Minggu, 12 Desember 2010

Bagaimana cara mata melihat?



Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu tanpa mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Surat An-Nahl: 78)
Proses penglihatan terjadi secara bertahap. Saat mata melihat benda, kumpulan cahaya (foton) bergerak dari benda menuju mata. Cahaya ini menembus lensa mata yang selanjutnya membiaskannya dan menjatuhkannya secara terbalik di retina mata – bagian belakang mata. Sinar yang jatuh di retina mata ini di ubah menjadi sinyal-sinyal listrik dan diteruskan oleh syaraf-syaraf neuron ke sebuah bintik kecil di bagian belakang otak yang disebut pusat penglihatan. Di dalam pusat penglihatan inilah, sinyal listrik ini diterima sebagai sebuah bayangan setelah mengalami sederetan proses. Dalam bintik kecil inilah sebenarnya penglihatan terjadi, di bagian belakang otak yang sama sekali gelap dan terlindung dari cahaya.
Saat mengatakan “kita melihat”, sebenarnya kita hanya melihat efek-efek impuls yang sampai ke mata kita dan diteruskan ke otak kita setelah diubah menjadi sinyal-sinyal listrik. Jadi, saat kita mengatakan “kita melihat”, sebenarnya kita hanya melihat sinyal-sinyal listrik di dalam otak kita.
Buku yang sedang Anda baca serta pemandangan yang terbentang di kaki langit termuat dalam ruang kecil di dalam otak ini. Hal yang serupa terjadi dengan persepsi lain yang Anda tangkap melalui keempat indra lainnya.

Apa maksud pernyataan bahwa materi merupakan “kumpulan persepsi-persepsi”?
Seluruh informasi yang kita miliki tentang dunia luar, sampai kepada kita melalui kelima indra kita. Dunia yang kita tahu terdiri dari apa yang kita lihat dengan mata, yang kita dengar lewat telinga, yang kita cium dengan hidung, yang kita rasa dengan lidah, dan yang kita rasa lewat sentuhan kulit. Riset modern mengungkapkan bahwa persepsi kita hanyalah respons-respons otak terhadap sinyal-sinyal listrik. Berdasarkan hal ini, orang yang kita lihat, warna-warna, rasa keras melalui sentuhan, dan segala sesuatu yang kita miliki dan yang kita terima sebagai dunia luar, hanyalah sinyal-sinyal listrik yang sampai ke otak kita.
Contohnya sebuah apel: Sinyal-sinyal listrik yang berkenaan dengan rasa, bau, rupa dan kekerasan buah apel sampai ke otak kita melalui syaraf-syaraf dan membentuk gambarannya di dalam otak. Jika syaraf menuju otak terputus, persepsi yang berkenaan dengan buah apel ini akan lenyap. Yang kita indra sebagai apel, sebenarnya merupakan kumpulan persepsi-persepsi yang sampai ke otak kita. Kita tak pernah bisa memastikan bahwa “kumpulan persepsi-persepsi” ini benar-benar ada di luar kita. Kita tak memiliki kesempatan untuk bisa keluar dari otak kita dan menyentuh sesuatu yang ada di luar: yang kita miliki hanyalah persepsi-persepsi kita

Apakah keberadaan dunia luar suatu keharusan?
Kita tak pernah tahu apakah dunia luar benar-benar ada, karena setiap benda hanyalah kumpulan persepsi-persepsi. Dan persepsi-persepsi ini hanya ada dalam pikiran kita. Maka, satu-satunya dunia yang benar-benar ada adalah dunia persepsi-persepsi. Satu-satunya dunia yang kita tahu hanyalah dunia yang ada dalam pikiran kita; dunia yang dirancang, direkam, dan hidup di sana. Pendek kata, dunia yang diciptakan dalam pikiran kita. Itulah satu-satunya dunia yang kita yakini keberadaannya.

Apakah kita tertipu oleh persepsi-persepsi tanpa ada korelasi material yang nyata?
Benar, kita tertipu dengan keyakinan pada persepsi-persepsi tanpa ada korelasi material yang nyata. Demikian ini karena kita tak pernah bisa membuktikan bahwa persepsi-persepsi yang kita tangkap melalui otak memiliki korelasi material. Persepsi-persepsi itu bisa saja timbul dari suatu sumber “buatan”. Kita sering mengalaminya dalam mimpi kita. Kita seolah mengalami suatu kejadian, melihat orang-orang, benda dan susunan-susunan yang seolah nyata. Padahal kenyataanya tidak ada, hanya persepsi-persepsi saja. Tak ada perbedan mendasar antara mimpi dan “dunia nyata”; keduanya sama-sama dialami dalam otak.

Jika semua keberadaan material yang kita tahu hanyalah persepsi-persepsi, lalu apa itu otak?
Karena otak kita pun merupakan bagian dari dunia fisik seperti halnya tangan, kaki, atau benda lainnya, maka otak pun merupakan persepsi seperti yang lainnya. Mimpi merupakan contoh yang baik untuk menjelaskan masalah ini. Anggaplah kita sedang melihat sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, kita memiliki tubuh khayalan, tangan khayalan, mata khayalan, dan otak khayalan. Jika dalam mimpi ini, kita ditanya, “Di mana Anda melihat?” Kita akan menjawab “saya melihat dalam otak saya”. Padahal sebenarnya, tidak ada otak di sana, melainkan hanya kepala dan otak khayalan. Wujud yang melihat bukanlah otak khayalan dalam mimpi, melainkan “wujud” yang derajatnya jauh lebih tinggi dari itu

Lalu siapa atau apa yang mengindra?
Sejauh ini, kita meyakini bahwa yang melakukan pengindraan adalah otak. Namun jika kemudian kita analisis otak ini, yang kita dapatkan hanyalah molekul-molekul lemak dan protein, yang juga ada pada organisme-organisme hidup lain. Artinya bahwa di dalam gumpalan daging yang kita sebut sebagai “otak” ini, tak ada sesuatu apapun yang bisa mengamati, yang memiliki kesadaran, atau yang menciptakan wujud yang kita sebut sebagai “diri pribadi”.
Jelas bahwa wujud yang melihat, mendengar dan merasakan ini bersifat supra-material. Wujud ini “hidup” dan tidak berupa materi ataupun gambaran dari materi. Wujud ini bersekutu dengan persepsi-persepsi di depannya dengan menggunakan gambaran tubuh kita.
Wujud ini adalah “ruh”. Allah menyatakannya dalam Al-Qur’an:
Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Allah. Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan tentangnya melainkan sedikit. (Surat Al-Isra’: 85)

Karena dunia material yang kita indra hanyalah persepsi-persepsi yang dilihat oleh ruh, lalu apa yang menjadi sumber persepsi-persepsi ini?
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, materi tidak memiliki wujud yang dapat mengatur dirinya sendiri. Materi hanyalah sebuah persepsi, sesuatu yang sifatnya “artifisial” (buatan). Karenanya, persepsi-persepsi ini mestinya disebabkan oleh kekuatan lain. Dengan kata lain, persepsi adalah sesuatu yang diciptakan. Jelas bahwa ada Sang Pencipta. Yang menciptakan seluruh alam material, yakni kumpulan persepsi-persepsi, yang diciptakanNya tanpa henti. Pencipta ini adalah Allah Yang Maha Kuasa. Fakta bahwa langit dan bumi bukanlah sesuatu yang stabil, dan keberadaanya hanyalah karena diciptakan Allah. Semuanyanya akan lenyap setelah Dia menghentikan penciptaannya. Hal ini dijelaskan dalam ayat berikut ini:
Allah lah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Sungguh jika keduanya lenyap, tak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya kecuali Allah. Sungguh Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Surat Fatir: 41)

Apa yang dimaksud dengan Allah meliputi segala sesuatu dan Dia lebih dekat kepada kita dibanding urat leher kita sendiri?
Materi tersusun hanya dari persepsi-persepsi. Satu-satunya wujud nyata dan mutlak hanyalah Allah. Artinya, hanya Allah lah yang ada; segala sesuatu selain dia hanyalah wujud semu. Karenanya Allah “ada dimana-mana” dan meliputi segala sesuatu. Segala yang ada merupakan gambaran yang Allah proyeksikan kepada kita.
Karena setiap wujud material merupakan persepsi, maka ia tak dapat melihat Allah. Sebaliknya, Allah melihat seluruh materi yang diciptakannya dalam berbagai bentuknya. Artinya, kita tak dapat menangkap wujud Allah dengan mata kita, namun Allah meliputi kita dari dalam, dari luar, dalam pandangan dan pikiran. Kita tak mampu mengucapkan perkataan apapun selain dengan pengetahuan dan ijinNya, bahkan tanpa Dia bernafaspun tidak akan bisa.
Meskipun kita melihat persepsi-persepsi ini di sepanjang hidup kita, wujud terdekat kepada kita bukanlah salah satu di antaranya, melainkan Allah sendiri. Rahasia ayat berikut tersembunyi dalam kenyataan ini:
“Dia lah yang menciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya; karena Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (sendiri). (Surat Qaf: 16)
Jika manusia berpikiran bahwa tubuhnya hanya terdiri dari “materi”, ia tidak akan dapat memahami fakta penting ini. Jika ia menganggap otaknya sebagai “dirinya”, maka letak dunia luar adalah 20-30 cm dari dirinya. Namun jika dia mengerti bahwa materi hanya lah imajinasi, maka pengertian luar, dalam, jauh ataupun dekat tak memiliki arti sama sekali. Allah meliputi dirinya dan Dia “sangat dekat” kepada dirinya.

Apakah cinta saja, kepada Allah, tidak cukup? Apakah takut kepada Allah itu suatu keharusan?
Menurut Al-Qur’an, cinta sejati menuntut kepatuhan kepada Allah dan menghindari apa yang tidak diridhaiNya. Jika kita perhatikan kehidupan dan perbuatan orang-orang yang merasa yakin bahwa cinta saja sudah cukup, dapat kita lihat bahwa mereka tidak teguh dengan pendiriannya itu. Sebaliknya, seseorang yang mencintai Allah dengan setulus hati, sangat patuh kepada perintahNya. Ia menghindari hal-hal yang dilarangNya serta memelihara dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang diridhai Allah. Ia menunjukkan cintanya dengan mencari ridha Tuhannya di setiap saat dengan rasa segan, keyakinan, kepatuhan dan kesetiaan kepadaNya.
Karena sikap prihatinnya itu, ia sangat takut akan kehilangan ridhaNya atau menimbulkan murkaNya. Mengungkapkan cinta hanya di bibir saja, namun hidup dengan melewati batas-batas yang dilarang Allah, tentunya merupakan sikap yang munafik. Allah memerintahkan manusia untuk takut kepadaNya:
Bertaubatlah kepadaNya dan takutlah kepadaNya, serta dirikanlah shalat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang memepersekutukan Allah. (Surat Ar-Rum: 31)

Seberapa besar mestinya rasa takut kita kepada Allah?
Setiap orang yang menyadari keberadaan Allah dan mengenal sifat-sifatNya yang agung merasa sangat takut kepada Allah. Selain Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah juga adalah Al-Qohhar (Maha Menguasai), Al-Hasib (Maha Membuat Perhitungan), Al-Muazzib (Maha Menghukum), Al-Muntaqim (Maha Penyiksa), Al-Saiq (Yang Memasukkan ke neraka). Karenanya, umat Islam takut kepada Allah yang gaib. Mereka mengetahui tak ada seorang pun yang bisa selamat dari hukumanNya, karena mereka tahu harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Mereka selalu berusaha menghindari perilaku yang tidak disukai Allah.
Harus difahami bahwa takut di sini memiliki konotasi yang berbeda dengan pengertian takut pada masyarakat tak beragama. Takut di sini memberikan rasa aman bagi yang mengimaninya, dan memotivasi untuk beramal mencari ridha Allah.
Berikut ini adalah perintah Allah kepada orang-orang yang beriman:
Maka takutlah kepada Allah menurut kesanggupanmu, dan dengarlah serta ta’atlah; dan nafkahkanlah apa yang baik bagi dirimu. Barangsiapa terpelihara dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surat At-Taghabun: 16)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar