BAGAIMANA CARA MENARIK KONSUMEN MEMAKAI PRODUK
DALAM NEGERI
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
Disusun oleh kelompok 3
1. Gustina Amelia 201014500585
2. Tio Irmansyah 201014500579
3. Muliyanto 201014500577
4. Nela Chostantia 201014500574
5. Raden Ummul Syahidah 201014500588
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
JAKARTA 2011
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan ridho Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah Bahasa Indonesia ini tepat waktu.
Makalah kami yang berjudul “Bagaimana Cara Menarik Konsumen Memakai Produk Dalam Negeri” ditunjukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia, Program Studi Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial Universitas Indraprasta PGRI.
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yulia Agustin, S.Pd selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia, yang telah membimbing dan memberikan saran serta masukan kepada kami. Kemudian kami tidak lupa pula mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan motivasi dan dukungan kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami menyadari sepenuhnya dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Kekurangan tersebut karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan kemampuan, waktu, serta tenaga. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah kami harapkan.
Jakarta, 12 Agustus 2011
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi Masalah 1
C. Pembatasan Masalah 1
D. Perumusan Masalah 2
E. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Perdagangan Bebas 3
B. Bagaimana cara para produsen menarik hati masyarakat untuk menggunakanproduk dalam negeri 3
C. Cintai Produk Indonesia Sebagai Wujud Cinta Tanah Air 7
D. Bagaimana Peran Pemerintah Mengatasi Perdagangan Bebas 10
BAB III PENUTUP 12
A. Kesimpulan 12
B. Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banjir produk luar negeri di pasar domestik terus berlangsung. Situasi ini menuntut kepedulian konsumen, pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat Indonesia untuk saling bahu–membahu bekerja sama memprioritaskan penggunaan produk Indonesia. Perlu dilakukan langkah terpadu untuk mengajak masyarakat dan pihak-pihak terkait agar lebih Gemar pada Produk Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Pengaruh perdagangan bebas di dunia berdampak sangat besar di negara ini. Banyaknya produk-produk luar negeri yang berkualitas dunia membuat para peminat akan produk dalam negeri menurun. Mudahnya akses mendapatkan barang-barang tersebut membuat para peminat mulai meninggalkan produk-produk buatan sendiri. Selain dengan mudahnya akses produksi hal-hal yang berpengaruh dalam menarik minat pembeli adalah desain dan teknologi yang digunakan. Semakin baik desain dan semakin modern serta canggih teknologi yang digunakan maka semakin banyak pula peminat yang ingin mendapatkan barang tersebut.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka dalam membahas latar belakang pengaruh perdagangan bebas yang berdampak sangat besar pada rumah industri mengakibatkan para produsen mengalami kerugian karena masyarakat lebih memilih barang-barang buatan luar negeri ketimbang buatan dalam negeri.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh perdagangan bebas pada industry dalam negri
2. Bagaimana caranya agar masyarakat Indonesia memakai produk buatan dalam negri ketimbang buatan luar.
E. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan materi ini adalah :
1. Untuk mengetahui kenapa masyarakat Indonesia lebih memilih produk buatan luar.
2. Bagaimana cara supaya masyarakat memakai produk dalam negeri
3. Apa tindakan pemerintah untuk menghimbau masyarakat menggunakan produk dalam negeri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perdagangan Bebas
Kita tahu, sebagai konsekuensi mengikuti "pasar bebas" karena globalisasi maka banjir produk luar negeri tak terhindarkan lagi. Membanjirnya produk luar negeri tentu saja membawa dua akibat penting; positif dan negatif. Positifnya adalah pilihan produk semakin banyak, persaingan akan meningkatkan daya kompetitif bagi produk lokal. Negatifnya tentu [kalau tidak hati-hati] akan mematikan produk lokal, meningkatnya mental konsumen impor dan yang paling parah adalah membanjirnya pengangguran dan berubahnya kita menjadi bangsa kuli.
Untuk itu, perlu langkah-langkah luas yang meliputi moral, politik dan ekonomi agar globalisasi bukan hanya membawa kutukan tetapi juga berkah. Secara moral, semua aparatur pemerintah harus memprioritaskan penggunaan produksi dalam negeri. Secara politik, semua aparatur pemerintah mendorong, mengembangkan dan melindungi [berpihak] pada produk dalam negeri lewat undang-undang dan keputusan politik. Secara ekonomi, para pelaku bisnis harus saling bahu membahu mendorong rakyat memprioritaskan produknya sendiri.
B. Bagaimana cara para produsen menarik hati masyarakat untuk menggunakanproduk dalam negeri
Permasalahan tentang kurangnya minat masyarakat Indonesia dalam membeli produk anak bangsa bukan semata-mata disebabkan oleh kecintaan kami pada merek luar negeri melainkan karena kurangnya perhatian produsen terhadap keinginan konsumen: tidak memberikan barang yang bermutu, tidak menyediakan layanan purna jual, serta kurang mampu mengemas, menjual, produk yang baik.
Produk buatan Indonesia yang dijual di dalam negeri sering bermutu rendah dibandingkan dengan yang dijual di luar negeri. Saya akan kemukakan beberapa contoh kasus yang dimulai dari pengalaman teman saya sewaktu tingga di Kanada. Sewaktu dia mengikuti program pertukaran pelajar di sana, dia bercerita mengenai sebuah buku tulis bagus yang ia lihat di sebuah toko buku. Buku tulis itu sebetulnya sederhana saja dan tidak berbeda dengan buku tulis pada umumnya, tetapi mutu kertasnya sangat bagus sekali. Sewaktu ia melihat ke sampul belakang buku tersebut, dia terkejut sewaktu melihat tulisan Made in Indonesia. “Keren banget, buku tulis bagus ini ternyata buatan Indonesai!” kata teman saya. Sekejap kemudia dia langsung merasa heran karena buku bagus buatan dalam negeri ini ternyata tidak pernah ia temukan di toko buku manapun di Jakarta. Justru buku tulis produk lokal yang ada di tokok buku seperti Gramedia atau Gunung Agung malah tidak menyamai buku tulis Made in Indonesia yang ia temukan di Kanada.
Mendengar cerita itu, saya langsung teringat pengalaman lucu Pak Bondan Winarno yang membeli gaun indah nan mahal di sebuah butik terkenal di Amerika dan sewaktu pulang kembali ke Indonesia, mendapati kenyataan kalau busana tersebut adalah hasil produk Indonesia, seperti yang tertera di label baju (Seratus Kiat 1988). Anehnya, busana yang mutu sama baiknya, karya desainer Indonesia, justru sulit dicari. Contoh lainnya, di koran Kompas, saya pernah membaca artikel mengenai pengrajin kulit di Sidoarjo yang sudah biasa menerima pesanan dari label terkenal dunia--Gucci, Braun Buffel, Louis Voitton, Bally--untuk membuat produk kulit seperti sepatu, dompet, dan tas tangan. Saya sendiri sudah melihatnya secara langsung ketika berkunjung ke sana.
Produk yang sudah dibuat nantinya akan ditempeli label merek di atas dan selanjutnya dikirimkan ke luar negeri dan dijual kembali. Hal ini bisa terjadi karena pengrajin kulit di Indonesia sudah dipandang mampu untuk memenuhi pesanan dari merek elit tersebut, tentunya kendali mutu juga dijaga ketat oleh para penyedia dari label di atas. Pertanyaannya, kenapa produk kulit bagus buatan Indonesia justru sulit ditemukan di pasar dalam negeri? Saya tidak heran dengan kenyataan ini karena memang sudah menjadi praktik jamak kalau konsumen di Indonesia di anak tirikan.
Barang-barang bagus produksi anak bangsa lebih sering dijual ke luar negeri dengan alasan dapat dijual dengan harga mahal sekaligus menangguk keuntungan dalam Dolar atau Euro. Sementara kita yang tinggal di dalam negeri harus puas dengan barang produksi dalam negeri, dengan mutu kelas dua atau kelas tiga. Sepatu olahraga buatan dalam negeri yang saya pakai saat ini sudah mengalami penipisan cepat pada solnya, padahal baru dibeli empat bulan yang lalu.
Layanan purna jual terhadap barang produksi dalam negeri adalah hal lain yang membuat konsumen di Indonesia lebih memilih membeli merek asing. Di luar negeri, mayoritas perusahaan yang menjual barang atau jasa memiliki jalur telepon khusus pengaduan (Costumer Care) untuk melayani konsumen yang kurang puas dengan mutu barang yang dibelinya. Di Indonesia, berapa banyak perusahaan dalam negeri yang menyediakan jalur telepon pengaduan atau layanan konsumen? Berapa banyak pula dari perusahaan ini yang mau menindak lanjuti setiap keluhan yang diadukan oleh konsumen?
Teman saya yang pernah bermukim di Amerika satu kali berbagi cerita menarik dimana seseorang yang sudah membeli suatu barang memiliki hak untuk mengembalikannya serta mendapatkan uangnya kembali hanya karena ia tidak suka dengan barang tersebut. Katakanlah Anda membeli sebuah radio dan pemutar CD. Karena satu dan lain alasan, Anda tidak menyukai barang tersebut dan mengembalikannya serta mendapatkan uang kembali atas alasan tidak suka, bukan karena rusak. Adakah layanan seperti ini di Indonesia? Surat pembaca Kompas adalah tempat yang baik bagi Anda yang ingin membuktikan pernyataan di atas. Saya sendiri, dan juga banyak orang Indonesia, juga sudah kenyang dengan pengalaman membeli barang dalam negeri dan kemudian hari mendapat kenyataan kalau barang yang dibeli ternyata mudah rusak. Saat ingin mengadukan hal tersebut, kami bingung kemana harus mengadukannya karena, tidak seperti barang buatan luar negeri, produk dalam negeri banyak yang tidak mencantumkan nomor telepon di kotak dus yang dapat dihubungi untuk layanan konsumen.
Dalam situasi ini, yang paling mudah dilakukan adalah pergi ke toko yang menjual barang tersebut. Hasilnya, 50-50, Anda mungkin akan mendapat produk pengganti atau si pemilik toko menyarankan untuk menghubungi penyalur (distributor) barang tersebut. Jika distributor itu baik, Anda akan mendapat pengganti tapi Anda juga bisa disuruh ke distributor lain, atau malah dilempar lagi ke toko tempat membeli. Sudah bolak balik seperti ini, habis waktu dan uang, barang rusak tidak kunjung jua diganti. Yah, sudah mutu barang kelas dua, layanan konsumennya pun juga kelas dua.
Cara mempromosikan, menjual barang dalam negeri masih kalah menarik dari produk luar negeri. Jika pengrajin kulit dalam negeri bisa memenuhi pesanan dari luar negeri, untuk label seperti Louis Voitton, maka mereka tentunya bisa membuat produk dengan mutu tinggi yang diberi label sendiri. Permasalahannya, jarang yang mau serius membuat merek sendiri dan tekun untuk mengembangkannya. Alasan mereka karena merasa ongkos pembuatan merek sendiri, pengembangan dan pemasarannya terlalu tinggi. Karena itu mereka lebih suka bekerjasama dengan merek yang sudah jadi dalam memproduksi kerajinan mereka.
Sepatu olahraga buatan dalam negeri dapat menjadi contoh lain dari kurangnya perhatian terhadap keinginan konsumen. Untuk waktu yang lama, merek sepatu olahraga dalam negeri hanya menyodorkan sepatu dengan model yang itu-itu saja tanpa ada perubahan rancangan atau bahan sepatu dari tahun ke tahun. Meskipun sekarang produsen sepatu olahraga dalam negeri mulai mengikuti selera konsumen dengan mulai meniru merek-merek terkenal luar negeri--Adidas, Reebok, Nike--konsumen masih belum lagi melihat desain orisinal karya anak bangsa. Kalaupun ada upaya untuk menonjolkan ciri khas dalam negeri, hasilnya malah menjadi aneh, terkadang norak. Masyarakat Indonesia membeli barang luar negeri bukan karena faktor gengsi saja, tapi juga karena tertarik pada rancangan yang ditampilkan. Sepatu Adidas yang solnya tipis saja dibeli orang hanya karena suka pada rancangan sepatu dan bahan yang dipakainya, padahal harganya bisa mencapai 400 ribu rupiah.
Dari ketiga alasan di atas, bisa dipahami bilamana banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih barang buatan luar negeri daripada dalam negeri. Jikalau kita menginginkan kondisi berubah, maka produsen haruslah mulai dengan memberikan perhatian utama pada pasar dalam negeri. Orang Indonesia bukannya orang yang suka beli barang mahal atau bergengsi. Justru orang Indonesia lebih suka membeli barang yang bermutu. Laptop VAIO yang mahal saja dibeli orang karena mereka tahu harga dan mutu sebanding. Karena itu, mulailah memberikan kami barang-barang yang bermutu; handal, dapat dipertanggung jawabkan, digaransi, memenuhi kebutuhan pembeli. Jadi, jangan berikan kami barang nomor dua. Kalau kami dikasih produk nomor dua, kamipun akan menduakan kalian.
Selain itu, berikan juga nomor telepon layanan konsumen dengan mencetaknya pada buklet produk atau di kardus kemasan produk yang dibeli. Tentunya, nomor telepon itu janganlah hanya sekedar pemuas mata saja, tapi juga betul-betul berfungsi. Untuk setiap keluhan yang kalian terima, kami minta agar ada tindakan lanjutan. Jika penanak nasi (rice cooker) yang saya beli rusak, saya minta agar ada tindakan perbaikan atau penggantian dengan produk baru. Selanjutnya, produsen barang dalam negeri harus mau menginvestasikan uang dalam bidang riset dan pengembangan produk. Janganlah terlalu pelit dengan uang yang didapat dari hasil penjualan kalian. Dirikanlah departeman khusus yang mengurusi bidang pengembangan produk. Kalian sewa itu ahli-ahli perancangan produk yang sudah lulus dari kursus merancang atau universitas.
C. Cintai Produk Indonesia Sebagai Wujud Cinta Tanah Air
“Cinta tanah air”, jika mendengar kalimat ini kita akan teringat kembali dengan perjuangan para pahlawan yang menunjukkan kecintaannya kepada tanah air dengan berperang melawan penjajah. Lalu, timbul pertanyaan, “Apa yang telah kita lakukan untuk menunjukkan kecintaan kita pada tanah air?”. Kita tidak perlu berperang, apalagi pada zaman sekarang yang menjunjung tinggi perdamaian dunia. Jadi, bagaimana menunjukkan kecintaan kita kepada tanah air? Salah satunya yang perlu kita lakukan adalah cukup mencintai, menggunakan, dan melestarikan produk dalam negeri. Dengan kita menggunakan produk dalam negeri, akan menumbuhkan rasa cinta dan bangga terhadap tanah air.
“Produk-produk dalam negeri (Made in Indonesia) akan bisa menjadi terkenal ketika produk itu mulai banyak diminati oleh masyarakat. Dan itu harus dimulai dari diri kita sendiri,sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.” Apalagi mayoritas penduduk Indonesia cenderung untuk mencontoh atau bisa dibilang meniru (ketika produk itu mulai banyak diminati). Jadi alangkah baiknya kesempatan bagus ini kita manfaatkan untuk mempromosikan bahwa inilah Indonesia dan inilah produk asli buatan tangan-tangan mahir para pengrajin Indonesia.
Tentunya kita akan bangga apabila produk Indonesia menjadi unggulan di negerinya sendiri atau bahkan di luar negeri. Namun begitu banyak kendala yang dialami seiring berjalannya waktu sehingga menghambat kemajuan produk-produk tersebut. Diantaranya, ketatnya persaingan dengan produk luar, terutama pada bagian promosi, kendala dalam segi ekonomi (modal), dan perdagangan bebas.
Konsekuensi mengikuti perdagangan bebas ada yang positif dan ada pula yang negatif. Positif, jika semakin banyaknya ragam pilihan yang bukan hanya berasal dari dalam negeri sendiri. Negatif, jika perdagangan bebas yang terlalu bebas dapat membuat produk dalam negeri itu sendiri akan kalah bersaing dengan produk luar negeri yang anggapan beberapa orang jauh lebih berkualitas. Jika hal ini terus berlangsung secara terus menerus akan membuat ketergantungan terhadap produk/barang-barang yang berasal dari luar negeri. Untuk menghindari terjadinya kasus perdagangan bebas yang berlebihan, harus ada perlindungan terhadap produk-produk dalam negeri, agar produk dalam negeri dapat bertahan di negerinya sendiri.
Selain itu, kendala dalam bidang ekonomi yang dialami para pengrajin sebagai modal pengembangan masih menjadi permasalahan besar. Hal ini diakibatkan minimnya pengetahuan para pengrajin tentang perbankan. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan kita menggunakan produk dalam negeri, bukan hanya kita (konsumen) yang merasa terbantu tapi kita (konsumen) juga akan dapat membantu perekonomian para pengrajin yang tidak lain juga berasal dari bangsa Indonesia sendiri. Untuk itu mari membeli dan menggunakan produk-produk dalam negeri. Selain harganya murah, produk-produk dalam negeri juga tidak kalah bagus dengan barang-barang yang berasal dari luar negeri. Hanya saja dari segi pengemasan dan promosi yang kurang perhatian. Untuk apa kita membeli barang-barang dari luar negeri yang ternyata dibuat di negeri sendiri. Padahal banyak perusahaan luar yang membeli dan diganti merek lalu kembali dijual di Indonesia atau dijual di negaranya sendiri.
Mencintai produk dalam negeri dimulai dengan kita mencintai tanah air sendiri. Dengan kita mencintai tanah air kita, maka otomatis dengan sendirinya kita akan tergerak untuk mencintai hal-hal yang berkaitan dengan negeri yang kita cintai. Kampanye cinta produk dalam negeri sebenarnya sudah sangat lama digalakkan. Sayangnya, gerakan mencintai produk dalam negeri kurang mendapat respon dari masyarakat. Biarpun, Jusuf Kalla atau yang akrab kita panggil dengan sebutan JK (mantan wakil presiden) pernah melepaskan dan menunjukkan sepatunya adalah sepatu kulit asli buatan dalam negeri. Tentu itu merupakan contoh yang baik dan mencerminkan kecintaannya kepada tanah air.
Di Indonesia sendiri mainan anak-anak yang berbahan dasar plastik pun jauh lebih banyak peminat dibandingkan dengan mainan tradisional yang bersumber dari alam sekitar. Tanpa kita sadari bahwa mainan buatan tersebut adalah berbahaya karena mengandung zat-zat kimia. Orang tua cenderung lebih memilih mainan import tersebut daripada mainan tradisional. Padahal mainan tradisional jauh lebih menyenangkan, mengasyikkan, dan mainan anak-anak juga dapat merangsang kreatifitas anak. Dari segi ekonomi mainan tradisional juga jauh lebih ekonomis. Dan banyak juga mainan tradisional yang dijadikan kebudayaan suatu daerah. Namun, apakah kita rela jika ternyata kebudayaan tersebut diambil alih?
Tentu kita masih ingat dengan kasus pengakuan kepemilikan budaya Indonesia oleh Malaysia. Memang kita bangsa Indonesia kurang perhatian terhadap budaya kita sendiri, sehingga status kepemilikannya sempat diambil alih negara lain namun ketika hal itu terjadi sempat menyulut rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Budaya yang pernah diambil alih status kepemilikannya antara lain Reog Ponorogo, Tari Pendet, Angklung, dan Batik. Dengan timbulnya kasus tersebut tentunya masyarakat Indonesia tidak tinggal diam, berbagai protes pun bermunculan. Terutama protes dari daerah yang budayanya diambil alih, Reog Ponorogo dari Jawa Timur, Tari Pendet dari Bali, Angklung dari Jawa Barat, dan Batik dari Jawa Tengah. Tari Pendet, seperti yang kita ketahui bersama adalah tari yang digunakan rakyat Bali untuk menyambut para tamu atau bisa dikatakan sebagai tarian ‘ucapan selamat datang’. Namun negara Malaysia menggunakan tarian tersebut untuk dijadikan iklan pariwisata di negara Jiran (Malaysia) tersebut. Tentu aksi tersebut menuai protes dari berbagai kalangan. Namun, untungnya Norman Abdul Halim sang pembuat iklan pariwisata tersebut meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia dan berjanji untuk menghentikan iklan pariwisata tersebut. Reog Ponorogo, adalah budaya yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistis dan gaib. Batik adalah salah satu yang diklaim Malaysia. Pengakuan dari badan yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan atau UNESCO mengenai pengakuan batik sebagai warisan kebudayaan Indonesia membuat para pengrajin batik Indonesia merasa lega. Hingga akhirnya tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Dan dunia mengakui bahwa batik adalah warisan kebudayaan asli Indonesia.
Pengaruh perdagangan bebas juga merupakan ancaman tersendiri bagi produk-produk Indonesia, namun hal tersebut dapat diatasi apabila kita berperilaku pintar. Sebagai warga negara Indonesia seharusnya kita patut bangga dengan hasil karya para pengrajin Indonesia. Kita harus ikut mengembangkan, memasyarakatkan, memajukan, dan mempromosikan bahwa produk tersebut asli buatan Indonesia kepada negara lain untuk membuktikan rasa kecintaan kepada Indonesia. Merupakan tugas kita para generasi muda untuk terus melestarikan kebudayaan Indonesia. Cintailah produk-produk Indonesia, karena ini adalah wujud cinta kita terhadap tanah air, tanah air Indonesia!
D. Bagaimana Peran Pemerintah Mengatasi Perdagangan Bebas
Tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh pemerintah agar produksi dalam negeri dicintai adalah dengan menggerakan loyalitas konsumen dalam negeri untuk produksi dalam negeri. Sebab, ujung dari strategi penguatan dan peningkatan produksi dalam negeri adalah "gemar produk Indonesia." Gerakan loyalitas produk dalam negeri dapat memulainya dengan kampanye, iklan, publik figur, modelling, dan penguatan [reinforcment].
Kampanye menjadi penting karena sebaik apapun kualitas suatu produk akan mubazir tanpa dikampanyekan penggunaan dan manfaatnya buat konsumen. Kampanye ini harus tetap dan stabil dengan menggunakan metode iklan yang bagus dan menyenangkan/menarik konsumen. Publik figur juga penting karena menentukan arah dan kehendak pasar. Semakin banyak publik figur yang menggunakan produk dalam negeri akan semakin banyak yang mengikutinya. Sebab, proses mengikuti dan meniru adalah perilaku modelling dari masyarakat pada umumnya terhadap idola atau tokoh-tokoh yang sering dilihatnya.
Semua strategi di atas akan membuat produsen lokal semakin percaya diri mengembangkan produksinya karena hasilnya "laku" di pasaran. Sebab, laku tidaknya suatu produk sangat mempengaruhi motivasi produsen dan mampu menjadi daya serap tenaga kerja. Jika gerakan ini dilakukan dengan baik, maka sebenarnya sudah tersedia pasar yang cukup besar bagi seluruh hasil produksi. Misalnya hasil produk-produk pertanian. Sekitar 250 juta penduduk Indonesia merupakan potensi pasar yang bisa digali dalam upaya membangkitkan daya saing ekonomi rakyat. Data yang disampaikan Majalah Economist [2004] memperlihatkan bahwa Indonesia sebagai negara agraris adalah pengimpor besar produk pertanian.
Tentu saja upaya mencintai produk dalam negeri sebagai upaya meningkatkan daya saing produksi dalam negeri bukanlah sesuatu yang mudah. Tetapi dapat dimulai dengan meningkatkan kualitas, membuat pemasaran yang terpadu, dan meningkatkan daya saingnya. Kuncinya terletak pada komitmen pemerintah dan kita semua untuk membangkitkan rasa percaya diri dan rasa memiliki sebagai bekal menghadapi daya saing yang lebih tinggi [globalisasi]. Dengan komitmen yang tinggi dari semua pihak, produksi dalam negeri pasti akan menjadi kunci bagi pertumbuhan bahkan penguatan dan stabilisasi ekonomi negara kita.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mendorong konsumen dan masyarakat Indonesia untuk mencintai dan menggunakan produk dalam negeri, patut didukung. Dan seyogyanya masyarakat konsumen di Indonesia juga harus mulai mereposisi “ideologi” dan politik belanjanya. Kalau masih bisa berbelanja di pasar tradisional, mengapa harus pergi ke hipermarket yang dimiliki oleh asing? Lagi pula, iming-iming harga murah yang oleh promosi hipermarket (dan juga minimakert asing), hanyalah lips service saja. Perubahan perilaku dan politik belanja konsumen, bukan persoalan “nasionalisme” semata, tapi juga untuk menjaga kontinyuitas perekonomian Indonesia secara umum. Sebab, ketika kita mengonsumsi jeruk santang misalnya, maka yang akan diuntungkan adalah petani di China. Bukan petani jeruk di Medan atau di Pontianak. Malah yang terjadi sebaliknya, petani jeruk di kedua daerah tersebut, akan sekarat, karena jeruknya tidak laku di pasaran. “Mata” seorang konsumen, dalam menggunakan suatu barang dan atau jasa, tidak hanya bersifat tunggal. Tidak hanya memperhatikan aspek kualitasnya saja. Perspektif konsumen musti meluas, dan komprehensif. Aspek lingkungan global, ekonomi makro, bahkan aspek hak asasi manusia juga musti menjadi perhatian konsumen.
Oleh karenanya, pemerintah harus konsisten. Janganlah masyarakat dan konsumen Indonesia didorong untuk menggunakan produk barang dan jasa dalam negeri, tetapi kebijakan dan regulasi pemerintah malah sebaliknya; mereduksi pasar dalam negeri secara sistematis. Pemerintah membuka keran pasar impor seluas mungkin, sehingga pasar Indonesia digerojok habis dengan produk impor. Sehingga, konsumen sangat kesulitan untuk memilih dan menentukan barang/jasa mana yang benar-benar produk (asli) Indonesia. Tanpa adanya kebijakan dan regulasi yang berpihak pada kepentingan pasar dan masyarakat Indonesia, maka kampanye untuk mencintai dan menggunakan produk dalam negeri, adalah bentuk kamuflase dan omong kosong belaka. Bahkan merupakan bentuk pengelabuhan dan pengalihan tanggungjawab yang dilakukan oleh negara.
B. Saran
Cara mengatasi perdagangan bebas di indonesia yang paling sederhananya adalah dengan mencintai produk indonesia sendiri. Selain itu, lulusan ekonomi juga harus mencoba membuat inovasi produk-produk terbaru yang dapat menghasilkan produk serta mengekspornya ke negara lain untuk mengenalkan produk dalam negeri serta dapat menambah visa negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.facebook.com/iwanwyland2
2. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20080620210516
Tidak ada komentar:
Posting Komentar