Jumat, 16 Oktober 2015
"Saya Harus Hati-hati"
KH. Kosim Nurseha,
Sebagian orang mungkin mengira bahwa kedekatan KH Kosim Nurseha dengan
keluarga Presiden Soeharto menjadikan bapak empat anak ini
berpenampilan wah: rumahnya yang mewah dengan pagar tinggi plus
penjagaaan ketat, di dalamnya sejumlah pembantu yang sibuk
melayaninya, dan selalu naik kendaran mewah. Ceramahnya hanya pada
kalangan gedongan dan para petinggi negara dengan 'tarif' yang tinggi.
Sementara untuk bertemu dengannya harus melalui prosedur yang ketat.
Namun kesan itu hilang ketika Sahid mengunjungi kediaman kiai asal
Tegal yang terletak diperkampungan di kawasan Cibubur Jakarta Selatan
itu. Rumah itu sederhana, dengan pagar teralis yang catnya sudah mulai
mengelupas karena terpanggang panasnya sinar matahari. Sementara
bagian dalam terlihat langit-langit mulai rusak dan sebagian
dindingnya retak karena tua.
Bagian ruang tamunya nyaris tanpa hiasan kecuali beberapa buku,
kaligrafi dari kuningan, beberapa cindera mata dari majlis taklim dan
foto Kosim bersalaman dengan Pak Harto. Untuk mencapai rumah itu harus
melewati jalan sempit yang hanya bisa dilalui kendaraan dengan satu
arah. "Bapak senang tinggal di sini karena ini hasil keringatnya
sendiri," kata Drs M. Mudhofar Hasan, salah satu sekretaris
pribadinya. Rumah dinas yang ada di kompleks Angkatan Darat Cijantung
tidak ditempatinya.
Ditemui di rumahnya pada Sabtu pagi pertengahan bulan ini, Kosim
menyambut Sahid dengan mengenakan sarung. Sementara dua tamu yang lain
lebih dulu datang menjemputnya untuk acara ceramah nikah di rumah
Sekwilda Bekasi. "Kalau di rumah memang biasanya begini, gaya santri,"
katanya menyambut.
Kepada kedua tamunya Kosim berpesan, dirinya sangat tidak suka kalau
ada orang yang meminta ceramah lantas menitipkan uang muka, porsekot,
down payment, uang jasa baik atau apapun namanya. Soal bisa atau
tidak, tidak tergantung pada siapa yang mengundangnya. "Di gang sempit
sekalipun akan saya datangi, kalau ada waktu," ujarnya.
Kosim sering diundang pengajian ke sejumlah kampung terpencil Jakarta,
dijemput dengan kendaraan yang sederhana, tanpa AC. Bagi orang
berpostur subur seperti Kosim, hal itu tentu agak mengganggu, karena
akan menggerahkan. Meski sebuah Baby Benz nongkrong di garasinya, ia
sering memilih pergi bersama para penjemputnya. "Saya merasa bahagia
karena mereka melakukannya dengan ikhlas tanpa pamrih," katanya lebih
lanjut.
Kosim Nurseha yang lahir 12 Juli 1936 selama ini memang dikenal
sebagai salah satu pembimbing ruhani keluarga Pak Harto. Perannya
dalam mengantarkan keluarga Presiden semakin dekat dengan Islam telah
diketahui banyak orang. Misalnya bersama KH. Mashuri Syahid, dialah
yang membuatkan tuntunan praktis pemahaman dan pengamalan ajaran
Islam, baik dalam bidang aqidah, syariah maupun akhlak.
Perkenalan dengan keluarga Cendana bermula dari sebuah ceramahnya di
TMII (Taman Mini Indonesia Indah) di tahun 1980-an. Materi ceramahnya
tentang silarraturahim ternyata sangat menyentuh Ibu Tien Soeharto
waktu itu, bahkan beliaunya sempat terkagum-kagum dengan humor yang
dilontarkan Kosim. Ketika Kosim mengakhiri ceramahnya, buru- buru
ajudan Presiden lari ke podium menyampaikan keinginan Ibu Tien agar
Kosim ceramah lagi. "Baru pertama kali saya diminta nambah ceramah,"
ceritanya mengenang. Sejak itu Kosim yang sudah bertugas di Disbintal
AD akrab dengan keluarga Pak Harto. Apalagi dengan pengajian yang
diadakan keluarga Presiden dua kali sebulan.
Pesan ceramahnya mudah ditangkap masyarakat, bahkan diselingi dengan
humor segar, tapi jauh dari pesan porno, dan tidak berkurang bobot
keilmiahannya. Menurutnya, itu karena bahasa yang digunakan adalah
bahasa kopral. "Kalau bahasa kopral, jendralnya pasti ngerti. Tapi
kalau pakai bahasa jenderal kopralnya bisa nggak paham," katanya
setengah bercanda.
Sejak masih mudanya putera dari keluarga Mohammad Nurseha ini dikenal
sebagai mubaligh yang sangat piawai. Keterampilanya berceramah
didapatkan sejak mengaji di surau. Setelah pelajaran mengaji biasanya
diadakan latihan pidato di antara sesama santri di bawah bimbingan
sang ustadz. "Saya mendapatkan pelajaran asal mau nyapu surau,"
katanya.
Ketika aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Pemuda Muhammadiyah
tahun 1950-an Kosim sering menghimpun warga untuk pengajian. Tujuanya
untuk melawan PKI. Itu dilaksanakan tidak kurang dari tujuh tahun
lamanya, dari kota sampai ke pelosok. Untuk itu Kosim harus menumpang
truk karena tidak ada biaya. Hasilnya luar biasa, "Sampai-sampai
mereka yang punya anakpun masuk menjadi PII, padahal PII kan
organisasi pelajar. Nggak apa-apa, asal tidak anggota PKI," tuturnya
sambil tertawa.
Cara itu membuat nama Kosim Nurseha semakin terkenal di berbagai
kelompok pengajian. Ia juga mengajarkan bela diri. Kegiatan ini
semakin mendapat sambutan masyarakat di Ambarawa. Namun kebencian dari
orang-orang PKI semakin menggila. Sampai suatu ketika orang-orang PKI
tidak sabar, mereka mendatangi penginapan Kosim untuk membunuhnya.
"Meski saya pintar bela diri, saya akan mati malam itu. Jadi umur saya
sekarang ini cuma sambungan," katanya dengan keharuan.
Selain dikenal sebagai mubaligh Kosim juga dikenal sebagai
olahragawan. Olahraga favoritnya bela diri dan renang. Hoby olahraga
inilah yang nantinya mengantarkan dia jadi staf Rohis (Kerohanian
Islam) AD yang namanya sekarang Disbintal AD. Karena sering latihan
volly dengan tentara akhirnya mereka kenal dekat dengan Kosim, apalagi
kegiatan pengajian Kosim sudah dikenal di mana-mana. Tahun 1960 Kosim
diangkat oleh Syarbini dan ditetapkan langsung oleh KSAD Jenderal
Achmad Yani. Karir Disbintal itu ia tunaikan hingga sekarang.
Sabtu pagi pertengahan bulan lalu ketika janjian untuk wawancara kedua
--dua hari sebelumnya bincang-bincang dilakukan di Radio Kayumanis
Jakarta-- Kosim sudah ditunggu penjemputnya. Akhirnya wawancara
dilakukan di mobil Sahid yang meluncur ke Bekasi, dilanjutkan ke Rumah
Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi untuk tabligh akbar, kemudian dalam
perjalanan pulang ke Cibubur. Wawancara baru berakhir menjelang
maghrib setelah menghabiskan nasi goreng kambing, air mineral sebotol,
es strup, lemet singkong, dan kopi. Berikut petikannya.
Anda kelihatan begitu marah soal uang panjar tadi?
Marah sih tidak, saya hanya ingin mengingatkan cara begitu tidak
mendidik. Kalau saya mau terima uang atau model begituan, kacau.
Pernah datang orang Malaysia ke sini bawa uang segebok. Uang itu mau
diberikan kepada saya asal bisa bertemu dengan Mas Bambang atau Mbak
Tutut. Saya tidak mau.
Adapun kalau selesai pengajian saya diberi HR, saya terima. Kalau saya
tolak mungkin malah salah. Orang akan mengira, mentang-mentang Kosim
dekat orang gede, sekarang diundang orang kecil yang kasih duit
sedikit, tidak mau terima. Dalam suatu pengajian saya pernah dikasih
HR Rp 10.000,- rupiah, saya terima dengan penuh syukur dan langsung
saya belikan bensin, Insya Allah perjalanan saya selamat. Jangankan
dikasih duit, melihat ibu-ibu setua itu mau ngaji saja, senangnya luar
biasa. Kalau tidak diterima mereka bisa sakit hati, lantas tidak mau
ngaji. Saya yang salah.
Sering begitu?
Tidak perlu bilang sering atau tidak. Yang penting bagi saya syiar
makin semarak dan orang makin nikmat beragama. Kalau saya pengajian di
mushalla yang belum jadi dan harus meninggalkan uang semen, akan saya
lakukan. Bahkan sering saya harus carikan uang tambahan puluhan juta.
Untung saya punya teman-teman seperti Mas Ponco (Ponco Sutowo, red)
dan Bu Ponco. (Sahid juga menyaksi- kan dalam pengajian di RSIJ Pondok
Kopi, Kosim memimpin hadirin untuk menyumbang pembangunan rumah
sakit).
Tapi kalau ada pejabat atau pengusaha yang mengundang saya, lantas
saya harus tanda tangan untuk menerima HR, itu hal wajar sebagai
penghargaan mereka pada saya. Yang peting tidak ada istighlal,
dipaksa-paksakan. Mereka begitu karena mampu, dan menganggarkan,
sementara duitnya ada.
Apa yang Anda rasakan setelah menjadi pembimbing ruhani keluarga
Presiden?
Pembimbing ruhani keluarga Presiden bukan hanya saya. Terhadap posisi
saya sekarang saya harus hati-hati, ada yang senang dan ada yang
tidak. Misalnya, "Baru begitu sudah disebut kiai, ulama kondang dan
lain-lain. Kiai kok seperti kintel (kodok, red)," begitu komentar
orang. Jadi saya harus hati-hati. Wong ketika ada kiai yang disebut
sebagai da'i sejuta ummat saja ada yang tidak senang. Saya mau disebut
apa saja terserah. Janganlah saya disebut kiai, cukup Pak Kosim saja.
Sebenarnya saya juga ingin sekali mendengarkan ceramah orang lain.
Karena itu saya sering meminta anak buah menggantikan tugas saya
ceramah. Kalau sudah begitu biasanya saya ke pinggiran kota, untuk
mendengarkan khutbah dari kiai-kiai tua, bahkan saya sampai meneteskan
air mata karena mereka orang-orang yang ikhlas. Saya biasanya melepas
songkok dan kacamata kemudian duduk di deretan belakang. Sebab songkok
dan kacamata menjadi trade merk saya.
Keberadaan Anda sebagai kiai dan orang dekat keluarga Presiden sering
dikaitkan dengan penampilan Anda, misalnya mobil Mercy, hand phone dan
lainnya. Bagaimana komentar Anda?
Saya ndak naik mercy juga ndak apa-apa Mas. Buktinya sekarang mau ikut
mobil Anda, bahkan sambil sarapan. Saya juga sering dijemput dengan
kendaraan biasa, saya malah senang karena mereka melakukan dengan
ikhlas. Adapun mobil mercy itu pemberian dari anak angkat saya (H.
Bambang Kotjo Sumpeno, red), dasarnya kasih sayang. Tidak ada hubungan
kerja apa-apa.
Mereka begitu karena tidak ingin melihat saya kecapekan di jalan,
padahal saya sering pergi. Mercy saya yang dulu juga atas pemberian
orang yang simpati pada saya, Pak Is Anwar, kepala suku Minang di
Jakarta, Baby Benz 1987. Hubungan kerja apa saya dengan beliau? Ndak
ada, Pak Is merasa bersimpati pada saya. Nah, mobil itu sekarang
diganti dengan mobil dari anak angkat saya itu. Yang lama dipakai anak
saya yang bontot.
Anda makan cuma dengan tahu dan tempe?
(Kosim tidak sempat sarapan di rumah, sambil wawancara di mobil ia
menyantap sarapan paginya). Usia saya sudah kepala enam, saya harus
menjaga dari hal-hal yang menimbulkan penyakit agar saya tetap
bermanfaat untuk ummat. Setiap pagi biasanya saya jalan kaki, seminggu
sekali renang. Tapi ini nggak, karena pagi-pagi sudah Anda jemput.
Apalagi saya tadi malam pulang setengah dua belas dari rumah Pak
Somala Wiria (Mantan Direktur BNI 46, red) untuk pengajian. Saya
nyetir sendiri, karena sopir saya yang dari Mabes kakinya bengkak kena
asam urat. Alhamdulillah saya masih kuat bawa mobil sendiri. Tiap
Jum'at malam ada pengajian di rumah beliau.
Ketika menghadiri pemakaman Bu Tien di Ndalem Kalitan, orang bilang,
"Pak Kosim kalau berdiri kok cepat sekali, padahal badannya besar."
Itu karena saya rajin olahraga. Kalau sepi atau malam saya masih
sering mengulang jurus-jurus lama. Semasa di SGO saya belajar bela
diri. Di Pemuda Muhammadiyah saya mengajar pencak silat.
Ketika berlangsung pemakaman Bu Tien, Anda memperkenalkan tahlilan
Sunan Kalijaga. Bagaiaman ceritanya?
Tahlilan berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan artinya
membaca, laa ilaha illallah. Tidak ada orang yang melarang bertahlil.
Tentang tahlilan Sunan Kalijaga itu saya dapatkan ketika duduk di
bangku Sekolah Guru Atas (SGA) tahun 1953. Saya belajar bahasa Jawa,
yang mengajar adalah Bendoro Raden Mas Ki Rono Tjitrosantjoko, murid
kesayangan keluarga Prof. Dr. Ki Purbatjaraka. Beliau ahli bahasa
Jawa, Kawi, Sanskerta, Prancis, Jerman, hampir semua bahasa beliau
bisa, apalagi Inggris dan Belanda. Begitu sayangnya kepada saya,
beliau memanggil saya dengan 'Mas Nurseha'. Beliau bilang, "Wonten
buku sae, monggo panjenengan waos." (Ini ada buku bagus, silakan
dibaca, red.) Beliau tahu saya Islamnya kuat, karena dulu menjadi
musuhnya PKI dan senang baca buku apa saja. Pak Rono tahu kalau saya
sering didaulat teman sekelas untuk mengajar ketika guru tidak ada.
Karena itu beliau kasih saya buku tentang Sunan Kalijaga, yang isinya
tentang proses peng-Islaman tanah Jawa oleh Sunan Kalijaga.
Lantas bagaimana?
Di dalam buku itu disebutkan, kalau ada orang kumpul, Kanjeng Sunang
Kalijaga biasanya membacakan kalimat-kalimat yang mengantar orang
semakin dekat kepada Tuhan. Apalagi kalau orang sedang kesusahan, saat
sensitivitas kepada Tuhan tinggi seklai. Karena itu dibacakanlah
tahlil dan istighfar, seperti yang saya sampaikan di Ndalem Kalitan
tempo hari. (Kosim lantas melantunkan bacaan tahlil itu, red.)
Bahkan dalam buku itu dimuat pesan-pesan Kanjeng Sunan Kalijaga: orang
jangan takut mati, tapi juga jangan takut hidup, sebab hidup merupakan
bekal orang mati. Kanjeng Sunan Kalijaga juga menyusun tembang Kinanti
(Kosim lantas melantunkan lagunya juga). "Ono tangis, layung-layung,
tangise wong wedi mati, gedongono, kuncenono. Moso wurungo wong mati.
Yo podo-podo suyung. Laa ilaha illallahu." Begitu lafalnya. (Ada
tangis penuh rasa takut, tangis orang yang takut mati. Sekalipun di
dalam gedung yang dikunci, tak bakal terhindar. Mari semua prihatin,
ibunya sakit, mari semua prihatin dengan kalimat laa ilaha illallahu,
red).
Karena Anda menghadapi tradisi adat Jawa yang masih kental, maka cara
Sunan Kalijaga masih relevan, begitu?
Betapapun tradisi Jawa itu masih ada, jangan sampai dibabat. Sebab
nanti malah banyak musuh, kan tidak menguntungkan, tapi juga jangan
larut. Maka jalan tengahnya seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga
tadi. Kalau ada orang yang mati ingatkan yang hadir kepada Allah. Yang
mati tetap akan membawa amalnya sendiri. Nah, tahlil yang kita baca
itu untuk yang hidup.
Nyatanya ada seorang menteri yang bilang, "Pak Kosim, saya yang hidup
saja pingin mati, apalagi beliau yang wafat, apa ndak tenang," nangis
dia. Tapi saya bilang, "Jangan ingin mati dulu, periode tugasnya belum
selesai." Pak Fuad Hasan yang ada di sebelah saya mencolek saya,
"Dasar dari dulu juga begitu." Pak Fuad memang suka berkelakar dengan
saya.
Acara yang berlangsung di kediaman Pak Harto mungkin akan ditiru
masyarakat, mengingat budaya paternalistik kita sangat kuat?
Tidak ada yang melarang orang membaca tahlil. Anda lihat yang
diucapkan pada acara tahlilan kemarin kan berbeda dengan biasanya,
bacaannya mudah diikuti orang umum. Lagi pula tidak ada bacaan
macam-macam. Apa orang Muhammadiyah akan melarang tahlilan begini? Pak
AR sendiri pernah diundang mimpin tahlilan di Kauman Semarang, beliau
datang. Yang dibaca ya bacaan biasa seperti tadi. Tidak ada yang
ribut-ribut. Yang penting akhlak pembawanya.
Kalau tradisi peringatan 7 hari, 40 hari, 100 hari bagaimana
menerangkannya?
Itu memang usul saya. Apakah kita akan membiarkan Pak Harto dalam
kesedihan dan kesendirian. Beliau bukan Ketua RT Mas, beliau tumpuan
ratusan juta rakyat. Kalau pikirannya sedang blank lantas ada orang
yang memanfaatkan, yang rugi siapa? Ini yang kita jaga sejak awal.
Lantas kita adakan khataman Qur'an, ada dari PTIQ. Setidak-tidaknya
dengan bacaan al- Qur'an orang jadi lain. Daripada baca mocopat.
Alhamdulillah beliau sudah dapat menunaikan tugasnya kembali.
Saya juga minta kepada putra-putranya untuk selalu menemani beliua
ngobrol di ruang tamu, misalnya. Kalau kelihatan sudah capek baru
dipersilakan tidur. Dengan demikian beliau tidak menyesal punya anak
cucu seperti mereka. Dan putra-putranyapun senang.
Bagaimana peran Ibu Tien dalam tugas Pak Harto?
Terus-terang saya tidak tahu persis, tapi yang jelas Bu Tien sangat
memperhatikan apa yang dikerjakan Pak Harto, jangan sampai salah,
apalagi salah fatal. Bu Tien sangat memperhatikan kepentingan ummat.
Beliau merasakan penderitaan rakyat karena beliau adalah istri
pejuang. Beliau juga sering melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk
ummat. Seperti apa sih dulu ributnya pembangunan Taman Mini Indonesia
Indah, sekarang semua orang merasa membutuhkan. Demikian juga
museumnya sekarang orang merasa senang, bahkan ada museum
Baitul-Qur'an.
Apa yang menarik bagi Anda tentang Bu Tien dan keluarganya?
Beliau-beliau itu orang yang sabar. Dari dulu selalu mengajarkan
putra-putrinya untuk mengaji. Tapi ada saja fitnah yang muncul,
misalnya dikatakan Bu Tien itu Katolik, apalagi setelah beliau
mendapat hadiah rosario dari Paus, geger seperti apa waktu itu. Tapi
kalau orang dikasih tahu bahwa Bu Tien itu Islam, shalat, komentar
yang datang malah sebaliknya. "Iya wong dia (Kosim, red) itu antheknya
Cendana." Begitu.
Jadi meninggalnya Bu Tien sangat besar pengaruhnya pada Pak Harto?
Ya mesti toh Mas. Beliau bukan sekadar istri tapi juga teman dalam
menyelesaikan masalah baik sebagai pribadi, panglima, sampai jadi
presiden. Itu istri, garwo: sigarane nyowo (separoh dari nyawa, red.)
Rasulullah saja ketika ditinggal mati anaknya Ibrahim, menangis. Maka
dimandikannya Ibrahim di pangkuannya. Sampai Umar setengah mencela,
"Nabi, ditinggal mati anaknya saja kok menangis." "Ya Umar, ini adalah
air mata rahmat." Tahun kematian Khadijah disebut aamul huzni, tahun
duka cita. Ini Nabi. Apalagi Pak Harto, menusia biasa.
Apa implikasi meninggalnya Bu Tien?
Saya tidak tahu. Tapi menurut Amien Rais kan ada dua kelompok yang
tidak senang dengan Pak Harto. Pertama, mereka yang dulu menikmati
hasil pembangunan tapi sekarang tidak ikut tampil. Kedua, kelompok
yang kebelet melihat suksesi. Tapi Amien Rais mensinyalir dua-duanya
tidak akan terjadi. Persoalan di PDI, NU, LBH, MA saya lihat bukan
masalah besar. Tapi kalau ABRI sudah pecah, maka negara dan rakyat
dalam bahaya besar.
Anda lihat apakah perpecahan itu memang ada?
Ada gejala rakyat mulai berani kepada ABRI. Dulu PKI kan begitu.
Ketika ABRI mulai takut lantas diperalat PKI, sekarang orang
memperalat oknum ABRI dengan uang ataupun politik.
Apakah ketertarikan keluarga Cendana pada ceramah Anda karena ada
kecocokan dalam materi ceramah dalam idiom-idiom Jawa?
Ya, mungkin juga, saya tidak berani mengatakan begitu. Tapi saya rasa,
meskipun sama-sama Jawa tapi kalau perilakunya menjengkelkan, siapa
sudi. Saya rasa karena kebutuhan fitrahnya terpenuhi. Sejak itu
kemudian putera-putri beliau diminta memanggil saya, "Mbok ya jangan
cari duit terus." Begitulah kira-kira beliau.
Bagaimana perasaan Anda ketika pertama kali mendapat tawaran dari
utusan Bu Tien?
Berat, sungguh berat! Saya minta waktu dua minggu untuk konsultasi
dengan ulama dan orang-orang yang mengabdi di Setneg serta para orang
tua yang pernah mengabdi di Cendana. Mereka semua bilang, "Kamu akan
bisa." Maka bismillah tugas itu saya tunaikan. Alhamdulillah Pak Harto
akhirnya berkenan menunaikan ibadah hajji.
Anda dan KH. Mashuri Syahid MA disebut sebagai orang yang membuat
tuntunan pemahaman dan pengamalan Islam pada keluarga Pak Harto,
bagaimana ceritanya?
Jangan disebut semua seakan-akan dari saya. Pak Harto itu kan
backgroundnya Muhammadiyah, putra-putrinya sejak kecil sudah mengaji.
Guru ngajinya ada yang sudah wafat, dan ada yang masih hidup. Cuma
kemudian agak terputus. Lalu mulai lagi setelah ada kita-kita ini.
Bimbingan apa yang pertama kali Anda berikan kepada putra- putri
Presiden?
Ya akhlak to Mas, dengan contoh-contoh. Pertama kali yang dilihat
orang adalah akhlaknya. Dan itu dimulai dari yang ngajar dulu.
Ketika membandingkan Islam dengan Pancasila, Anda mengatakan Islam
lebih tinggi. Sebagai orang yang dekat dengan Presiden, bagaimana Anda
bisa mengatakannya tanpa beban?
Lho, saya malah heran, mengapa orang lain kok risi mengatakan itu.
Semua jelas, Pancasila itu ra'yu, hasil kesepakatan manusia, yang
kebenarannya tergantung pada kesepakatan manusia. Sedang Islam itu
wahyu yang tidak terbatas dimensi ruang dan waktu.
Apakah tidak takut mengurangi penghargaan kepada Pancasila yang selama
ini dianggap agung?
Pancasila memang agung, selama masih dibenarkan manusia. Tapi kalau
kesepakatannya itu tidak ada, ya tidak lagi. Kalau PKI yang yang
berkuasa misalnya, Pancasila jadi salah. Tapi karena Pancasila tidak
bertentangan dengan Islam, maka Islam mendukung Pancasila. Bahwa kita
menempatkan Islam lebih tinggi, memang harus begitu. Saya dulu kan
lulusaan terbaik nomor tiga BP 7, Mas. Mestinya nomor satu, tapi
karena alasan politis jadi nomor tiga, yang nomor satu Iwan Jaya Azis.
Tapi di Hankam saya lulusan nomor satu, ha..., ha..., ha...
Sebagian orang berpendapat ulama yang dekat penguasa itu jelek, malah
ada hadits yang menyebutkan sebagai pencuri agama.
Hadits itu konteksnya untuk ulama yang mencari muka pada penguasa yang
jelek. Tapi nyatanya kan ada penguasa alim, misalnya Umar bin Abdul
Azis, Umar bin Khaththab. Tapi kalau ada umara yang baik dan ulamanya
berniat baik, maka yang datang adalah rahmat Allah. Ada juga umaranya
jelek, tapi kalau ulamanya ikhlas sampai akhirnya umaranya menjadi
baik, ini juga rahmat. Tapi tetap ada ulama yang berhati iri dan
dengki, kok tidak saya yang dekat dengan beliau, saya kan lebih...
Bagaimana kalau ada ulama yang aibnya dibuka melalui media massa?
Bukan hanya ulama, terhadap aib siapa saja, Islam mengajarkan untuk
menutupi. Eh, ini malah jadi bahan bisnis informasi. Saya tidak
membela siapapun, tetapi berpihak pada yang benar. Ada cara yang lebih
baik. Lihatlah ummat lain, mereka tidak ribut-ribut, padahal skandal
begitu kan ada. Tapi mereka tidak gembar-gembor.
Mungkin maksudnya agar yang bersangkutan insyaf dan mencegah
berkembang kemaksiatan.
Dia memang salah. Tapi kalau dia dipanggil kemudian diberikan nasehat
baik-baik, kenapa sih. Ini malah jadi ajang bisnis. Bayangkan kalau
yang diungkap itu aib anak perempuan, atau saudara Anda, bagaimana
rasanya. Saya tidak membela siapapun. Sebelum munculnya kasus itu,
saya pernah peringatkan yang bersangkutan, "Hati-hati banyak yang
tidak senang Anda. Anda masih muda tapi sudah tenar, mobilnya
ganti-ganti BMW, Pajero, mental belum siap. Kemarin mobilmu sudah
ditembak orang." Jangankan begitu, misalnya Anda pitheten (cacat
dipipi, red), kemudian di depan orang banyak saya bilang, "He! Kamu
kok pitheten," meskipun itu benar, obyektif, tapi tidak normatif. Anda
mungkin bilang, "Pak Kosim belum pernah digolok ya?" Tapi kalau
bilang, "Mas saya punya dokter ahli bedah plastik, kita ke sana yuk."
Tanpa bilang pitheten, Anda ngerti maksud saya dan mungkin lebih
mengena.
Bercampurnya nilai Jawa dan Islam mestinya hanya pada masa transisi,
tapi sekarang malah semakin berkembang.
Segalanya mesti melalui proses. Kita harus menghitung matematika
psikologis, sosiologis, dan matematika antropologis. Yang namanya
aqiqah misalnya, dulu merupakan tradisi jahiliyah, tapi oleh Nabi
di-Islamkan, malah jadi syariat. Bagaimana Kanjeng Sunan Kalijaga
memvisualkan nasehat dan doa-doa pada acara per- kawinan misalnya.
'Gapura' yang berasal dari 'ghafura' mendidik agar undangan mendoakan
dan memintakan ampunan pengantin. 'Padi' menasehatkan agar sang
penganten jangan sampai kekurangan pangan. 'Gedang' (pisang, red);
digeget padang, menasehatkan agar rejeki yang didapatkan jangan
langsung dihabiskan, tapi sebagian dita- bung. 'Cengkir' kencenge
pikir, memperingatkan akan kematangan berpikir pada kedua pihak, sebab
berkeluarga bukan peristiwa sesaat. 'Tebu' mantepe kalbu, mantapnya
hati, sebab sekarang masih ganteng dan ayu, tapi nanti jadi
kakek-nenek keriput. Lantas semua itu tidak ada artinya sebelum adanya
'janur kuning'. Janur berasal dari Nur artinya cahaya, kuning
maksudnya Ning artinya bening.
Jadi simbol-simbol itu masih perlu?
Masih perlu ada. Wong sekarang semua orang ngomong juga simbolis.
Menarik sekali ceramah Anda tentang rumah tangga tadi. Tapi sekarang
banyak kondisi berubah sehingga mempengaruhi struktur dalam rumah
tangga.
Ada faktor internal dan eksternal. Internal, itu menyangkut
kepribadian istri yang telah dibentuk oleh pendidikan dan pengaruh
agama. Kalau istri tidak menempatkan suami sebagaimana mestinya,
artinya penghayatan terhadap agama masih rendah, meskipun ia pintar,
shalat, hajji dan lain- lain., ya repot. Agama tidak hanya 'how to
know' tapi juga 'how to do' yaitu menanamkan nilai-nilai pada diri
sendiri. Shalat, puasa dan hajji tidak menjamin seseorang menjadi
shalihah. Faktor eksternal karena pengaruh lingkungan, teman sekerja,
pergaulan, dan sebagainya ikut punya andil.
Dalam surah an-Nisa Allah berfirman, ar-rijalu qawwamuuna 'alan-nisaa,
laki-laki bertanggungjawab atas wanita. Yang berkewajiban mencari
nafkah dan menghidupi keluarga adalah suami, kalau toh istri bekerja
itu sifatnya membantu. Bahwa rejeki suami seberapa, itu urusan Allah.
Meskipun jabatan dan gaji istri lebih tinggi, tidak diperkenankan
memandang rendah suami. Status istri tetap istri, karena jabatan tidak
mengubah status. Jangan sampai kelebihan yang dikaruniakan Allah
menyebabkan seseorang menjadi superior dibanding yang lain.
Bisa diceritakan tentang masa muda Anda?
Saya pernah aktif di PII, karena aspirasi PII pada ummat Islam. Saat
itu kita berusaha untuk membendung pengaruh PKI dan underbownya
seperti BTI, Lekra, Serikat Buruh, dan sebagainya. Saking asyiknya
ngurus PPI sampai lupa pulang. Pengaruh PKI kita lawan dengan
pengajian dan training- training se-wilayah Ambarawa. Kita pakai jaket
merah, namanya brigade PII, bangga sekali ketika itu.
Bagaimana bentuk kebencian PKI saat itu?
Suatu malam penginapan saya didatangi oleh orang-orang PKI. Waktu itu
saya sudah menjadi wakil kepala sekolah SR. Saya mau dibunuh. Mereka
teriak-teriak, "Keluarkan Mas guru." Itu panggilan saya. Di dalam
rumah ada saya dan teman, Mohammad Kafi. Saya sudah pasrah. Tapi
alhamdulillah Allah menakdirkan lain. Itu terjadi tahun 1958.
Orang tua nggak khawatir?
Orang tua marah-marah karena saya tidak mau ngurusi diri sendiri dan
tidak mau dikawinkan. Tahun 1959 saya jadi kepala sekolah, karena
kepala sekolah sebelumnya pensiun. Saat itu saya disuruh kawin oleh
orang tua bersamaan dengan Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Habis kawin
aktif lagi di PII, bahkan lebih banyak ngurus PII dari pada anak.
Habis, kalau training bulan puasa, menjelang lebaran baru pulang. Ndak
sempat bikin anak. Orang tua marah-marah. Akhirnya kita mikir, sebab
tidak punya apa-apa, sawah tidak punya, rumah kontrak.
Tahun 1959 ingin ke kota sekolah lagi, tapi tidak boleh, akhirnya
keluar dari kepala sekolah. Lantas sekolah di Sekolah Pendidikan
Djasmani, milik IKIP, waktu itu Undip masih swasta. Naik tingkat II
bergabung dengan FKIP jurusan Pendidikan Djasmani Undip. Dan pada
tingkat III menjadi asisten dosen di FKIP. Ketika lulus sarjana muda
namanya berubah lagi menjadi Sekolah Tinggi Olahraga karena ada
Menteri Olahraga Pak Maladi.
Saya juga pernah bekerja di berbagai tempat, di antaranya mengajar di
Akademi Minyak dan Gas, Universitas Islam Sultan Agung (Unisula)
Semarang. Ketika mengajar di Unisula saya juga kuliah di Fakultas
Hukum, tapi nggak selesai.
Nilai apa yang Anda dapatkan semasa aktif di PII?
Kita menjadi orang yang punya cita-cita dan jati diri karena mendapat
celupan Islamiyah. Waktu itu kita anti-pemerintah Orde Lama karena
pemerintah pro-PKI. Tapi sejak Orde Baru kita pro-Orde Baru. Kita
luwes, karena ngerti politik. Waktu jaman PKI kita ikut mengejar
Aidit, ketika bersembunyi di rumah Gushadi di kebun singkong. Waktu
itu kita mengatasnamakan dari Brigade PII. Makanya kita kenal baik
dengan tokoh RPKAD. Dengan Pak Sarwo Edi Wibowo kita akrab. Dari dulu
saya sering ikut perang, bahkan pernah ditangkap Belanda dan
dipenjarakan.
Bagaimana perasaan Anda ketika PII dibubarkan?
PII bubar karena ada orang yang campur tangan, dan mereka ingin PII
bubar dengan cara agar tetap tidak mau Pancasila sebagai asas tunggal
ketika itu. Saya sangat sedih.
Anda sering bilang terbatas ngomong, karena dekat dengan Presiden.
Memang ada himbauan begitu atau mau Anda sendiri?
Ini merupakan disiplin militer. Dalam militer apa yang tidak
diperintahkan jangan dilakukan. Apalagi menyangkut diri orang lain.
Lagi pula saya ingin 'mikul dhuwur mendhem jero'. Bagaimanapun Pak
Harto adalah bapak kami dan Bu Tien adalah ibu kami. Saya merasa
beliau sangat memperhatikan kami.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar