Berkeley (1685–1753), dan David Hume (1711–1776). 

            Empirisme adalah suatu aliran dalam metode ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman semata. Ilmu pengetahuan yang sejati adalah yang inderawi, yang terjadi dan ada secara nyata. Aristoteles(384-322 SM) adalah filsuf Yunani yang sudah terlebih dahulu menganut metode pengetahuan ini, jauh sebelum Francis Bacon, yang dikenal sebagai perintis empirisme. 

            Aristoteles bertolak dari ajaran gurunya, Plato, yang menganut paham idealis – utopianis. Demikian juga Hobbes, Locke, Berkeley danHume, dalam hal mencetuskan metode berpengetahuan berdasar empirisme, bertentangan dengan metode rasionalisme, Rene Descartes. 

            Menurut Bacon, metode yang benar ialah mengamat-amatialam semesta tanpa prasangka, setelah itu menetapkan fakta-fakta berdasarkan percobaan-percobaanyang berkali-kali dilakukan dengan cara yang bermacam-macam. Pemikirannya tersebut kemudian melahirkan metode ilmiah. Bacon juga beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum. Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metodeberpikir induksi.

            Bacon telah meletakkan dasar-dasar bahwa ilmu pengetahuanhanya dapat diusahakan melalui pengamatan, eksperimen-eksperimen dan penyusunan fakta-fakta. Bacon telah berhasil mempelopori di bidang metode penilitian sedangkan yang telah berhasil menyusun suatu sistem yang lengkap adalah ThomasHobbes.

            Ia berpangkal kepada eksperimen secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empiris, ia menerima juga metode yangdipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan mpirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yangkonsekuen pada zaman modern. Materilisme yang dianut Hobbes yaitu bahwa segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi yang dimaksud ialah segala sesuatu yang tidak tergantung kepada gagasan kita. Segala kejadian adalah gerak, yang berlangsungkarena keharusan. Seluruh realitas bersifat bendawi, yaitu yang tidak tergantung kepada gagasan kita terhisap di dalam gerak itu. Dengan demikian maka pengertian substansi diubah menjadi suatu teori aktualitas. Segala objektivitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki “ada” sendiri. Ruang adalah gagasan tentang hal yang berada itu sendiri. Waktu adalah gagasan tentang gerak.

            Empirisme dalam pandangan John Locke, semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal dari pengamatan atau refleksi dan sensasi. Locke menentang teori rasionalisme yang mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurutnya, segala pengetahuan datang dari  pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal(rasio) adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semula akal serupa dengan kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. 

            Satu-satunya sasaran atau objek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau idea-idea yang timbulnya kerena pengalaman lahiriah (sensation) dan karena pengalaman batiniah (reflection). Pengalaman lahiriah mengajarkan kepada kita tentang hal-hal diluar kita, sedangpengalaman batiniah mengajarkan tentang keadaan psikis kita sendiri.

            Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerjasama antara sensasi dan refleksi. Dimulai haruslah dari sensasi, sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih. Barulah kemudian refleksi sebagai pemenuhnya.

            Empirisme selanjutnya datang dari seorang uskup Anglikan berkebangsaan Irlandia bernama George Berkeley. Dalam risalahnya mengenai prinsip – prinsip dasar pengetahuan manusia, Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), manusiamelihat alam merupakan bahasa atau tulisan tangan Tuhan. Menurutnya, empirisme selanjutnya akan disebut subjektif  idealisme.

            Kaum empiris berpandangan bahwa pengetahuan manusia dapatdiperoleh melalui pengalaman. Hume seperti layaknya filosof Empirisme lainnyamenganut prinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu” yang berarti,“tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data  inderawi”.

            Menurut Hume, dalam budi kata tidak ada suatu ide yangtidak sesuai dengan impression yang dikarenakan “hal” di luar kita. Apa sajayang merupakan pengetahuan itu hanya disebabkan oleh pengalaman. “Hal” nyasendiri tak dapat kita kenal, hanya mendapat impression tersebut. Adapun yang bersentuhan dengan indera kita adalah sifat-sifat atau gejala-gejala dari haltersebut.

            Substansi itu hanya anggapan (khayalan), sebenarnya tak ada. Penyebab kita mempunyai pengertian tentang sesuatu yang tetap (substansi) itu, tidak lain karena adanya perulangan pengalaman, sehingga kita menganggap mempunyai pengertian tentang suatu hal,tetapi sebetulnya tidak demikian.

            Begitu pula pengertian lainnya yang tetap dan umum semuanya tak ada halnya. Kita tak mengetahui kesebaban, yang kita kenal hanya urut-urutan kejadian, misalnya : pukulan dan kemudian kita rasa sakit. Olehkarena itu, kita kerap kali merasa sakit setelah ada pukulan, kemudian ada asosiasi antara pukulan dan sakit mengatakan bahwa yang menyebabkan sakit itu pukul.  Namun sebenarnya tidak demikian. Itu hanya anggapan kita saja.

            Sebagai tokoh empirisme, Hume tidak mengakui hukum sebab akibat(kausalitas). Dalam hukum kausalitas pada umumnya ada anggapan bahwa penyimpulan dari masalah-masalah yang nyata didasarkan  kepada hubungan sebab akibat.  Hubungan sebab akibat, menurut Hume, didapatkan berdasarkan kebiasaan dan harapan belaka dari peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan satu sama lain. Orang sudah terbiasa di masa lalu melihat peristiwa matahari terbit di Timur selalu di ikuti oleh peristiwa tenggelam di Barat dan ia akan mengharapkan peristiwa yang sama terjadi di masa yang akan datang. 

            Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu member pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini. Kebenaran yang bersifat apriori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bias bertambah lewat pengamatan empiris atau secara aposteriori (Apriori adalah pengetahuan yang ada sebelum bertemu dengan pengalaman,  sedangkan aposteiori adalah pengetahuan yang ada sesudah  bertemu dengan pengalaman).


D.    Rasionalisme VS Empirisme


            Para rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi atau rasio saja. Sedangkan kaum empirisme mengakui pengalaman indrawi sebagai sumber pengetahuan itu. Di sini ada perbedaan pandangan tentang sumber pengetahuan itu. Para rasionalisme menjadikan pikiran sebagi unsur pokok pengetahuan dan mengabaikan unsur pengalaman, kesaksian demikian juga sebaliknya. Boleh dikatakan para rasionalisme dengan empirisme mempertentangkan unsur-unsur terbentuknya epistemologi pengetahuan.

            Namun Imanuel Kant(1724-1804) sebagai salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam melahirkan pengetahuan di abab pencerahan. Ia mengemukakan teori subjek dan objek untuk mendamaikan kedua aliran terdahulu (rasionalisme-empirisme) meskipun ia sangat mengagumi filsafat Hume. Penyelidikan struktur subjek yang memungkinkannya mengetahui benda-benda sebagai objek. Dengan demikian ia menguraikan tiga tingkatan proses pengetahuan:

- Pertama, tingkat pertama pemahaman indrawi( dalam ruang dan waktu); subjek hadir untuk memahami data-data realitas.
- Kedua, tingkat akal budi; mulai mengolah input yang diberikan oleh tingkat pengalaman indrawi.
- Ketiga, tingkat itelektual; kemampuan manusia yang tertinggi melebihi akal dan pemahaman indrawi.

            Relasi subjek dan objek ditandai dengan peran aktif-reaktif keduanya dalam membentuk suatu kegiatan untuk mengetahui. Subjek mengkonstitusikan objek maka objek itu memiliki peran dalam menentukan peran subjek. Subjek yang berperan aktif disebut sebagai pengertian (understanding) dan indra membantu dalam hal menerima ransangan dari luar (objek). Pengalaman indrawi (objek) menyediakan isi pengetahuan bagi pikiran(subjek). Imanuel Kant menempatkan posisi epistemologis sebagai suatu bentuk “ realisme empiris” (benda-benda menampakkan diri kepada pikiran) dan suatu idealisme trasendental (benda-benda diketahui, dikonstitusikan oleh pikiran)









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pemaparan makalah diatas kami menyimpulkan ;
-          Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.
-          Rasionalisme dapat didefenisikan sebagai paham yang menekankan pikiran sebagai sumber utama pengetahuan dan pemegang otoritas terakhir bagi penentuan kebenaran. Manusia dengan akalnya memiliki kemampuan untuk mengetahui struktur dasar alam semesta secara apriori. Pengetahuan diperoleh tanpa melalui pengalaman inderawi. Singkatnya, Rasionalisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal atau ide. Rasionalisme mengidealkan cara kerja deduktif dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia tentang dunia merupakan hasil deduksi dari kebenaran-kebenaran apriori yang diketahui secara jernih dan gamblang oleh akal.
-          Empirisme adalah suatu aliran dalam metode ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman semata. Ilmu pengetahuan yang sejati adalah yang inderawi, yang terjadi dan ada secara nyata. Aristoteles(384-322 SM) adalah filsuf Yunani yang sudah terlebih dahulu menganut metode pengetahuan ini, jauh sebelum Francis Bacon, yang dikenal sebagai perintis empirisme. 
-          Imanuel Kant(1724-1804) sebagai salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam melahirkan pengetahuan di abab pencerahan. Ia mengemukakan teori subjek dan objek untuk mendamaikan kedua aliran terdahulu (rasionalisme-empirisme) meskipun ia sangat mengagumi filsafat Hume. Penyelidikan struktur subjek yang memungkinkannya mengetahui benda-benda sebagai objek.




B.     Saran

         Untuk bisa mengerti persesuaian antara filsafat Rasionalisme dan Empirisme kita harus belajar tentang filfafat Kantianisme, yaitu  paham filsafat ilmu pengetahuan yang dikembangkan filsuf Jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804)
























Daftar Pustaka

-          Susriasumantri, Jujun S. 1987. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
-          Baktiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
-          Ahmad Tafsir. 2006. filsafat ilmu. Bandung: Rosdakarya.
-          Salam, Burhanudin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta
-          Ugm, Tim Dosen Filsafat Ilmu. 2007. Filsafat Ilmu. Yogyakarta
-          Susano, A. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis Epistemologis, dan Aksiologis.Jakarta : PT. Bumiaksara.
-          Tjahjadi, Simon Petrus L. PETUALANGAN INTELEKTUAL: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Modern. Yogyakarta: Kanisius. 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar