Sabtu, 24 September 2011

ANCAMAN DI BALIK ROMANTISISME



PENDAHULUAN


“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (QS. Al Israa', 17: 64)
Ada bahaya tak kentara yang menuntun orang-orang menjauhi agama, mencegah mereka tunduk kepada Allah sebagai Tuhan mereka, dan pada akhirnya menimpakan pelbagai kesulitan dan kesukaran pada mereka. Bahaya ini bisa dikenali di dalam banyak bidang kehidupan kita: kepalan tinju fasis, nyanyian kebangkitan komunis, atau kata-kata dalam surat yang ditulis seorang pemuda untuk mengungkapkan cinta kepada pujaan hatinya. Semua itu keluar dari sumber kejahatan yang sama.
Aspek yang paling mengganggu dari bahaya ini adalah bahwa kebanyakan orang tidak melihatnya sebagai bahaya sama sekali. Mereka juga tidak menyadari bahwa ini sebenarnya pemikiran yang sepenuhnya bertentangan dengan agama. Bahkan, banyak orang memandangnya bukan sebagai kesalahan berbahaya, melainkan sebagai kebaikan yang harus didorong dan dikembangkan seluas-luasnya.
Bahaya yang kita bicarakan ini adalah sentimentalitas yang menun-tun orang untuk hidup bukan berdasarkan akal sehatnya melainkan menurutkan emosinya; yaitu, berdasarkan nafsu, kebencian, kerenta-nan terhadap godaan, dan kekeraskepalaan.
Sentimentalitas sudah menjadi bagian budaya kebodohan yang sekarang ini telah mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia.  Sesungguhnyalah, ini adalah salah satu senjata yang dipakai setan untuk membelokkan manusia dari jalan Allah, karena orang yang jatuh ke dalam cengkeraman sentimentalisme akan kehilangan kemampuan untuk menggunakan akal sehatnya. Dan apabila dia tidak mampu menggunakan akal sehatnya, maka dia tidak bisa menghayati kenyataan bahwa Allah telah menciptakannya, tidak bisa mengenali tanda-tanda dan maksud-Nya, juga tidak bisa hidup sesuai dengan kebenaran agung agamanya. Kehidupan yang dijalani dengan benar adalah yang  bergantung pada penggunaan akal sehat, karena Allah menurunkan Al-Quran "supaya manusia memahami ayat-ayat-Nya dan supaya manusia yang berpikir menyadarinya”.
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad, 38: 29)
Lebih tepatnya, jika penyakit sentimentalisme ini tidak diatasi, manusia tidak mungkin memahami atau menjalankan agama dengan sebenar-benarnya. Lagipula, tanpa usaha penyembuhan, penyakit sentimentalisme ini akan menutup kemungkinan bagi penyelesaian atas persengketaan yang tiada akhir, penderitaan yang tidak ber-perasaan, penyerangan, kesulitan dan kekejaman yang ditimbulkan manusia atas diri mereka sendiri di dunia ini.
Buku ini akan membahas sentimentalisme dengan mempertim-bangkan beberapa contoh dari budaya kebodohan ini, baik yang tercatat dalam sejarah maupun pada kehidupan kita sehari-hari. Tidak seorang pun boleh menganggap dirinya kebal dari bahaya ini; sebaliknya, setiap orang harus menjaga diri dari lumpur yang dibuat setan untuk menjebak kita ini.



 





BAB 1 CINTA YANG SAH DAN YANG TIDAK SAH 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu...” (QS. Al Mumtahanah, 60: 1)
Sentimentalisme, atau dengan kata lain, kerinduan romantis, menjadikan dirinya lebih sering dikenal dalam samaran "cinta". Misalnya, seperti yang akan dibahas pada halaman berikutnya, kaum nasionalis romantis menyatakan mencintai negara mereka, yang menjadi alasan bagi mereka untuk memusuhi atau bahkan menyerang bangsa-bangsa lain. Atau kita bisa memperhatikan seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang gadis yang dijadikan satu-satunya fokus dalam hidupnya. Yang menuntun pemuda itu menulis bagi sang gadis puisi, "Aku cinta kepadamu", dan menjadi terobsesi dengannya sampai hendak bunuh diri, dan bahkan "memuja" sang gadis, adalah gagasan "cinta". Kemudian ada kaum homoseksual, mereka yang jelas-jelas melanggar larangan Tuhan, tanpa malu-malu dan berkeras mempraktikkan penyimpangan seksualnya; mereka juga mengklaim telah menemukan "cinta".
Sementara bagi mayoritas orang, mereka mengira bahwa setiap perasaan yang mengatasnamakan "cinta" dianggap mulia, murni dan bahkan suci, dan bahwa contoh-contoh kerinduan romantis seperti yang disebutkan di atas, dapat diterima sepenuhnya.
Cinta memang perasaan yang indah, yang dianugrahkan Allah kepada manusia, tetapi penting untuk membedakan apakah cinta itu nyata atau tidak, dan untuk menimbang-nimbang kepada siapa cinta ditujukan, dan sentimen apa yang menjadi dasarnya. Penyelidikan demikian akan menjelaskan perbedaan antara sentimentalisme yang mengarah pada cinta yang menyimpang, dan cinta sejati, seperti yang difirmankan Allah di dalam Al Quran.
Masalah ini akan kita kaji di dalam buku ini. Namun, pertama-tama, sebagai informasi awal, mari kita kaji makna cinta seperti yang dinyatakan dalam Al Quran. Menurut Al Quran, cinta harus ditujukan kepada yang berhak menerimanya. Mereka yang tidak pantas menerimanya tidak perlu dicintai. Bahkan kita diharuskan menjaga jarak secara emosional dari mereka, atau setidaknya, tidak merasakan kecenderungan ke arah mereka. Tetapi mereka yang pantas mene-rimanya, pantas dicintai karena sifat-sifat baiknya.
Satu-satunya Zat yang berhak menerima cinta mutlak adalah Allah, yang menciptakan kita semua. Allah yang menciptakan kita, melimpahi dengan nikmat yang tidak terhitung banyaknya, yang menunjukkan jalan, dan menjanjikan surga abadi untuk kita. Dia menolong kita keluar dari setiap kecemasan dan dengan sabar mendengarkan setiap doa kita. Dialah yang memberi kita makan hingga kenyang, mengobati kita apabila sakit dan kemudian mengembalikan semangat kita. Karena itu, mereka yang memahami misteri alam semesta akan mencintai Allah di atas segalanya, dan mencintai siapa saja yang dicintai Allah, yaitu orang-orang yang taat mengikuti kehendak-Nya.
Di lain pihak, para pembangkang yang memberontak terhadap Allah, Tuhan mereka, tidaklah layak untuk dicintai. Memberikan cinta kepada orang-orang itu adalah kesalahan besar, bertentangan dengan peringatan Allah terhadap orang beriman dalam firman-Nya berikut ini: 
  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasilh sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Mumtahanah, 60: 1)
Seperti yang dinyatakan pada ayat di atas, orang beriman tidak boleh memberikan cintanya kepada pembangkang. Ada hal penting di sini yang perlu diingat: meskipun orang beriman tidak merasakan cinta dalam hatinya bagi seseorang yang menolak agama, dia harus tetap berusaha dengan segala daya untuk mengajaknya beriman dan patuh kepada Allah. "Tidak mencintai" orang seperti itu bukan berarti mem-bencinya, atau tidak menghendaki apa yang baik baginya.  Sebaliknya, orang beriman kepada Allah akan menjelaskan makna agama kepada siapa saja yang mencari jalan lurus, dan yang mau menerima petunjuk. Orang beriman yang mengingatkan orang lain tentang keberadaan surga dan neraka, dan memperingatkannya tentang kematian, hari perhitungan, dan kehidupan akhirat, akan memenuhi tugasnya dengan kepedulian dan kasih sayang.
Bahkan jika seseorang tetap tidak beriman, walaupun segenap daya upaya sudah dikerahkan, ini tidaklah menghalangi Muslim untuk berbuat adil terhadapnya. Kecuali seseorang mencoba menyakiti orang-orang beriman, atau menyebabkan konflik dan pertentangan antar se-sama, seorang muslim harus tetap bersikap toleransi kepada semuanya,  karena Allah sudah memberi perintah kepada orang-orang yang beriman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah, 60: 8-9)
Pada ayat di atas, seperti juga ayat sebelumnya (QS. Al Mumtahanah, 60: 1), Allah, dengan kebijaksanaan-Nya, mengajarkan kita suatu hal yang sangat penting untuk dipahami. Emosi tidak boleh menuntun perilaku seseorang, karena ia dapat menjerumuskannya pada kesalahan besar. Seseorang harus bertindak, tidak menurutkan emosinya, tetapi menurutkan akal sehatnya, kehendak bebasnya, dan perintah Allah. Lebih jauh, dia harus melatih emosinya agar selaras dengan akal sehat dan kehendaknya.
Kita dapat mengenali kebutuhan ini dalam diri siapa saja yang sudah jatuh ke dalam perangkap sentimentalitas. Ratusan juta orang diperbudak oleh perasaan, ambisi, nafsu, kebencian dan kemarahan mereka. Mereka melakukan hal-hal yang tidak rasional, dan mem-benarkan tindakan mereka dengan menyatakan ketidakberdayaan, misalnya berkata, "Saya tidak bisa menahannya, saya benar-benar menyukainya," atau  "Saya tidak berdaya. Saya menginginkannya. Saya merasa menyukainya." Tetapi sebenarnya, sesuatu yang "disukai" seseorang tidak berarti baik atau sah. Perasaan di dalam diri kita selalu mendorong kita untuk melakukan kesalahan, dengan setan menghasut kita melakukan kesalahan yang lebih besar lagi. Ketika seseorang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah, dan berdalih, "Saya tidak kuasa menahannya. Saya merasa menyukainya," sebenarnya dirinya bertindak sebagai alat setan. Di dalam Al Quran, Allah merujuk orang-orang seperti itu melalui ayat berikut:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa       nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat ber-dasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas        penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (mem-biarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al Jaatsiyah, 45: 23)
Pada halaman-halaman berikutnya, akan diteliti pelbagai contoh romantisisme berlebihan, sejenis sentimentalisme. Akan dibahas pula bahaya yang mengancam manusia dari cara berpikir demikian, dan bagaimana penyakit itu bisa diatasi.




BAB 2 NASIONALISME ROMANTIK 
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Fath, 48: 26)

Umumnya, romantisisme dipahami sebagai roman (percintaan) atau gerakan Romantik pada abad ke-19, tetapi selain bentuk-bentuk ini, romantisisme juga terkait erat dengan sentimen-sentimen politik tertentu. Terdepan di antaranya adalah "nasionalisme romantik", yang muncul pada akhir abad ke-19, dan menimbulkan pengaruh besar di dunia sampai pertengahan abad ke-20.
Pertama-tama, harus dinyatakan dengan jelas bahwa kritik kami bukan terhadap nasionalisme itu sendiri, me-lainkan terhadap "nasionalisme romantik". Terdapat per-bedaan besar antara keduanya.
Fanatisme
Nasionalisme, dalam pengertian paling umum, merujuk pada cinta individu kepada bangsa dan negaranya. Cinta ini baik dan sepenuhnya sentimen yang sah. Karena ia tidak bertentangan dengan agama, tidak memiliki efek merusak bagi kemanusiaan. Sebagaimana cinta individu kepada ibu dan bapaknya adalah perasaan yang sah, demikian pula cinta kepada bangsa yang memupuknya dalam keyakinan dan budaya yang umum.
Sentimen nasionalistis menjadi tidak sah apabila semua itu menjadi irasional atau fanatis. Misalnya, jika seseorang, karena cinta kepada negaranya, tanpa alasan mulai mempunyai perasaan bermusuhan terhadap bangsa lain, atau menginjak-injak hak bangsa dan rakyat lain demi kepentingan diri sendiri, jika dia merampas tanah air atau mengambil alih hak milik mereka,  maka dia sudah melewati batas-batas sah. Atau apabila dia membiarkan rasa cinta kepada bangsanya berubah menjadi rasisme, yaitu, ketika dia mengklaim bahwa bangsanya lebih tinggi dari lainnya, berarti dia sudah mengambil pandangan yang irasional.        
Allah mengarahkan perhatian kita pada nasionalisme irasional ini di dalam AlQuran. Apa yang digambarkan dalam ayat-ayat berikut ini sebagai "kesombongan" atau "fanatisme", merupakan karakteristik masyarakat yang jauh dari agama.
   “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Fath, 48: 26)        
Selain membicarakan "fanatisme", ayat di atas juga membicarakan ketenangan yang dilimpahkan Allah kepada siapa saja yang beriman kepada-Nya. Pendekatan ini menunjukkan fakta bahwa jika seseorang yang mencintai keluarga, golongan atau masyarakatnya, menebar kebencian atau agresi terhadap orang lain sebagai dampak cinta tersebut, maka perilakunya menyimpang. Sebaliknya, Allah meng-hendaki hamba-hamba-Nya menikmati perdamaian, ketenangan, dan keamanan;  dengan kata lain, keadaan spiritualnya yang dikehendaki Allah bagi hamba-hamba-Nya adalah keadaan spiritual yang mengutamakan akal sehat.
"Fanatisme" tidak memungkinkan kondisi yang diharapkan tersebut, tetapi justru mengadu satu kelompok dengan kelompok lainnya, hanya karena perbedaan bahasa, warna kulit, etnis, atau golongan.
Allah sudah menggambarkan "fanatisme" ini 1400 tahun lalu di dalam Al Quran, dan sekarang masih dapat disaksikan dampaknya di setiap belahan dunia. Ada orang di Afrika yang mencekik orang lain sampai mati hanya karena mereka berbeda suku. Di Eropa, pertandingan sepakbola menjadi perang bersenjata ketika "para hooligan" memukul suporter tim lawan sampai nyaris mati, hanya karena mereka berada pada pihak berseberangan. Di dunia Barat, ada organisasi-organisasi yang bertujuan tunggal untuk mengobarkan kebencian terhadap orang-orang Afrika, Yahudi, Turki dan kaum minoritas lainnya, bahkan sampai menjadikan mereka sasaran serangan teroris.
   Pengaruh "fanatisme" tidak hanya menjangkiti golongan rendah, tetapi juga masyarakat kalangan atas. Banyak negara mengeksploitasi perselisihan perbatasan yang sederhana menjadi alasan untuk melakukan agresi terbuka. Untuk memuaskan nafsu berperangnya, mereka melemparkan negara sendiri ke kancah peperangan,  terus bersikukuh dalam agresi mereka selama bertahun-tahun, menjerumus-kan bukan hanya rakyat negara musuh, tetapi juga rakyat mereka sendiri dalam penderitaan. Para penguasa yang membuat keputusan demikian sedang dirundung dengan apa yang disebut sebagai "fanatisme". Seperti dijelaskan pada ayat di atas, dia yang "menanam-kan dalam hatinya kesombongan/fanatisme" hidup dalam kebodohan.  
  Termasuk dalam jajaran orang-orang bodoh ini, adalah mereka yang menyebabkan dua bencana terbesar pada abad ke-20: Perang Dunia Pertama dan Kedua. Digerakkan oleh gagasan-gagasan palsu seperti "Semangat Jerman", "Kebanggaan Inggris", dan "Keberanian Rusia", mereka menyebabkan bangsa sendiri, juga seluruh dunia, menjadi sangat menderita, menumpahkan darah 65 juta orang, dan menyisakan puluhan juta orang cacat, menjadi janda dan yatim.
   Akar permasalahan yang menyebabkan bencana ini adalah "fanatisme". Sekarang kita merujuknya sebagai "nasionalisme romantik".
Kelahiran Nasionalisme Romantik    Nasionalisme sebagai sebuah gagasan menyebar ke seluruh Eropa pada abad ke18.  Sebelum itu, rakyat hidup di bawah kekuasaan tuan-tuan tanah. Kemudian, mereka bersatu di bawah negara-bangsa tunggal yang diatur oleh sebuah pemerintahan pusat. Bangsa-bangsa Eropa seperti Prancis dan Inggris termasuk yang pertama mendukung gagasan nasionalisme dan menjadi negara. Menjelang abad ke-19,  kebanyakan bangsa Eropa telah mencapai persatuan nasional.
Hanya dua bangsa yang tidak ikut serta dalam perkembangan ini: Jerman dan Itali. Di kedua bangsa ini, kekuasaan bangsawan atau negara-kota kecil bertahan lebih lama. Itali baru membentuk negara pada tahun 1870, dan Jerman setahun kemudian, tahun 1871. Dengan kata lain, kedua bangsa ini lebih lambat dari bangsa-bangsa Eropa lainnya dalam mengadopsi dan menerapkan gagasan nasionalisme.   
Akan tetapi, situasi khusus ini menjadi penyebab berkembangnya nasionalisme yang lebih radikal di kedua negara ini dibandingkan dengan di negara Eropa lainnya.   Menurut pendapat umum para ilmuwan sosial, di kedua negara ini, alasan kelahiran dan pencapaian kekuasaan nasionalisme bentuk ekstrem, Naziisme dan Fasisme, adalah karena meluasnya sentimen-sentimen nasionalistik yang fanatis berkaitan dengan formasi persatuan nasional yang terlambat.   
Di kedua negara ini, dan khususnya di Jerman, orang-orang yang memajukan gagasan nasionalisme fanatis dikenal sebagai kaum "nasionalis romantik". Ciri dasar yang menjadi sifat kaum nasionalis romantik adalah pengagungan perasaan di atas kerusakan akal sehat, kepercayaan mereka bahwa bangsanya diberkahi dengan "ruh" mistis dan misterius, dan bahwa ruh ini membuat bangsa mereka lebih unggul daripada lainnya. Menjelang akhir abad ke-19, nasionalisme romantik dipenga-ruhi oleh teori-teori rasis yang kemudian diterima luas, dan menum-buhkan klaim bahwa ras Eropa lebih unggul daripada ras-ras lainnya di dunia, sehingga, mempunyai hak untuk menguasai mereka.
Nasionalisme romantik menyebar cepat, sekali lagi, khususnya di Jerman, selama dua dekade pertama abad ke-19. Penulis seperti Paul Lagarde dan Julius Langbehn mendukung gagasan tentang urutan hirarki dunia, dan Jermanlah yang menentukannya. Mereka menya-takan bahwa ini bisa dicapai karena superioritas "ruh Jerman" dan "darah Jerman", dan untuk tujuan ini, Jerman harus berpaling dari agama-agama monoteistik, seperti kristiani, dan kembali ke paganisme masa lalu mereka.
Pertumbuhan masyarakat mistis (takhayul) di Jerman memainkan peranan penting dalam penyebaran nasionalisme romantik dalam periode ini. Pandangan dunia masyarakat ini terdiri dari beberapa gagasan dangkal, semacam ini: manusia dapat mencapai kebenaran bukan dengan akal sehat melainkan melalui perasaan dan nalurinya; setiap bangsa mempunya "ruh";  ruh bangsa Jerman adalah ruh pagan. Masyarakat ini telah mempersiapkan landasan bagi bangkitnya Hitler dan Naziisme. Sejarawan Inggris, Michael Howard, menulis bahwa "bangkitnya gerakan nasionalisme Jerman Raya yang memperoleh kekuatan spiritualnya dari kepercayaan takhayul dan ideologinya yang bersumber dari falsafah masyarakat rahasia yang hanya dipahami kalangan tertentu .. membentuk… doktrin-doktrin rasialis ekstrem, yang pada tahun 1920 melahirkan Sosialisme Nasional".1   
Tak diragukan lagi, satu-satunya kontribusi nasionalisme romantik bagi kemanusiaan hanyalah mempersiapkan pondasi bagi Naziisme, salah satu rezim paling brutal dan berdarah sepanjang sejarah.   Skizofrenia Nasionalisme Romantik    Karena kaum nasionalis romantik meyakini bahwa mereka akan menemukan kebenaran melalui "perasaan dan instuisi", dan tidak melalui akal sehat, mereka mengambil pandangan dunia yang paling membingungkan, yang merefleksikan kondisi spiritual mereka yang miskin. Profesor ilmu sejarah Amerika, Gerhard Rempel, dalam artikelnya yang berjudul "Reformasi, Kebe-basan dan Romantisisme di Prussia", menggambarkan kea-daan spiritual kaum nasionalis romantik dengan kata-kata berikut:
Kaum romantis berusaha lari ke dalam fantasi, sentimen-talitas, dan alegori. Secara spiritual mereka bermain-main dengan kematian, dengan meditasi, dengan kemurungan, dengan kedalaman malam yang kelam. Novalis [seorang pelopor romantisisme Jerman] mengatakan: "Kehidupan adalah penyakit ruh." Apa yang kita lihat di sini adalah permulaan pesimisme estetis… Romantisisme telah membuka kekuatan ruh manusia irasional yang lebih dalam… Novalis percaya bahwa semua dunia dan zaman dapat disatukan dengan keajaiban imajinasi… Melalui literatur patriotik tentang perang pembebasan, "tarian jiwa" ini mencapai masyarakat luas.  
  Kaum romantisis Jerman mengembangkan pratik estetis-isme yang merupakan penolakan langsung terhadap akal sehat dan sebuah usaha untuk memahami kesatuan dan kesegeraan dalam satu tindakan instan. Dalam teori ini, gambaran puitis adalah mutlak nyata.2
Pondasi nasionalisme romantik didasarkan pada "perasaan". Ideologi yang imajinatif ini menghasilkan individu-individu yang terlepas dari realita, tersesat dalam kebingungan pikirannya sendiri. Romantisisme, dengan memperbudak orang-orang terhadap perasaannya, membimbing mereka untuk putus hubungan dengan realita, dan dalam hal ini, bisa disamakan dengan penyakit kejiwaan skizofrenia. (Mereka yang menderita skizofrenia sepenuhnya terputus dari kenyataan dan hidup dalam dunia yang diciptakan imajinasi mereka sendiri).
Penyakit skizofrenia merupakan analogi yang tepat bagi keadaan spiritual nasionalisme romantik. Nasionalisme romantik didasarkan pada sejumlah gagasan keliru, yang menonjol di antaranya adalah ide "darah" dan "tanah air", yang kemudian diidolakan dan menjadi obsesi untuk diikuti secara membabibuta. Pada awal abad ke-20, di Jerman, gagasan "Blut and Boden" (Darah dan Tanah Air) mencapai momentumnya. Menurut gagasan ini, darah Jerman dan tanah air Jerman itu suci, dan kaum minoritas dalam negara itu yang bukan ras Jerman, dianggap mengotori darah Jerman dan menodai tanah air Jerman. Arus pemikiran ini memberikan pengaruh besar pada ideologi Nazi, yang memandang penumpahan darah sebagai bagian dari perang suci. Menyusul percobaan kudeta yang gagal pada tahun 1923, Hitler mengambil bendera partai yang bernoda darah Nazi dan nyaris mengubahnya menjadi sembahan yang dipuja-puja. Bendera ini kemudian dikenal sebagai "Blutfahne" (Bendera Darah). Bendera ini dipertahankan sebagaimana adanya dan menjadi simbol paling suci dalam setiap pertemuan Nazi. Apabila bendera-bendera lain yang baru disentuhkan padanya, maka ia akan memindahkan kualitas sakralnya.3
Pertumpahan Darah dalam Nasionalisme Romantik    Sikap yang menganggap darah dan pertumpahan darah merupakan hal yang suci telah menjadi penyebab konflik paling berdarah yang pernah terjadi dalam sejarah manusia. Perang Dunia Pertama dan Kedua hanyalah perselisihan antar kaum nasionalis romantik. Arus nasionalisme romantik terlihat paling jelas di Jerman, tetapi pada periode yang sama pengaruhnya juga meluas pada masyarakat Inggris, Prancis, dan Rusia, dan ia bertanggungjawab sebagai penyeret negara-negara tersebut dalam peperangan. Ia mengipas-ngipasi permasalahan yang sebetulnya bisa diatasi melalui diplomasi sehingga berkobar, dan akhirnya menyebabkan terjadinya pembataian jutaan umat manusia di dunia.
Untuk memahami efek nasionalisme romantik, kita perlu mempelajari perkembangan Perang Dunia Pertama. Walaupun banyak negara terlibat dalam perang itu, hanya beberapa saja yang memainkan peran penting. Di satu pihak adalah Inggris, Prancis, dan Rusia;  di lain pihak, Jerman dan Kekaisaran Austria-Hungaria. Pada permulaan perang, semua jendral mempunyai strategi yang sama: melalui serangan dahsyat, pasukan musuh bisa dipecah-belah dan dipukul mundur dan dalam beberapa minggu, kemenangan akan diperoleh. Namun, perang itu tidak memberikan kemenangan kepada siapa pun.
Pada tahun 1914, Jerman tiba-tiba menginvasi Prancis dan Belgia. Setelah pendobrakan awal, pasukan pun dikerahkan ke medan peperangan, serangan garis depan diatur, dan hampir selama tiga setengah tahun daerah yang ditaklukkan tidak bertambah. Kedua pihak terus saling menyerang dengan harapan menghancurkan musuh, tetapi situasi tidak berubah. Pada Pertempuran Verdun yang terkenal, yang diawali dengan serangan Jerman, 315.000 orang tentara Prancis dan 280.000 orang tentara Jerman tewas, tetapi garis depan hanya bergerak mundur beberapa kilometer. Beberapa bulan kemudian, Inggris dan Prancis meluncurkan serangan balik di medan perang Somme dan, sebagai akibat dari pertempuran berdarah itu, 600.000 orang tentara Jerman, lebih dari 400.000 orang tentara Inggris, dan kira-kira 200.000 orang tentara Prancis tewas. Meskipun demikian, garis depan Jerman dipukul mundur hanya 11 kilometer. Dengan antusiasme mereka yang dikobarkan oleh lagu mars romantik, dan melalui puisi penggerak yang menyanjung setinggi langit "ruh Jerman", "kehormatan Inggris" dan "keberanian Prancis", ahli taktik dan strategi militer akhirnya membuat keputusan tidak bijaksana, yang menyebabkan pembantaian rakyat mereka sendiri. Kebanyakan tentara yang selamat melewati tiga setengah tahun di dalam parit-parit berlumpur tanpa bisa mengangkat kepala karena pemboman tiada henti, juga menderita secara psikologis karena pengalaman itu.   
Contoh mengerikan dari pertumpahan darah tidak berperasaan yang ditimbulkan nasionalisme romantik dalam Perang Dunia Pertama adalah penyerangan terhadap pasukan Jerman yang dipimpin oleh Jendral Prancis Robert Nivelle, April 1917. Sebelum pertempuran, Nivelle berjanji bahwa, dia sanggup memecah belah pasukan Jerman dalam waktu dua hari dan memperoleh kemenangan mutlak dalam waktu satu minggu. Walaupun posisi pasukan Jerman lebih meng-untungkan, pasukan Prancis tetap dikerahkan untuk menghormati janji yang tidak masuk akal itu, dan mereka menyerang tanggal 16 April. Penyerangan yang diharapkan berakhir dalam waktu dua hari ternyata berlangsung lebih dari satu setengah bulan, tanpa hasil, selain kematian ratusan ribu orang tentara, dan akhirnya pemberontakan di antara pasukan Prancis.   
Mentalitas haus darah muncul ke permukaan lagi pada Perang Dunia Kedua, tetapi kali ini dengan korban yang jauh lebih besar. Sebanyak 55 juta orang tewas akibat ambisi berlebihan para romantik psiko-patis seperti Hitler, Mussolini, dan Stalin.   
Romantisisme bukan hanya berperan dalam konflik global; tetapi juga berada pada akar pepe-rangan dan agresi di antara pelbagai negara, suku bangsa, dan organisasi. Tanpa pemahaman jelas tentang faktor-faktor yang terlibat dalam situasi kehidupan mereka, jutaan orang yang terpengaruh slogan-slogan emosional, cerita-cerita kepahlawan-an, lagu mars dan puisi, mengangkat senjata dan menumpahkan darah, tidak hanya darah mereka sendiri, tetapi juga darah orang-orang yang diang-gap musuh, menenggelamkan diri mereka dan du-nia ke dalam kebingungan dan permusuhan.
Pada awal buku ini, sudah disebutkan bahwa sentimentalitas adalah senjata yang digunakan setan untuk menggelincirkan manusia dari jalah Allah, dan menjerumuskan ke dalam penderitaan. Perang-kap yang dipasang setan untuk manusia ini terbukti dalam nasionalisme romantik. Di dalam Al Quran, Allah menyatakan bagaimana Setan membuat mereka yang berada di bawah pengaruhnya ber-tekuk lutut pada teror, kebingungan dan permu-suhan.  
  “Tuhan berfirman: "Pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka se-sungguhnya neraka Jahannam adalah balasan-mu semua, sebagai suatu pembalasan yang cu-kup. Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerah-kanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikat-lah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang di-janjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.“ (QS. Al Israa’, 17: 63 - 64)   
Ayat di atas menceritakan bagaimana setan, dengan menggunakan orang-orang di bawah kendalinya, "merayu siapa pun yang dia sanggup dengan ajakan-ajakannya", dan "mengerahkan terhadap mereka pasukan berkuda dan infantrinya" sebagai alat untuk membangkitkan nasionalisme romantik.
Darwinisme: Basis Intelektual Nasionalisme Romantik Kaum nasionalis romantik menggunakan apa yang disebut "pengungkapan ilmiah dan filosofis" sebagai pembe-naran bagi kegemaran mereka menumpahkan darah. Basis dari "pegungkapan" ini adalah Teori Evolusi Darwin.   
Darwin, seorang ahli biologi Inggris, menulis buku berjudul "The Origin of the Species" yang diterbitkan tahun 1859. Di dalam buku ini, dia berpendapat bahwa pergulatan tak kenal belas kasih selalu terjadi di alam dan, tergantung pada apakah mereka memperoleh keuntungan atau tidak, mahluk hidup berkembang dan spesies baru pun muncul. Dengan kata lain, menurut Darwin, kunci perkembangan di alam adalah konflik. Di dalam bukunya yang lain, The Descent Man, yang diterbitkan tahun 1871, Darwin mengem-bangkan gagasannya dengan lebih meyakinkan, dan lebih jauh mengajukan pendapat bahwa sebagian ras manusia relatif lebih maju daripada ras lainnya. Dan ini menjadi pondasi rasisme ilmiah. Darwin menganggap ras kulit putih Eropa sebagai "ras yang maju",  dan bangsa Afrika, Asia, dan bahkan Turki, sebagai "ras primitif dan setengah kera". 
Dengan menyebarnya teori Darwin, rasisme dan mili-tansi segera mendapatkan dukungan, sampai pada tahapan mereka mulai merasa memiliki "fakta ilmiah".   
Hubungan antara Darwinisme dan nasionalisme romantik menjadi jelas: Kaum nasionalis romantik menemukan nafsu berkonflik, dan obsesi mereka dengan keunggulan ras mereka sendiri dibandingkan ras lain, pada Darwinisme.   
Pengaruh Darwinisme yang menimbulkan bencana dapat dikenali pada tingkat pertumpahan darah luar biasa yang terjadi dalam Perang Dunia Pertama. Tanpa keraguan sedikit pun, jendral-jendral Jerman, Prancis, Inggris, Rusia, dan Austria mengirim ratusan ribu tentara untuk mati sia-sia. Mereka mengikuti dengan setia slogan Darwinisme bahwa, "mahluk hidup berkembang melalui konflik dan ras-ras mencapai dominasinya melalui perang". Berdasarkan alur pemikiran inilah mereka memberikan perintah untuk berperang.   
Sebagai contoh, hubungan antara perang dan hukum konflik alami dijunjung tinggi oleh Friedrich von Bernhardi, seorang jendral Perang Dunia Pertama. "Perang" menurut Bernhardi adalah "sebuah kebutuhan bilogis"; "ia sama perlunya dengan perjuangan unsur-unsur alam"; sesuatu "ia memberikan keputusan adil secara biologis, karena keputusan-kepu-tusannya berdasarkan sifat-sifat alamiah".4
Panglima tertinggi Kekaisaran Austria-Hungaria, Jendral Franz Baron Conrad von Hoetzendorff, menulis dalam memoirnya setelah perang itu:   
Agama-agama yang mengajarkan kebaikan pada sesama manusia, ajaran-ajaran moral, dan doktrin-doktrin filsafat terkadang berfungsi untuk melemahkan daya juang manusia untuk eksis dalam bentuknya yang paling mentah, tetapi ajaran-ajaran itu tidak akan pernah berhasil menyingkirkannya (dari posisi) sebagai motif yang menggerakkan dunia… Ia sejalan dengan prinsip besar bahwa bencana perang dunia terjadi akibat kekuatan-kekuatan motif dalam kehidupan negara dan rakyat, sebagaimana hujan badai yang karena sifat alaminya harus mengeluarkan beban dari dalam dirinya.5
Pada tahun 1914, Kurt Riezler, penasihat dan sahabat Kanselir Jerman, Theobald von Bethman-Hollweg, menulis: Permusuhan abadi dan absolut secara fundamental adalah karakteristik hubungan antar manusia; dan permusuhan yang kita saksikan di mana-mana… bukanlah akibat penyimpangan sifat alami manusia tetapi merupakan hakikat dunia dan sumber kehidupan itu sendiri.6   
Romantisisme mendorong persekutuan mesra di antara golongan sendiri, namun menumbuhkan kemarahan dan kebencian terhadap yang lain. Ini merupakan semangat yang sesuai benar dengan konsep Darwinian tentang "Perjuangan ras-ras untuk kelangsungan hidup". Apabila diterapkan dalam ilmu sosial, teori Darwin ini dinamai "Darwinisme Sosial", dan sudah menjadi sumber pembenaran utama bagi nasionalisme romantik dan rasisme. Penulis Amerika, Janet Biehl, di dalam artikelnya yang berjudul "Ecology and the Modernization of Fascism in the German Ultra Right" (Ekologi dan Modernisasi Fasisme dalam Gerakan Ultra Kanan Jerman) menyatakan pendapatnya mengenai hal ini:   
Darwinisme Sosial berakar kuat di dalam Gerakan Ultra Kanan Jerman… Sebagaimana Darwinisme Sosial Anglo-Amerika, Darwinisme Sosial Jerman memroyeksikan lembaga sosial manusia pada dunia bukan-manusia sebagai 'hukum-hukum alam', kemudian menggunakan hukum-hukum itu untuk membenarkan tatanan sosial manusia sebagai (hal yang) 'alami'. Ia juga menerapkan pepatah 'Yang terkuat akan bertahan hidup' pada masyarakat. Tetapi jika Darwinisme Sosial Anglo-Amerika membayangkan "yang terkuat" sebagai wirausahawan perorangan yang berada di hutan kapitalis dengan cakar dan gigi berdarah, Darwinisme sosial Jerman secara berlebihan menerapkan "yang terkuat" dalam pengertian ras. Karenanya, ras yang terkuat tidak hanya akan tetapi juga harus bertahan hidup, sambil menaklukkan semua pesaingnya dalam 'perjuangan untuk eksistensinya'.7   
Di Jerman, perwakilan terpenting dari Darwinisme Sosial adalah ahli biologi Ernst Haeckel (1834-1919). Dia memberikan kontribusi pada Darwinisme dengan mengajukan teori, yang disarikan dalam "Ontogeny Recapitulates Philogeny", bahwa mamalia mereplikasi proses evolusi dalam perkembangan embrionya. (Bertahun-tahun kemudian disadari bahwa teori ini tidak berdasar dan bahwa Haeckel bahkan memalsukan tabel dan diagramnya).
Haeckel mendirikan "Liga Monis", asosiasi yang bertujuan menyebarkan ateisme, dan yang pada waktu bersamaan menjadi pusat rasisme dan nasionalisme romantik. Pada tahun 1920-an, gerakan Nazi, yang saat itu berkembang di bawah pimpinan Hitler, dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Haeckel dan "Liga Monis". Sejarawan Daniel Gasman, menuliskan perkembangan ini dalam The Scientific Origins of National Socialism: Social Darwinism in Ernst Haeckel and the German Monist League (Asal Usul Ilimiah Sosialisme Nasional: Darwinisme Sosial dalam Ernst Haeckel dan Liga Monis Jerman) sebagai berikut:
Darwinisme sosial di Jerman yang terinspirasi secara  rasial… hampir sepenuhnya berhutang budi pada Haeckel untuk penciptaannya…. Gagasan-gagasannya berfungsi menyatukan kecenderungan rasisme, imperialisme, romantisisme, anti-Semitisme dan nasionalisme menjadi sebuah ideologi utuh…. Haeckel-lah orangnya yang membanting hancur seluruh tubuh sains di samping apa yang dulu disebut gagasan-gagasan mistik dan irasional Volkisme.8   
Gasman juga menulis:    Bisa dikatakan bahwa jika Darwinisme di Inggris adalah perluasan dari individualisme laissez faire yang diproyek-sikan dari dunia sosial ke dunia alamiah, [Di Jerman, Darwinisme adalah] proyeksi romantisisme dan idealisme filosofis Jerman…. Bentuk yang diambil Darwinisme sosial di Jerman adalah agama pengabdian kepada alam yang keilmiah-ilmiahan dan mistisisme-alam yang dikombi-nasikan dengan ide-ide rasisme.9   
Dengan nada sama, Janet Biehl menulis bahwa "Haeckel juga seorang penganut rasisme mistik dan nasionalisme, sehingga Darwinisme sosial Jerman sejak awalnya adalah konsep politik yang meminjamkan basis biologis palsu kepada rasisme romantik dan nasional-isme".10
Kesimpulan    Semua yang sudah kita bahas sekali lagi menunjukkan bahwa romantisisme adalah kecenderungan psikologis dan pandangan dunia yang sepenuhnya di luar batas-batas dan bertentangan dengan agama. Jelas pulalah bahwa Darwinisme, yang hampir sinonim dengan ateisme sejak pertama kali dicetuskan, secara implisit terkandung dalam romantisisme.   
Hubungan nasionalisme romantik dengan Darwinisme, dan perannya dalam kebangkitan gerakan Nazi, me-ngungkap fakta penting lain: Romantisisme adalah penga-ruh yang sangat berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat. Mereka yang terperangkap di dalamnya dapat dengan mudah teperdaya ke dalam cara berpikir yang bertolak belakang dengan akal sehat, pengetahuan umum, dan kesadaran yang benar. Mereka akan dibuat percaya, misalnya, bahwa ras mereka superior atas ras lain, bahwa mereka dibenarkan berperang, menginvasi dan menduduki dunia, dan sah saja bagi mereka untuk menghancurkan atau memperbudak bangsa-bangsa lain.
Nazi Jerman adalah contoh utama dalam sejarah yang menunjukkan kekerasan dan kekejaman nasionalisme romantik. Ketika Nazi berkuasa pada tahun 1933, Hitler dan staf jendralnya melakukan kampanye untuk "menanamkan sentimen-sentimen romantik", dan dalam waktu singkat, masyarakat Jerman menerima pernyataan-pernyataan nasionalisme romantik yang tidak masuk akal. Pada akhir tahun 1930-an, mayoritas rakyat Jerman meyakini bahwa "Kekaisaran Jerman" (Third Reich) harus segera berdiri dan memerintah seluruh dunia dan bertahan selama ribuan tahun. Untuk mewujudkan takdir yang didambakan, mereka percaya bahwa ras Jerman perlu "dimurnikan" melalui eliminasi seluruh kaum minoritas di negara itu. Mereka juga percaya bahwa Hitler adalah "pemimpin" (Führer) tak terbantahkan dan tak terkalahkan, yang memiliki kekuatan supranatural, dan akan memimpin mereka mencapai kemenangan pasti. Dengan mata berkaca-kaca mendengar-kan pidato Hitler yang penuh kemarahan, nafsu berperang, paranoia dan diskriminasi, massa tersihir dan kehilangan sentuhan dengan realitas.
Kongres-kongres Nazi yang terkenal di Nuremberg adalah perwujudan nyata "pencucian otak romantik". Para peneliti Amerika, Michael Baigent, Richard Leigh dan Henry Lincoln, menggambarkan pertemuan-pertemuan ini sebagai berikut:   
Kongres-kongres Nuremberg yang terkenal itu bukanlah pertemuan politik seperti yang diadakan di Barat dewasa ini, tetapi sejenis panggung teater yang dikelola dengan licik, misalnya, yang membentuk komponen integral festival keagamaan Yunani. Segala sesuatunya —warna-warna seragam dan bendera, penempatan pengunjung, penyelenggaraan malam hari, penggunaan lampu sorot dan lampu banjir, penentuan waktu— diperhitungkan dengan sangat tepat. Klip-klip film menggambarkan orang-orang memabukkan diri mereka, memantra diri mereka sendiri menjadi bergairah dan kerasukan dengan kata-kata 'Sieg Heil!' dan memuja sang Führer seakan-akan dia seorang dewa. Wajah-wajah di kerumunan menunjukkan kesan kedamaian kosong… Ini bukan karena retorika yang menarik. Bahkan, retorika Hitler sama sekali tidak persuasif. Pidatonya lebih sering kering, kekanak-kanakan, berulang-ulang, dan tanpa substansi. Tetapi penyampaian-nya mempunyai energi beracun, mengandung denyut ritmik yang menghipnotis seperti pukulan genderang; dan ini, dikombinasikan dengan wabah emosi massa, dengan tekanan beribu-ribu orang yang dipadatkan dalam daerah tertutup… menghasilkan histeria massa…. Apa yang orang saksikan pada pertemuan-pertemuan Hitler adalah sebuah 'modifikasi kesadaran' seperti yang biasanya diasosiasikan oleh para psikolog dengan pengalaman mistik.11
Lebih tepatnya, pertemuan-pertemuan Nazi adalah sesi penghipnotisan massa, yang sepenuhnya merampok kemampuan nalar mereka, dan menempatkan mereka di bawah pengaruh romantisisme. Meletuskan Perang Dunia Kedua, histeria romantik ini merenggut nyawa 55 juta orang.
Naziisme hanya satu contoh konsekuensi destruktif dari romantisisme. Karena romantisisme merampok akal sehat, dan menempatkan mereka di bawah penguasaan emosi, maka ia bisa juga memancing mereka ke dalam pelbagai jenis penyimpangan. Karenanya, mudah saja untuk menyesatkan seorang romantik. Dalam kondisi yang tepat, dan dalam waktu yang singkat, dia bisa menjadi seorang rasis atau fasis yang kuat. Namun dalam contoh lain, dia bisa menjadi komunis militan, menyerang orang-orang tak berdosa sambil menyanyikan lagu-lagu mars Leninis, atau bahkan kehilangan akal sehatnya sehingga membakar diri sendiri demi alasan yang dia anggap benar. Seorang romantik bisa bersikap kejam dan keras pada satu saat dan menangis penuh perasaan saat berikutnya. Tidak ada batasan untuk kegilaan yang ditimbulkan ketika akal tidak berfungsi lagi, dan seorang menjadi tawanan emosinya, atau lebih tepat dikatakan, nafsu-nafsu irasional yang telah ditanamkan setan pada dirinya.
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad, 38: 29)
Ketika praktik agama telah memudar di dalam suatu masyarakat, sering terjadi bahwa apa yang benar dianggap salah dan sebaliknya, apa yang salah dianggap benar.  Sembari mendorong dan mengembangkan sistem kepercayaan yang tidak diridhoi Tuhan, masyarakat ini akhirnya beranggapan bahwa sistem kepercayaan yang benar itu sudah tidak cocok atau bahkan tidak diinginkan lagi. Campur aduk antara apa yang keliru dengan apa yang benar menjadi biasa di kalangan masyarakat nonreligius; suatu kondisi yang sudah menjalar ke seluruh struktur hidup mereka.   
Romantisisme adalah salah satu kekeliruan yang dianggap "benar". Masyarakat yang menjalani hidup tanpa mengikuti ajaran agama yang benar, di dalamnya roman-tisisme digambarkan sebagai sifat menyenangkan yang khas dimiliki orang-orang baik. Namun, sebagaimana akan dibahas satu per satu dalam buku ini, kerinduan sentimental merupakan sentimen berbahaya untuk diikuti. Terutama, salah satu karakteristik romantisisme yang paling merusak sehingga kita harus waspada adalah bahwa ia menolak "akal sehat” karena dianggap berlawanan dengan filosofinya.
Tujuan buku ini, dalam mengatasi masalah romantisisme, adalah untuk menarik perhatian terhadap fakta bahwa, meskipun tampaknya tidak membahayakan, dalam kenyataannya romantisisme merupakan sikap yang menuntun ke arah bahaya tak terduga. Walaupun romantisisme bisa muncul sebagai pandangan yang tidak luar biasa, buku ini akan menunjukkan betapa serius bahaya yang dikandungnya, baik bagi masyarakat maupun individu.  Dan tentu saja, buku ini akan menunjukkan, alangkah mudahnya menghindari lubang jebakan seperti itu; yaitu dengan kembali kepada Al-Quran, sebagai satu-satunya petunjuk yang diberikan Tuhan kepada manusia.  Kami akan memaparkan sejumlah contoh untuk memperjelas bahwa apabila seseorang mengikuti Al-Quran, dia tidak dapat mengabaikan akal sehat demi prinsip-prinsip yang didasari emosional.





BAB 3 PELBAGAI IDEOLOGI ROMANTISISME 

“Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untukku), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan nenyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisaa', 4: 118-119)
Pada bagian sebelumnya kita mengamati pengaruh romantisisme yang ditimbulkan "nasionalisme romantik". Sekarang mari kita amati beberapa manifestasi lain romantisisme untuk melihat sebagian bencana yang dibawanya bagi kemanusiaan. Idelogi pertama yang harus kita cermati adalah ideologi yang sama mengerikannya dengan nasionalisme romantik: yaitu, komunisme.
Romantisisme Komunis
Komunisme lahir sebagai ideologi yang katanya menjunjung akal sehat. Para pendirinya, Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895) telah mengikuti filosofi materialisme yang, mereka kira, bisa diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dan menjelaskan "hukum-hukum sejarah". Marx membedakan pelbagai tahapan sejarah: negara-negara maju saat itu, seperti Inggris, sedang berada pada "fase kapitalis". Dia meramalkan bahwa, setelah fase ini, akan menyusul revolusi buruh yang memulai fase sosial. Dia juga meramalkan bahwa revolusi ini akan terjadi spontan, yaitu bangkit atas inisiatif para pekerja sendiri, dan ini akan terjadi di Inggris dan negara-negara industri lainnya.
Namun, ramalan Marx tidak menjadi kenyataan. Fakta bahwa ramalan itu tidak terwujud terbukti dalam 30-40 tahun setelah kematiannya. Tidak ada revolusi di Inggris atau di negara industri lainnya; sebaliknya, kondisi sosial dan ekonomi para pekerja meningkat.
Klaim Komunisme terhadap Rasionalitas adalah Keliru
Teori Marx, selanjutnya harus dianggap sebagai salah satu dari sekian banyak kesalahan historis yang dilakukan atas nama "ilmu sosial", dan karenanya harus ditinggalkan. Tetapi, bukan itu yang terjadi. Sekelompok individu yang mengaku diri sebagai "Marxis" mencoba, dengan susah payah, untuk mengatualisasikan ramalan-ramalan Marx yang tidak terbukti itu. Walaupun revolusi, yang menurut Marx meletus "spontan", tidak terjadi sama sekali, kaum Marxis mencari cara untuk menyalakan revolusi melalui pembentukan organisasi-organisasi yang akan menyulutnya dengan kekuatan senjata. Orang Marxis terkemuka, yang sudah mencoba merevisi interpretasi Marx, dan membuat alasan untuk ramalannya yang salah, adalah Lenin.
Lenin menyatakan bahwa bukan di negara-negara industri seperti Inggris, revolusi itu terjadi, melainkan di negara-negara non-industri seperti Rusia. Dia berkata bahwa komunisme akan berhasil di sana, dan dari sana akan menyebar ke seluruh dunia. Untuk merealisasikan impian-nya, dia menghabiskan bertahun-tahun, baik di dalam maupun di luar Rusia, melakukan persiapan-persiapan untuk revolusi. Peluang baginya untuk mencapai kekuasaan muncul dari kekacauan yang disebabkan Perang Dunia I.
Ramalan Lenin, sebagaimana ramalan Marx, tidak terjadi sama sekali. Sistem yang dibangunnya tidak berhasil, dan ajaran komunis pun tidak menyebar ke seluruh dunia. Sekarang, Uni Soviet yang didirikan Lenin tinggal sejarah, dan sistem komunis yang dulu dipaksakannya pada negara-negara pendudukan sudah runtuh di mana-mana. Sudah dimaklumi bahwa komunisme adalah percobaan politik paling berbahaya dan paling tidak berhasil di abad ke-20.
Bahwa Marxisme itu cacat sudah terbukti, bukan hanya karena janji-janjinya yang tidak terpenuhi, dan runtuhnya sistem yang didirikannya, melainkan juga karena kegagalan filosofi yang mendasarinya. Premis-premis dasar filosofi materialis, yang menjadi basis Marxisme, telah dijatuhkan dengan penemuan-penemuan ilmiah pada abad ke-20. Contohnya:
1. Materialisme berangapan bahwa alam semesta telah ada selamanya, dan karena itu, materi tidak diciptakan. Tetapi teori Big Bang, yang diterima di abad ke-20, menunjukkan bahwa materi dan waktu diciptakan dari ketiadaan. Teori ini menyebutkan bahwa alam semesta menjadi ada dari yang semula tidak ada, 10 - 15 bilyun tahun yang lalu, muncul sebagai suatu aktivitas kecil dan tiba-tiba dari ketiadaan. Dengan kata lain, kebenaran yang diungkap teori "Big Bang" adalah bahwa tidak ada yang terjadi dengan sendirinya; bahwa ada suatu aktivitas dari ketiadaan, dan setelah aktivitas ini, materi dan waktu muncul. Teori ini sepenuhnya menjatuhkan klaim materialis dan membuk-tikan bahwa materi, waktu dan aktivitas pertama diciptakan oleh Allah.
      
2. Materialisme menyatakan bahwa materi dan waktu itu "mutlak", sehingga keduanya selalu ada, tidak berubah dan stabil. Namun Teori Relativitas Einstein membuktikan bahwa materi dan waktu itu tidak mutlak, tetapi hanya persepsi yang dapat berubah.
3. Materialisme menyatakan bahwa fungsi dan kapasitas mental manusia bisa disederhanakan menjadi satu penjelasan material. Namun, penemuan tentang kerumitan otak menunjukkan keberadaan pelbagai fungsi mental yang tidak mempunyai bagian terkait di dalam otak, dan telah terbukti bahwa mentalitas manusia ada di luar jangkauan materi, dan dimiliki oleh "ruh".
4. Materialisme berpendapat bahwa makhluk-makhluk hidup tidak diciptakan, tetapi seperti yang dinyatakan teori evolusi Darwin, muncul dengan sendirinya. Klaim ini sudah dibantah dengan penemuan ilmiah pada abad ke-20, dan sekarang dipahami bahwa terdapat "rancangan" yang tidak terbantahkan pada makhluk hidup, mengarahkan pada fakta bahwa Allah telah menciptakan semua kehidupan.
Jika sebuah ideologi mengaku rasional, tetapi pengakuannya tidak bertahan pada pengujian akal sehat atau sains dan lebih jauh, jika fakta-fakta tidak membuktikan keabsahnnya, maka pendapat-pendapat ideologi itu harus ditolak. Mereka yang sudah mengadopsi ideologi ini semestinya melakukan penyelidikan rasional, sehinggga menemukan ketidakabsahannya dan meninggalkannya. Jika kaum komunis adalah orang-orang yang menggunakan akal sehat, logika dan pengetahuan umum alih-alih hidup dalam dunia mimpi romantik, maka komunisme sudah didiskreditkan ratusan kali saat ini.
Karena komunisme berbasiskan pada romantisisme, mereka yang masih setia mendukungnya dapat melakukan itu tetapi bertentangan dengan akal sehat dan sains, dan bisa mempertahankannya hanya dengan menutup mata terhadap kenyataan bahwa komunisme tidak berlaku sebagai ideologi. Ketika diketahui bahwa prediksi dasar Marxisme tidak terwujud, seharusnya ia sudah dipinggirkan segera. Namun, ternyata tidak demikian. Gerakan-gerakan revolusioner telah menjalar ke seluruh dunia, mencoba merealisasikan mimpi-mimpi Marxis melalui revolusi, perang saudara, perjuangan gerilya, dan serangan teror.
Uni Soviet dan semua negara Blok Timur runtuh, Cina Merah sudah mengadopsi sistem ekonomi kapitalis. Tetapi, komunisme masih belum ditinggalkan. Bahkan saat ini, organisasi-organisasi komunis di seluruh dunia melanjutkan aktivitas mereka. Sekalipun mereka tentunya menyadari bahwa "revolusi" yang di-gembar-gemborkan itu hanya sebuah fantasi, mereka terus menumpahkan darah, hanya sebagai upaya agar mereka tidak perlu meninggalkan komunisme.  Mereka dengan tak terkendali membakar diri dan teman-teman mereka, sambil menyanyikan lagu-lagu mars komunis, dan tetap berpegang pada ideologi kuno mereka dengan romantis, membuta dan keras kepala.
Ini menunjukkan bahwa komunisme bukan ideologi berdasarkan akal sehat, dan para pengikutnya mendukung bukan karena komitmen rasional terhadapnya. Banyak orang menyebut alasan untuk komitmen seperti itu adalah "fanatisme", "kekeraskepalaan", atau obsesi (idée fixe). Dengan penelitian lebih jauh, menjadi jelas bahwa di balik fanatisme ini tersembunyi pengaruh romantisisme yang kuat.
Artinya, komunisme juga mendapatkan kekuatan dari pengaruh romantisisme.
Contoh-Contoh Romantisisme Komunis
Pada mulanya, orang-orang biasanya tidak menyadari semangat romantik komunisme, sebab komunis selalu berbicara dalam rangka sains, filosofi dan rasionalitas. Namun, komunis mengembangkan ide-idenya keluar dari pandangan romantik. Bahkan, mereka dengan menutup mata menolak penemuan ilmiah, yang tidak sesuai dengan tujuan mereka dan mencapnya sebagai "borjuis". Dan Stalin melangkah lebih jauh mensistemasi praduga ini dengan menciptakan perbedaan tidak masuk akal antara sains "borjuis" dan sains "proletar".
Di lain pihak, jika kita mencermati publikasi komunis; majalah, puisi atau lagu mars, kita akan menemukan bahwa ideologi mereka terikat erat dengan romantisisme. Mereka mengidolakan gagasan-gagasan tertentu, dan mengembangkan keter-ikatan emosional ber-lebihan terhadapnya. Gagasan terpenting di antaranya adalah "revolusi". Bagi seorang komunis, revolusi adalah akhir dari semua kejahatan dan awal segala kebaikan. Mereka sepenuhnya terpesona dengan fantasi, yang mereka tahu tidak akan pernah terwujud. Mereka tidak berusaha menguji ide revolusi secara rasional, tidak mempertanyakan, misalnya, "Apa tujuan revolusi itu harus dicari?" "Apa pembenaran untuk revolusi yang akan menyebabkan banyak orang tidak bersalah terbunuh dan seluruh masyarakat menderita?" "Tak bisakah kondisi kehidupan rakyat miskin diperbaiki tanpa revolusi?" "Bagaimana pengaruhnya terhadap perekonomian?" "Bagaimana negara akan dikelola, konflik dalam negeri diatasi, dan ancaman dari luar disingkirkan?"
Seorang komunis tidak melihat pentingnya semua pertanyaan ini; tujuannya hanyalah revolusi. Apabila dia diharuskan menjawab satu saja pertanyaan di atas, dia akan mengutip kalimat klise dari buku-buku Lenin, Stalin, atau Mao, tetapi dia sendiri tidak berpikir rasional untuk jawaban bagi pertanyaan tersebut. Yang mengikatnya erat-erat pada gagasan revolusi adalah puisi emosional atau lagu mars penuh semangat yang ditulis atau dinyanyikan tentang revolusi. Literatur komunis sering berbicara tentang "negeri indah berselimutkan bunga-bunga" dan "matahari merah di cakrawala". Sebenarnya, hubungan antara seorang komunis dengan gagasan revolusinya bisa disamakan dengan kisah cinta romantis. Ada stan-stan komunis di universitas-universitas, pameran-pameran buku, dan pusat-pusat budaya; jika Anda mengunjungi salah satu tempat itu, atau memasuki bar atau kafe komunis, di sana Anda akan melihat banyak simbol yang digunakan untuk menggairahkan romantisisme ini. Poster-poster menggambarkan proletar yang kuat memutus-kan rantai, orang-orang dengan tinju terkepal, lagu-lagu perjuangan sampai mati demi sosialisme, adalah simbol-simbol komunis romantik yang paling umum.
Romantisisme ini juga terkadang ter-cerminkan pada pakaian yang dikenakan komunis. Seorang komunis muda sering terlihat mengenakan jaket khaki dan topi komando, mengidentifikasi dirinya dengan gerilyawan komunis dari Amerika Latin, Che Guevara, dan tidak diragukan lagi di kamarnya, di antara barang-barang pribadinya, Anda akan menemukan poster "Che". Satu-satunya per-bedaan dirinya dengan mahasiswa yang ter-obsesi romantis oleh seorang selebriti, adalah jenis bintang yang dipilihnya; pujaannya bukan seorang musisi melainkan pejuang gerilya.
Contoh menarik lainnya untuk dipertimbangkan mengenai romantisisme komunisme adalah kesukaan mereka menyakiti diri sendiri dan membuat orang-orang merasa kasihan kepada mereka. Misalnya, seorang komunis militan melakukan aksi mogok makan di penjara, bersiap mati kelaparan untuk mencapai suatu tujuan yang remeh. Di satu pihak, dia merasa senang, merasakan sakit, dan menikmati simpati orang lain kepada diri dan nasibnya, sementara di lain pihak, dia juga merasa bangga diakui teman-temannya sebagai "pahlawan".

Kesenangan romantik yang dirasakan komunis dalam kesakitan mereka terkadang mencapai tingkat sangat tinggi. Komunis sanggup melakukan perbuatan nekad yang mengerikan dalam aksi demonya; misalnya, mereka membakar diri sendiri, mereka mengikat orang pilihan dari kalangan mereka pada sebatang besi, menuangkan cairan yang mudah terbakar pada tubuh-nya, menyulutnya, dan menyanyi-kan lagu-lagu mars komunis sementara temannya terbakar. Seperti terlihat pada rekaman, komunis militan yang melakukan aksi-aksi biadab tidak waras ini serupa dengan massa Nazi dalam pertemuan mereka; mereka meng-alami "kehilangan kesadaran" dan terpesona oleh hipnotis emosional dan psikologis.
Mungkin saja seorang komunis tetap setia memegang ideologinya hanya karena keras kepala, walaupun dia menge-tahui bahwa impian-impiannya tidak akan pernah tercapai. Komitmen buta terhadap ideologi ini didemontrasikan dalam sesumbar seperti: "Aku tidak peduli kalaupun itu salah, aku tidak peduli apakah kita berhasil atau tidak, aku komunis dan akan tetap begitu sampai mati". Tentu saja, seseorang yang rasional tidak akan berperilaku seperti itu. Dedikasi buta ini seperti kegilaan yang terlihat dalam hasrat obsesif seorang pria kepada wanita, yang sudah memperdayai dan menghinanya, namun demikian, dia tidak mau berhenti mencintainya.
Kemudian, telah ditunjukkan bahwa komunisme hanyalah salah satu senjata romantisisme yang dipakai setan untuk merampok akal sehat manusia, dan menjauhkannya dari keimanan kepada Tuhan. Walaupun diakui sebagai filosofi dan ideologi rasional, komunisme penuh dengan gagasan yang bertentangan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan. Setidaknya satu abad sudah dilewati komunis untuk bersikeras mempertahankan ideologi mereka, memperjelas bahwa pengabdian mereka terhadap ideologi merupakan pengabdian romantik.
 
 
  

BAB 4 ROMANTISISME ATAS NAMA AGAMA 

“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Al A'raaf, 7: 28)
Romantisisme tidak berkembang secara utuh menjadi sebuah ideologi tersendiri, melainkan mem-pengaruhi dan menyusup ke dalam pelbagai ideologi lain, menawari mereka dengan kualitas emosi yang memungkinkannya merampok rasionalitas manusia.   Sebagaimana ia telah merasuki ideologi-ideologi yang spenuhnya tidak religius dan menyimpang seperti fasisme dan komunisme, ia juga menyebarkan pengaruhnya dalam penyamaran agama.

Sebelum mulai membahas topik ini, ada hal penting yang harus dipahami. Suatu gerakan yang menyatakan dirinya agama belum tentu agama sejati. Sebaliknya, di masa lalu, banyak individu, kelompok, dan gagasan, yang sekalipun melakukan aktivitas dengan nama Tuhan dan agama, bermaksud merusak agama dan pengikutnya. Allah memberi kita contoh-contohnya dalam Al-Quran. Misalnya, seorang kriminal yang merencanakan pembunuhan salah satu nabi Allah, Nabi Saleh. Ketika menyusun rencana, dia dan para pengikutnya bersumpah atas nama Tuhan:
“Mereka berkata: "Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerang-nya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar".” (QS. An-Naml, 27: 49)
Para penyembah berhala yang menentang para nabi itu sering menuduh mereka "mengarang-ngarang cerita bohong tentang Allah", sambil menunjukkan fakta bahwa mereka menganggap diri mereka regiligius dan bertakwa pada Allah. (Quran, 42:24) Misalnya, Firaun, yang menyimpang sampai pada tahap mengakui dirinya tuhan, berkata demikian mengenai Nabi Musa:
   “Dan berkata Fir'aun (kepada pembesar-pembesarnya): "Biarkan aku membunuh Musa dan hendaklah ia memo-hon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku kha-watir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi".” (QS. Al Mu'min, 40: 26)
Ini menunjukkan bahwa pemikiran dan perbuatan menyimpang atas nama dan samaran agama bisa saja terjadi, dan romantisisme menempati urutan teratas pada daftar penyimpangan itu, yang dianggap religius padahal sama sekali tidak berhubungan dengan agama.
Untuk memahami bagaimana romantisisme bercampur aduk dengan agama, perlu dipahami benar gagasan "ikhlas".  Ikhlas adalah melakukan sesuatu dengan maksud semata-mata untuk memperoleh ridha Allah. Apabila suatu perbuatan benar-benar dilakukan dengan ikhlas, nilainya adalah ibadah dalam pandangan Allah. Misalkan, shalat, puasa, bersedekah, bekerja karena Allah, dan semua amal lain, akan dinilai sebagai kegiatan ibadah, hanya apabila dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah. Ibadah yang dilakukan tanpa niat mendapatkan ridha Allah tidak sah, menurut perintah Allah dalam Al Quran: "Maka kecelaka-anlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya." (QS. Al Maa'uun, 107: 4-6).
Hal ini juga jelas terungkap dalam Hadist Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan, "Allah menerima amal yang benar-benar dilakukan demi Dia, dan dimaksudkan untuk mencari ridlo-Nya ".12
Dalam hal inilah romantisisme mendistorsi agama. Ia mengarahkan agama pada tujuan selain memperoleh ridha Allah; ia melambangkan agama sebagai pengalaman emosional, yang di dalamnya orang-orang bisa memuas-kan kebutuhan emosional mereka, tetapi tidak untuk dipraktikkan demi ridha Allah.
Dengan mengaburkan perbedaan samar tetapi penting ini, romantisisme menuntun orang-orang ke arah pemahaman agama yang salah sama sekali, yang hasil akhirnya adalah mistisisme. Apabila orang-orang berhenti memahami agama sebagai penyerahan diri kepada Allah, dan mulai menganggapnya sebagai alat untuk "hiburan psikologis", maka sejumlah praktik mistik dicari, sehingga menenggelamkan mereka lebih jauh ke dalam pendekatan keliru ini.

Apabila kita membandingkan agama yang diromantisasi dengan agama yang disampaikan Allah kepada kita di dalam Al Quran, kita bisa melihat sejumlah perbedaan besar:
1. Di dalam Al Quran, Allah memerintahkan manusia menggunakan akalnya, untuk berpikir, mempertimbangkan apa yang sudah diciptakan Allah, dan dengan demikian, meningkatkan keimanan. Namun, pendekatan romantik terhadap agama menafikan akal sehat; tidak menuntun orang menggunakan pikirannya, sebaliknya, mendorong mereka untuk tidak berpikir sama sekali.
2. Menurut gagasan romantik tentang agama, orang yang berani menyiksa dan menyakiti diri sendiri patut dipuji. Misalnya, ada penganut Kristen yang berpikir mereka menjadi lebih dekat dengan Yesus dengan menyalib diri sendiri. Pada beberapa agama timur, seperti Budha, membiarkan diri kelaparan, tidur di tempat yang tidak nyaman dan bentuk-bentuk "pengorbanan diri" lainnya, dikatakan dapat membuat seseorang menjadi suci. Namun, di dalam Al Quran, sama sekali tidak ada gagasan seseorang harus menyakiti diri sendiri. Ayat Al Quran berikut dengan padat menyatakan pemahaman romantik yang menyesat-kan itu:
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (QS. Yunus, 10: 44)
Singkatnya, menurut pendekatan romantik, agama merupakan sesuatu yang mendorong kecenderungan manusia untuk mengidolakan individual, tidak reflektif, selalu mengingat masa lalu, menyakiti dan merusak diri sendiri. Ini adalah sebuah sistem palsu, terdiri dari kepercayaan dan praktik-praktik yang sepenuhnya asing bagi agama sejati.
Alih-alih mempelajari apa yang dikehendaki Allah dari mereka, dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya, orang-orang lebih suka meneruskan pendekatan itu terhadap agama, suatu perilaku dan cara berpikir khas yang diwarisi dari leluhur mereka. Mereka tidak menjalani hidup sesuai dengan penilaian rasional terhadap kondisi sekitar mereka, tetapi berpegang teguh pada pola pikir dan perilaku tradisional yang sama. Ini merupakan penyimpangan terhadap peringatan tajam Allah yang disebutkan dalam banyak ayat Al Quran. Berikut ini beberapa contohnya:
“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakan-nya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al Maidah, 5: 104)
“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Al A'raaf, 7: 28)
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (QS. Luqman, 31: 21)
Kesimpulan
Jika seseorang berkeinginan agar mampu mempraktik-kan agama yang memang dikehendaki Allah untuk diprak-tikkannya, pertama-tama dia harus keluar dari lumpur romantisisme. Seperti yang diperintahkan Allah dalam ayat berikut: "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Yang Haq..." (QS. Al Hajj, 22: 62). Sesung-guhnya Allah, Dialah yang Haq, atau real, dan untuk memahaminya, seseorang harus menjadi "realis". Mereka yang terbelenggu oleh gagasan-gagasan romantik, di lain pihak, juga terpengaruh oleh ideologi-ideologi sesat, seperti nasionalisme atau komunisme romantik, atau kehilangan sentuhan dengan ilmu pengetahuan dan keikhlasan melalui penafsiran romantik atas agama, atau dipengaruhi sejenis gagasan cinta romantik yang akan kita kaji pada bab-bab selanjutnya buku ini.
Bahkan jika orang-orang yang terpengaruh oleh cara berpikir ini mulai mempraktikkan agama, mereka tidak memiliki kestabilan mental untuk menekuninya, karena kondisi spiritual mereka yang terombang-ambing akibat tuntunan romantisisme. Ada sejumlah orang yang mulai mempraktikkan agama karena terinspirasi oleh beberapa gagasan romantik, tetapi dengan cepat mereka menyerah dan kembali pada kehidupan tanpa agama.
Akan tetapi, Allah memberikan perintah kepada manusia:
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam, 19: 65)

BAB 5 Kearifan sejati datang dari keimanan

“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah, 5: 15-16)
Selanjutnya dalam buku ini, kita akan mengkaji dampak romantisisme dalam kehidupan kita sehari-hari. Tetapi sebelum kita mendalami topik ini, perlu dijelaskan secara terperinci makna "kearifan" yang sering disebutkan dalam buku ini.
Perbedaan penting antara orang yang arif dengan orang yang cerdas sering tidak dipahami. Ini merupakan kesalahan besar. Kata "kecerdasan" umumnya digunakan dalam masyarakat untuk menunjukkan kualitas ketajaman mental saja, dan ini sangat berbeda dengan kearifan.
Kearifan adalah kualitas orang beriman yang memiliki kemampuan untuk mengenali tanda-tanda samar dari Allah dalam segala sesuatu yang diciptakan-Nya, yang membuat dia memahami dunia sekitarnya. Tetapi, upaya apa pun untuk memikirkan hal-hal ini, yang hanya mengandalkan kemampuan otak untuk memperhitungkan sebab dan akibat, akan berujung pada persepsi realitas yang sempit dan mekanistik. Kecerdasan adalah kualitas orang beriman yang mempunyai keimanan teguh kepada Allah, dan yang menjalani kehidupannya berdasarkan ajaran ayat-ayat Al Quran. Kecerdasan adalah karakteristik fisik yang dimiliki semua individu dalam pelbagai tingkatan, sedangkan kearifan adalah kualitas yang hanya dimiliki oleh orang-orang beriman. Mereka yang tidak mempunyai keimanan berarti tidak memiliki "kebajikan" dari kearifan.
Kearifan memungkinkan seorang beriman mengerahkan kemampuan mental, penilaian, dan logika, yang berarti memanfaatkan kebajikannya. Seseorang tanpa kearifan, setinggi apa pun kecerdasan-nya, pada satu saat akan tersesat ke dalam cara berpikir yang salah atau pengambilan keputusan yang buruk.  Jika kita mencermati para filosof yang tidak beriman sepanjang sejarah, kita akan menyadari bahwa mereka menyatakan pandangan yang berbeda dan bahkan terkadang saling bertolak belakang untuk permasalahan yang sama. Meskipun mereka adalah orang-orang dengan kecerdasan tinggi, mereka tidak beriman, dan karena tidak beriman, mereka juga tidak cukup arif  sehingga tidak mampu mencapai kebenaran. Bahkan sebagian dari mereka menarik manusia ke dalam kesalahan tak terhitung banyaknya. Kita bisa menemukan beberapa contoh demikian dalam sejarah sekarang ini: Banyak filosof, ideologis dan negarawan, seperti Marx, Engels, Lenin, Trotsky, walaupun mereka sangat cerdas, telah menye-babkan bencana bagi jutaan orang, karena mereka tidak mampu menggunakan pikiran mereka secara efektif. Sebaliknya, kearifan menjamin perdamaian, kesejahteraan, dan kebahagian, dan menunjuk-kan cara untuk mencapai semua itu.
Kecerdasan memungkinkan kita, antara lain, untuk berpikir, mem-bentuk persepsi, memusatkan perhatian, dan melakukan aktivitas praktis. Tetapi, lebih dari semua ini, seorang yang arif juga mempunyai pemahaman mendalam yang tidak bisa diperoleh dengan kecerdasan saja, dan dengan kearifan itu dia bisa membedakan antara kebenaran dan kesalahan. Oleh karena itu, seorang yang arif memiliki wawasan jauh lebih luas dibandingkan seorang yang cerdas.
Sumber kearifan, seperti yang disebutkan sebelumnya, adalah keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang tertanam dalam. Mereka yang bertakwa kepada Allah, benar-benar memperhatikan semua perintah dan larangan-Nya, sehingga memiliki wawasan luas sebagai berkah dari Allah. Tetapi, meskipun kebajikan ini mudah diperoleh, hanya sedikit orang yang dianugerahi kearifan. Kondisi ini, yang disampaikan Allah melalui firman-Nya dalam Al Quran, "Kebanyakan mereka tidak menggunakan akalnya". (QS. Al Maidah, 5: 103), timbul dari kenyataan bahwa kebanyakan orang tidak mem-punyai keimanan yang benar, karena tidak menyisakan ruang dalam kehidupannya bagi Al Quran.
Kearifan yang Allah anugerahkan kepada siapa saja yang bertakwa kepada-Nya, dan yang menjalani kehidupannya sesuai tuntunan Al Quran, membuat orang beriman lebih unggul daripada orang tidak beriman dalam banyak hal. Komponen dasar kearifan adalah pengetahuan orang beriman bahwa Allah mengendalikan segalanya sepanjang masa, kesadarannya akan fakta bahwa segala sesuatu dalam setiap detailnya terjadi menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah, dan kesadarannya bahwa dia bersama Allah setiap saat. Kearifan juga memungkinkan seorang beriman untuk menyesuaikan diri dengan mudah dalam kondisi dan situasi yang berubah-ubah.
Ketajaman wawasan dan pemahaman orang-orang beriman, perhatian dan kesadaran mereka, kemampuan analitis mereka yang tinggi, moral yang baik, karakter yang kuat, dan kearifan dalam kata dan perbuatan, semuanya merupakan produk alami kearifan mereka. (untuk informasi yang lebih terperinci lihat buku True Wisdom According to the Quran, oleh Harun Yahya)
Bayangkan jika karakteristik luar biasa yang dimiliki perorangan itu dimiliki oleh masyarakat secara keseluruhan. Pikirkan keuntungan bagi masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang menggunakan akal dalam segala yang mereka ucapkan, dalam setiap tindakan yang mereka ambil, dalam setiap keputusan yang mereka buat, dan dalam setiap masalah yang mereka hadapi; pikirkan lingkungan yang akan tercipta dalam masyarakat yang terbentuk oleh individu-individu arif… Sungguh, kita memerlukan kehadiran orang-orang arif untuk menjamin kenyamanan, kesehatan, keamanan dan ketenangan pikiran kita. Lebih jauh lagi, keberadaan orang-orang arif ini tak tergantikan untuk mencegah kekacauan, kebingungan dan anarki, dan untuk menemukan solusi atas masalah yang timbul. Dengan mempertimbangkan ini, jelaslah bahwa kunci setiap masalah adalah pengenalan kebutuhan yang dilengkapi kearifan.
Tidak diragukan lagi, kearifan adalah kualitas terpenting yang dapat dimiliki seseorang. Dengan kearifan, dia memberikan manfaat kepada orang lain lebih daripada yang lain, karena, dengan moralitas yang ditanamkan oleh keimanan, tidak ada lagi tujuan lebih besar baginya selain untuk memperoleh ridha Allah. Sepanjang hidupnya, orang seperti itu menunjukkan kualitas-kualitas mukmin sejati seperti yang digambarkan dalam Al Quran: dia melindungi mereka yang tertindas, dia peduli kepada tuna wisma, mereka yang kesepian, dan mereka yang membutuhkan, dia merasa bertanggung-jawab atas penerapan hukum yang adil dan tidak akan membiarkan siapa pun kelaparan. Kearifan-Nya membuatnya menerapkan apa yang dia pelajari dari Al Quran dalam kehidupannya, dan mengembangkan rasa tanggung jawab sosial. Kita semua mencari orang seperti itu, yang menggunakan pikirannya untuk mengatasi masalah, menerapkan langkah-langkah yang tepat, dalam memberikan nasihat dan saran, dan yang menunjukkan kearifan dalam perkataan dan tulisannya. Oleh karena itu, terdapat banyak manfaat yang bisa diperoleh dari kata-kata dan perbuatan orang seperti itu.
Setelah kita mengetahui pentingnya kearifan, tidak akan sulit menyadari keseriusan ancaman bahaya yang ditimbulkan oleh sebaliknya. Bahaya ini merupakan ancaman baik bagi individu maupun masyarakat pada umumnya, dan kita akan terbantu dengan mengkaji masalah-masalah yang diakibatkan oleh ketiadaan kearifan.
Salah satu rintangan terbesar menuju kearifan adalah korupsi spiritual yang sudah dibicarakan pada bagian terdahulu buku ini: romantisisme, yang disebut juga sentimentalitas.
Sentimentalitas Umum
Kita sudah mendefinisikan sentimentalitas sebagai perbuatan seseorang yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diperoleh dengan kearifan dan akal sehat, tetapi menurutkan emosi. Sentimentalitas merupakan penyakit spiritual laten pada setiap anggota masyarakat ateistik atau pagan, walaupun secara umum cenderung mempengaruhi orang-orang secara berbeda; sebagian orang lebih emosional daripada lainnya. Orang yang tidak tertarik dengan Al Quran, atau tidak menjalani hidup dengan tuntunan agama, tidak mungkin menye-lamatkan diri dari cengkeraman romantisisme. Sentimen-talitas hanya bisa diberantas dengan perbuatan bijaksana, yaitu dengan bertindak menurut ajaran moral Al Quran. Sebab seperti yang sudah dibicarakan tadi, seseorang yang tidak menjalani hidupnya sesuai dengan Al Quran, tidak mungkin dapat menggunakan akalnya dengan efektif.
Meskipun nyata-nyata sebuah penyakit spiritual, sentimentalitas tetap menjadi ukuran umum di dalam masyarakat yang tak acuh untuk menentukan apakah seseorang termasuk "orang baik" atau tidak. Sentimentalitas telah mempengaruhi mayoritas masyarakat yang tidak berpengetahuan, hingga sampai pada tahap bahwa seseorang yang tidak mudah tergerak oleh perasaan romantik segera dianggap tidak berhati dan tidak berperasaan.
Dapatkah sentimentalitas begitu tidak bersalah dan tidak berbahaya seperti anggapan umum? Apabila kita mencermati pertanyaan ini dan menjawabnya secara realistis, kita akan menemu-kan kenyataan bahwa sentimen-talitas menimbulkan suatu dampak menyedihkan. Di bagian awal buku ini, kita telah melihat efek nyata sentimentalitas dalam bidang sosial, tetapi ia juga mempunyai dampak merusak dalam kehidupan sehari-hari. Sentimentalitas menjadi salah satu alasan utama untuk keluhan-keluhan yang disuarakan banyak orang relatif  terhadap banyak masalah yang mereka tak mampu temukan solusinya.
Namun, karena solusi atas setiap permasalahan, dan jalan keluar dari setiap kesulitan, sudah disajikan dalam Al-Quran, individu atau masyarakat yang menggunakan Al-Quran sebagai petunjuk, mendapatkan segala manfaat dari kearifan. Dengan kata lain, mereka merasakan manfaat-manfaat kearifan.
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah, 5: 15-16)
Sejak kanak-kanak, kita terbiasa melihat orang-orang bisa menangisi apa saja, dari kesewenang-wenangan yang mereka baca di koran, hingga pemandangan orang kelaparan di televisi. Ketika kita melihat mereka mengekspresikan duka atas penderitaan orang lain, kita mengganggap mereka memiliki nurani yang baik, padahal reaksi emosional demikian, jika hanya berkisar pada menumpahkan air mata dan menyalahkan orang lain, tidak ada gunanya. Apa yang tidak ditunjukkan oleh reaksi emosional demikian adalah minat aktif dan terlibat dalam kesejahteraan orang-orang yang menderita. Orang tipe ini merasakan kesenangan dengan menangis dan menyesali penderitaan seseorang, tetapi tidak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan masalah. Di bawah sadar, mereka memilih hidup dalam keadaan sentimentalitas yang abstrak. Menariknya lagi, orang seperti itu juga terpuruk dalam pesimisme, keputusasaan, penyesalan, ketidakberdayaan, depresi dan semua perasaan negatif lainnya. Perasaan-perasaan itulah yang dikehendaki setan dalam menyesatkan dunia dengan sentimentalitas.
Masih ada aspek penting lainnya yang perlu diper-timbangkan dalam hal ini:  Jika seseorang memberikan saran bahwa alih-alih menumpahkan air mata di depan televisi, sebaiknya mereka bangkit dan melakukan sesuatu, maka saran itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Mereka akan mencoba mengelak dengan membuat alasan, seperti, "Apa lagi yang bisa dilakukan?", "Apa yang bisa aku lakukan seorang diri?"
Orang-orang emosional menambah pesimisme dengan menga-takan bahwa sebuah masalah terlalu kompleks untuk diatasi; dan ini membuat orang lain merasakan keputusasaan yang sama.
Banyak kualitas moral yang baik kehilangan kebajikannya karena terafiliasi dengan sentimentalitas, sampai pada tahapan berbahaya. Misalnya, kasih sayang adalah sentimen moral yang dianjurkan oleh Allah dalam Al Quran, tetapi disalahgunakan oleh orang emosional yang bersimpati kepada penindas, memuji perbuatannya, dan menerima kekejamannya. Sebaliknya, orang arif tidak mungkin bisa melihat pembenaran dalam sikap, perilaku atau pemikiran yang diasosiasikan dengan sentimentalitas. Karena selama temperamen emosional dipupuk di dalam jiwa, maka aspek-aspeknya yang lebih berbahaya bisa muncul kapan saja tergantung pada keadaan dan lingkungan.
Sekarang, penting sekali untuk menunjukkan perbedan antara bersikap sensitif dan empatik dan bersikap emosional. Di dalam Al-Quran, Allah menjelaskan bahwa "sensitif, empatik dan lembut" adalah kualitas yang ditampilkan terbaik pada seorang nabi. Sentimentalitas sama sekali berlawanan denga sikap moral yang dianjurkan dalam Al-Quran. Orang-orang beriman tidak sentimental, tetapi empatik dan penuh kasih sayang. Dengan kata lain, mereka adalah individu-individu yang jernih, sangat arif, yang memiliki kualitas moral sangat kuat. Di dalam Al Quran, Allah berfirman tentang karakter moral Nabi Ibrahim yang baik: "Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah". (QS. Huud,11: 75)
Tidak boleh dilupakan bahwa orang-orang emosional hanya merasa kasihan kepada orang lain; mereka tidak mencoba membantu mereka keluar dari situasi sulit, atau menemukan solusi atas masalah mereka. Namun, seseorang yang memiliki empati yang dikehendaki Allah, akan melakukan apa pun agar dia bisa membantu orang lain menemukan solusi atas masalahnya, dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengeluarkannya dari kesulitan. Ini adalah kasih sayang dan cinta sejati.
Bagaimana Sentimentalitas Mengaburkan Kearifan?
Setiap orang diciptakan dengan perasaan seperti cinta, kasih sayang, kemurahan hati dan ketakutan. Memiliki semua perasaan itu berarti manusiawi. Apa yang ingin ditekankan di sini adalah, supaya seseorang mempunyai kehidupan spiritual yang sehat dan seimbang, dia perlu menjaga emosi agar tetap terkendali, dan mengarahkannya sesuai dengan keimanan dan kearifannya. Sebagai contoh, cinta sudah diberikan kepada manusia agar perasaan ini ditujukan terutama kepada Allah, yang telah menciptakan kita dari ketiadaan, yang menyediakan segalanya untuk kita, memberi kita berkah, dan yang menjanjikan kita kehidupan abadi yang penuh dengan kebahagiaan. Cinta juga merupakan emosi yang harus ditujukan kepada orang-orang yang mencintai Allah dan dicintai Allah, yaitu orang-orang yang beriman. Seseorang dicintai karena kedekatan-nya dengan Allah, ketakutannya kepada Allah, dan kepeduliannya untuk melindungi hak-hak Allah. Semua bentuk cinta ini ditujukan kepada Allah, dan kepada objek-objek yang mengandung perwujudan sifat-sifat Allah. Bahkan di dalam Al Quran terlarang bagi orang beriman untuk mencintai musuh-musuh Allah dan agama-Nya.
Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk tidak takut pada apa pun atau siapa pun selain kepada-Nya, karena segala sesuatu dan setiap orang berada dalam kekuasaannya. Selain dari Allah, tidak ada kekuatan atau kekuasaan, karenanya, tidak satu pun layak ditakuti selain dari Allah.
Kita akan mengambil perasaan marah sebagai contoh selanjutnya. Kemarahan merupakan emosi yang membang-kitkan tanggungjawab orang beriman terhadap saudaranya, dan memicunya melakukan tindakan melawan ketidak-adilan, melawan musuh-musuh Allah dan agama, dan melawan penindasan. Namun, ketika orang beriman bertindak karena rasa tanggungjawabnya, tentunya disertai kecerdasan, pertimbangan dan nilai moral yang baik. Orang beriman tidak pernah bertindak tidak adil atau sewenang-wenang, juga tidak berdasarkan dendam, atau seperti yang diperintahkan Al Quran, dia tidak pernah membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan, atau kekejaman dengan kekejaman.
Akan tetapi, seseorang yang bertindak berdasarkan perasaannya dapat mudah menjadi kesal jika ada hal kecil yang tidak berjalan seperti kemauannya, dan jika segalanya tidak terjadi menurut keinginannya, atau jika seseorang tidak melakukan apa yang dikehendakinya, dan bisa meledak dalam kemarahan. Disebabkan oleh kemarahan dalam dirinya, penilaian dan pandangannya bisa tiba-tiba menjadi gelap, dan setiap saat dia dapat melakukan tindakan impulsif.
Seperti yang telah kita lihat, manusia harus mengendali-kan emosi yang telah diciptakan Allah dalam dirinya sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kata lain, dia tidak boleh menyimpan dalam dirinya rasa takut, marah, atau segala jenis rasa cinta, yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Jika dia berbuat demikian, dia tidak akan mengikuti jalan yang telah Allah tentukan, tetapi mengikuti jalan yang diarahkan oleh emosinya. Ini tidak lain merupakan kemusyrikan.
Apabila perasaan bawaan dalam diri manusia tidak dituntun dengan kearifan, penyakit sentimentalitas merasukinya dan mulai mengambil alih perilaku, percakapan, perbuatan, pikiran, dan pendekatan mereka pada segalanya secara umum. Jika sudah demikian, maka orang itu sudah jauh dari alam kearifan dan memasuki tirani emosi. Pada orang seperti ini, emosi menghalangi kecerdasan dan mengaburkan pikiran.
Dengan mengabaikan aturan-aturan Al Quran, mereka menyukai secara berlebihan orang yang mereka cintai, mereka bisa sangat takut kepada atasan, pasangan atau orang lain, atau mereka dipenuhi kemarahan. Tentu saja, kita tidak bisa mengharapkan orang dalam keadaan spiritual seperti itu bisa bersikap bijaksana dalam perilakunya, karena dalam diri orang seperti itu kearifan telah digantikan emosi tak terbatas.
Sentimentalitas merampok rasa realitas seseorang. Salah satu tanda yang paling jelas dari pribadi emosional adalah keinginannya untuk menjalani kehidupan di dunia yang terpisah dari realita; dia seperti orang yang hidup di dunia mimpi, hubungannya dengan realita sangat tipis. Dia lebih memilih emosi daripada akal sehat dan logika; dan dia lebih memilih impian dan fantasi daripada realita. Karena itu, tidak mungkin melakukan percakapan atau diskusi dengannya; dia tidak bisa memberi ataupun mene-rima petunjuk dan nasihat. Dalam kenyataan, senti-mentalitas adalah bentuk ringan kerusakan mental yang oleh psikiater disebut "skizofrenia." (Orang-orang yang mende-rita skizofrenia terputus dari realita dan hidup dalam dunia-nya sendiri)
Orang emosional bisa disamakan dengan seseorang yang menangis ketika menonton film di televisi: Penonton itu begitu jauh dari realita sehingga dia bisa merasa sedih dan bahkan menangisi seorang aktor yang menderita dalam film itu, walaupun, si aktor menerima uang untuk memainkan perannya, dan kehidupannya yang nyata mungkin diliputi kebejatan moral. Ini suatu keadaan yang tidak mungkin orang arif jatuh ke dalamnya, dan secara jelas menunjukkan seberapa jauh mentalitas sentimental dapat memutuskan sesorang dari realita, dan seberapa jauh ia bisa memaksanya ke dalam pemikiran tidak sehat, yang pada gilirannya tecermin dalam kehidupannya sehari -hari.
Kita adalah saksi atas fakta bahwa mayoritas orang emosional hanya duduk berdiam diri, seolah tangan mereka terikat. Mereka puas hanya dengan menangis dan mengeluh, tetapi tidak berbuat apa pun untuk mengatasi perasaan tidak suka terhadap situasi tersebut. Misalnya, datang berita bahwa seorang saudara mengalami kecelakaan; alih-alih berpikir pasti ada hikmah di balik itu, dan memutuskan bagaimana dia akan membantu, orang emosional biasanya menjadi pingsan dan mulai menangis. Dia tidak akan bertanya apa yang sudah dilakukan bagi si korban, apakah dokter sudah dipanggil atau apakah tersedia cukup obat. Dia tidak akan mencoba mengetahui apa yang bisa dia bantu, tetapi akan mencari cara menghibur diri seakan dialah yang memerlukan dukungan.
Atau, seseorang di dekatnya tiba-tiba jatuh sakit; alih-alih melakukan pertolongan pertama dan memanggil ambulan, dia akan mulai berlarian ke sana kemari mencipta-kan kepanikan dengan kebodohannya. Jika seseorang bertanya padanya apa yang terjadi, dia tidak akan bisa menjawab karena emosionalisme mencegahnya mengguna-kan akal, dan memisahkannya dari orang lain.
Atau, dia sendiri menderita sakit; dia tahu ada yang tidak beres dengan dirinya, tetapi jika dia pergi ke dokter, dia takut penyakitnya terbukti serius. Dia tidak mau menjadi sedih, karenanya dia tidak tertarik mendapatkan diagnosis akhir. Karena tidak mendapatkan perawatan yang seharus-nya bisa diperolehnya jika dia bertin-dak arif, dia kehilangan kesempatan disembuhkan dari sakitnya.
Kita dapat menggandakan contoh-contoh perilaku emosional yang tidak arif itu untuk menunjuk-kan bagaimana irasionalitas seperti itu membawa dampak sangat me-rusak, dan yang terkadang bisa men-jadi masalah hidup atau mati. Orang-orang ini begitu terganggu, melalui pengaruh setan, oleh segala hal yang mereka lihat terjadi di sekitar mereka, sehingga menjadi lemah, dan mereka sendiri akhirnya memerlukan bantu-an dan penenangan. Namun, jika me-reka menggunakan kearifan dan me-ngambil keputusan yang tepat dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, mereka pasti bisa menemukan solusi untuk masalah mereka.
Seperti yang bisa kita lihat, individu emosional bukanlah orang yang dapat menggunakan pikiran untuk menghasil-kan solusi permasalahan; mereka tidak bisa memimpin orang. Sebaliknya, karena mereka sendiri perlu dipimpin atau dijaga, mereka menjadi beban bagi orang lain. Sebagai contoh, jika orang emosional melihat seseorang dalam kesulitan, alih-alih menawarkan bantuan, dia akan berpikir untuk tidak melakukan apa pun kecuali mengeluh dan berkata "Oh, kasihan!", atau ungkapan iba lainnya. Dalam hal ini, kearifan sepenuhnya telah dikebelakangkan, dan meru-pakan suatu kesalahan mengharapkan manfaat positif dari orang seperti ini.
Di dalam Al Quran, Allah menunjukkan perbedaan antara orang demikian dengan orang-orang beriman.
“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki, yang seorang bisu tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Sama-kah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (QS. An-Nahl, 16: 76)
 Orang-orang beriman tidak bereaksi atas segala hal menuruti emosi, tetapi dibimbing dengan kearifan, dan dalam setiap situasi, seperti disebutkan dalam ayat di atas, mereka "menyuruh berbuat keadilan", yaitu, mereka memastikan bahwa hal yang benar dan pantas telah dikerjakan. Karena mereka meyakini bahwa segala sesuatu yang mereka alami dalam hidup atas sepengetahuan Allah, dan selain dari apa yang dikehendaki Allah untuk mereka, mereka tidak berdaya melakukan apa pun. Jadi, mereka tidak pernah kehilangan ketenangan yang muncul dari kepatuhan dan keyakinan kepada Allah. Mereka tidak pernah bereaksi terburu-buru dan mereka tidak pernah menyerah pada pesimisme atau keputusasaan. Mereka tahu Allah membawakan kebaikan untuk mereka bahkan dari kemalangan.
Jika Anda ingin memberitahu seseorang tentang bahaya yang terkandung dalam sentimentalitas bagi kehidupan spiritualnya, dia tidak akan mendengarkan Anda; sejak semula dia akan menolak untuk mempertimbangkan kemungkinan itu. Pikiran orang emosional begitu tertutup terhadap setiap saran yang bertentangan sehingga dia merasa diperlakukan tidak adil, merasa tersinggung dan mulai menangis, atau marah dan menarik diri. Jadi, Anda tidak dapat mengkritisi orang emo-sional, apalagi membe-rikan saran atau nasihat.
Emosionalisme me-nyebabkan orang men-jadi mudah tersinggung.  Akibatnya, orang-orang ini takut ada maksud ter-sembunyi dalam segala yang dikatakan kepada mereka; mereka mudah salah paham atau melebih-lebihkan. Kemudian, sebagai protes tanpa penjelasan apa pun, mereka berhenti berbicara, menarik diri dan merajuk seperti anak kecil. Karena mereka tidak mampu berpikir rasional, atau takut menghadapi realita, tidak mungkin bagi mereka untuk melakukan introspeksi, atau memperbaiki kesalahan diri me-reka. Seperti yang disebutkan tadi, orang-orang dengan kea-daan psikologis seperti ini menginterpretasikan setiap kata yang diucapkan kepada mereka sebagai ketidakadilan dan menjadi jengkel, sebagai akibatnya mereka putus asa dan menyendiri. Allah berfirman dalam Al Quran tentang orang yang memilih ketidakbahagiaan bagi dirinya seperti ini:
“Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan men-    jauhinya.” (QS. Al A'laa, 87: 10-11)
Dengan tidak menggunakan akal sehat dan mengikuti dikte emosinya, orang ini membiarkan kearifan semakin tertutup dari hari ke hari. Jika mereka tidak memperbaiki keadaan mereka, mereka tidak mungkin bisa menerima hakikat agama, atau menjalani kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Orang emosional tanpa kearifan tidak memiliki penilaian sehat atau pikiran yang koheren dan stabil. Dalam hal yang jelas bagi orang beriman, orang emosional mendapati kontradiksi dan kebingungan. Dia bergulat dengan kekhawatiran. Orang emosional tidak bisa memahami Al Quran, yang merupakan petunjuk bagi orang-orang arif; dia tidak bisa menerima nasihat darinya.  Dia tidak dapat mempertimbangkan Allah menurut pertimbangan sejati dan memahami kearifan yang tersirat di balik apa yang terjadi di alam semesta; dia tidak dapat memahami alasan-alasan untuk keberadaan dunia, surga dan neraka. Dia tidak mengetahui apa artinya berkata tiada tuhan selain Allah. Setiap ide dalam benak orang seperti ini, setiap pikiran, perhatian dan tujuannya, setiap perbuatannya, menuntun-nya dari satu perbuatan musyrik ke perbuatan musyrik lainnya.
Ini adalah salah satu metode yang digunakan setan untuk menyesatkan manusia dari jalah Allah. Di dalam Al Quran, Allah memperingatkan bahwa setan akan menggunakan segala cara untuk menjerumuskan manusia ke dalam neraka:
“Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untukku), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan nenyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS. An-Nisaa', 4: 118-120)
Orang yang memahami ayat-ayat ini tidak membiarkan setan menuntunnya ke dalam angan-angan. Dia tidak terjebak dalam emosi, tetapi menggunakan kearifannya untuk melihat realita dengan jernih, dan kemudian bertindak tepat sesuai dengan apa yang dia lihat. Yang bagi orang dengan pikiran tertutup emosi merupakan kebingungan, kontradiksi dan kesulitan, bagi orang beriman merupakan sesuatu yang jelas, terang dan sederhana. Di lain pihak, mereka yang telah jatuh diperbudak sentimentalitas, mengantarkan diri mereka pada keinginan dan gagasan setan, dan terus dituntun menuju kesengsaraan abadi melalui lumpur suram kemusyrikan.  

BAB 6 ROMANTISISME: KUMPULAN PEMIKIRAN 

“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa, lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku"; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.”
(QS. Huud, 11: 9-11)
Sentimentalitas menutup pemikiran dan membuat seseorang mudah teperdaya oleh tipu daya setan. Dengan sentimentalitas sebagai alat, setan bisa sesukanya menuntun orang-orang dan masyarakat tanpa agama ke dalam pelbagai kesesatan. Kita sudah mengamati beberapa contoh strategi setan pada bagian pertama buku ini, dan kita telah melihat bagaimana ideologi seperti nasionalisme dan komunisme romantik mengeksploitasi sentimentalitas untuk membawa individu dan masyarakat ke dalam kehancuran.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, terdapat banyak jenis sentimentalitas. Pada halaman berikut, kita akan melihat jenis-jenis utama sentimentalitas.
Kemurungan dan Pesimisme
Manusia diciptakan dengan fitrah menyukai keindahan, dan keinginan untuk hidup bahagia dan sejahtera. Karena itu, merupakan fitrah manusia pula untuk menyingkirkan secepat mungkin situasi yang tidak menyenangkan, atau mengubahnya menjadi menyenangkan. Bahkan, pikiran tenang dan jiwa sehat merupakan faktor penting bagi kesehatan pikiran, di samping badan. Namun, apabila orang-orang bertindak menuruti perasaan, keinginan dan nafsu, tanpa mempedulikan ajaran Al Quran, mereka menjadi tertekan dengan kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan. Jika seseorang tidak memiliki pemahaman tentang hakikat nasib, tentang makna 'meletakkan hidup di tangan Allah, dan penyerahan diri sepenuhnya pada kehendak-Nya seperti yang diajarkan Al Quran, maka dia terus-menerus bergulat dengan kecemasan akibat ketidaktahuannya tentang apa yang akan terjadi padanya atau pada orang-orang yang dekat dengannya setiap saat. Padahal, jika dia menjalani kehidupan menurut agama yang telah Allah tetapkan untuknya, dan menurut tuntunan moral Al Quran, maka dia tidak akan pernah mengalami kecemasan atau kesulitan lain semacamnya. Allah menyampaikan kebenaran ini melalui utusan-utusannya ketika Dia berfirman:
“Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpun-kannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha, 20: 123-124)
Seperti dinyatakan dalam ayat di atas, banyak orang berpaling dari peringatan Allah dan, akibatnya, menjalani kehidupan yang gelisah dan tidak bahagia. Lebih jauh, karena mereka percaya takhayul bahwa kehidupan dijalani secara kebetulan, mereka merasa menyesal dengan menganggap sebagai kemunduran dan kesialan hal-hal yang mungkin bermanfaat bagi mereka di masa depan. Pikiran mereka terus-menerus terganggu oleh ketakutan dipecat dari pekerjaan, menjadi miskin, tertipu atau menjadi sakit. Ketika mereka mengharapkan pujian, mereka khawatir akan dicemoohkan; ketika mereka mengharapkan kesetiaan, mereka khawatir dihadapkan pada ketidakpedulian. Mereka mejadi pesimistik ketika mereka memikirkan kemungkinan menerima kabar buruk setiap saat, atau seseorang mungkin akan berkata atau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap mereka. Bahkan ketika mereka sangat berbahagia, mereka tetap hidup dengan kecemasan sehingga mereka tidak bisa melanggengkan kebahagiaan itu; kehidupan mereka benar-benar mimpi buruk. Di dalam sebuah ayat, Allah mengemukakan kegelisahan mereka yang tidak mengikuti Al Quran:
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al An’aam, 6: 125)
Orang-orang tanpa agama wajar saja merasa terganggu dan tanpa kedamaian pikiran, karena mereka menjalani kehidupan tanpa didampingi kualitas moral Al Quran, seperti cinta, perasaan iba, kelapangan dada, pengorbanan diri, kesetiaan dan kerendahan hati. Hidup dalam sistem yang penuh tipu daya dan bahaya, yang di dalamnya orang-orang tidak saling menolong tanpa mengharapkan imbalan, dan persahabatan dicari dengan harapan mendapat keuntungan, bahkan kesalahan kecil yang dilakukan seseorang mendapatkan respons kemarahan, dan setiap orang memperlakukan sesamanya dengan tidak adil, bergosip dan menyembunyikan apa yang sebenarnya mereka pikirkan, merupakan penyebab ketidakbahagiaan bagi seorang sentimental.
Namun, jika orang seperi itu hidup di lingkungan yang sesuai dengan keinginannya, itu akan mengubahnya sedikit saja. Bahkan walaupun banyak kejadian di sekitar mereka yang selayaknya membuat mereka bahagia, orang emosional seperti itu tetap menemukan jalan untuk melihatnya dari sisi negatif. Karena mereka memandang setiap hal kecil dengan cara demikian, tidak ada bedanya apakah cuaca panas atau dingin, hujan atau angin; mereka menjadikan apa pun untuk dikeluhkan. Kita bisa menggambarkan, dengan contoh berhalaman-halaman, bagaimana orang-orang ini menemukan alasan untuk merasa tidak puas pada setiap kesempatan. Ini merupakan manifestasi dari apa yang Allah firmankan pada ayat berikut, "Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. At-Taubah, 9: 82). Dalam ayat lainnya, Allah menjelaskan perilaku orang tidak beriman, yang "apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah." (QS. Al Ma'aarij, 70: 20).
Penyebab utama lain untuk ketidak-bahagiaan yang dirasakan orang-orang tidak beriman adalah kenyataan bahwa rencana mereka tidak terlaksana sesuai dengan harapan mereka. Sebagai contoh, orang emosional menyiapkan makanan untuk suaminya dan merasa kecewa ketika dia tidak mendapatkan reaksi yang diharapkannya. Dia menabung untuk membelikan temannya hadiah, tetapi lagi-lagi dia sedih karena dia merasa temannya tidak sesenang seperti yang diharapkannya. Dia membeli sebuah rumah, tetapi kembali dia merasa sedih karena dia menganggap tukang cat tidak mencampur warna dengan baik. Alasan untuk tidak bahagia bisa tak terhingga banyaknya. Kekalahan tim sepakbola favorit, mendapatkan nilai kurang dari yang diharapkan, terlambat kerja, kemacetan lalu lintas, memecahkan kacamata, kehilangan jam tangan, jas atau gaun favorit terkena noda di pesta, segalanya bisa dijadikan alasan untuk tidak merasa bahagia.
Orang yang menilai situasi secara dangkal dan bereaksi emosional, tidak akan bisa melihat bahwa sesuatu yang terjadi padanya mungkin bermanfaat baginya kelak. Pikirkan, misalnya, seseorang merasa sedih karena tertinggal bus; bagaimana dia tahu bus itu tidak akan mendapat kecelakaan sesaat kemudian? Barangkali Allah menentukan dia tertinggal bus sebagai bagian dari takdirnya sehingga dia terhindar dari kecelakaan.  Mari kita perhatikan contoh lainnya: seorang supir terlewatkan jalan keluar yang sangat dikenalnya dan masuk ke jalan yang salah. Menilai situasi ini dari tingkat pemahamannya yang dangkal, dia menjadi marah pada dirinya, kebahagiannya menguap karena dia harus mengemudi lebih jauh. Tetapi, Allah-lah yang membuatnya mengambil jalan itu; seperti dalam setiap kejadian, ini juga merupakan takdirnya.
Dan sekali lagi, tidak mendapatkan pekerjaan seperti yang diinginkan juga merupakan kesempatan bagi orang yang tidak tahu, untuk merasa tidak beruntung dan berkecil hati. Orang seperti itu menganggap mendapat pekerjaan sebagai hal terbaik baginya, dan tidak mendapatkannya berarti kerugian terbesar. Sementara, orang yang mempunyai keimanan bahwa Allah menemani dan melindunginya akan tahu bahwa Allah meridhai hasilnya demi kebaikannya, dan dia akan berserah diri dengan perasaan puas dan senang. Barangkali lingkungan kerja di sana akan merusak kesehatannya; mungkin perlu bagi dirinya untuk tidak mengambil pekerjaan itu karena peluang lebih besar akan datang padanya.
Dan akhirnya, jika seseorang masuk ke mobil pada pagi hari untuk pergi bekerja tetapi mobilnya mogok, dalam ketidaktahuan, dia akan menganggapnya sebagai kesialan besar, padahal sebenarnya mobil itu mogok karena Allah merencanakannya demikian, dan pasti ada hikmah di balik situasi ini. Orang dalam situasi ini mungkin tidak melihat alasan di balik kejadiaan ini, tetapi apakah dia melihatnya atau tidak, dia harus berbaik sangka kepada Allah.
Orang-orang menyebutkannya kesialan apabila sesuatu terjadi bertolak belakang dengan keinginan mereka, padahal itulah yang terbaik, karena telah ditentukan oleh takdir. Apabila Allah menunjukkan hikmah di balik apa yang mereka sebut kesialan dan membuat mereka frustrasi, serta manfaat yang akhirnya datang dari hal-hal yang mengecewakan dan membuat mereka cemas atau marah, maka mereka akan memahami betapa salahnya mereka bersedih, dan perasaan mereka akan kembali gembira. Jika takdir seseorang dibukakan kepada yang bersangkutan seluruhnya, dan apa yang disebut kesialan dapat terlihat pada saat mereka berperan di dalamnya, maka dia tidak akan pernah lagi menyesali segala sesuatu yang terjadi pada dirinya.
Karena itu, hal paling bijaksana untuk dilakukan adalah menjalani kehidupan dengan penyerahan diri kepada Allah. Sesungguhnya, setiap orang, sadar atau tidak, sudah menyerahkan hidupnya kepada Allah, tetapi penting bahwa setiap individu menyadari hal ini dalam hidupnya. Orang-orang beriman yang memiliki kesadaran itu menjalani hidup dengan aman dan damai, mengamati dengan jiwa yang puas penguraian takdir yang ditetapkan Allah untuknya, sedamai orang yang sedang menonton film. Mereka tahu, seperti disabdakan Nabi Muhammad SAW, bahwa, "Kesejahteraan tidak berasal dari kekayaan melimpah tetapi kesejahteraan berasal dari kepuasan diri."13
Kebanyakan orang mengira, selain kelahiran, kematian dan jamnya yang telah ditentukan, dan apa yang Allah sediakan untuk manusia, takdir tidak menentukan apa pun; mereka percaya segala sesuatu terjadi kebetulan saja atau tidak ada kaitannya dengan takdir. Keyakinan keliru ini membuat mereka memberontak terhadap segala sesuatu yang telah ditentukan menurut takdir mereka, dan menjadi alasan untuk kesedihan mereka. Mereka menganggap setiap peristiwa memojokkan mereka, menyebabkan mereka menderita siksaan berke-panjangan. Karenanya, saat-saat bahagia dan penuh kegembiraan yang dinikmati oleh orang-orang sentimental terasa hanya sesaat dan cepat berlalu. Dan, segera setelah mengalami kegembiraan, mereka memilih untuk mengingat sesuatu yang menyedihkan dan kembali pada keadaan tertekan dan sedih.
Faktor-faktor ini sepenuhnya alami dan merupakan akibat tak terelakkan dari hidup tanpa agama. Tanpa keimanan, seseorang diperbudak penyesalan dan kesedihan. Demikian pula, mereka yang hidup di dunia dengan ketidakpedulian, menyia-nyiakan hidup tanpa memperhatikan perintah-perintah Allah, atau larangan-Nya, di akhirat kelak, akan menghadapi ketidakbahagian.
“Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang sesat.” (QS. Al Mukminun, 23: 106)
Benar bahwa Allah mungkin menguji seseorang di dunia ini dengan kesulitan dan kekhawatiran tertentu. Tetapi, orang beriman tidak menyerah pada kesedihan dan pesimisme ketika berhadapan dengan kecemasan seperti itu; dia tidak bereaksi emosional. Dia tahu bahwa Allah sedang mengujinya untuk mengetahui bagaimana perilakunya dalam kesulitan, dan bahwa solusinya bukan dengan menangis atau berduka cita. Solusinya adalah dengan mencari pertolongan Allah, "...Siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan..." (QS. An-Naml, 27: 62), bersandar hanya kepada-Nya, dan menyakini bahwa Allah akan mendengar doanya dan mengabulkan permohonannya. Berikut adalah janji Allah kepada hamba-hamba-Nya:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus, 10: 62-64)
Lagipula, Allah menciptakan ujian kesulitan dan kecemasan itu dengan alasan sangat khusus. Jika seseorang menggunakan mata keimanan dan melihat alasan di balik keindahan yang Allah ciptakan, dia akan tergerak ke arah kebajikan, dan kepuasannya meningkat. Karena itu, penyerhan diri kepada Allah mendatangkan perasaan tenang di dalam jiwa, dan membuat seseorang menjalani hidup dengan kedamaian pikiran.
Sebaliknya, emosionalisme sepenuhnya menjauhkan orang dari kesadaran berada di tangan Allah, dan menuntun mereka untuk bereaksi terhadap situasi dengan kesenangan berlebihan, atau duka derita yang dibesar-besarkan. Allah menerangkan di dalam Al Quran keterombang-ambingan orang seperti itu antara keputusasaan dan kesombongan, dan perbedaan antara mereka dan orang-orang beriman.
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku"; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Huud, 11: 9-11)
Kemarahan dan Sifat Mudah Tersinggung
Sentimentalitas paling sering menampakkan diri pada wanita sebagai kesedihan, pesimisme, tangisan dan keluhan, sedangkan pada pria umumnya muncul dalam bentuk kemarahan, sifat mudah tersinggung, dan agresi. Sebagai contoh, ketika pria emosional melihat tempat parkir mobilnya sudah ditempati orang lain, dia akan berteriak dan menendang mobil pelanggar itu. Atau, jika seseorang menabrak-nya tanpa sengaja di trotoar, dia dengan mudah kehilangan kesabarannya. Atau, jika putra atau putrinya meninggalkan rumah dan meninggalkan kuncinya di dalam, jika pramusaji terlambat membawakan bon pembayaran, jika sekretaris membuatnya menunggu di telepon, atau jika dia kesal oleh lalu lintas, dia akan mengatakan apa pun yang melintas pertama dalam pikirannya. Dihadapkan pada masalah-masalah yang bagi orang rasional dapat diatasi dengan mudah, bahkan tanpa harus membebani pikirannya dengan remeh-temeh, orang emosional akan bereaksi dengan perilaku berlebihan yang tidak perlu. Dan, seringnya, dia hanya menyakiti diri sendiri dan kehilangan harga diri.
Emosionalisme pada laki-laki berbentuk kemarahan dan sifat mudah tersinggung, dan sering dianggap sebagai kualitas "pria tangguh" atau "macho". Keadaan psikologis demikian hanyalah gabungan antara kemarahan dan romantisisme, sedangkan kebanyakan orang yang terjangkiti olehnya menjadi tidak seimbang, dan memiliki kecenderungan kehilangan kesabaran, atau "lepas kendali". Sebagai akibat berangasan sesaat, mereka mungkin menyakiti atau melukai seseorang, atau bahkan membunuh; korbannya bisa saja orang yang sama sekali tak dikenalnya. Halaman-halaman surat kabar sering diisi berita tentang tindak kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh orang berkepribadian seperti ini. Suatu malam yang bermula menyenangkan bisa tiba-tiba berakhir ketika orang emosional menjadi tersinggung dan memukul teman atau seseorang didekatnya. Ketika sedang berjalan-jalan dia mungkin menghunus pisau dan menikam orang tidak dikenal yang "menantangnya". Selama satu menit itu, dia menyerah pada nafsunya, dan kemudian berakhir di penjara seumur hidup. Dan yang lebih penting, jika dia membunuh, atau menyakiti seseorang, tanpa sebab yang benar, berarti dia telah melakukan dosa besar dalam pandangan Allah.
Emosionalisme mudah tersinggung dalam diri seseorang merupakan bahaya potensial yang sewaktu-waktu bisa meledak, dan berdampak sangat serius. Orang emosional mungkin menjadi marah jika seseorang salah arah di jalan, atau jika seseorang yang tidak dikenalnya menatapnya sehingga dia merasa tidak nyaman, atau jika terjadi kesalahpahaman kecil, kemudian bertindak sedemikian rupa yang hanya menyulitkan dan menyakiti dirinya.
Sebuah contoh jelas dari ketiadaan akal sehat yang ditimbulkan emosionalisme bisa terlihat dalam kebrutalan perilaku penggemar sepak bola seusai pertandingan. Mereka menyerang orang-orang tidak dikenal, dan nyaris membunuh mereka dengan golok, pisau atau tongkat pemukul. Pikiran dan kesadaran mereka dibutakan oleh emosionalisme senjata setan, yang merupakan wabah serius bagi masyarakat. Tetapi, Allah memerintahkan manusia agar menghindari setan, menciptakan perdamaian dan keamanan, bukan kemarahan dan konflik.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah, 2: 208)
Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan ketenangan di antara orang-orang beriman, dengan bersabda, "Orang yang kuat bukanlah orang yang mengalahkan orang lain dengan kekuatannya, tetapi orang kuat adalah orang yang mengendalikan dirinya ketika marah".14
Di sinilah perlunya membedakan antara sentimentalitas dan rasionalitas. Kemarahan dan kebencian yang dirasakan sebagai respons terhadap perbuatan kejam dan jahat membuat seseorang lebih sensitif dan menyadari keadilan, kedamaian, dan kebaikan, dan memotivasi-nya untuk berjuang memberantas kekejaman dan kejahatan itu, melakukan pencegahan, dan mengusahakan perlindungan hak-hak orang lemah dan tidak bersalah. Apabila rasa keadilan yang Allah berikan kepada manusia tidak dikendalikan dengan kemauan dan kearifan, maka ia akan menyimpang dari tujuan sebenarnya, dan sebagai contoh, menimbulkan pertengkaran sengit antar pendukung klub olah raga yang berlawanan. Orang yang tidak memiliki kemauan dan kearifan kuat tidak mampu menahan emosi mereka, dan dapat diselewengkan dari jalur kebenaran ke arah apa pun yang diingini Setan. Dalam ayat lain, Allah memperingatkan manusia terhadap Setan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seoranpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur, 24: 21)
Rasa Iba Bisikan Setan
Orang-orang yang tidak mempunyai pertahanan untuk melawan tipu daya setan dapat dibelokkan sehingga menyalahgunakan sifat belas kasih yang diberikan Allah. Persepsi makna belas kasih yang bertentangan dengan perintah Allah adalah perasaan belas kasih yang diilhamkan oleh setan. Orang-orang sentimental tidak menggunakan Al Quran sebagai ukuran rasa iba dan belas kasih, tetapi menggunakan impulsnya, dan, akibatnya, pandangan mereka tentang hal ini menjadi sesat.
Sebagai contoh, sebagian orang merasa terharu oleh rasa sakit manusia, dan kematian anak-anak kecil, atau binatang-binatang lucu tak berbahaya. Tetapi di sini, belas kasih bisikan setan mempenga-ruhinya, dan menuntun seseorang melakukan pemberontakan terhadap Allah, dan bahkan berani menghujat Allah. Di lain pihak, orang yang menggunakan kearifannya untuk membebaskan diri dari bisikan seperti itu, akan mampu melihat kebenaran dengan jelas dan jernih. Bagi anak-anak kecil atau orang beriman, kematian bukanlah ancaman; baginya ini merupakan pembebasan, dan selangkah menuju kehidupan indah yang abadi. Kematian adalah pintu masuk bagi Allah membawa hamba-hamba-Nya ke hadapan-Nya. Tetapi, dari sudut pandang setan dan teman-temannya, kematian merupakan akhir dari nafsu dan hasrat mereka yang tidak tertahankan; kematian adalah terbukanya pintu menuju siksaan abadi yang telah dijanjikan kepada mereka. Dengan alasan itu, setan menganggap kematian sebagai sesuatu yang menjijikkan dan dibenci, dan berusaha menghadirkannya seperti itu. Dari perspektif setan, begitulah adanya, tetapi tidak demikian bagi orang-orang beriman dan orang-orang tidak berdosa. Dari sudut pandang seseorang yang sudah ditakdirkan masuk neraka, kematian sungguh suatu hal yang jahat; tetapi bagi mereka yang ditakdirkan masuk surga, kematian adalah sesuatu yang menjanjikan kebahagiaan.
Pemahaman rasa iba setan menuntun seseorang untuk mem-praktikkan belas kasih yang tidak menghasilkan kebaikan, tetapi hanya menyakiti orang lain. Orang-orang dalam masyarakat ateis atau pagan menutup mata terhadap segala sesuatu yang dilakukan orang lain tanpa mempertimbangkan apakah perbuatan-perbuatan itu akan mendatangkan kerugian bagi mereka atau tidak di akhirat kelak. Misalnya, mereka memperbolehkan imoralitas, dan tidak mengatakan apa pun ketika melihat seseorang melakukan sesuatu yang dilarang Allah; bahkan mereka mendorong perbuatan itu. Contoh lain adalah orangtua dari anak yang sudah cukup umur untuk mampu berpuasa; mereka tidak mengizinkannya berpuasa, karena mereka pikir dia tidak akan mampu menahan lapar, dan contoh kedua, seseorang yang tidak tega membangunkan anggota keluarga dan mengajaknya sholat shubuh. Orang seperti itu sebenarnya mempunyai pemahaman iba cara setan. 
Orang beriman mengukur belas kasih yang dilimpahkannya dengan kebaikan yang akan ditimbulkannya kepada orang lain di akhirat. Terkadang, cinta dan belas kasih yang dirasakannya terhadap orang beriman lainnya memaksanya bersikap kritis atau mengoreksi orang itu demi kebaikannya sendiri. Dia mungkin mengkritisi seseorang yang perilakunya tidak baik, dia mungkin mencoba melarangnya mengikuti arah tertentu, atau dia melarangnya melakukan perbuatan salah seperti yang diperintahkan dalam Al-Quran. Inilah belas kasih sejati. Ketika seorang beriman berbicara demikian, dia mencoba mengatakan sesuatu agar orang lain menyimaknya dengan sungguh-sungguh, dan agar tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Al Quran. Dia tidak rela melihatnya terjerumus ke dalam siksaan neraka di akhirat kelak, yang dari sana tidak ada kesempatan untuk kembali. Dengan alasan itu, dia akan mendorongnya untuk hidup dengan moral yang disukai Allah; dengan cara ini, dia mempersiapkannya untuk masuk surga, dan berarti, akan memberikan belas kasih terbaik. Tidak boleh dilupakan bahwa 'tanpa belas kasih' yang sebenarnya adalah jika mengamati kesalahan orang lain secara pasif tanpa mengingat apa yang menunggunya di akhirat kelak.
Rasa iba setan bergandengan tangan dengan ketidakadilan. Orang beriman yang arif membuat keputusan dalam setiap situasi berdasarkan keadilan dan mengikuti kehendak Allah, sedangkan orang yang membuat keputusan atas dasar perasaan sesal dan iba setan sangat mungkin berbuat tidak adil. Dia akan bertindak sesuai arahan dirinya yang rendah, perasaan, keinginan dan nafsu-nafsunya. Ketika dia menyaksikan suatu peristiwa, dia mengeluarkan perasaan ibanya tanpa mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah, tanpa menilai dengan adil dan arif, dan yang terpenting, tanpa memperhatikan perintah-perintah Al Quran, dia akan menumpahkan perasaan ibanya. Umumnya dia akan melibatkan diri dan orang lain dalam kerumitan keputusan dan metodenya yang salah. Karenanya, menjadi jelas bahwa belas kasih yang dia rasakan jauh dari kebajikan moral yang diperin-tahkan dalam Al Quran.
Salah satu karakteristik yang paling penting dari orang sentimental adalah keegoisannya. Orang seperti ini muncul ke permukaan untuk menunjukkan semangat pengorbanan diri, tetapi sebenarnya, perbuatannya dimaksudkan untuk memuaskan emosi dirinya. Untuk alasan itu, kita tidak bisa mengharapkan orang sentimental berbuat adil atau mempunyai rasa egalitarianisme sesungguhnya. Ketika dia mendapati dirinya dalam situasi yang bertentangan dengan kepentingan pribadinya, atau kepentingan saudara atau seseorang yang dia cintai, alih-alih bertindak adil, dia akan membuat keputusan yang tidak adil dan memihak. Bahkan, bila dimintai pertimbangan atas suatu permasalahan, dia menawarkan pendapat yang tidak jujur supaya menyenangkan teman atau saudaranya, atau bahkan mengajukan kesaksian palsu. Sebaliknya, karakteristik utama orang beriman adalah bertindak adil. Di dalam Al Quran, Allah memerintahkan setiap orang untuk berlaku adil, bukan hanya terhadap teman dan saudara, tetapi juga terhadap orang-orang yang menjadi musuh kita:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar-pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemasla-hatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguh-nya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisaa', 4: 135)
Di dalam ayat lain, Allah mengajak manusia untuk menjadi saksi dengan adil:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” (QS. Al Maidah, 5: 8)
Namun, orang sentimental tidak mungkin memenuhi perintah-perintah dalam ayat ini dengan baik, karena karakternya berakar pada keegoisan, dan penilaiannya tidak objektif. Dia akan mendahulukan kepentingan dirinya, kemudian keluarganya dan teman-temannya, bahkan mungkin memberatkan siapa saja yang dipilihnya tanpa alasan yang khusus. Dia menutup mata terhadap imoralitas, dan bahkan berbuat sesuatu yang bisa digolongkan pada tindak kejahatan.
Rasa Terima Kasih
Salah satu emosi yang paling kuat dirasakan oleh seseorang adalah "rasa terima kasih". Manusia, setiap saat dalam kehidupannya, sejak dia dilahirkan, adalah penerima limpahan nikmat terus-menerus. Karena kebanyakan nikmat yang diterima olehnya melalui orang lain atau perantara, maka orang cenderung mengungkapkan perasaan terima kasih kepada mereka. Namun, Al-Quran dengan jelas menyatakan, dalam beberapa contoh, bahwa rasa terima kasih harus ditujukan kepada Allah semata. Di dalam Al-Quran, rasa terima kasih ini didefinisikan sebagai "bersyukur". Bersyukur merujuk pada kesadaran bahwa semua nikmat, apa pun sumbernya, berasal dari Allah, dan bahwa Dia-lah satu-satunya Pemberi rizki; bersyukur merupakan ungkapan terima kasih dan syukur mendalam kita kepada Allah semata.
Di dalam Al-Quran, dinyatakan bahwa, bersyukur hanya kepada Allah dan menyatakan terimakasih hanya kepada-Nya adalah tanda hamba sejati.
 “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah, 2: 172)
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni’mat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. An-Nahl, 16: 114)
Dari apa yang disebutkan dalam ayat-ayat ini, jelaslah bahwa bersyukur kepada Allah, sebagai satu-satunya Tuhan, dan tidak memberikan sifat ketuhanan kepada apa pun di antara ciptaan-Nya, adalah tanda-tanda ibadah sesungguhnya. Seseorang yang menyampaikan syukur kepada Allah menyadari bahwa semua berkah berasal dari-Nya, bahwa segala sesuatu di bawah kendali-Nya, dan selain Allah, tidak ada tuhan lain. Seorang yang menyadari bahwa semua berkah berasal dari Allah adalah orang yang di dalam hatinya bersemayam keimanan kuat terhadap fakta bahwa semua kekuatan dan kekuasaan milik Allah. Inilah manusia ideal, seperti yang dijelaskan dan dipuji di dalam Al Quran.
Orang emosional cenderung sebaliknya. Orang-orang ini menganggap berkah yang mereka terima sebagai pemberian sesuatu atau seseorang yang dijadikan alat oleh Allah untuk menyampaikannya; dan kepada perantara-perantara inilah mereka mencari pertolongan. Kepada mereka, orang-orang ini berterimakasih. Singkatnya, mereka meninggikan bagi mereka sendiri tuhan-tuhan palsu, yang mereka anggap memiliki kekuatan tuhan. Karena mereka tidak menggunakan kearifan, mereka tidak bisa melihat bahwa Allah-lah yang menciptakan perantara yang mereka muliakan itu, dan semua yang mereka lakukan atas izin-Nya, dan bahwa tanpa kekuatan dan kuasa-Nya, mereka tidak mempunyai daya atau kemampuan melakukan apa pun.
Rasa syukur yang salah alamat ini kelak menyebabkan aib bagi orang sentimental. Penyembahan kepada bos-bos, tetua dalam keluarga, atau saudara yang kaya menuntun mereka menjadi depresi, sebuah perasaan yang kemu-dian tecermin dalam cara mereka berbicara dan bagai-mana mereka bertindak. Jenis perilaku ini merupakan salah satu bentuk kecemasan yang ditimbulkan roman-tisisme, dan tidak pantas bagi seorang beriman.
Introversi Pada sebagian orang, sentimen-talitas mengambil bentuk introversi, atau ketidakmampuan berkomunikasi dengan orang lain. Pada sentimentalitas jenis ini, seseorang hidup dalam dunianya sendiri, membenamkan diri dalam masalahnya sendiri; dia tidak tertarik pada apa yang terjadi di sekitarnya, dan, karenanya, tidak mampu mengambil tindakan. Karena dia tidak mempunyai kekuatan karakter seperti disebutkan dalam Al Quran, dia tidak mempunyai kemampuan untuk berurusan dengan realitas di luar dirinya. Dia tidak mencoba mengatasi masalah yang menderanya, hanya merasa lemah, tidak berdaya dan tidak berguna. Karena dia tidak meletakkan dirinya di tangan Allah, dan tidak mempercayai pertolongan-Nya yang tidak pernah putus, dia merasa sendirian di dunia dan tanpa penolong. Itu sebabnya, dia takut keluar dari dunia mimpi yang dia ciptakan dalam dirinya.
Kesedihan yang ditimbulkan sentimentalitas ini bisa menyebabkan orang seperti ini menjadi depresi. Kondisi yang biasa dialami orang-orang emosional adalah kesepian, stres, tidak bersemangat, dan kerusakan jiwa. Mereka selalu menemukan alasan untuk berduka, bersedih, depresi dan berpikir untuk melakukan bunuh diri. Misalnya, seorang gadis yang menjadi bahan ejekan temannya mungkin berpikir wajar saja bila dia melewatkan sepanjang malam dengan menangis, dan memikirkan terus mengapa temannya mengatakan hal seperti itu. Dalam kasus lain, rambut beruban atau kekurangan fisik mungkin cukup menjadi alasan untuk depresi. "Mengapa mata saya tidak berwarna lain?" "Mengapa saya tidak bisa sedikit lebih tinggi?"; lusinan, atau ratusan pertanyaan serupa memenuhi pikiran orang-orang itu, dan memandang masalah mereka sebagai pembenaran untuk depresi.
Anda akan sering menemukan orang seperti itu duduk di tempat gelap melakukan apa yang tampaknya seperti "berpikir", menulis puisi-puisi sedih, memandang dinding berjam-jam sambil melamun, menghela napas panjang, menangis tersedu-sedu, mata berkaca-kaca, dan berbicara dengan suara bergetar. Beberapa di antara mereka akan minum atau merokok terlalu banyak dengan maksud menghalau kesedihan. Orang-orang ini mengalami depresi dan ketidaknyamanan dari apa yang mereka bayangkan sebagai dunia gelap, dengan sia-sia menjalani kehidupan yang penuh derita fisik dan mental. Tetapi perlu diingat bahwa mereka telah mengambil perilaku dan moralitas yang tidak disukai Allah.
Tentu saja, orang-orang ini tidak bisa menghabiskan seluruh hidupnya dengan mengurung diri di kamar. Meskipun mereka mempunyai kehidupan sosial, mereka membawa serta keadaan emosional yang cacat ke depan umum. Biasanya, mereka memiliki temperamen rentan dan mudah tersinggung. Dari setiap kata, mereka mengambil makna yang tidak dimaksudkan oleh si pembicara, menganggapnya sengaja ditujukan kepada mereka. Mereka mudah kehilangan semangat dan tersinggung. Dengan sedikit provokasi, mereka pun banjir air mata, dan bahkan mereka bisa menangis diam-diam.
Pada laki-laki, sejalan dengan waktu, sifat sentimen-talitas dapat mencapai tingkat penyimpangan lebih jauh: Ia bisa menyebabkan masalah kesehatan mental serius, perilaku feminin, penyimpangan seksual, dan mungkin menumbuhkan kecenderungan homoseksual. Seorang emosional mungkin menyembunyikan penyimpangannya, atau mungkin menyatakannya secara terang-terangan, tergantung pada lingkungan. Sewaktu-waktu, dia mungkin menyatakan kecenderungannya itu, sehingga membuka nafsu-nafsunya yang tersembunyi, tanpa kendali dan penilaian moral. Misalkan, akhir-akhir ini, kita terbiasa menyaksikan orang-orang emosional, melankolik, introvert, muncul di depan publik sebagai kaum homoseks atau waria yang agresif. Di dalam Al Quran, Allah menunjukkan aib penyimpangan seksual ini melalui kata-kata Nabi Luth kepada umatnya:
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?" Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al A'raaf, 7: 80-81)
Jenis perilaku skandal seperti itu tentunya disebabkan kenyataan bahwa orang-orang itu sudah jauh dari jalan Allah dan, dengan menjadi budak nafsu dan keinginan, mereka mengikuti jalan setan. Allah memberikan peringatan ini kepada manusia di dalam Al-Quran:
“... dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguh-nya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang kamu tidak ketahui.” (QS. Al Baqarah, 2: 168-169)
Semua tipe emosionalisme yang kita kemukakan sejauh ini, hadir hingga tingkatan tertentu pada orang-orang yang mengabaikan akal sehat dan lebih suka hidup sebagai budak emosi mereka. Tetapi ia mengambil bentuk-bentuk yang berbeda tergantung pada situasi dan orang yang terlibat. Misalnya, seorang yang mudah marah, mudah tersinggung, dan tidak seimbang, betapa pun dia mencoba bersikap keras dan kasar, masih berusaha menutupi sentimentalitas dan kelemahannya  dengan samaran kemarahan. Orang seperti itu bisa menghinakan diri sendiri dengan mengumbar air mata atau meratap secara tak terduga-duga. Singkatnya, seseorang yang tidak mempunyai keimanan, atau yang tidak mempunyai kearifan seperti seorang beriman, akan dikuasai kelemahan pikiran dan karakter yang timbul dari sentimentalitas. Sentimentalitas ini akan menjelmakan dirinya dalam pelbagai bentuk perilaku tidak seimbang, tergantung pada keadaan, lingkungan dan situasi.
Sentimentalitas adalah cacat yang tidak akan ditemukan pada orang-orang beriman, yang mempunyai keyakinan dan ketakwaan kepada Allah. Sebab setan tidak mempunyai pengaruh atas orang ikhlas beriman, dia tidak bisa menggunakan senjata sentismentalitasnya terhadap mereka. Tentang setan, Allah memberi perintah ini dalam surat ke-15, ayat 42, sebagai berikut: "Sesungguhnya engkau tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku kecuali orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang sesat." Karena itu, orang-orang beriman memiliki karakter yang dikuatkan dengan keimanan, kearifan dan komitmennya terhadap Al Quran; mereka kuat, sehat, seimbang dan perseptif.
Salah satu bentuk paling umum dari sentimentalitas dalam masyarakat sekarang adalah gagasan cinta romantik. Sentimen ini dialami secara berbeda oleh orang-orang yang berbeda, dan ditemukan pada hubungan keluarga, hubu-ngan pertemanan hingga hubungan persahabatan; tetapi biasanya paling banyak ditemukan pada hubungan antara pria dan wanita.
Karena gagasan cinta romantik adalah yang paling menyebar luas dan merupakan sentimentalitas yang paling menyimpang, kita akan membahasnya pada bagian terpisah.
    




