Minggu, 08 Januari 2012

SISTEM MATA PENCAHARIAN


SISTEM MATA PENCAHARIAN

MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT DI TPA BANTAR GEBANG

KELOMPOK VI



            NAMA                                                  NPM
1.    HUMAIROH                                         201014500633
2.    GUSTINA AMELIA                               201014500585
3.    SRI HARTATI                                        201014500634
4.    ARNISA                                                 201014500590
5.    NOVAN MAULANA                             201014500774
6.    DINA ELVA                                          201014501036






BAB I
PENDAHULUAN

 Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial, manusia tak dapat dilepaskan dari kehidupan bermasyarakat. Manusia memiliki id, ego, dan superego dalam memenuhi kebutuhan mereka. Kebutuhan manusia dapat dibagi menjadi delapan tingkatan (Abraham Maslow) dan kebutuhan yang paling dasar adalah Physiological Needs atau kebutuhan fisik yang dapat dipenuhi dengan pakaian, makanan, dan kebutuhan akan reproduksi. Manusia harus memenuhi kebutuhan yang paling dasar terlebih dahulu baru dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan di tingkat selanjutnya. Untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan tersebut, manusia harus bekerja.
Hidup di kota besar seperti di Jakarta ini, dapat kita temui berbagai macam pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Mulai dari pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan kepintaran sampai pekerjaan yang tidak membutuhkan kedua hal tersebut pun dijalani sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin kompleks. Mulai dari pegawai kantoran yang gajinya dapat untuk membeli mobil mewah sampai pemulung dengan penghasilan yang jauh dari cukup dapat kita temui dalam keseharian hidup di setiap kota di Indonesia, terlebih di kota Jakarta.
Nyatanya, hidup di Jakarta yang menjadi pilihan banyak orang dari daerah tidak semulus yang mereka bayangkan. Gambaran kota Jakarta yang merupakan kota metropolitan dan pusat pemerintahan sepertinya menjanjikan lapangan pekerjaan bagi para urban yang pindah ke kota Jakarta. Namun apa jadinya? Hidup mereka di kota metropolitan ini tak lebih baik dari hidup di desa asal mereka. Banyak dari antar mereka yang terpaksa harus mengais rejeki dengan meminta-minta di jalanan atau harus memunguti sampah di berbagai tempat sebagai pemulung.
Dalam makalah ini akan dibahas banyak hal mengenai salah satu mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat di Jakarta, yaitu: pemulung. Bantar Gebang kami pilih menjadi tempat  karena Bantar Gebang yang terletak di wilayah Kota Bekasi itu merupakan TPA (Tempat Pemusnahan Akhir) bagi sampah-sampah dari seluruh warga Jakarta dan di sana terdapat pemukiman pemulung yang menjadi objek dalam pembahasan makalah kami kali ini.

Rumusan Masalah

          Dalam laporan ini, akan banyak dibahas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan suka duka hidup di pemukiman pemulung, misalnya:
1.    Jumlah penduduk yang tinggal dilokasi TPA Bantar Gebang
2.    Mengetahui mereka memungut sampah dari pukul berapa sampai pukul berapa
3.    Kondisi ekonomi dan penghasilan pemulung
4.    Dampak dari tinggal didaerah TPA Bantar Gebang.

Tujuan
         Tujuan dibuatnya laporan ini adalah untuk memenuhi tugas Antropologi untuk dapat mengenal lebih dekat para pemulung dan lingkungan hidupnya.

Manfaat

1. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada pembaca tentang pemulung dan lingkungan hidup mereka
2. Memberikan gambaran mengenai sulitnya mencari sesuap nasi di   Jakarta
3. Memberikan himbauan kepada pembaca untuk lebih berempati terhadap orang-orang yang kurang beruntung dari kita
4. Memberikan gambaran kepada pembaca bahwa pemulung juga    menginkan hidup layak seperti kita





BAB II
PEMBAHASAN

 Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) Sampah
          Pada tahun 1986 Pemerintah DKI Jakarta mulai membangun TPA Bantar Gebang. Bantar Gebang dinilai sangat cocok untuk dijadiakan TPA karena lahannya yang cekung dapat dijadikan tempat pengumpul sampah dan lokasi yang jauh dengan permukiman penduduk. Areal ini semula merupakan bekas lahan galian tanah untuk kepentingan pembangunan beberapa perumahan di Jakarta, seperti Sunter, Podomoro, dan Kelapa Gading serta perbaikan jalan di Narogong.
          Areal TPA Bantar Gebang mencakup 3 desa dari 8 desa yang ada di wilayah kecamatan Bantar Gebang, yaitu desa Ciketing, desa Cikiwul, dan desa Sumur Batu. TPA Bantar Gebang telah dilengkapi dengan pembangunan penyiapan lahan, perpipaan untuk pengumpulan air sampah, jalan permanent, tanggul jalan, saluran drainase, dan ventilasi.

Letak dan Luas Wilayah

          Kecamatan Bantar Gebang merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kota Bekasi. Kecamatan ini berdiri pada tahun 1981 dan merupakan pertambahan dari kecamatan Setu. Batas-batas wilayah Bantar Gebang:
- Sebelah Utara berbatasan dengan daerah Tambun
- Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Bogor
- Sebelah Timur berbatasan dengan daerah Setu
- Sebelah Selatan berbatasan dengan kabupaten Bogor
          Daerah Bantar Gebang dan sekitarnya dilalui oleh jalur utama Jalan Raya Bekasi-Bogor dan sekaligus sebagai daerah industri, permukiman, dan pertanian.
          Kondisi umum pemulung di Bantar Gebang Bekasi bersifat heterogen yang terdiri dari multi etnis diantaranya dari etnis sunda yaitu berasal dari indramayu,karawang,subang,cirebon dan bekasi utara. Jawa yaitu Semarang,Surabaya,solo dan pasuruan dan sebagian besar dari madura,batak,sumatera.

Keadaan Penduduk
          Pesatnya kegiatan pembangunan di wilayah kecamatan Bantar Gebang merupakan daya tarik tersendiri bagi penduduk daerah lain. Hal ini terutama disebabkan oleh banyaknya perusahaan-perusahaan yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 terjadi peningkatan urbanisasi yang cukup signifikan. Gejala ini juga diikuti oleh terdapatnya peningkatan jumlah pendatang yang mendirikan rumah liar di sekitar TPA. Kondisi lingkungan yang buruk berpengaruh pada kesehatan penduduk khususnya anak-anak yang diperlihatkan dengan penampilan yang tidak sehat. Hal ini diperburuk lagi dengan keikutsertaan anak-anak membantu orang tuanya memilah sampah berupa plastik, botol, kaca, kain, dan benda-benda lain yang memiliki nilai tukar yang cukup berarti. Penyakit yang diderita oleh penduduk di sekitar TPA Bantar Gebang adalah Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), penyakit gigi, infeksi kulit, anemia, diare, disentri, pneumonia, dan infeksi telinga.
          Status Pemulung lokal di Bantar Gebang kependudukannya jelas memiliki KTP,KK,Rekening listrik,SPPT/PBB. Rumah pemulung berada diluar pagar TPA Bantar Gebang. Sedangkan pemulung pendatang tidak memiliki KTP,KK, dan mengontrak dilokasi yang tidak jauh dari lokasi TPA.
          Pemulung Di TPA Bantar Gebang umumnya termasuk dalam kelompok penduduk produktif sebanyak 83%. Mereka dominan berjenis kelamin laki-laki sebanyak 75%, sedangkan sisanya 25% adalah wanita. Banyak diantara pemulung berpendidikan SD sebanyak 45%.
           Jumlah pemulung di TPA Bantar Gebang bejumlah 6.000 orang tidak ada jumlah pemulung yang tercatat secara resmi. Pemulung rata-rata berumur 15-50 tahun. Jumlah pemulung berumur lebih dari 50 tahun hanya sedikit dan pemulung anak-anak sangat kecil.
Kondisi Ekonomi
          Aktivitas keseharian pemulung,sebagaimana pekerja dan pemulung diwilayah   lainnya. Aktivitas pemulung dipagi hari (pukul 05.00-06.00 WIB). Pada TPA Bantar Gebang dimulai dengan persiapan-persiapan untuk bekerja pada hari tersebut. Aktivitas ini dilakukan setelah sarapan pagi. Umumnya pemulung mulai bekerja pada pagi hari pukul 08.00, pemulung dimulai ketika truk pengangkut sampah ke TPA Karena saat itu pemulung akan mengais barang bekas baru.
         Pengumpulan barang bekas dilakukan pemulung diarea TPA hingga siang hari pada pukul 12.00. Proses pemulung bekerja adalah mengais barang-barang bekas sambil terus berpindah tempat membawa hasil pulungnya. Pekerjaan pemulung dilanjutkan setelah istirahat dan berlangsung hingga sore hari. Sore harinya pemulung memilah milah hasil pulungannya dan mengepak jika ingin di timbang atau dijual pada hari itu.
         Rata-rata pendapatan pemulung setiap harinya Rp. 17.630,- sedangkan pendapatan perbulannya bisa mencapai Rp. 440.750,- Jumlah pendapatan sebesar ini tidak cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, biaya sekolah dan kebutuhan lainnya.

Tahapan pekerjaan pemulung setiap hari di Bantar Gebang
1.    Pengumpulan barang bekas pukul 08.00-12.00
2.    Istirahat makan siang pukul 12.00-13.00
3.    Lanjutan kerja pengumpulan barang bekas pukul 13.00-15.00
4.    Pemilihan atau sortir dijemur pukul 15.00-16.00
5.    Pengumpulan barang bekas pada malam hari pukul 19.00-22.00



Tinjauan Aspek Ekonomi dan Sosial
Krisis moneter tahun 1997 memberikan efek terhadap TPA Bantar Gebang. Sampah menjadi tumpuan sumber ekonomi alternatif bagi masyarakat urban. Tumbuhnya perumahan liar di sekitar TPA menimbulkan permasalahan yang perlu disikapi.
Masyarakat di sekitar TPA mengambil kesempatan memilah sampah organik dan anorganik. Plastik, botol bekas, kaleng, kaca merupakan bahan bekas yang dapat didaur ulang. Kontribusi pemulung dalam mendaur ulang sampah cukup besar, tetapi proses pencucian sampah plastik belum memperhatikan aspek kebersihan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah lalat yang jumlahnya sangat banyak.
Pemilahan sampah anorganik membantu sistem sanitasi landfill (membuang dan menumpuk sampah ke suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah tersebut kemudian menutupnya dengan tanah) karena sampah organik telah terpisah, tetapi upaya pemilahan belum optimal sehingga masih ditemukan sampah organik dan anorganik masih tercampur. Plastik yang tidak terurai ini dapat menimbulkan masalah lingkungan.
Usaha pengumpulan sampah plastik, kaca, besi memberikan nilai positif bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar TPA Bantar Gebang karena limbah ini merupakan komoditi yang bernilai ekonomi.
Jenis barang bekas yang dikumpulkan yang paling dominan dikumpulkan setiap harinya adalah plastik,PE dan plastik asoy (sampah organik), kardus, besi,kaleng, barang bekas yang dikumpulkan pemulung sacara potencial bernilai ekonomi.

Peranan masing-masing status sosial di TPA Bantar Gebang
1.    Bos Besar
-       Sebagai majikan
-       Pemimpin pendapat
-       Sebagai lembaga pemasaran atau agen
2.    Bos kecil
-       Sebagai juragan atau majikan kecil
-       Penerus komunikasi (keatas dan kebawah)
-       Sebagai pedagang, collector(pengumpul)
3.    Pemulung
-       Sebagai pekerja para bandar
-       Sebagai pengikut
-       Sebagai producen.


Komunitas Sampah Bantar Gebang
Gurun sampah adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan TPA Bantar Gebang. Sejauh mata memandang aneka wana-warni terutama warna hitam dari sisa kaleng, kertas, plastik, mendominasi pemandangan. Asap mengepul disertai bau menyengat yang membuat perut terasa teraduk-aduk. Begitulah pengamatan langsung di TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Sementara itu para pemulung yang berpakain kotor, tua, terkadang bertambal, dengan penutup kepala seadanya, kumuh adalah kesan yang tertangkap dari komunitas sampah Bantar Gebang. Suasana agak riuh terjadi manakala truk pengangkut sampah datang. Para pemulung dengan berjuta harapan mengejarnya. Mengerahkan daya upayanya untuk berlomba, berebut, mengais, tumpukan sampah satu persatu.
Uniknya, pemandangan ini terlihat sebatas pada ibu-ibu tua atau anak-anak saja. Tak terlihat remaja laki-laki ataupun kaum lelaki. Hal ini disebabkan karena kaum pria sudah mangkal di bandar-bandar sampah, dan merekalah yang menguliti serta menyortir terlebih dahulu. Sisanya, dibuang ke Bantar Gebang dan menjadi rebutan kaum wanita serta anak-anaknya. Tentu dengan penghasilan dan imbalan yang berbeda.
Saemi (40) adalah satu dari sekian banyak pemulung yang tinggal di pemukiman Bantar Gebang. Pemukiman tempat tinggal Saemi dan beberapa orang lainnya yang berupa rumah petak di salah satu bagian kecil di Bantar Gebang sangat jauh dari standar kebersihan. Tumpukan sampah plastik yang membentuk sebuah kolam besar menempati sebagian lahan di depan rumah petak mereka. Jalanan yang kami lewati sebagian besar merupakan tumpukan-tumpukan sampah yang berserakan. Bau busuk dari beranekaragam sampah sangat menusuk hidung disertai dengan banyaknya lalat berterbangan di sekeliling rumah petak.
Saemi adalah seorang urban asal Kerawang yang memutuskan untuk pindah ke Jakarta sejak bertahun-tahun lalu karena di desa asalnya ia tidak mendapatkan pekerjaan. Menurutnya, di sana juga sangat sulit mendapatkan air karena bencana kekeringan. Demi mencari sesuap nasi untuk dirinya sendiri saja, Saemi harus berangkat dari pukul 5 pagi dari pemukimannya sekarang di Bantar Gebang menuju kawasan Cangkrang di Sunter untuk memunguti sampah. Saemi mengaku sudah 4 kali lebaran ia tidak pulang kampung karena tidak ada biaya. Ternyata hidup di Kota Jakarta tidak semudah yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Seperti katanya, “Penghasilan dari memungut sampah harus saya setor ke bos, terus saya dapat duit buat makan. Itupun masih harus mengutang.”
Berdasarkan survey, MCK penduduk masih jauh dari Kriteria sehat karena jarak sumur sebagai sumber air dan kakus cukup dekat. Air yang mengalir juga sangat sedikit dan rasanya asin. Keadaan ini memperparah kondisi lingkungan TPA yang ditandai dengan banyaknya keluhan penyakit yang dialami penduduk.
Kemiskinan dan kurangnya pengetahuan, membuat komunitas ini tidak sempat memperhatikan kesehatan. Makanan bersih, rumah layak, atau pakaian lumayan, semua bagai angan-angan yang sulit jadi kenyataan.
Maut Mengintip Di balik Gunung Sampah
Kerugian yang ditimbulkan akibat sampah sangat besar. Misalnya kerugian ekonomi, lingkungan, estetika, dan yang terpenting kerugian di bidang kesehatan. Besar dana yang dikeluarkan oleh Pemda DKI untuk mengatasi masalah sampah, mulai dari sarana transportasi, gaji karyawan, sampai membayar sewa pembuangan akhir di Bantar Gebang.
Dari segi lingkungan, Bantar Gebang sudah sarat pencemaran. Baik itu pencemaran udara, tanah, dan air. Pencemaran lingkungan inilah yang sebenarnya berkait erat dengan masalah kesehatan. Hal lain yang menjadi taruhan nyawa bagi pekerjaan memulung ini yaitu longsornya sampah-sampah. Kejadian ini banyak terjadi di kawasan Bantar Gebang sehingga menyebabkan banyak memakan korban atas longsornya sampah tersebut disaat pemulung ini sedang memungut sampah seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.








BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pemulung tak dapat kita hindarkan dalam kehidupan sehari-hari di kota Jakarta. Banyak pemulung yang mengais rejeki dari tumpukan sampah di Jakarta sebagian besar bukan merupakan penduduk asli kota Jakarta. Mereka adalah para urban yang nekad mengadu nasib di Jakarta demi mencari penghidupan yang lebih baik daripada di kampung halamannya.
Keadaan tersebut harus mereka hadapi mengingat semakin banyaknya kebutuhan diikuti dengan meningkatnya harga barang-barang pemuas kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik mereka, mereka harus melakukan segala hal, termasuk menjadi pemulung.
Kawasan Bantar Gebang yang bertahun-tahun menjadi TPA (Tempat Pemusnahan Akhir) bagi sampah-sampah di Jakarta adalah tempat yang sangat tidak layak untuk dijadikan tempat pemukiman bagi para urban yang mengadu nasib di Jakarta dengan menjadi pemulung. Tentu saja tempat tersebut sangat tidak memenuhi criteria standar untuk kebersihan dan kesehatan. Namun keadaan ini dimanfaatkan oleh para pemulung untuk mengais rejeki. Pemulung yang bermukim di TPA Bantar Gebang tersebut memilah sampah organik dan anorganik. Kontribusi mereka dalam mendaur ulang sampah cukup besar, tetapi proses pencucian sampah plastik belum memperhatikan aspek kebersihan.
Walaupun kehidupan di Jakarta tak jauh lebih baik dari kehidupan di kampung halaman mereka, namun setiap habis lebaran semakin banyak saja para urban yang berdatangan ke Jakarta dari pada orang yang pulang kampung. Bagi mereka, setidaknya masih banyak hal di Jakarta yang dapat dijadikan uang. Bahkan sampah di Jakarta masih dapat dijadikan komoditi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan begitu mereka dapat terus bertahan hidup di Kota Jakarta dan enggan pulang kampung.


           SARAN

Semakin banyaknya masyarakat Jakarta yang hidup di bawah garis kemiskinan, tentu tingkat kejahatan juga akan semakin meningkat. Dengan begitu diharapkan kerjasama dari bebagai pihak untuk dapat mengatasi hal tersebut. Tak hanya Pemerintah, peran serta pihak swasta juga diharapkan untuk mentertibkan kehidupan di kota Jakarta.
Untuk mengatasi masalah pemulung ini memang sangat sulit dilakukan mengingat memang sudah tidak ada tempat lagi di Jakarta untuk menampung para pemulung di tempat lain selain di Bantar Gebang. Para urban yang terus berdatangan membuat Kota Jakarta semakin padat penduduk. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah atau pihak swasta adalah dengan lebih memperhatikan sanitasi dan kesehatan di pemukiman pemulung, dalam hal ini adalah Bantar Gebang. Hal tersebut dapat dimulai dengan menyediakan saluran air bersih dan memperbanyak MCK untuk mereka.
Dengan memberikan perhatian terhadap kebersihan dan kesehatan bagi para pemulung di lingkungan sekitar mereka, niscaya tingkat kematian bagi para pemulung dapat ditekan dan dapat membantu memperbaiki penghidupan mereka.










DAFTAR REFRENSI

www.bappedajakarta.o.id/jkt bangun/#rencana
Iryanto, Tata. 2000. Kamus Bahasa Indonesia. Surabaya : Indah Surabaya
http://www.bappedajakarta.go.id/images/prediksisampahbig.gif
http:www.bappedajakarta.go.id/jktbangun/#rencana sampah
http://www.indoconstruction.com/200108/#Ir. Franciscus S Hardianto, MSCE, PE.
www. Google. com


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar