Sabtu, 15 Maret 2014

Makna Epistemologi Rasionalisme VS Empirisme

I. PENGATAR 

All Men by the nature to desire to know”[1]. Hakikat manusia yang selalu ingin mengetahui melahirkan kesadaran untuk selalu mencari dan terus mencari. Proses mencari, meneliti, memahami dan merenungkan sesuatu yang menjadi objek perhatiannya menghasilkan sesuatu yang dinamakan pengetahuan. Manusia mendapatkan atau mengetahui sesuatu. Namun usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan merupakan suatu keterampilan untuk mengabungkan segala sesuatu demi pencapaian pengetahuan itu. Akal berperan sebagai faktor utama untuk memikirkan, mengolah dan memahami sesuatu. Selain itu lingkungan atau segala sesuatu yang ada juga merupakan faktor penunjang selain dijadikan sebagai objek perhatian yang melahirkan sesuatu tetapi juga sebagai ruang lingkup pengetahuan itu.
Akal budi atau pikiran dan lingkungan indrawi merupakan sumber terjadinya pengetahuan. Dua sumber yang berbeda sungguh melahirkan perdebatan panjang antara para filsuf pengetahuan di abad pencerahan. Para penganut rasionalisme( Rene Descartes, Baruch Spinoza) menganggap bahwa pengetahuan lahir dari suatu pencarian akal bukan berdasarkan pengalaman indrawi seperti yang dianuti oleh para empirisme( David Hume, Jhon Locke).

II. RASIONALISME

Para filsuf rasionalisme yang diwakili oleh Rene Descartes(1596-1650), Baruch Spinoza(1630-1677) dan Leibniz(1646-1716) sangat mengagungkan rasio atau akal sebagai sumber pengetahuan. Rene Descartes dengan tegas mengatakan bahwa “cogito ergo sum”[2](saya berpikir maka saya ada). Kesadaran(cogito) sebagai faktor penyebab yang bisa melahirkan segala sesuatu. Kesadaran yang bersumber pada otak atau rasio manusia merupakan sumber pengetahuan. Segala sesuatu yang di luar kesadaran(otak) seperti lingkungan indrawi ada oleh karena pikiran itu bahkan Descartes mengatakan dirinya ada oleh karena pikirannya.
Ajaran Descartes ini yang melihat ide atau akal sebagai satu-satunya pencetus pengetahuan itu mendorong Baruch Spinoza untuk melihat Allah sebagai satu-satunya Ide tertinggi. Sedangkan alam merupakan pancaran dari Ide Tunggal itu. Leibniz melihat pengetahuan alam semesta telah ada dalam diri manusia sebagai bawahan.[3] Pengalaman indrawi merupakan hasil eksploitasi akal(pikiran). Pikiran melahirkan pengetahuan akan sesuatu di luar dirinya. Sehingga Leibniz dengan tegas mengatakan bahwa pengalaman sendiri bukanlah sumber pengetahuan melainkan pengetahuan tingkat pertama. Sumber pengetahuan adalah akal atau pikiran.
Aliran rasionlisme di atas melihat unsur utama yang membentuk epistemologi adalah pikiran dan penalaran. Pikiranlah yang menemukan, melahirkan pengetahuan serta mengembangkannya. Sehingga epistemologi yang dihasilkan oleh pikiran adalah benar-benar bisa diterima rasio manusia sebagai suatu pengetahuan baru. Bahkan Rene Descartes berkata bahwa indra adalah yang paling lemah dan rapuh dibandingkan dengan yang lain dalam menemukan pengetahuan.[4] Pengalaman indrawi sangat diragukan kebenarannya. Manusia bisa mengetahui sesuatu oleh karena pikirannya(rasio). Namun para filsuf rasionalisme melihat peran indra hanya sebagai pintu masuk atau hanya sebagai penerima pengalaman indrawi itu. Rasiolah yang mengerti, mengolah bentuk dan wujud dari pengalaman indrawi. Misalnya, kulit merasakan cuaca dingin. Kulit tidak mengatakan itu, namun rasiolah yang berpikir oh cuacanya dingin

III. EMPIRISME 

Berbeda dengan kaum rasionalis, kaum empirisme yang diwakili oleh John Locke(1632-1764) mengatakan bahwa pengetahuan itu bersumber pada pengalaman.[5] Pengalaman memiliki arti yang sangat luas berhubungan dengan panca indra manusia. Indra manusia yang menjalin relasi dengan alam baik materi, ruang maupun waktu. Alam memberikan sumbangan yang cukup penting dalam pembentukan sebuah pengetahuan yang baru. Panorama alam yang ditangkap oleh panca indra manusia membentuk suatu pengetahuan tentang alam itu. Sebab bagaimana seseorang mengetahui warna laut itu biru kalau ia tidak mempunyai mata untuk melihat? Rasio tak dapat mengolah atau memikirkan bahwa laut itu warnanya biru tanp harus melihat terlebih dahulu. Bahkan John Locke dengan perumpamaannya yang terkenal tentang rasio itu bahwa rasio diibaratkan dengan lembaran putih yang belum terisi dengan tulisan. Lembaran kosong itu akan terisi dengan pengetahuan jika ada pengalaman indrawi yang ditangkap indra kemudian disalurkan kepada rasio itu. Pemikiran atau rasio sama sekali pasif dalam menerima suatu pengetahuan baru.
Para penganut empirisme menemukan suatu pengetahuan baru melalui suatu penelitian empirik. Penelitian empirik dengan segala percobaan. David Hume(1711-1776) seorang filsuf yang sangat radikal mengatakan bahwa buanglah ke dalam api segala buku yang tidak memuat penyelidikan.[6] Dengan demikian ia menguraikan pengetahuan sebagai kesan indra yang secara langsung diperoleh melalui pengalaman entah melalui percobaan ataupun melalui apa yang dirasakan indra( membau, merasa, melihat, menyentuh, mengisap). Kesan panca indralah yang menghantar manusia untuk percaya akan kebenaran pengetahuan itu. Misalnya rasa sakit karena tertusuk benda tajam lebih memberikan pengetahuan seseorang tentang rasa sakit ketimbang rasio memikirkan bagaimanakah rasa sakit itu.
Dari sini para penganut empirisme seperti Locke, Hume melihat pentingnya praktik sebagai salah satu jalan untuk menemukan pengetahuan itu. Dengan melakukan latihan mencoba atau praktik untuk meneliti, mengolah, benda yang ada maka manusia bisa mengetahui segala sesuatu baik apa yang dilihat, dirasa, dibaui, diraba oleh indra. Sebab seseorang tak mungkin mengetahui bahwa garam itu rasanya asin jika ia tidak mengecapnya dengan lidahnya atau contoh lain air itu mendidih jika tingkat kepanasannnya sampai pada suhu 100 C tanpa melalui sebuah percobaan yang akurat. Singkatnya untuk memperoleh suatu kesimpulan tentang pengetahuan harus diawali dengan suatu percobaan(praktik) untuk meneliti hal itu. 

IV. PERTENTANGAN ANTARA RASIONALISME DAN EMPIRISME

Para rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi atau rasio saja. Sedangkan kaum empirisme mengakui pengalaman indrawi sebagai sumber pengetahuan itu. Di sini ada perbedaan pandangan tentang sumber pengetahuan itu. Para rasionalisme menjadikan pikiran sebagi unsur pokok pengetahuan dan mengabaikan unsur pengalaman, kesaksian demikian juga sebaliknya. Boleh dikatakan para rasionalisme dengan empirisme mempertentangkan unsur-unsur terbentuknya epistemologi pengetahuan.
Namun Imanuel Kant(1724-1804) sebagai salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam melahirkan pengetahuan di abab pencerahan. Ia mengemukakan teori subjek dan objek untuk mendamaikan kedua aliran terdahulu(rasionalisme-empirisme) meskipun ia sangat mengagumi filsafat Hume. Penyelidikan struktur subjek yang memungkinkannya mengetahui benda-benda sebagai objek.[7] Dengan demikian ia menguraikan tiga tingkatan proses pengetahuan: Pertama, tingkat pertama pemahaman indrawi( dalam ruang dan waktu); subjek hadir untuk memahami data-data realitas. Kedua, tingkat akal budi; mulai mengolah input yang diberikan oleh tingkat pengalaman indrawi. Ketiga, tingkat itelektual; kemampuan manusia yang tertinggi melebihi akal dan pemahaman indrawi.
Relasi subjek dan objek ditandai dengan peran aktif-reaktif keduanya dalam membentuk suatu kegiatan untuk mengetahui. Subjek mengkonstitusikan objek maka objek itu memiliki peran dalam menentukan peran subjek. Subjek yang berperan aktif disebut sebagai pengertian(understanding) dan indra membantu dalam hal menerima ransangan dari luar(objek). Pengalaman indrawi(objek) menyediakan isi pengetahuan bagi pikiran(subjek). Imanuel Kant menempatkan posisi epistemologis sebagai suatu bentuk “ realisme empiris”(benda-benda menampakkan diri kepada pikiran) dan suatu idealisme trasendental(benda-benda diketahui, dikonstitusikan oleh pikiran).[8]
 
V. PENUTUP 

Akhirnya perbedaan cara pandang antara empirisme dengan kaum rasionalisme tentang sumber pengetahuan bagi Imanuel Kant bukan suatu hal yang rumit. Pengalaman yang merupakan kontak pertama dan langsung dengan realitas(objek) adalah dasar atau awal dari pengetahuan itu. Pengalaman ini menjadi bahan dasar dari intelektualitas(akal budi) untuk selanjutnya pengalaman ini diolah menjadi sebuah konsep. Suatu konsep muncul mengandaikan adanya suatu pengalaman yang baru.
Pengetahuan yang merupakan hasil eksperimen(pengalaman- empiris) yang benar, akurat dan kemudian data ini diterima oleh akal(rasio). Dengan demikian antara emprisme dengan rasionalisme saling berhubungan satu sama lain. Bagaikan dua sayap burung yang selalu bekerja sama agar tubuh burung itu bisa terangkat dan terbang. Eksperimen merupakan bukti bakwa rasio manusia berpikir untuk mencoba sehingga melahirkan suatu pengetahun yang baru.


[1] Demikian perkataan Aristoteles dalam metafikanya seperti yang dikutip oleh F X Armada Ryanto, Pengantar Filsafat,Doing Filosophy( diktat kuliah), STFT Widya Sasana Malang, 2001, p. 3
[2] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual; Konfrontasi dengan Para Filsuf dariZaman Yunani hingga Modern(Yogyakarta: Kanisius,2004), p. 206
[3] Ibid. 221
[4] Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi(Jakarta:Lentera,2001), p. 27-28
[5] Simon Petrus L. Tjahjadi, p. 237
[6] Ibid. p. 247-249
[7] Simon Petrus L. Tjahjadi, p. 282
[8] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar; Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), p. 110-111

EPISTEMOLOGI


Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya, karena manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati.
 Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a.      Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
 
b.      Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
Rasionalisme dikenalkan pertama kali dalam studi filsafat dengan tokohnya yang terkenal adalah Rene’ Descrates. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio. Karena kebenaran berasal dari ratio (akal). Namun dalam studi hubungan internasional, rasionalisme baru mulai diperkenalkan pada tahun 1950 oleh Andrew Linklater, dalam bukunya yang berjudul ‘Rationalism’. Menurutnya, rasionalis awalnya diperkenalkan dari sebuah asosiasi penulis klasik seperti Gratius dan Vattel. Sedangkan pemikir modernnya adalah Hadley Bull, Vincent, dan Watson. Rasionalis merupakan pemikiran yang berada diantara teori realisme dan idealisme. Dalam bukunya, Linklater mengatakan bahwa “rasionalisme mengakui bahwa negara melakukan paksaan untuk keamanannya di dalam kondisi anarkhi, tidak seperti individu-individu dalam masyarakat sipil. Dan bahwa kompetensi dan konflik sering mengikuti usahanya untuk realisme objektifnya.
Rasionalisme diambil berdasarkan teori realisme dan idealisme, dimana realis memiliki argumen bahwa negara memaksa masyarakat internasional dibawah kepentingan nasionalnya yang egois. Dua poin penting mengenai rasionalisme yang ada dalam buku ini, menyebutkan bahwa rasionalis meyakinkan bahwa tekanan realis dalam bagaimana negara mengeluarkan maneuver, control, dan mencari kekuatan lebih dari yang lainnya. Kemudian, tuntutan rasionalis, bahwa kepentingan internasional harusnya tidak berdasarkan pada jaminan, setelah pencapaian berbahaya yang dapat memusnahkan dari kekuatan politik agresif atau revolusioner.
Pemisahan antara pengetahuan dan kepentingan manusiawi yang terwujud dalam pemisahan teori dan praksis, seperti yang dianut oleh ilmu pengetahuan modern, bertujuan untuk membersihkan teori dari kepentingan, dimana hal ini berlangsung dalam dua jalur. Pada jalur pertama tokoh yang berdiri ialah Plato, Rene Descartes, Malebrache, Spinoza, Leibniz, dan Wolff.
Mereka percaya, bahwa pengetahuan murni hanya dapat diperoleh melalui rasio manusia itu sendiri (rasionalisme). Dalam hal ini, plato sangat menekankan pada peran intuisi. Di jalur kedua, dengan Aristoteles, Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume berdiri sebagai tokohnya, percaya bahwa hanya dengan melalui pengamatan empiris terhadap objek pengetahuan, pengetahuan murni dapat diperoleh (empirisme).
Pengetahuan empiris analitis yang kemudian menjadi ilmu-ilmu alam, direfleksikan secara filosofis sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, dan ditangan Francis Bacon, yang menggunakan pisau Rasionalisme dan Empirisme, ilmu-ilmu alam memperkembangkan konsep teori murni, yakni pembebasan pengetahuan dari kepentingan. Kemudian pada titik inilah lahir pemikiran positivisme, yang menjadi puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan, serta sebagai awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang terpisah dan praksis.
 
c.       Positivisme
Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.


d.      Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.


2.      ONTOLOGI
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Metode dalam ontologi yaitu:
a.      Hakekat
Pengertian hakekat manusia adalah sebagai berikut :
a.       Makhluk yang memiliki tenga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
b.      Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
c.       yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
d.      Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
e.       Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
f.       Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
g.      Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
h.      Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.

b.      Materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Materi dapat dipahami sebagai bahan; benda; segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Orang-orang ini adalah para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata (harta,uang,dsb).
Ciri-ciri paham materialism:
·            Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah).
·            Tidak meyakini adanya alam ghaib.
·            Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu.
·            Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum.
·            Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak.
·            Adalah sebuah paham garis pemikiran, dimana manusia sebagai nara sumber dan juga sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada dengan jalan dialetis.

c.       Idealisme
Idealisme atau dalam bahasa Inggris disebut Idealism, yang kadang juga disamakan dengan mentalisme atau imaterialisme. Istilah ini pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibniz pada mula awal abad ke- 18. Leibniz memakai dan menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, secara bertolak belakang dengan materialisme Epikuros. Idealisme ini merupakan kunci masuk ke hakikat realitas.
Pandangan beberapa filsuf mengenai Idealisme.
1.      Schelling memberikan nama Idealisme subyektif pada filsafat Fichte, dengan alasan bahwa dalam Fichte dunia merupakan postulat subyek yang memutuskan.
2.       Idealisme obyektif adalah nama yang diberikan oleh Schelling pada pemikiran filsafatnya. Menurutnya, alam adalah inteligensi yang kelihatan. Hal tersebut menunjukkan semua filsafat yang mengindentikkan realitas dengan ide, akal atau roh.
3.      Hegel menerima klasifikasi Schelling, dan mengubahnya menjadi idealisme absolut sebagai sintesis dari pandangan idealisme subyektif (tesis) dan obyektif (antitesis).
4.      Idealismetransendental adalah pandangan dan penyebutan dari Immanuel Kant. Sering disebut juga disebut sebagai idealisme kritis. Pandangan ini mempunyai alternatif yaitu isi dari pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya sendiri, sedangkan ruang dan waktu merupakan forma intuisi kita sendiri
5.      Idealisme epistemologis merupakan suatu keputusan bahwa kita membuat kontak hanya dengan ide-ide atau pada peristiwa manapun denga entitas-entitas psikis.
6.      Idealisme personal adalah sisitim filsafat Howison dan Bowne.
7.      Idealisme voluntarisme dikembangkan oleh Fouilee dalam suatu sistim yang melibatkan tenaga pemikiran.
8.       Idealisme teistik pandangan dan sistim filsafat dari Ward.
9.      Idealisme monistik adalah penyebutan dan sistim filsafat dari Paulsen.
10.  Idealisme etis adalah pandangan filsafat yang dianut oleh Sorley dan Messer.
11.  Idealisme Jerman, pemicunya adalah Immanuel Kant dan dikembangkan oleh penerus-penerusnya. Idealisme merupakan pembaharuan dari Platonis, karena para pemikir melakukan terobosan-terobosan filosofis yang sangat penting dalam sejarah manusia, hanya dalam tempo yang sangat singkat, yaitu 40 tahun (1790- 1830) dan gerakan intelektual ini mempunyai kedalaman dan kekayaan berpikir yang tiada bandingnya.
Dari perkembangan pemikiran idealisme dapat disimpulkan pengertian idealisme, yaitu :
1.      Adanya suatu teori bahwa alam semesta beserta isinya adalah suatu penjelmaan pikiran.
2.      Untuk menyatakan eksistensi realitas, tergantung pada suatu pikiran dan aktivitas-aktivitas pikiran.
3.      Realitas dijelaskan berkenaan dengan gejala-gejala psikis seperti pikiran-pikiran, diri, roh, ide-ide, pikiran mutlak, dan lain sebagainya dan bukan berkenaan dengan materi.
4.      Seluruh realitas sangat bersifat mental (spiritual, psikis). Materi dalam bentuk fisik tidak ada.
5.      Hanya ada aktivitas berjenis pikiran dan isi pikiran yang ada. dunia eksternal tidak bersifat fisik

d.      skeptisisme
Menurut kamus besar bahasa indonesia skep-tis yaitu kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Sedangkan skeptis-isme adalah aliran (paham) yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak menimbulkan skeptis-isme terhadap kesanggupan dalam menanggapi gejolak hubungan internasional. Jadi secara umum skeptis-isme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.
Dalam penggunaan sehari-hari skeptis-isme bisa berarti:
1.      suatu sikap keraguan atau disposisi untuk keraguan baik secara umum atau menuju objek tertentu;
2.      doktrin yang benar ilmu pengetahuan atau terdapat di wilayah tertentu belum pasti; atau
3.      metode ditangguhkan pertimbangan, keraguan sistematis, atau kritik yang karakteristik skeptis (Merriam-Webster).
Dalam filsafat, skeptis-isme adalah merujuk lebih bermakna khusus untuk suatu atau dari beberapa sudut pandang. Termasuk sudut pandang tentang:
1.      sebuah pertanyaan,
2.      metode mendapatkan pengetahuan melalui keraguan sistematis dan terus menerus pengujian,
3.      kesembarangan, relativitas, atau subyektivitas dari nilai-nilai moral,
4.      keterbatasan pengetahuan,
5.      metode intelektual kehati-hatian dan pertimbangan yang ditangguhkan.
ü  skeptisme menurut ilmu pengetahuan
Skeptisime sebagai sebuah pemahaman bisa dirunut dari yunani kuno. Pemahaman yang kira-kira secara gampangnya “tidak ada yang bisa kita ketahui”, “Tidak ada yang pasti” “Saya ragu-ragu.” sebuah pernyataan yang akan diprotes karena memiliki paradoks. Jika memang tidak ada yang bisa diketahui, darimana kamu mengetahuinya. Jika memang tidak ada yang pasti, perkataan itu sendiri sesuatu kepastian. Setidaknya dia yakin kalau dirinya ragu-ragu.
Skeptis juga bisa dianggap sebagai sifat. Kadang kita juga melakukannya tanpa kita sadari. Ketika kita mendengar bahwa ada cerita kita diculik pocong tentu saja kita mengerutkan kening. Kemudian kita tidak mempercayai dengan mudah, kita anggap isapan jempol, urban legend, palsu. Orang skeptis bisa memberikan argumen-argumen keberatan terhadap cerita tersebut. Mereka meminta bukti, menyodorkan fakta kenapa cerita itu tak mungkin dan lain sebagainya.
Dengan kata lain meragukan. Sifat skeptis artinya sifat meragukan sesuatu. Tidak mau menerima dengan mudah apa adanya. Selalu meragukan sesuatu jika belum ada bukti yang benar-benar jelas. Jika ada cerita maka tidak langsung mempercayainya.
Sifat semacam ini penting bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu kepastian yang seakurat mungkin karena itu ilmuan diharapkan skeptis. Ilmuan tidak boleh langsung percaya begitu saja terhadap berita, percobaan dan lain sebagainya. Ini karena metode dalam ilmu pengetahuan yang ketat.
Jika seseorang menyatakan sebuah teori misalnya “Naga itu ada!” Ilmuan kemudian bertanya. Mana buktinya? Ilmu selalu mempertanyakan bukti. Ini karena ilmu tidak boleh mudah percaya. Ini karena di dunia banyak penipu dan pembohong, ada mereka yang menyatakan melihat sesuatu padahal tidak ada di sana. Ada juga mereka yang merasa melihat sesuatu padahal sebenarnya tidak. Jika komunitas ilmuan hendak mempercayai hal semacam ini tanpa bukti dan meminta yang lain supaya percaya, maka celakalah.
ü  skeptisisme menurut filsafat
Sikap skeptis adalh sebuah pendirian didalam epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Para skeptikus sudah ada sejak zaman yunani kuno, tetapi di dalam filsafat modern, Rene Descartes adalah perintis sikap ini dalam metode ilmiah. Kesangsian descartes dalam metode kesangsiannya adalah sebuah sikap skeptis, tetapi skeptis-isme macam itu bersifat metodis, karena tujuan akhirnya adalh untuk mendapatkan kepastian yang tak tergoyangkan, yaiutu: cogito atau subjectum sebagai onstansi akhir pengetahuan manusia. Di dalam filsafat D.Hume kita menjumpai skeptisme radikal, karena ia tidak hanya menyangsikan hubungan-hubungan kausal, melainkan juga adanya substansi atau realitas akhir yang bersifat tetap.
Dalam filsafat klasik, mempertanyakan merujuk kepada ajaran traits mengenai "Skeptikoi",, Dalam ilmu filsafat dari yang dikatakan bahwa mereka "tidak menyatakan apa-apa selain pandangan sendiri saja." (Liddell and Scott) (Liddell and Scott), Dalam hal ini, keraguan filsafati, atau Pyrrhonisme adalah posisi filsafat yang harus menangguhkan satu keputusan dalam penyelidikan. Sextus Empiricus, Outlines Of Pyrrhonism, Terjemahan R.G. Bury, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1933, 21
ü  skeptisisme menurut agama
Dalam agama, mempertanyakan merujuk kepada "keraguan tentang prinsip-prinsip dasar agama (seperti keabadian, pemeliharaan, dan wahyu)." (Merriam–Webster) Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G. Barbour, yaitu John F. Haught [1995], yang membagi pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi.Untuk itu, secara singkat membahas empat pemikiran Haught tentang hubungan sanis dan agama, sebagai berikut : Pendekatan Konflik, suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujukan atau dipadukan. Artinya banyak pemikir [saintis] yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan. Kaum skeptis ilmiah sering mengatakan agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau “keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar,sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif. Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual, metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap ”ekspansionis” agama maupun ”sains” menolak pengaplingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilyah signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini, terbukalah peluang terjadinya konflik antara keduanya.Pendekatan kontras, suatu pernyataan bahwa tidak adan pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan terhadapmasalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan agamawan [teolog]tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains” sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama absah [valid] meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama dan tetap menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain. Pendekatan Kontak, suatu pendekatan yang mengupayakan dialog,interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara sains dan agama,dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah menjadi dua ranah [dikotomik]. Tetapi ia juga tidak setuju pada harmoni yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam dunia kenyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata mempertanyakan dapat menggambarkan posisi pada sebuah klaim, namun di kalangan lain lebih sering menjelaskan yang menetapkan kekekalan pikiran dan pendekatan untuk menerima atau menolak informasi baru. Individu yang menyatakan memiliki pandangan mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi sering terlupakan apakah sikap secara filsafati mempertanyakan atau ketidakpercayaan secara empiris sebenarnya malahan adalah pernyataan sebuah pengakuan.


e.       Agnotisisme
adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas. Seorang agnostik mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif pengetahuan tentang "Yang-Mutlak"; atau , dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subyektif dimungkinkan, namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki informasi yang dapat diverifikasi.
Dalam kedua hal ini maka agnostikisme mengandung unsur skeptisisme.
Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (tahu) dan a (tidak). Arti
harfiahnya "seseorang yang tidak mengetahui".
Agnostisisme tidak
sinonim dengan ateisme.

3.      AKSIOLOGI
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah  berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional? Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah  berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional

DAFTAR PUSTAKA