BAB 7 GAGASAN CINTA ROMANTIK 

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al Baqarah, 2: 165)
Sebelum kita berbicara tentang gagasan cinta romantik, ada baiknya mengingatkan diri kita tentang pemahaman sejati orang beriman akan cinta. Orang yang mempunyai hati nurani dan keimanan mengetahui bahwa keimanannya hanya ditujukan kepada Allah, dan dia harus mendekati-Nya dengan hati penuh cinta. Bagaimanapun, Allah menciptakannya dari ketiadaan dan memberinya jasad, pikiran, hati nurani, keimanan dan segala sesuatu yang dia miliki. Allah sudah memenuhi setiap kebutuhannya dan terus berbuat begitu. Dia telah menciptakan semua nikmat dunia ini untuknya. Di samping itu, apabila orang beriman berserah diri dalam kepatuhannya, Allah menggembirakannya dengan janji mendapatkan kebahagian abadi, dan nikmat cinta-Nya yang tiada akhir. Semua ini diberikan cuma-cuma karena kasih dan sayang-Nya. Oleh karena itu, sebenarnya, hanya Allah lah yang pantas dicintai di atas segalanya. Allah memperingatkan orang-orang beriman tentang hal ini dalam Al Quran, melalui firman-Nya, "dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap" (QS. Al Insyirah, 94: 8).
Cinta yang dirasakan orang-orang kepada sesamanya harus bersumber pada Allah. Orang yang mencintai Allah merasakan kasih sayang kepada mereka yang patuh kepada-Nya. Inilah cinta yang nyata, dirasakan karena sifat-sifat Allah yang terwujud dalam orang-orang ini.
Pembenaran lain bagi perasaan cinta adalah minat dan ketertarikan yang kita rasakan terhadap sifat mulia dalam diri sang kekasih. Ketika minat dan ketertarikan itu dibalas dengan respons yang sama dari orang tersebut, maka hubungan ini menjadi ikatan cinta yang kuat. Namun, apa yang penting di sini adalah menemukan sumber sejati dari sifat superior ini, dan memfokuskan minat, ketertarikan dan cinta kepada Dzat tersebut. Dan Dzat itu adalah Allah, yang merupakan sumber dari semua keindahan dan setiap sifat istimewa, dan sifat superior yang diberikan kepada mahluk-mahluk-Nya hanyalah refleksi samar dari sifat-sifat abadi yang menjadi milik-Nya. Hamba-hamba Allah mungkin mewujudkan atau mencerminkan sifat-sifat ini untuk sementara saja.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa cinta yang dirasakan hanyalah untuk Allah. Cinta yang ditujukan kepada objek yang mencerminkan sifat-sifat-Nya harus dipupuk hanya atas nama-Nya, dan dengan Dia berada di dalam hati dan pikiran seseorang. Salah satu tanda yang paling pasti bahwa seseorang memuja mahluk-mahluk-Nya, apabila dia menganggap seseorang atau sesuatu mempunyai eksistensi dan potensi di sisi Allah, dan mencintai orang atau benda itu sebagaimana seharusnya dia mencintai Allah.
Banyak jenis kemusyrikan dilakukan dalam masyarakat yang muncul karena memelihara cinta yang salah dan tidak sah. Contoh-contoh bentuk cinta yang tidak sah dan sesat adalah, seseorang yang memuja ayah, putra, istri, keluarga atau nenek moyang melebihi cintanya kepada Allah.
Dalam ayat berikut ini, Nabi Ibrahim menjelaskan bagaimana para  penyembah berhala saling mengemukakan rasa cinta dan peng-hormatan, dengan mengabaikan Allah dan menyembah berhala.
“Dan berkata Ibrahim: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.” (QS. Al 'Ankabuut, 29: 25)
Jadi, Al Quran memberitahukan kita bagaimana ikatan-ikatan cinta ini akhirnya berubah menjadi kebencian dan pengkhianatan pada Hari Perhitungan. Alasannya adalah, ketika orang-orang membentuk ikatan cinta atau pemujaan berlebihan di antara mereka sendiri, berarti mereka menjadikan sesamanya sebagai tuhan-tuhan, yang hanya menjerumuskan mereka ke dalam siksaan. Bagi mereka yang mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, tidak ada kemungkinan menempat-kan orang atau benda lain setingkat dengan Allah, atau mencintai benda atau orang itu lebih dari-Nya. Kaum musyrik melakukan sebaliknya, seperti yang dibahas dalam ayat berikut:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagai-mana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al Baqarah, 2: 165)
Pada ayat tersebut, dijelaskan kepada kita bagaimana orang beriman mencintai Allah. Dengan demikian, tidak mungkin dikatakan seseorang itu beriman jika dia memuja seseorang atau sesuatu lebih kuat daripada dia mencintai Allah. Jika seseorang mengaku sebaliknya, jelas bahwa dia tidak ikhlas, atau dia tidak memahami Allah dan agama-Nya sebagaimana mestinya. Akhir ayat ini memperjelas bahwa mereka yang beribadah kepada selain Allah memiliki persepsi yang salah dan tidak utuh terhadap Allah.
Karena orang-orang seperti itu tidak bisa menilai Allah sebagai-mana harusnya (QS. Az-Zumar, 39: 64-65), mereka mengarahkan perasaan cinta mereka, baik kepada diri sendiri, atau orang lain; bapak-bapak, putra-putra, saudara-saudari, istri-istri, suami-suami, teman-teman perempuan, teman-terman laki-laki, dan orang-orang yang mereka anggap sebagai contoh atau yang membuat mereka terpikat. Daftar itu bisa sangat panjang. Sebagian orang bahkan mengarahkan perasaan cinta mereka kepada benda-benda tidak bernyawa, atau konsep-konsep abstrak. Mereka mungkin pula memuja benda-benda seperti uang, properti, rumah, mobil atau konsep kesempurnaan palsu seperti jabatan, pangkat dan kekuasaan. Pendeknya, cinta yang tidak dibimbing dengan keimanan, merupakan bagian dari dosa kemusy-rikan atau menuhankan sesuatu selain Allah. Karena cinta ini tidak diarahkan dengan arif kepada Allah, maka ia merupakan cinta romantik. Di dalam Al Quran, Allah berfirman bahwa jenis cinta ini tidak akan membawa manfaat, dan bahwa keuntungan sebenarnya hanya ditemukan dalam pandangan-Nya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali 'Imran, 3: 14)
Kita harus mencintai semua itu sebagai mahluk-mahluk Allah, dan menyadari bahwa Dia melimpahkan semua itu kepada kita sebagai rahmat semata. Cinta manusia adalah perasaan sangat indah yang telah diciptakan Allah. Di dalam Al Quran, difirmankan, bahwa Allah menciptakan manusia dalam "bentuk yang terbaik". Karena itu, orang beriman perlu memelihara cinta batinnya bagi mereka yang layak mendapatkannya; yaitu orang-orang yang patuh kepada Allah dan mempunyai karakter yang baik. Cinta sejati yang dirasakan orang beriman tidak bisa dibandingkan dengan jenis cinta yang umum di dalam masyarakat tidak beragama; cintanya merupakan perasaan yang mendalam dan luhur.
Pada halaman-halaman berikut, kita akan mengamati orang-orang yang tidak bisa merasakan perasaan luhur, yang merupakan berkah Allah ini, dan memusatkan perhatian kita pada hubungan antara pria dan wanita, di mana cinta cenderung menimbulkan "kemusyrikan" yang paling sering dijumpai..
Cinta Buta antara Pria dan Wanita
Dalam hubungan antara pria dan wanita, pembentukan ikatan di antara keduanya, di luar yang diridhai Allah, merupakan salah satu faktor paling kritis yang menuntun pada "kemusyrikan". Ikatan itu bisa berupa pernikahan, atau "hidup bersama", yang sudah diterima semakin luas.
Dalam cinta dengan pemahaman romantik ini, "dua sejoli" menunjukkan kepada satu sama lain semua kewajiban yang seharusnya ditujukan kepada Allah, dan mereka menunjukkan kepada satu sama lain perasaan yang seharusnya diberikan kepada Allah, seolah-olah mereka memiliki eksistensi terpisah dari-Nya. Individu-individu ini, alih-alih mengingat Allah, hanya memikirkan satu sama lain. Ketika mereka membuka mata di pagi hari, alih-alih bersyukur kepada sang Pencipta untuk hari baru itu, mereka saling memikirkan, mencari cara untuk menyenangkan satu sama lain, bukan menye-nangkan Allah. Mereka mau mengorbankan diri bagi satu sama lain, tetapi tidak bagi Allah.
Singkatnya, masing-masing menuhankan yang lainnya. Demikian pula, ketika kita memperhatikan pelbagai contoh tentang pemahaman cinta yang menyimpang ini, yang telah meluas di seluruh dunia, kita akan menemukan bahwa pria dan wanita romantik dengan terbuka saling mengatakan, "Aku memujamu," "Ke mana pun aku pergi, aku selalu memikirkanmu," dan pernyataan-pernyataan lain sejenisnya. Namun, sebenarnya ke mana pun seseorang melihat, dan ke mana pun dia pergi, satu-satunya Dzat yang pantas dipuja adalah Allah, Tuhan Semesta Alam.
Seperti yang telah kita kaji, cinta romantik tampaknya menjadi jenis cinta tanpa dosa, padahal ia sejenis "kemusyrikan", yang sangat tercela dalam pandangan Allah. Namun, setan membutakan orang-orang dari kebenaran, dan begitu pula dalam masalah ini, dia lagi-lagi membe-lokkan kebenaran untuk membuatnya tampak menyenangkan, dan membuat orang-orang mengikuti jalan yang ditunjukannya kepada mereka:
“Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi setan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka setan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih.” (QS. An-Nahl, 16: 63)
“Dan (juga) kaum 'Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Dan setan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam.” (QS. Al 'Ankabuut, 29: 38)       
Al Quran meminta perhatian khusus pada nafsu menyimpang yang dirasakan bagi seorang wanita dalam jenis cinta romantik ini. Penerima cinta ini bisa jadi wanita mana pun: istri, kekasih, bahkan, cinta "platonik" jarak jauh. Jika cinta jenis ini mencegah seseorang dari mengingat Allah sebagaimana seharusnya, atau membuatnya lebih memilih kekasihnya dalam hati daripada Allah, berarti cinta sudah menuntun orang itu ke dalam kemusyrikan. Tentu saja, ancaman ini berlaku bukan hanya bagi laki-laki, melainkan juga wanita.
Orang-orang yang hidup terperangkap dalam hubungan romantis pria-wanita ini, sering tidak menyadari bahaya yang dimasukinya. Disebabkan kenyataan bahwa sejak masa kanak-kanak mereka telah mengikuti petunjuk dari masyarakat yang salah arah, tanpa mengetahui bahwa Al-Quran adalah satu-satunya pembimbing mereka ke jalan yang benar, maka mereka benar-benar tidak menyadari bahwa jalan hidup yang mereka tempuh adalah jalan yang salah dalam pandangan Allah. Karena mereka menjalani kehidupan tanpa kesadaran akan Allah, mereka menjadi terjebak di dalam lumpur kebodohan, walaupun, seperti yang disebutkan sebelumnya, mereka meyakini jalan mereka benar. Namun, karena mereka tidak mempunyai keimanan kepada Allah, kearifan dan pemahaman mereka menjadi buta.
Terperangkap dalam cinta tanpa akal, pria dan wanita, yang memuja satu sama lain, terkadang dituntun merusak diri-sendiri. Misalnya, sepasang remaja yang saling mencintai bisa teperdaya hingga mencari kesenangan dengan bunuh diri. Apabila keadaan tidak mengizinkan keduanya bersatu, mereka akan meloncat dari jembatan sambil berpegangan tangan dengan maksud melanggengkan cinta mereka, atau agar "jiwa mereka bisa bersatu selama-lamanya," atau motif-motif irasional lainnya. Namun, dalam melakukan perbuatan seperti itu, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya mereka melemparkan diri sendiri ke dalam rahang neraka. Dalam melakukan perbuatan terlarang seperti itu, tanpa melihat kesalahan di dalamnya, mereka yakin akan disatukan lagi bukan dengan Allah tetapi dengan satu sama lain setelah kematian. Mereka baru sadar ketika mereka melihat Malaikat Maut pada saat-saat terakhir, tetapi itu sudah terlambat. Kita bisa membaca berita koran tentang surat-surat menyedihkan yang ditinggalkan orang-orang yang bunuh diri karena cinta tidak terbalas. Ini adalah contoh nyata bagaimana romantisisme bisa sepenuhnya menutupi pikiran dan hati nurani.           
Namun, ketika kain penutup mata disingkirkan, dan orang itu melihat bahwa ancaman siksaan abadi itu nyata, akhirnya dia akan mencoba menyelamatkan diri sendiri dengan menawarkan tebusan berupa kekasihnya yang secara buta telah dipuja dan dituhankannya di bawah pengaruh romantisisme. Apa yang akan dilakukan oleh orang-orang ini digambarkan dalam ayat Al Quran sebagai berikut:
“Sedang mereka saling melihat. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya, dan istrinya dan saudaranya, dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia). Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.” (QS. Al Ma'aarij, 70: 11-14)
Situasi yang sama digambarkan dalam ayat lain:           
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. 'Abasa, 80: 34-37)            
Jenis cinta romantis yang menuju kemusyrikan telah diterima dalam masyarakat sebagai "tanpa dosa", seperti "romans murni" dan "perasaan sejati"; bahkan sering dipuji dan didukung. Pada usia mudalah biasanya orang-orang terjerumus ke dalam pengaruh romantisisme, yang mencegah pengembangan pikiran dan hati nurani mereka, serta membiarkan diri mereka tidak mengenal agama, keimanan, dan tujuan penciptaan. Mereka sudah melupakan Allah, dan tidak tahu apa pun tentang cinta atau takwa kepada-Nya. Kemudian kemusyrikan menjadi umum dilakukan oleh generasi salah asuhan ini.
Televisi dan film-film sering memaksakan tokoh-tokoh romantis dan emosional pada para penonton. Mereka berkeras menyatakan bahwa sentimentalitas hanyalah kecenderungan alamiah pada manusia. Romans merupakan salah satu tema musik, puisi, dan sastra yang paling konsisten dan mudah dipasarkan. Setan tahu benar bahwa sentimentalitas adalah penyakit yang mencegah orang-orang berpikir lurus, mengenal realita, memikirkan Allah, dan merenungkan tujuan-tujuan penciptaan dan akhirat, dan bahwa sentimentalitas menjauhkan orang-orang dari mempraktikkan agama, dan akhirnya membawa mereka ke dalam kemusyrikan. Karena itu, setan terus berusaha menyesatkan masyarakat pada setiap kesempatan dengan memborbardirkan tema-tema sentimental secara konstan dan intensif.
Jadi, mereka yang berpikiran bahwa kemusyrikan hanya merujuk pada penyembahan tuhan-tuhan palsu, atau patung-patung batu atau kayu, sebaiknya berhati-hati agar tidak menganggap dirinya kebal dari masalah ini, atau menjadi salah seorang dari mereka yang akan berkata pada hari akhir, "Demi Allah, Tuhan kami, Kami bukan orang Musyrik." (QS. Al An'aam, 6: 23)
Cinta Orang Beriman
Singkatnya, mengarahkan perasaan cinta kepada se-seorang selain kepada Allah, atau kepada ciptaan-Nya, adalah penyebab utama "kemusyrikan". Sedangkan bagi orang-orang beriman, seperti disebutkan di awal, mereka hanya memuja Allah, walaupun mereka menyadari bahwa pada saudara-saudara seiman, dan pada ciptaan, ada penjelmaan dari sifat-sifat-Nya. Mereka mencintai hanya demi Allah. Mereka tidak mencintai sesuatu secara terpisah dari-Nya. Nabi Muhammad SAW juga memberikan penekanan dalam hal ini dan bersabda, "Barang siapa di antara pengikutku meninggal dunia tanpa beribadah kepada selain Allah akan masuk surga."15  Ini merupakan bukti sekaligus kondisi keimanan yang diharuskan.
Cinta orang beriman suci dan bening laksana cahaya, dan menciptakan penerangan dalam hati, karena objek cinta sejatinya adalah Allah. Karena alasan itu, orang beriman tidak berduka cita berlebihan atas kematian seseorang yang dicintainya, karena sifat-sifatnya merupakan refleksi sifat Allah, atau merasa kecewa ketika dia kehilangan sesuatu miliknya yang paling disukai. Dia tahu bahwa pemilik semua benda material dan spiritual dalam objek cinta, sebagaimana keindahan yang ditemukan di dalamnya, adalah Allah. Allah itu tidak akan mati, tidak rusak, tidak berbatas waktu dan abadi, dan yang terpenting, Dia lebih dekat pada orang beriman daripada nadi di lehernya sendiri. Oleh karena itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena Allah, untuk menguji hamba-Nya, terkadang mengambil kembali sesuatu yang telah Dia berikan. Jika dia tetap dalam keimanan dan pemahaman yang benar, apa pun yang diinginkannya di dunia ini atau nanti, akan diberikan kepadanya dalam jumlah berlimpah sebagai manifestasi Allah yang indah.
Maka, tidak ada situasi yang akan membuat orang beriman berduka cita, atau bersedih, karena dia sudah menggenggam rahasia ini dan mencapai keimanan murni. Allah menjelaskan keadaan spiritual orang beriman dalam firmannya berikut ini:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekha-watiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (QS. Al Ahqaaf, 46: 13)



BAB 8 Penyakit jasmani Akibat romantisisme 

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” (QS. Yunus, 10: 44)
Di samping menyebabkan kerusakan mental dan spiritual, romantisisme juga menyebabkan kelemahan jasmani. Yang terpenting adalah perubahan fisik nyata yang tak bisa disembunyikan seseorang. Suatu hal yang alami jika seseorang menderita tekanan mental, ketegangan, dan kekhawatiran, semuanya pasti terefleksi pada penampilan luarnya. Ekspresi wajah, gerakan tangan dan nada suara, semuanya mengungkapkan fakta bahwa kepribadiannya dikuasai sentimentalitas.
Kita bisa mengenali jejak fisik yang ditinggalkan penyakit mental atau psikosomatik dalam diri orang-orang emosional. Ketika tubuh mereka kehilangan daya tahan fisik, mereka menjadi lemah, sistem kekebalan mereka ambruk, dan mereka sering jatuh sakit atau penyakit yang diidap menetap tanpa ada kesembuhan.
Bersama penyakit ini muncul pelbagai perubahan lain: Seseorang mungkin kehilangan rambutnya, atau beruban sebelum waktunya dan tampak tiada gairah hidup; kulit kehilangan kelembaban dan elastisitasnya dan menjadi kering, menebal, berkerut, dan pecah-pecah, dan akibatnya mudah terkena infeksi. Apalagi, karena regenerasi sel-sel kulit lambat, orang itu tampak memiliki keadaan kulit permanen seperti itu; wajahnya pucat dan matanya redup. Oleh karena itu, terbukti bahwa orang-orang dengan kecenderungan melankoli romantik, yang terus-menerus menciptakan masalah bagi dirinya sendiri, menjadi tua lebih dini. Tubuh mereka tidak bisa menahan ketegangan terus-menerus, luapan emosi dan kegelisahan mental selama bertahun-tahun. Sebagai konsekuensinya, mereka menunjukkan tanda-tanda penuaan dini dan bentuk lain kemunduran fisik yang serius.
Bukan hanya itu kerusakan fisik yang disebabkan oleh sentimentalitas terhadap seseorang. Kesedihan batin dan melankolinya terpancar pada wajah dan dalam perilakunya; semua dinamisme, semangat, dan keceriaan untuk hidup dan cinta berkurang serius dan, akibatnya, demikian pula kesehatan fisiknya. Karena kesuraman matanya, penipisan dan kekusaman rambutnya, dan ketegangan urat wajahnya itu, ekspresinya tampak tegang, kelam dan tidak menyenangkan. Ini hanyalah beberapa peru-bahan fisik yang mungkin terjadi. Sebaliknya, orang-orang yang ceria, tenang dan terkendali, hidup lebih lama dibandingkan orang-orang yang tegang, stress dan mudah menangis, dan fakta bahwa mereka lebih sehat sudah terbukti secara ilmiah.
Lebih jauh, dihadapkan dengan perubahan-perubahan fisik ini, mereka memperburuk hidup mereka yang sudah seperti mimpi buruk, alih-alih memikirkan kefanaan dunia, ketidakberdayaan diri di dalamnya, dan berserah diri kepada Allah. Karena mereka tidak mempertimbangkan hikmah menjadi tua dan efek-efeknya, mereka berputus asa dan terperangkap dalam kegeli-sahan berkelanjutan. Terpe-rangkap dalam lingkaran setan ini, mereka tidak beranjak dari beban yang secara fisik tidak bisa mereka singkirkan. Bahkan, para dokter telah mengindikasi-kan bahwa sejumlah penyakit disebabkan oleh kesedihan, kekhawatiran dan stres, dan satu-satunya obat adalah dengan menemukan keceriaan dan menjadi lebih optimistik.
Sudah ditemukan bahwa masalah tidur dan masalah makan, tekanan darah tinggi dan darah rendah, masalah-masalah perut, ginjal dan jantung, asma, alergi, eksim, penyakit kulit psoriasis, migrain, kanker, dan banyak penyakit lainnya, berawal dari masalah psikologis yang berkaitan dengan stres dan depresi. Ketika tubuh dihadapkan dengan stress, ada reaksi biokimia yang menyebabkan konsumsi energi meningkat hingga maksimum, dan jika tingkat stres ini berlanjut, hasilnya adalah ketidakseimbangan dalam fungsi-fungsi tubuh.
Para ahli telah menuliskan hubungan antara stress dan rasa sakit sebagai berikut:
Ada korelasi signifikan antara stress dan ketegangan serta rasa sakit yang ditimbulkannya. Ketegangan  akibat stres menyebabkan vena terkontraksi, sehingga mencegah aliran darah mengalir ke daerah tertentu di dalam otak. Di lain pihak, membiarkan jaringan tanpa darah untuk sementara waktu merupakan penyebab langsung rasa sakit, mungkin karena kebutuhan ekstra akan oksigen di dalam jaringan yang tegang ini, juga kekurangan darah dalam jaringan menstimulasi reseptor-reseptor rasa sakit khusus. Sementara itu, zat adrenalin dan non-adrenalin yang mempe-ngaruhi sistem saraf selama stress berlangsung, dilepaskan. Ini secara langsung atau tidak langsung meningkatkan ketegangan otot-otot. Jadi, rasa sakit menyebabkan ketegangan, yang pada gilirannya menimbulkan kegelisahan, yang kemudian meningkatkan rasa sakit.16
Kondisi-kondisi yang terkait dengan stres dan depresi, seperti hilangnya memori, berkurangnya konsentrasi, ketiadaan penilaian dan pemikiran jernih, kegugupan, dan perilaku tidak terkendali, bisa dikenali pada orang-orang yang tidak beriman, sementara orang-orang beriman selalu dalam keadaan sehat dan seimbang secara spiritual dan mental. Ini karena kedamaian pikiran dan keceriaan kekal yang sebenarnya hanya bersumber dari penyerahan diri kepada Allah dan kerelaan menempatkan diri di tangan-Nya. Kegembiraan dan kedamaian pikiran orang beriman tidak pernah meninggalkannya, karena dia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan pada takdir yang telah ditentukan Allah, dan menjalani hidupnya dengan mempercayai-Nya. Dengan rahmat Allah, dia terhindar dari kerusakan fisik seperti ini.
Perasaan melankoli yang ditanamkan romantisisme pada diri orang-orang merupakan penyakit mengerikan yang hanya bisa dihilangkan dengan kepasrahan dan keceriaan yang datang dari keimanan. Orang-orang beriman, dalam perjalanan menuju surga, akan selalu memanjatkan puja-puji kepada Allah dengan kata-kata berikut:
“Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri...” (QS. Faathir, 35: 34)





BAB 9 Kesimpulan: cara menghindari penyakit romantisisme 
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula) mereka berduka cita.” (QS. Az-Zumar, 39: 61)
Sentimentalitas adalah salah satu cacat karakter yang paling umum pada orang-orang yang mengadopsi cara hidup dan moralitas bertentangan dengan agama. Namun sentimentalitas bukan karakter bawaan lahir seseorang yang tidak bisa diubah, sebagaimana anggapan umumnya.
Kondisi spiritual adalah salah satu kondisi yang diambil seseorang baik secara sadar maupun tidak sadar. Mereka yang mengklaim bahwa introversi, kesedihan, melankoli, dan sifat mudah marah, tidak bisa dikendalikan dengan keinginan, akan mendapati, setelah renungan jujur, bahwa pendapat mereka itu tidak mungkin dipertahankan. Sebagai contoh, jika seorang melankoli ditawari uang banyak, atau sesuatu yang bernilai, dia mungkin segera merasa sangat gembira, ini menjadi bukti nyata bahwa jika mau, dia dapat dengan sangat mudah meninggalkan sikap putus asanya. Maka jelaslah bahwa sikap sentimental seseorang hanya menunjukkan kurangnya pertimbangan bagi orang-orang di sekitarnya, dan contoh khas seseorang yang menyakiti diri sendiri, seperti yang dikatakan Al Quran:
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” (QS. Yunus, 10: 44)
Namun, orang-orang sentimental tidak bisa memahami realitas, karena mereka terus-menerus berada dalam keadaan pikiran melankolik dan tidak berdaya. Apa pun yang terjadi, mereka akan selalu menemukan alasan untuk merasa sedih dan cemas. Sebenarnya, orang-orang ini menyakiti diri sendiri. Kenyataan ini diungkap dalam Al Quran sebagai berikut:
“Dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. Dan apabila mereka ditimpa sesuatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa.” (QS. Ar-Ruum, 30: 36)
Bagi orang seperti ini agar dapat melepaskan diri dari pikiran romantik, dan disembuhkan dari penyakit ini, dia harus waspada, dengan kesadaran penuh, terhadap janji-janji palsu setan dan tipu dayanya. Dan hanya keimanan seseorang yang memungkinkan hal ini.
Seorang beriman sejati akan mendapati bahwa kelemahan romantisisme tidak pantas bagi dirinya. Dia akan berperilaku rasional, membuat solusi atas masalahnya, dan menjadikan dirinya teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Lagipula, karena perilaku moral dan pembicaraannya yang baik, secara alami dia merasa puas. Kecerahan dan cahaya yang memancar dari perilakunya yang baik akan membuat orang-orang merasa gembira dan bahagia, dalam keadaan paling sulit sekalipun. Perilaku demikian akan meneratas jalan menuju kehidupan yang indah, damai dan mulia di dunia ini, serta kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kedamaian di akhirat kelak. Oleh karena itu, bagi orang beriman, yang mempunyai perilaku dan keadaan pikiran diridhai Allah, tidak ada alasan untuk bersedih dan cemas; tidak ada apa pun yang bisa menuntunnya ke dalam pesimisme. Allah mengung-kapkannya seperti ini:
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula) mereka berduka cita.” (QS. Az-Zumar, 39: 61)
Lagipula, bagi orang beriman, kegembiraan, kebahagiaan, kedamaian, keamanan hanyalah refleksi dunia atas kondisi kehidupan di surga. Kesenangan-kesenangan ini dimulai di dunia ini; dan ketika mereka yang berharap kepada Allah akhirnya mendapatkan surga, mereka akan mendapati bahwa kesenangan-kesenangan itu akan tetap abadi. Al Quran menggambarkan kedamaian yang dinikmati oleh orang-orang beriman di kehidupan akhirat:
“Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (QS. Al Insaan, 76: 11)
Dalam ayat lain, Allah mengemukakan perbedaan antara orang beriman dan orang tidak beriman pada hari kiamat:
“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS. ‘Abasa, 80: 38-42)
Orang-orang tidak beriman, di akhirat, akan berhadapan dengan kenyataan kehidupan neraka, yang diusahakannya di dunia ini dengan menyerah pada godaan setan - suatu kehidupan yang abadi, tetapi dengan intensitas jauh lebih besar. Di lain pihak, kebahagiaan orang-orang beriman yang dinikmati di surga akan berlangsung abadi tanpa jeda.
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Huud, 11: 105-108)


SUMBER :
http://www.harunyahya.com/indo/buku/faith/romantisisme/romantisisme_10.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar