Jumat, 16 September 2011

TERMINOLOGI DALAM ISLAM

Moderat

DI ANTARA terminologi yang sering disalahartikan adalah penggunaan istilah moderat, meskipun kandungan makna yang dimilikinya dalam konsep Islam begitu penting dan mulia. Terma wasathiyyah dalam pengertian Islam mencerminkan karakter dan jatidiri yang khusus dimiliki oleh manhaj Islam dalam pemikiran dan kehidupan; dalam pandangan, pelaksanaan dan penerapan. Di dalamnya tercermin karakter dasar paling penting yang membedakan manhaj Islam dari metodologi-metodologi yang ada pada paham-paham, aliran-aliran serta filsafat-filsafat lain. Dengan wasathiyyah ini pula terbentuk warna peradaban Islam pada setiap nilai, idealisme, kriteria, dasar-dasar, serta simbol-simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa sikap moderat Islam bagi manhaj Islam dan peradabannya merupakan sudut pandangnya.



Sifat moderat Islam telah mencapai dan menduduki posisi ini dalam peradaban Muslim karena penolakannya terhadap ekstrimitas dan eksageritas kezaliman dan kebathilan. la tidak lain mencerminkan fitrah asli manusia akan kesuciannya dan sebelum tercemar pengaruh-pengaruh negatif. Fitrah ini mencerminkan fitrah (kesucian) Allah yang diberikan kepada manusia. Fitrah ini merupakan kehendak suci dari Allah agar menjadi warna bagi umat Islam, dan menjadi karakter dasar bagi agama ini, sehingga Dia berfirman:

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (al-Baqarah: 143)

Wasathiyyah dalam konsep Islam adalah kebenaran di tengah dua kebathilan; keadilan di tengah dua kezaliman; tengah-tengah di antara dua ekstrimitas, yang menolak eksageritas (sikap berlebihan). Sebab berlebihan yang bertentangan dengan wasathiyyah adalah keberpihakan pada salah satu dari dua kutub yang ada dan berdiri pada salah satu di antara dua anak timbangan. Kondisi tidak seimbang seperti ini membutuhkan jalan tengah Islam yang komprehensif, seimbang, adil dan moderat.

Wasathiyyah Islam yang universal tidaklah seperti anggapan kebanyakan orang: tidak ada sikap yang jelas dan definitif menghadapi problema serta persoalan-persoalan yang kompleks. Tetapi, ia adalah sikap yang lebih sulit yang tidak hanya berpihak pada salah satu kutub yang mudah. Sikap wasathiyyah bebas dari makna-makna "pasaran" tentang isyarat dan kandungan terminologinya yang beredar di kalangan awam. Di samping itu wasathiyyah juga berbeda dengan kemoderatan Aristoteles, sebagaimana yang dipahami oleh para pengkaji filsafat Barat, sebab moderat yang dipahami oleh Aristoteles (384-322 SM) adalah bahwa keutamaan adalah tengah-tengah antara dua keburukan yang lebih mirip --kemoderatannya itu-- dengan titik matematis yang tetap dan terpisah yang dipisahkan dari dua kutub --yakni keburukan-- oleh jarak yang sama. Ia adalah sebuah titik matematis, sikap diam, dan sesuatu yang lain yang tidak ada hubungannya dengan kedua kutub yang ditengahinya. Tidak demikian halnya dengan kemoderatan Islam yang komprehensif sebagaimana yang ditegaskan oleh manhaj Islam.

Wasathiyyah dalam konsep Islam adalah suatu sikap ketiga dan baru. Akan tetapi menengahi antara dua hal yang berlawanan tersebut tidak berarti bahwa penengahan ini menjadi sumber keterkaitan dengan karakter-karakter kedua kutub yang berhadapan serta unsur-unsur pokoknya, melainkan menentang keduanya, akan tetapi tidak dalam segala hal. Perselisihan terhadap keduanya itu terbatas pada penolakan terhadap keterbatasan dan ketertutupan pada karakter-karakter masing-masing kutub itu sendiri, bukan lainnya; terbatas pada penolakannya memandang dengan sebelah mata sehingga hanya memandang satu kutub saja; terbatas pada penolakannya terhadap keberpihakan secara ekstrim. Oleh sebab itu, wasathiyyah Islam adalah sikap ketiga dan baru, keistimewaannya tercermin pada kemampuannya merangkul dan mengkombinasikan unsur-unsur yang dapat dirangkul dan dikombinasikan sebagai satu keharmonisan yang tidak saling memusuhi pada kedua kutub yang berlawanan. Dengan demikian, ini merupakan wasathiyyah komprehensif yang ada dalam konsep Islam, berbeda dengan filsafat yang dekemukakan oleh filosuf Yunani Aristoteles.


Keadilan dan kemoderatan adalah keadilan antara dua kezaliman yang timbangannya tidak seimbang karena adanya ketidakseimbangan kedua anak timbangannya itu, seperti halnya tidak akan ada keseimbangan jika memihak salah satu kutub dan mengabaikan satu kutub lainnya. Timbangan menjadi seimbang dan keadilan tercapai dengan kemoderatan yang memadukan aturan yang adil dari kenyataan-kenyataan, argumen-argumen serta penjelasan-penjelasan kedua kelompok yang bertikai --kedua anak timbangan-- itu. Oleh sebab itu, sabda Rasulullah saw adalah:
"Wasath adalah keadilan. Kami menjadikan kamu satu umat yang adil (pilihan)." (Imam Ahmad)

Adil di sini dan dengan makna ini lebih jauh dari sekedar moderat, bilamana yang dimaksud adalah tunduk pada kenyataan jika kenyataan itu jahat. Akan tetapi adil dalam pengertian Islam justru lawan moderat dengan pengertian ini.

Murah hati adalah akhlak dan sikap tengah (adil) yang sama sekali tidak asing dari kedua kutub yang berlawanan: kikir dan boros, tetapi ia mengkombinasikan --dari keduanya-- karakter-karakter dan unsur-unsur sikap baru ini. Ia mengkombinasi-kan "pengaturan" dan "penghematan", mengkombinasikan "pembelanjaan" dan "pemberian". Begitu pula keberanian, merupakan tengah-tengah yang membedakan antara takut dan nekad, akan tetapi tidak sepenuhnya berbeda, melainkan berbeda dari segi penolakan terhadap keberpihakan pada satu kutub lalu mengkombinasikan dari keduanya: hati-hati dan berani agar menjadi sikap tengah-tengah yang baru. Dengan perspektif kandungan pengertian ini pada terminologi wasathiyyah, dapat dipahami teks-teks Islam yang mengisyaratkan pada karakter manhaj Islam ini:

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, tetapi (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (al-Furqaan: 67)

"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros." (al-Israa': 26)

"Dan janganlah kamu menjadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal." (al-Israa': 29)
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (al-Baqarah: 185)

Yakni moderat, yang menolak sikap berlebihan dalam memegang atau melepas, memberi atau menolak, hedonistik permissif atau kebiaraan Kristen.
Dengan perspektif kandungan pengertian kemoderatan Islam pula kita telaah hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

"Sesungguhnya agama ini kuat, maka masuklah kamu sekalian ke dalamnya dengan lembut." (Imam Ahmad)

"Sesungguhnya agama Allah 'azza wa jalla itu mudah." (Bukhari, an-Nasai, dan Imam Ahmad)

"Sesungguhnya kamu sekalian adalah satu umat yang dikehendaki (dari kamu) kemudahan dan sesungguhnya sebaik-baik agamamu adalah yang paling mudah." (Ahmad)

"Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla, tidak mengutusku sebagai pembawa kekerasan, melainkan Dia mengutusku sebagai pengajar yang memberi kemudahan." (Imam Muslim dan Imam Ahmad)

Dari Aisyah r.a: "Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memilih dua perkara dalam urusan Islam kecuali beliau mengambil yang lebih mudah di antara keduanya, selama bukan suatu dosa. Apabila perkara itu dosa maka beliaulah orang yang paling jauh dari perkara itu." (Bukhari, Muslim, Abu Daud, Imam Malik dan Imam Ahmad)

Dosa itulah yang ditolak dari karakter kedua kutub yang berlawanan, karena kezaliman, kebathilan, ekstrimitas dan keberpihakan bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan kemoderatan.
Dengan acuan kandungan wasathiyyah Islam komprehensif ini, manhaj Islam mempunyai warna khusus ketika mengantarkan umat kepada rekayasa peradaban yang moderat yang kemoderatannya ini menjadi kapal penyelamatnya dari keterbelahan dan pluralitas (dua sisi yang berlawanan) seperti yang terjadi pada peradaban-peradaban lain, tepatnya peradaban Barat.

Mengacu pada realitas ini: realitas manhaj Islam, khususnya jika kita keluar dari kerangka teoritis menuju bidang-bidang aplikasi, maka akan dilihat perbedaan yang nyata yang dikontribusikan oleh manhaj wasathiyyah Islam yang komprehensif dan cakupan yang dipengaruhinya, bilamana kita komitmen dan berjalan pada perspektif manhaj ini dalam pembahasan, pelaksanaan dan aplikasinya.

Wasathiyyah Islam pada masa kejayaan peradaban Islam --dan akan senantiasa berlaku-- merupakan manhaj yang memadukan --dalam konsep Islam-- antara ruh dan jasad, dunia dan akhirat, agama dan negara, subjek dan objek, individu dan masyarakat, pemikiran dan realitas, materi dan idealisme, yang riil dan yang ideal, tujuan dan cara, deskrit dan kontinum, yang lama dan yang baru, pokok dan cabang, akal dan naql, primordial dan global, kebenaran dan kekuatan, ijtihad dan taqlid, agama dan ilmu, yang umum yang khusus, dan dualisme-dualisme lainnya -- jika dapat dikatakan dualisme.
Asy'ariyah

ALIRAN kalam --tentang studi klasik tentang filsafat ketuhanan-- ini adalah kelompok Islam yang paling banyak penganutnya di kalangan umat Islam, sehingga sering disebut-sebut sebagai Ahlussunnah dan Ahlussunnah wal jama'ah. Kelompok ini dikenal dengan sebutan al-Asy'ariah dinisbahkan kepada tokoh pendirinya Abu al-Hasan al-Asy'ari (874-936 M). Lahir dan hidup di Basrah, kota pusat kelahiran dan perkembangan paham Mu'tazilah. Al-Asy'ari pada mulanya menganut paham ini, akan tetapi pada akhir abad ke tiga hijriah ia meninggalkan dan menyerang keras terhadap paham ini selama kurang lebih seperempat abad kemudian mendirikan paham baru, al-Asy'ariah.

Iklim pemikiran yang mengakibatkan perubahan pandangan dan berdirinya paham baru ini ditandai dengan polarisme antara aliran rasionalis, Mu'tazilah yang hingga batas-batas tertentu dipengaruhi oleh filsafat Yunani, khususnya sebagai dampak dari gerakan penerjemahan khazanah intelektualitas Yunani ke dalam Bahasa Arab pada abad ke tiga hijriah, di satu pihak, dan paham tekstualis, Ahlul Hadits yang pandangannya statis tertumpu pada pemahaman tekstual atas nash-nash eksplisit menghadapi arus pengaruh pemikiran filsafat Yunani yang masuk di kalangan pemikiran Islam.

Dalam suasana polarisme tajam ini pemikiran Islam membutuhkan orang yang mengingatkan kaum Muslimin tentang wasathiyyah Islam yang menyelamatkan paham rasionalisme dari kecenderungan arah seperti yang ada dalam aliran pemikiran Yunani, di samping itu juga meluruskan pemahaman terhadap teks-teks lahiriah dari pemahaman harfiah (leterlek). Dalam hal ini al-Asy'ari-lah tokoh pelurus antara kedua kutub ini yang menampilkan pemahaman moderat (wasathiyyah) di tengah alam pemikiran yang sedang mewarnai periode itu.

Kelompok Asy'ariah ini telah berhasil mengetengahkan bentuk baru wasathiyyah Islam yang meredakan ekstrimis kedua kutub yang sedang mendominasi alam pemikiran periode ini antara Mu'tazilah dan kelompok tekstual Salafiah. Kemudian mengambil jalan tengah dan mengkompromikan keduanya dalam kesatuan arah pemahaman teologis. Inilah keberhasilan terbesar paham al-Asy'ariah dalam mempersatukan pandangan masyarakat tentang masalah ini.

Beberapa pandangan yang dipegang oleh al-Asy'ariah adalah:
1) Memandang golongan Mu'tazilah telah berlebihan dalam melakukan tanzih hingga mendekati ta'thil terhadap sifat-sifat Allah. Sedangkan kelompok tekstual berlebihan dalam memahami teks secara lahiriah tanpa menyelami implisitasnya, mereka melakukan penyerupaan (tasybih) terhadap sifat-sifat Allah dengan makhluk mendekati batas tajsid dan tajsim (antropomorfisme). Kemudian al-Asy'ariah mengambil aliran tengah antara keduanya dengan menetapkan untuk Dzat Ilahiah sifat-sifat yang Dia sifatkan sendiri untuk diri-Nya akan tetapi dengan pemahaman yang menjauhkan makna tajsim dan tajsid (antropomorfisme).

2) Memandang bahwa para ulama fiqih bersikap apatis terhadap Ilmu Kalam --karena membenci kaum Mu'tazilah yaitu pihak perintis Ilmu Kalam-- begitu juga memandang para ahli kalam (al-Mutakallimin) mengabaikan manhaj ushul fiqih yang dirumuskan oleh musuh Mu'tazilah lalu al-Asy'ariyah mengkombinasikan antara Fiqih dan Ushul Fiqih serta Ilmu Kalam.

3) Memandang bahwa kaum salafi --kaum tekstualis-- menjauhi perangkat penalaran akal sedangkan para penganut filsafat cenderung pada penggunaan penalaran akal dengan mengorbankan naql (teks agama), dengan kata lain, menempatkan akal diatas nash dalam banyak hal. Lalu al-Asy'ariah mengambil jalan tengah antara keduanya dengan tetap menempatkan nash diatas akal. Sebab paham yang dipegang oleh kaum Mu'tazilah lebih berbahaya dikarenakan menomerduakan nash setelah akal.

4) Memandang kelompok fatalis murni (al-Jabriyyah) yang mengingkari adanya peran aktif bagi manusia, yang memandang keberadaan manusia itu tidak ubahnya ibarat bulu dibawa terbang oleh angin, sedangkan golongan Mu'tazilah memandang bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri dalam pengertian hakiki bukan majazi. Lalu al-Asy'ariah mengambil konsep kasb (usaha dan ikhtiar) sebagai jalan tengah antara keduanya, di mana di sana dibedakan antara perbuatan paksaan atas ketentuan Tuhan dan perbuatan atas usaha dan ikhtiar manusia. Dengan demikian al-Asy'ariah menetapkan adanya peran manusia bagi perbuatannya berupa kemampuan dan kesanggupan melakukan perbuatan akan tetapi kemampuan dan kesanggupan manusia ini tetap tidak mencapai tingkat penciptaan dan mengadakan perbuatan, sebab ini adalah hak Allah.

5) Memandang bahwa penganut paham tasybih atau kelompok al-musyabbihah (antropomorfisme) yang meyakini bahwa manusia melihat Tuhan dengan mata kepala mengantarkan pada konsep batas-batas Dzat ilahiah secara indrawi, sedangkan kaum Mu'tazilah mengingkari bahwa manusia dapat melihat Allah secara indrawi. Lalu al-Asy'ariah mengambil jalan tengah antara dua paham ini dengan mengatakan tentang melihat Allah dengan mata kepala, tanpa memberi batasan maupun tajsim (antropomorfisme).

6) Memandang golongan salafi dan paham tekstualis yang mengatakan tentang sifat qidam (sifat dahulu) al-Qur'an baik maknanya, bentuk hurufnya, maupun suaranya, sedangkan kaum Mu'tazilah memandang bahwa al-Qur'an adalah makhluk. Lalu al-Asy'ariah mengambil jalan tengah antara keduanya dengan memandang bahwa kalam Allah bersifat qadim (dahulu) akan tetapi huruf dan suara pengucapannya bersifat baru (huduts).

7) Tentang penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang Allah mengenai wajah, tangan, kedatangan, bersemayam, (istiwa’) bagi Allah, al-Asy'ariah memandang bahwa golongan salafi --tekstualis-- menghindari metode ta'wil (memberi penafsiran di luar eksplisitas nash) tanpa menyerahkan maknanya atau menjauhkan penyerupaan Allah dengan makhluk, sedangkan mayoritas penganut paham Mu'tazilah berlebihan dalam men-ta'wil-kan ayat-ayat ini. Oleh sebab itu, al-Asy'ariah berusaha mengambil jalan tengah dengan tetap menetapkan wajah, tangan, kedatangan, dan bersemayam bagi Allah akan tetapi tanpa mempertanyakan: bagaimana. Mereka memilih menetapkan tanpa menyerupakan.

8) Memandang ekstrimitas ada pada paham salafi dalam menolak akal sebagai sumber pengetahuan agama dan ekstrimitas Mu'tazilah dalam mengandalkan akal sebagai rujukan agama, sehingga sebagian orang menyebut kaum Mu'tazilah penganut "syari'ah akal" karena ketertumpuan mereka pada daya nalar akal sebagai salah satu sumber pengetahuan dengan kekhususan wahyu sebagai rujukan dalam tugas-tugas dan masalah yang wajib menurut agama.

Demikianlah Abu al-Hasan al-Asy'ari merumuskan tonggak wasathiyyah Asy'ariyyah (aliran moderat al-Asy'ariah) yang muncul pada kondisi polaritas antara Mu'tazilah dan kelompok tekstualis, dengan mengambil jalan tengah lalu mempersatukan umat dan menggalang kesatuannya.
Salafiyah

ISTILAH salafiah diambil dari kata dasar salaf, berarti yang telah lalu: Dalam al-Qur'an disebutkan:

"Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu." (al-Baqarah: 275)

Dalam kamus "Lisan al-'Arab" karya Ibnu Manzhur dikatakan bahwa kata salif berarti yang berlalu, atau yang mendahului. Oleh sebab itu, dalam pengertian konteks agama, salafiah dan salafi, adalah merujuk aturan-aturan agama pada sumber aslinya yang pertama: Kitab dan Sunnah dengan mengesampingkan selain keduanya.

Dengan kejelasan batasan pengertian ini, dalam tradisi pemikiran Islam, setiap pemahaman salafi merujuk pemahaman Agama pada al-Qur'an dan sunnah, akan tetapi di antara mereka ada yang berhenti hanya pada lahiriah teks-teks Agama, bahkan ada yang menggunakan penalaran akal dalam memahami Agama: baik men-ta'wil secara ekstrim, atau moderat.

Di antara golongan salafi terdapat kelompok jumud dan taklid; ada pula kelompok tajdid yang merujuk pada jawaban terhadap realitas modern, ada lagi kelompok yang ingin mengembalikan kejayaan ke masa lalu, jaman keemasan peradaban Islam, dengan berbagai kreatifitas intelektualnya; kelompok lain yang ingin mempertahankan tradisi masa lalu dengan tetap mengacu pada pemikiran konservatif secara taklid.

Di antara golongan salafi adalah mereka yang bertaklid pada setiap tradisi tanpa membedakan antara pemikiran dan pengalaman empirik yang telah dicapai oleh generasi masa lalu serta tidak membedakan antara ketetapan prinsip-prinsip pokok dan hal-hal yang senantiasa berubah: diskrit dan kontinum. Ada pula yang mengacu pada ketentuan-ketentuan yang bersifat tetap untuk dijadikan dasar pedoman mengambil pelajaran dari pengalaman empirik serta perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarah. Ada lagi kelompok salafi yang menganut pandangan hidup pada masa lalu tanpa melihat kenyataan modernitas. Sedangkan sekelompok yang lain memadukan antara masa lalu dan kenyataan modern.

Keanekaragaman ini yang kadang-kadang mendekati tingkat kontradiksi antara kelompok-kelompok yang disebut dengan salafi adalah yang menjadi kandungan pengertian dalam istilah ini, khususnya dalam pemikiran modern, sehingga tidak jelas, menimbulkan salah pengertian dan bahkan salah penilaian. Sebab setiap orang pada hakekatnya adalah salafi, dalam pengertian bahwa dia mempunyai masa lalu yang dijadikan rujukan afiliasi dan loyalitas. Akan tetapi perbedaannya terletak pada: siapakah masa lalu yang menjadi rujukan itu? Bagaimana memperlakukan masa lalu itu, apakah menjauhi atau menghadirkannya? Bertaklid atau berijtihad di dalamnya?

Aliran pemikiran paling menonjol yang berusaha untuk menggunakan istilah salafiah dalam tradisi pemikiran Islam adalah aliran Ahlul Hadits, yang sangat memusuhi pengaruh filsafat Yunani serta rasionalisme dalam pemahaman agama, lalu berpegang teguh pada teks-teks secara lahiriah bahkan lebih mengutamakan nash --yang lemah sekalipun-- daripada penalaran akal (ra’y), ta'wil, qiyas dan metodologi akal lainnya. Kelompok ini memandang dirinya paling berhak disebut salafiah, padahal ia hanyalah satu dari sekian kelompok salafiah. 

Dalam manhaj aliran ini nash berada di atas segalanya, bahkan hampir dapat dikatakan bahwa hanya nash-lah yang dapat dipakai untuk hujjah. Nash, fatwa sahabat, fatwa pilihan jika terdapat perbedaan fatwa sahabat, hadits mursal dan dha'if, serta qiyas dalam keadaan darurat, adalah lima landasan pokok yang digariskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam aliran ini, yang dengan sendirinya menolak pendapat akal, qiyas, ta'wil, citarasa, akal, serta kausalitas dalam pemikiran agama. Sementara dalam rantai mujaddidin (para pembaharu dalam pemikiran Islam) sepanjang rentang sejarah, mereka adalah salafi yang memahami agama seperti halnya yang dipahami oleh umat Islam generasi terdahulu dengan mengacu pada Kitab dan Sunnah, dengan intelektualitas Islam yang komprehensif antara akal dan naql, dan menatap --dengan pembaharuan mereka-- pada realitas modern dan mengantisipasi masa depan.
Ahlul Hadits

ISTILAH Ahlul Hadits adalah sebutan yang diberikan untuk kelompok yang sering-- secara berlebihan-- disebut dengan Ahlus Sunnah, Salafiah atau Hasywiyyah, sebab Ahlul Hadits adalah satu trend yang berpegang pada teks-teks agama dan riwayat-riwayat dari para sahabat sebagai satu-satunya referensi --atau hampir dapat dikatakan hanya satu-satunya-- rujukan Agama, dengan menolak memasukkan penalaran akal (ra’y), qiyas, ta'wil, dan metodologi akal lainnya ke dalam kerangka referensi Agama. Bahkan dapat dikatakan menolak penalaran akal dalam memahami nash-nash, cukup dengan mengambil lahiriah nash-nash itu.

Dengan sendirinya, nash-nash Agama yang merupakan rujukan dalam persoalan-persoalan Agama adalah Kitab dan Sunnah. Akan tetapi dikarenakan kesibukan para imam kelompok ini dalam tugas pengumpulan hadits Nabi dan penyusunannya ke dalam Kitab Shahih, Musnad, dan Jami'; kesibukan mereka dalam pengecekan Ilmu Musthalahul Hadits dirayah dan riwayah secara quantitatif maupun qualitatif serta begitu penting kedudukannya dalam poros ilmu-ilmu Islam baik yang berkaitan dengan syari'ah maupun mu'amalah, maka para imam kelompok aliran pemikiran ini muncul sebagai pakar-pakar profesional di bidang kompilasi, kritik, penyusunan, dan pensyarahan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh sebab itulah mereka dikenal dengan sebutan Ahlul Hadits.

Masa kejayaan mereka ini mencapai puncaknya pada era pemerintahan Dinasti Abbasiah, sebab pengaruh yang ditimbulkan oleh aliran rasionalisme, filsafat dan pemikiran rasional Yunani serta paham iluminisme serta esoterisme Persia telah menimbulkan sentakan besar terhadap mayoritas umat Islam. Untuk menghadapi gelombang pemikiran asing ini mereka menyambut dengan penuh antusiasme seruan kembali kepada teks-teks Agama sebagai benteng yang diwakili oleh Ahlul Hadits, dipelopori oleh Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal (780-885 M), penulis kitab al-Musnad yang terkenal itu. Dalam aliran pemikiran Ahlul Hadits ini terdapat sejumlah tokoh yang menekuni bidang hadits baik kompilasi, kritik maupun penyusunan secara tematik, serta penyusunan ilmu-ilmu hadits. Di antara tokohtokoh ini ialah: Ibnu Rahawaih (wafat 852 M), seorang imam dan pakar ilmu Ta'dil dan Jarh; Imam Bukhari (wafat 870 M); Abu Dawud (wafat 888 M); ad-Darami (wafat 893 M); at-Thabrani (wafat 971 M); al-Baihaqi (wafat 1066 M), dan imam-imam lainnya penyusun hadits dalam bentuk Kitab Musnad, Jami', dan Shahih. Begitu pula terdapat dalam aliran ini sejumlah fuqaha (ulama fiqh), mujtahidin (ulama ahli ijtihad), dan mujaddidin (ulama pembaharu) yang di antaranya Ibnu Taimiyah (1263-1328 M), Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (1292-1350 M), dan tokoh-tokoh lainnya.

Imamah aliran ini telah terbentuk tanpa saingan pada Imam Ahmad bin Hanbal, sebenarnya bukanlah disebabkan karena jasanya mengkompilasi Kitab al-Musnad, melainkan disebabkan adanya beberapa faktor penting lainnya, di antaranya bahwa dia adalah peletak metodologi tekstual yang menjadi karakter pokok aliran ini, yaitu metodologi yang membatasi referensi Agama hanya pada nash-nash Agama: teks-teks al-Qur'an dan Sunnah, tanpa perangkat penalaran akal, disertai dengan sikap sangat hati-hati untuk menghindari penggunaan penalaran akal ini dalam seluk beluk teks-teks ini.

Komitmen Imam Ahmad pada metodologi tekstual ini yang dipakai sebagai satu-satunya jalan untuk memahami Agama telah mencapai tingkat yang tidak memungkinkan baginya menggunakan pendapat atau penalaran akal, atau qiyas, melainkan lebih memilih riwayat yang ma'tsur meskipun terdapat beberapa riwayat yang berbeda atau bertentangan dalam satu masalah, sehingga ia kadang-kadang memberi dua fatwa hukum yang berbeda dikarenakan adanya riwayat ma'tsur yang berbeda dalam satu masalah itu, yang dengan ungkapan Ibnu al-Qayyim, dikatakan: "Apabila para sahabat berselisih paham dengan dua pendapat maka Ibnu Hanbal mengemukakan dua riwayat tentang masalah tersebut."

Ini adalah suatu manhaj yang membuat agama menjadi mudah dan memberi kelapangan kepada umat dalam masalah furu'iah (masalah sekunder) dan persoalan-persoalan yang tidak prinsipil, berbeda dengan yang sering dianggap oleh lawan-lawan aliran ini. Rukun-rukun manhaj tekstual ini, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal ada lima, yang disebut oleh Ibnu Qayyim secara beruntun sebagai berikut:

• Prinsip pertama adalah nash. Apabila terdapat nash, maka nash inilah yang dipakai tanpa melihat kepada sesuatu yang bertentangan dengannya dan tidak memperlakukan hadits shahih dengan mendahulukan qiyas, atau penalaran akal atau kata-kata sahabat.

• Prinsip kedua adalah fatwa sahabat. Jika terdapat fatwa sebagian sahabat dan tidak ada sahabat yang menentang fatwa itu, maka fatwa ini tidak dapat dikalahkan oleh qiyas, atau penalaran akal.

• Prinsip ketiga adalah bahwa apabila terdapat perbedaan pendapat di antara para sahabat, maka dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Kitab atau Sunnah dan tidak keluar dari pendapat mereka meskipun seandainya tidak tampak mana yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat sahabat.

• Prinsip keempat adalah mengambil hadits mursal dan hadits dha'if, jika tidak ada nash lain yang mendukung. Hadits mursal dan hadits dha'if lebih kuat baginya daripada pendapat akal.

• Prinsip kelima adalah qiyas dalam keadaan darurat. Jika tidak ditemukan nash, tidak ada ucapan sahabat, atau pendapat salah seorang sahabat, atau atsar mursal atau dha'if, maka qiyas lalu dipakai dalam hal ini semata karena terpaksa.

Inilah prinsip-prinsip metodologi tekstual yang dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Nash pada tingkat apapun adalah rujukan halal dan haram, bukan pendapat akal, atau qiyas atau ta'wil, atau citarasa sufistik, atau qaidah sebab musabab.
Syu'ubiyah

ISTILAH ini berasal dari akar kata jamak syu'ub yang bentuk tunggalnya adalah sya'b. Salah satu arti sya'b adalah kelompok manusia yang tunduk pada sebuah sistem sosial, atau berbicara dengan satu bahasa. Dalam al-Qur'an disebutkan:

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal." (al-Hujuraat: 13)

Kelompok manusia yang membentuk satu bangsa (sya'b) adalah yang menempuh jalan pembauran dan persatuan setahap lebih besar daripada yang masih ada pada ikatan suku. Maka suku-suku dengan proses pembauran dan pengembangan membentuk format baru menjadi satu bangsa. Sedangkan kebangsaan (syu'ubiyyah), dalam pemikiran dan sejarah Arab Islam, merupakan terminologi yang menunjukkan karakter dan gerakan yang dibedakan dalam kerangkanya oleh dua aliran:

Pertama: syu'ubiyyah dalam pengertian persamaan antara bangsa-bangsa dan suku-suku, yakni antara unsur Arab yang didominasi oleh sistem kesukuan dan golongan Mawali (penduduk negeri yang dikuasai oleh bangsa Arab), yang mana mereka itu berbangsa-bangsa --khususnya bangsa Persia. Pengertian syu'ubiyyah ini mulai dipakai, yakni untuk memperoleh persamaan, untuk menghadapi kecenderungan Bani Umayyah yang lebih mengutamakan unsur Arab baik karena fanatisme atau karena faktor keamanan Negara ketika terdapat keraguan terhadap loyalitas kaum Mawali --penduduk asli negeri yang dikuasai oleh penguasa yang berdarah Arab-- di kalangan Dinasti Umayyah. Maka syu'ubiyyah dengan pengertian ini merupakan suatu orientasi yang dapat diterima menurut Islam yang tidak membedakan antara Arab dan non-Arab ('Ajami) selain karena ketaqwaan.

Kedua: adalah syu'ubiyyah yang penganutnya melampaui tuntutan persamaan antara bangsa-bangsa dan suku-suku, hingga mengklaim superioritas bangsa Persia atas suku-suku Arab dan mereka menyebarluaskan pemikiran dan teori-teori filsafat yang merendahkan ras Arab sebagai bangsa; merendahkan tradisi, adat istiadat, pakaian, kualitas makanan, perlengkapan hidup, model kehidupan serta kebudayaan mereka dengan menggeneralisasikan mereka secara mutlak.

Yang tampak dari permukaan dari aliran syu'ubiyyah ini bahwa Islam diterima sebagai agama dan Arab ditolak sebagai bahasa, negara, tradisi, dan model hidup. Akan tetapi terdapat berbagai indikasi yang menunjukkan bahwa kecenderungan terhadap syu'ubiyyah menyimpan sikap menolak Islam di balik penolakan terhadap Arabisme; dengan berusaha memelihara tradisi agama Persia klasik. Orientasi Aryanisme Persia laten ini dan pergerakan bawah tanah telah memberi andil besar dalam menjatuhkan Dinasti Umayyah yang bercorak Arab. Dalam tubuh pasukan yang mendukung Abu Muslim al-Khurasani (wafat 755 M) terdapat unsur-unsur yang sangat menonjol memainkan peran ini. Bahkan kelompok yang mempunyai orientasi syu'ubiyyah telah berhasil mengubah sistem khilafah sebelum mereka berhasil menjatuhkan Dinasti Umayyah kemudian membersihkannya dari unsur-unsur Alawi dalam revolusi --karena mereka mempunyai orientasi Arab-- yang diwakili oleh kaum Mu'tazilah yang berhasil mengadakan bai'at khilafah kepada Nafs Zakiah Muhammad bin Abdullah bin al-Hasan (712-762 M). Kaum syu'ubiyyah berhasil mengalihkan khilafah kepada kelompok Bani Abbas yang penggalakan kampanyenya dilakukan dalam iklim Persia serta mengandalkan unsur-unsur Arab, bahkan kaum syu'ubiyyah bersikap memusuhi Arab yang aspirasi mereka cenderung kepada Alawiyyah (pendukung keluarga Ali bin Abu Thalib).

Sejarah menyebutkan bahwa Imam Dinasti Abbasiah Ibrahim bin Muhammad (701-749 M) telah menulis pesan kepada salah satu orang kepercayaannya di Persia: "Jika kamu sanggup, jangan biarkan ada seorangpun yang berbicara Bahasa Arab, jika ada dan kamu anggap perlu dibunuh, maka lakukanlah! Waspadalah terhadap Bani Mudhar, sebab mereka adalah musuh yang dekat, maka binasakanlah para tokoh mereka, jangan dibiarkan mereka di muka bumi sedikitpun."

Inilah yang dilakukan Abu Muslim al-Khurasani yang mengalihkan khilafah dari kaum Alawi kepada Bani Abbas dengan memberi bai'at kepada Abu al-Abbas as-Saffah (722-754 M), hal mana menjadikan kaum syu'ubiyyah memegang kendali kekuasaan pada abad pertama pemerintahan Dinasti Abbasiah dan mendominasi berbagai bidang kehidupan.

Dalam kehidupan pemikiran dan sosial Islam telah tercipta aliran ketiga: penolakan fanatisme Arab dan fanatisme syu'ubiyyah sekaligus, yang menyerukan kepada persatuan antar bangsa-bangsa dan suku-suku atas dasar petunjuk rambu-rambu Islam dan semangat ta'aruf (saling mengenal) antar kelompok. Tentang pemahaman ini, al-Jahizh (780-869 M) mengemukakan: "Sesungguhnya kaum al-Mawali lebih mirip dengan Arab, lebih dekat dengan mereka, lebih menbutuhkan mereka, karena sunnah menjadikan mereka bagian dari Arab. Mereka itu Arab dalam perserikatan dan dalam warisan. Inilah ta'wil sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: "Maula (hamba) kaum adalah bagian dari mereka sendiri," dan sabdanya yang lain: "Wala' (loyalitas) adalah daging seperti darah daging nasab." Jika ini dipahami, maka jiwa menjadi lemah lembut, keruwetan menghilang, dan yang ada hanyalah kompetisi sehat."

Gnostisisme

GNOSTISISME berasal dari kata Latin gnosis yang berarti pengetahuan (ma'rifah). Ia merupakan paham filsafat klasik yang berdiri di atas perpaduan antara filsafat dan agama, serta campuran dari berbagai pemikiran dan pengetahuan, yang berdasarkan pada emanasi serta pandangan-pandangan mistik serta illuminisme.

Paham gnostisime berkembang subur dalam peradaban Helenik klasik (Yunani kuno), khususnya di Persia, yang mana pemikiran pokoknya berporos pada keyakinan bahwa pengetahuan adalah jalan keselamatan, bukan kepercayaan pada agama tertentu, baik jalan kepercayaan agama itu adalah teks-teks agama maupun akal, atau sekaligus keduanya.

Gnostisisme telah mulai muncul sebagai satu aliran filsafat sinkretis dari Hellenisme Yunani, khususnya Neo-Platonisme dan kabalisme Yahudi, yang merupakan agama masyarakat Yahudi klasik, serta filsafat dan agama Persia kuno: monisme. Gnostisisme merupakan jalan untuk mencapai keselamatan melalui "kesalehan" individu serta pengalaman spirituil pribadi yang mengangkat pelakunya ke alam fana (annihilation) ke dalam Dzat yang mutlak, bukan melalui aturan agama (syari'ah).

Gnostisisme memberi andil besar dalam menyelewengkan agama Kristen dari prinsip tauhid. Di antara tokoh Kristen penganut gnostisisme pada abad kedua Masehi ialah Valentinus dari Mesir dan Pasilidus dari Suriah.
Ketika Islam datang, paham ini memberi pengaruh pada perkembangan selanjutnya terhadap para penganut sufisme, terutama dalam bentuk yang diistilahkan dengan konsep wihdatul wujud dan 'irfaniyyah isyraqiyyah (illuminisme gnostik), yang tidak lain adalah bentuk gnostisisme klasik yang muncul kembali, akan tetapi paham ini hanya diikuti oleh segelintir tokoh teosofi tertentu, bukan penganut tasawuf sunni.

Ma'rifat gnostik meskipun berjaya sebagai pengalaman pribadi dan suatu jalan untuk keselamatan perorangan akan tetapi menghancurkan komunitas manusia serta merusak keyakian masyarakat yang mengambil jalan syari'ah sebagai jalan keselamatan umum, bukan ma'rifat gnostik.
Bathiniyah

DALAM aliran kalam (teologi), yang dimaksud dengan Bathiniyyah adalah setiap paham yang berlebihan dalam melakukan ta'wil. Mereka memandang di balik setiap yang bersifat lahiriah mempunyai makna yang terselubung: setiap yang eksplisit mengandung makna yang implisit, mereka tidak hanya sampai pada qaidah ta'wil terhadap rambu-rambu bahasa Arab serta agama Islam.

Terdapat ta'wil yang pelakunya mengikat diri pada qaidah-qaidah yang benar. Ta'wil seperti ini tidak ada yang mempersoalkan di kalangan aliran pemikiran Islam. Sedangkan ta'wil bathini melanggar qaidah serta menyeleweng dari syari'ah sehingga nash yang nyata disalahpahami secara nyata.

Di antara paham-paham bathiniyah (kebatinan) yang muncul di kalangan Islam di antaranya: Ismailiah. Mereka ialah golongan syi'ah imamiah yang menganggap bahwa imam yang berhak memperoleh kedudukan imamah setelah Imam Ja'far Shadiq (699-748 M) ialah putranya, Ismail (wafat 760 M). Aliran ini mencampuraduk antara ajaran Islam dengan gnostisisme Persia dan dengan paham Neo-Platonisme serta tradisi-tradisi Israiliat. Dari paham Ismailiah muncul berbagai cabang aliran Bathiniyah di antaranya:

• Qaramithah, yang dinisbahkan kepada tokoh kenamaannya yaitu Hamdan Qirmith. Aliran ini sering juga disebut dengan as-Sab'iyyah dikarenakan keyakinan mereka bahwa peringkat para Imam mereka ada tujuh (sab’) dan alam ini perjalanannya mengikuti tujuh bintang.

• Druz, yang dinisbahkan kepada pendirinya yaitu Muhammad Ismail ad-Durzi (wafat 1020 M). Para penganut aliran ini berkeyakinan bahwa al-Hakim Biamrillah al-Fathimi (985-1021 M) ialah nasut (unsur manusia) yang dimasuki lahut (unsur Tuhan). Mereka menamakan diri dengan sebutan al-Muwahhidin (yang meyakini penyatuan manusia dengan Tuhan).

• Nushairiyyah, yang dinisbahkan kepada pendirinya, Muhammad bin Nushair (wafat 873 M). Para penganut aliran ini berkeyakinan bahwa Imam Ali bin Abu Thalib adalah penjelmaan lahut (unsur Tuhan) yang menyatu pada dirinya.

• Babiyah dan Baha'iyah, yang didirikan oleh Sayyid Ali Muhammad asy-Syirazi (1821-1850) yang mengaku bahwa dirinya adalah pintu (bab) ilmu tentang hakekat ilahiah. Kemudian berkembang dari aliran Babiyah ini satu aliran yang disebut Baha'iyah, didirikan oleh Mirza Husain Ali Nuri (1818-1893) yang menamakan dirinya Baha'ullah.

Aliran-aliran kebathinan dalam masyarakat Islam ini telah mengeluarkan Islam dari hakekat yang sebenarnya dengan penta'wilan mereka yang bersifat gnostik subjektif tanpa landasan metodologi Islam. Begitu pula aliran-aliran ini telah memainkan peranan yang sangat merugikan umat Islam dalam sejarah dikarenakan sikap mereka membantu pasukan Tatar dan pasukan Salib memerangi kaum Muslimin di masa lalu, serta membantu kaum penjajah dan Israel di masa modern.
Wilayatul Faqih

ISTILAH Wilayat al-faqih dipakai dalam pemikiran Syi'ah Itsna 'Asyariyyah yang berarti otoritas ulama fiqih. Batasan-batasan otoritas wilayah ini menjadi obyek yang diperselisihkan oleh para "mujtahid" kelompok Syiah ini. Menurut Syiah --dan dalam kerangka aqidah imamah-- bagi imam yang ma’shum (bebas dari dosa) memiliki segala otoritas dan keumuman wilayah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang merupakan wilayah Allah.

Setelah Imam keduabelas yaitu Abu al-Qasim Muhammad bin al-Husain (lahir 870 M) yang dipercaya sebagai Imam Mahdi (Ratu Adil dalam tradisi Jawa atau Pemimpin yang dinantikan kedatangannya di akhir jaman dalam tradisi Islam) oleh kelompok ini -- maka para fuqaha mujtahid menjadi wakil sang imam yang gaib, menunggu kedatangannya kembali.

Di kalangan Syiah muncul pemikiran bahwa revolusi dan mendirikan pemerintahan adalah tugas khusus Imam bukan tugas wewenang wilayat al-faqih, sebab wilayat al-faqih adalah khusus menangani masalah-masalah fiqih ibadat dan muamalat, bukan politik, khususnya revolusi dan mendirikan negara. Akan tetapi selama Imam tidak ada dan selama masa-masa penantian kehadiran sang Imam, muncul dalam pemikiran Syiah --meskipun dalam bentuk parsial-- sejumlah penyelesaian jalan keluar yang mengatakan tentang keumuman wilayat al-faqih serta cakupannya termasuk urusan politik yaitu mendirikan negara dan melakukan perubahan sistem yang zalim dan rusak dengan pertimbangan demi kemaslahatan kehidupan manusia serta karena dikhawatirkan realitas yang rusak ini akan berlanjut secara berkepanjangan akibat Imam al-Muntazhar (yang dinantikan) tidak kunjung datang selama berabad abad.

Di antara ulama mujtahid kenamaan Syiah yang memandang keumuman wilayat al-faqih ialah:
a. Mujtahid an-Naraqi, Ahmad bin Muhammad bin Mahdi bin Abu Dzar an-Naraqi (1771-1828).
b. Mujtahid asy-Syirazi, Husein bin Mahmud bin Ismail bin Fathullah asy-Syirazi (1815-1895).
c. Mujtahid asy-Syiwazi, Muhammad Taqi bin Muhib Ali bin Muhammad Ali al-Hairi (wafat 1920).
d. Mujtahid an-Naeni, Husein bin Abdurrahman an-Najafi (1857-1936)
e. Ayatullah Ruhullah Khomaini (wafat 1989) pemimpin "revolusi Islam" Iran (1979) yang dipandang sebagai yang paling menonjol yang mengatakan tentang teori keumuman wilayat faqih, berdasarkan kebutuhan praktis yang menuntut para ulama melaksanakan perubahan sistem despotik, Khomaini mengemukakan: "Kegaiban besar imam kita al-Mahdi telah lewat lebih dari seribu tahun. Boleh jadi akan terus berlanjut ribuan tahun sebelum kedatangan Imam muntazhar (yang dinanti). Akankah hukum-hukum Islam tetap tidak dijalankan, di mana selama masa kegaibannya manusia akan berbuat sekehendak hati? Apakah Allah membatasi syari'ah hanya dua ratus tahun, umpamanya?

Haruskah Islam merugi setelah kegaiban ini dalam segala hal? Sesungguhnya keyakinan seperti ini bagiku lebih buruk daripada berkeyakinan bahwa Islam dihapus! Kita diwajibkan berusaha sekuat tenaga untuk membentuk pemerintahan Islam."

Berdasarkan pada teorinya tentang keumuman wilayat al-faqih, Khomaini memimpin revolusi yang didukung oleh para fuqaha Syiah: penguasa rohani dan marjai-e-dini (referensi agama) untuk melaksanakan tugas-tugas yang bersifat profesi dan teknis. Akan tetapi ijtihad ini --yang mengatakan keumuman wilayat al- faqih-- tetap menjadi topik perselisihan paham di kalangan ulama syiah Itsna ‘Asyariyyah sendiri sampai sekarang.
Pembaruan

ISLAM adalah aqidah dan syari'ah. Aqidah merupakan inti pemelukan agama dan batas akhir agama ini. Sedangkan syari'ah, baik dalam ibadah rituil maupun muamalat, atau nilai-nilai dan akhlak, adalah jalan dan titian yang ditempuh Muslim untuk beragama dan beraqidah dengan aqidah Islam dalam tauhid uluhiah (pengesaan dalam penyembahan); meyakini akhirat yang mencakup perhitungan amal (hisab) dan pahala (jaza') dan amal shaleh sebagai bekal untuk kehidupan di hari akhir, tempat kembali manusia. Ini semua adalah cakupan Islam: aqidah dan syari'ah, satu sistem buatan ilahi yang dibawa melalui malaikat Jibril (ar-Ruh al-Amin) kepada hati Rasulullah yang bergelar al-Amin (yang terpercaya). Agama ini bukan hasil upaya manusia, sebagaimana pandangan materialisme yang dipandang oleh peradaban Barat, termasuk terhadap agama. Agama Islam telah sempurna baik aqidah maupun syari'ahnya sejak wahyu Ilahi berakhir dalam Kitab al-Qur'an kepada Rasulullah saw sebagai mata rantai perjalanan nubuwah dan risalah, sehingga kerasulan Muhammad saw merupakan pertanda kesempurnaan agama ini dalam kekekalan mukjizatnya, al-Qur'an al-Karim.

Diharapkan adanya ijma', mengenai kesempurnaan agama sebelum Rasulullah saw meninggal dunia, dan dikarenakan adanya ijma', juga bahwa perubahan dan perkembangan baru adalah salah satu sunnatullah pada alam, wujud, dan fenomena, baik alam materil maupun kehidupan sosial dan pemikiran, maka anggapan keliru bahwa pintu ijtihad telah ditutup telah menciptakan kontradiksi antara kesempurnaan agama dengan pembaruan dalam ilmu-ilmu agama ini. Apakah di sana benar-benar terdapat kontradiksi antara kesempurnaan agama dengan pembaharuan dan ilmu-ilmu Agama? Persoalan ini tidak hanya muncul dari orang-orang yang secara fanatik menentang agama lalu berpihak pada pembaruan, tetapi juga muncul dari orang-orang yang sangat fanatik pada agama lalu mereka berpihak pada pendirian tentang kesempurnaan sehingga menentang pembaruan untuk meluruskan visi ini dituntut pembaruan agar ditemukan titik kesamaan.

Jika metodologi Islam dipakai yaitu mengambil jalan tengah secara komprehensif, dan memandang persoalan ini dengan kacamata ini maka tidak akan ditemukan dualisme ini dan tidak pula kontradiksi antara kesempurnaan agama dan kebakuannya dengan perubahan dan ijtihad di dalamnya. Al-Qur'an menegaskan:

"Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agamamu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan, tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang." (al-Maa'idah: 4)

Sementara itu Rasulullah mengatakan dengan sabdanya:

"Allah mengutus kepada umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbarui (urusan) agama untuk umat ini." (Abu Daud) 
Maka tidak dirasakan --jika berbekal dengan manhaj Islam dan sifat moderatnya-- bahwa di sana terdapat kontradiksi antara kesempurnaan agama ini dengan berakhirnya wahyu al-Qur'an dan pembaruan yang senantiasa ada dalam agama. Sebab agama --sebagaimana ditegaskan terdahulu-- adalah aqidah dan syari'ah. Aqidah dalam Islam adalah iman kepada Allah, kitab-kitab sucinya, para rasulnya, para malaikatnya, hari akhir, dan qadha dan qadar-Nya. Sedangkan syari'ah adalah segala urusan yang ditempuh dan dijalani oleh Muslim agar meyakini aqidah ini dan memegangnya. Masing-masing aqidah dan syari'ah memiliki dasar-dasar, prinsip-prinsip, serta rukun-rukun yang semuanya telah sempurna dengan kesempurnaan wahyu terakhir yang menyempurnakan agama. Akan tetapi manusia Muslim, sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang mempunyai tugas memakmurkan bumi ini, menyingkap rahasia-rahasia alam, merekayasa kehidupan sosial dan politik serta membangun peradaban, berkewajiban --dalam mengemban tugas khilafah-Nya ini-- menegaskan bangunan lain yang ia "ciptakan" di atas fondasi, prinsip dan rukun-rukun yang bukan buatannya melainkan buatan Allah. Islam, sebagaimana dikatakan dalam hadits: "didirikan di atas lima fondasi: Syahadatain --La ilaha illa Allah Muhammad abduhu wa rasuluh (tiada sesembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah hambanya dan rasul-Nya)-- mendirikan shalat; membayar zakat; berpuasa Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah (Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai). Dengan demikian, Islam berdiri diatas lima fondasi ini. Sedangkan lain-lainnya adalah bangunan keatas; bangunan cabang-cabang, yaitu cabang-cabang fondasi, dasar dan tiang-tiang ini. Bangunan ini --cabang-cabang fondasi yang berubah-ubah dan berganti-ganti--, berkembang, sesuai dengan kemaslahatan syar'i, dan sesuai pula dengan tuntutan jaman dan tempat, apabila selaras dengan maksud-maksud asas, tujuan-tujuan qaidah, filsafat prinsip-prinsip, dan batas-batas serta rukun-rukun, maka bangunan cabang itu merupakan perubahan dalam wilayah serta pengaruh asas, qaidah dan rukun-rukun ini. Sebab asas-asas yang bersifat permanen itu telah sempurna dengan kesempurnaan agama. Sedangkan cakrawala, pengaruh, dan cabang-cabangnya yang berpangkal dari asas-asas itu, yang senantiasa tumbuh, berubah dan berkembang tersebut menjadi bukti kesenantiasaan pembaruan dan hubungan antara pembaruan dan dasar-dasar ketentuan ini, qaidah, prinsip dan rukun.

Karena begitu jelas realitas manhaj Islam ini, maka para ulama Islam sepakat bahwa tidak ada ijtihad dalam masalah-masalah yang berkenaan dengan dasar-dasar Islam. Sebab di atas dasar-dasar inilah keutuhan umat berdiri sejak agama ini disempurnakan dengan kesempurnaan wahyu terakhir. Mereka juga sepakat bahwa wilayah ijtihad hanyalah pada persoalan-persoalan cabang (furu’) yang senantiasa berkembang menjangkau persoalan-persoalan yang berkaitan dengan realitas yang menuntut aturan-aturan hukum baru. Bahkan ijtihad dan pembaruan ini senantiasa berperan dalam menemukan esensi dari prinsip-prinsip, qaidah-qaidah, dan rukun-rukun itu, di samping memperjelas semua itu bilamana di sana terdapat hal-hal yang menutupinya berupa bid'ah, atau pengurangan. Pengertian ini dapat dipahami bahwa pembaruan tidak hanya memperbarui pemahaman Muslim terhadap agama saja, melainkan juga pembaruan furu' agama itu sendiri. Oleh sebab itu, hadits Rasulullah saw berbicara tentang tajdid ad-din (pembaruan agama).

Jadi, pembaruan tidak bertentangan dengan kesempurnaan dan kebakuan agama, melainkan menjadi jalan perluasan pengaruh-pengaruh agama yang sempurna ini ke wilayah-wilayah jangkauan baru dan persoalan-persoalannya yang baru timbul, dan jaminan bagi kelangsungan dasar-dasar itu dalam menyertai perkembangan jaman dan tempat; dengan kata lain, untuk menjamin kelangsungan risalah penutup agar abadi sebagaimana yang dikehendaki Allah. Seandainya tidak ada jangkauan pembaruan cabang-cabang baru berupa peristiwa demi peristiwa dan penarikan benang merah baru antara dasar-dasar yang telah ditetapkan dan perkembangan baru yang timbul oleh perkembangan jaman; seandainya tidak ada pembaruan secara terus menerus yang memperjelas wajah orisinal dan esensi yang bersih yang terkandung dalam dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan Islam itu maka prinsip-prinsip dasar ini akan tertutup, baik dikarenakan oleh kehidupan panjang yang berada di bawah cabang-cabang pertama dan lama sehingga perkembangan-perkembangan baru yang muncul tidak mendapatkan keteduhan "payung" Islam atau dikarenakan adanya bid'ah-bid'ah yang menutupi dasar-dasar ini. Dengan demikian pembaruan adalah jalan untuk kelangsungan, yakni konsistensi agama sempurna ini; tidak justru menafikan ketetapan dan kesempurnaannya. Jika Allah telah menegaskan bahwa diri-Nya memberi jaminan akan memelihara al-Qur'an dari perubahan dan penggantian yang di dalamnya terkandung dasar-dasar agama, lalu berfirman:

"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan peringatan (al-Qur'an) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (al-Hijir: 9)

Sebenarnya Allah telah memberi kemudahan kepada kaum Muslimin jalan-jalan pemeliharaan itu. Begitu pula kelangsungan agama Islam ini, dipelihara dengan memberlakukan sunnah pembaruan terhadap agama. Demikianlah harmonisasi yang dimiliki oleh sikap moderat Islam antara kesempurnaan agama dan pembaruannya, hal mana mengaitkan --dalam pemikiran dan perjalanan peradaban Islam-- antara archaisme dan futurisme; wawasan ke belakang dan ke depan; salafiah dan tajdid. Salaf berarti masa lampau, tempat kembali, akar, sumber pertama, dan sari bagi agama dan peradaban Islam. Sedangkan tajdid adalah menyingkap wajah yang hakiki dan dasar-dasar ini dengan membersihkannya dari bid'ah. Tajdid juga berarti memperpanjang cabang-cabang baru yang timbul dari pokok-pokok ini untuk menaungi bidang-bidang baru dan mencocokkan realitas baru dengan pilar-pilar pokok ini.

Jika dicermati, identitas peradaban Muslim dengan manhaj Islam ini, maka akan diketahui bahwa pada ke-salafiah-an Islam --yaitu dalam pengertian: kembali pada pokok-pokok inti dan sari agama dan peradaban Muslim-- terdapat suatu ijtihad yang membedakan antara inti, yakni inti agama buatan Allah dan penambahanpenambahan, pengurangan-pengurangan, serta bid'ah-bid'ah, yang muncul pada inti dan pokoknya. Di samping itu akan diketahui pula bahwa dalam ijtihad yang merumuskan hukum-hukum baru untuk realitas baru, di sana ada ke-salafiah-an yang menghadirkan pokok-pokok, prinsip-prinsip, serta tujuan-tujuan, agar realitas baru dapat dilihat dengan perspektif salafi dan menarik kesimpulan hukum-hukum baru darinya; dan membangun di atasnya bangunan baru yang sesuai.

Ke-salafiah-an Muslim bukanlah sikap ortodoks sebagaimana dalam masyarakat Kristen yang hanya berdiri dan berhenti pada pokok-pokok dan prinsip-prinsip lama secara statis dan stagnan serta menolak moderenitas dan modernisasi. Ke-salafiah-an Islam adalah komitmen pada dasar-dasar pokok; kembali kepada sumber yang suci dan asli; menolak penambahan dan pengurangan serta bid'ah dari esensi pokok agama. Yang demikian itu dimaksudkan agar pokok-pokok itu menumbuhkan cabang-cabang baru yang dapat menaungi realitas baru serta menerangi realitas modern dengan esensi ketetapan Ilahi. Dengan demikian cabang-cabang itu adalah inti pembaruan (tajdid) bukan lawannya.

Jika pengertian "kemajuan" telah muncul dalam peradaban Barat sebagai buah dari pemberontakan yang bersifat keduniaan dan sekuler terhadap gereja dan juga sebagai penolakan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama Kristen atas dasar tuntutan perubahan-perubahan jaman, maka kemajuan dan pembaruan dalam Islam dan peradabannya adalah salah satu sunnatullah pada alam dan kehidupan masyarakat yang mana tidak ada pertentangan antara keduanya dengan kesempurnaan Islam dan ketetapan pokok-pokoknya. Bahkan keduanya --sebagaimana dapat disaksikan-- adalah cara untuk mengaktualisasi agama yang bersifat baku dan sempurna, selamanya dalam hidup ini.
SUMBER :
 http://abuyoesoef13.blogspot.com/search/label/Terminologi%20Dalam%20Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar