Seperti juga bentuk-bentuk budaya manusia lainnya, kepandaian tulis baca terbentuk melalui beberapa tahapan proses seiring dengan perkembangan cara berfikir suatu kelompok masyarakat manusia dalam waktu tertentu. Pertumbuhan suatu budaya tercipta dengan dorongan persepsi manusia itu terhadap kebutuhan untuk membebaskan diri dari tantangan-tantangan hidup yang ditemui. Dengan kata lain bagaimana manusia bisa menciptakan suatu usaha yang dengannya akan terpenuhi tuntutan kebutuhan hidup mereka. Apabila hasil usaha itu merupakan pemenuhan tuntutan hidup dan berproses melalui pemikiran, maka hal itu merupakan suatu bentuk budaya baru. Pelahiran budaya baru pada suatu masyarakat akan senantiasa merupakan gambaran perkembangan cara berfikir manusia pada saat itu.
Menulis, adalah salah satu bentuk budaya yang tercipta melalui proses-proses yang disebutkan. Penemuan lambang-lambang oral (huruf)yang bentuk akhirnya berupa tulisan, adalah suatu prestasi intelektual yang dicapai manusia dalam peradaban masyarakat klasik. Peralihan sistem komunikasi manusia dari tradisi oral ke tradisi menulis, sangat mempengaruhi percepatan perkembangan budaya dan perluasan informasi antar masyarakat dan antar generasi secara lebih otentik dan efektif. Akibat dari semua itu, tentunya --secara tidak langsung--, akan merubah tatanan budaya-budaya lainnya ke bentuk yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Dengan demikian penemuan budaya tulisan dalam sistem budaya suatu masyarakat, tidak hanya akan menawarkan peningkatan dalam lapangan komunikasi saja, akan tetapi lebih jauh akan mempengaruhi aspek-aspek budaya manusia itu secara keseluruhan. Hal-hal yang kita sebutkan terbukti dari beberapa kerajaan besar pada zaman purba --seperti Mesir, Sumeria, Babylonia, Niniveh, China dan lain-lain-- yang telah memperoleh kemajuan yang pesat di bidang peradaban dalam masa 10.000 tahun semenjak mereka menemukan tulisan. Kemajuan tersebut ternyata lebih besar dari apa yang dicapai selama Zaman Batu yang berlangsung lebih kurang 2 juta tahun (Santoso,tt:19-20).
1. Proses Pertumbuhan Tulisan
a. Tulisan Gambar.
Sebagai salah satu hasil budaya, bagaimanakah awalnya tradisi menulis itu bermula pada suatu kelompok masyarakat manusia ?. Sebagaimana telah dikemukakan pada bahagian terdahulu bahwa tumbuhnya suatu budaya adalah karena adanya tantangan kebutuhan yang harus dipenuhi di dalam kehidupan. Kebutuhan akan tulisan bagi masyarakat tradisional (primitif), dirasakan setelah komunikasi lisan tidak lagi memadai di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan itu timbullah ide-ide sederhana untuk melambangkan setiap apa yang bisa mereka ucapkan. Tuntutan ini pada awalnya melahirkan bentuk-bentuk lambang sederhana dan rumit, yaitu dengan cara menggambarkan setiap benda yang diucapkan.
Perlambangan dengan gambar. Kemudian mengalami keterbatasan-keterbatasan. Oleh karena penggambaran itu hanya akan dapat dilakukan terhadap pengucapan-pengucapan yang berwujud kata benda atau mungkin kata kerja. Sedangkan untuk pengucapan yang bersifat abstrak, seperti kata sifat atau keadaan, tentu penggambarannya akan sulit dilakukan.
Tulisan gambar, di samping memiliki keterbatasan, juga sangat rumit. Karena sudah barang tentu untuk satu baris tulisan (satu kalimat) saja mungkin akan terdiri dari berpuluh-puluh jejeran gambar. Ini mengakibatkan tulisan itu sulit untuk dipahami serta penulisannya memakan tempat yang luas, di samping itu tidak semua orang yang bisa menggambar. Namun demikian, tulisan gambar setidaknya adalah proses pertama dari timbulnya tulisan pada masyarakat kuno, seperti Mesir, Sumeria, China dan lain-lain, yang dianggap telah melahirkan bermacam-macam jenis tulisan yang ada di dunia hingga saat ini.
b. Tulisan Rumus
Perkembangan selanjutnya dari tulisan gambar ialah tulisan rumus (Zainuddin,1974:295). Upaya pertama yang dilakukan adalah penggambaran terhadap pengucapan yang abstrak, seperti kata sifat dan keadaan, yaitu dengan cara menggabungkan beberapa buah gambar benda dan ditujukan untuk satu pengertian sifat atau keadaan; seperti untuk penulisan karta 'siang' digunakan gambar matahari yang sedang memancarkan sinarnya, untuk melukiskan kata 'lapar', digambarkan sebuah tangan yang terletak didepan mulut. Menurut sementara ahli, sebagai proses kedua setelah tulisan gambar, adalah Pictographic Writing (Zainuddin,1974:20), yaitu tulisan gambar yang telah dipermudah cara pembuatannya (disederhanakan), dimana penggambaran benda-benda atau peristiwa diwakili oleh tanda kanji tertentu dan masih bersifat konkrit.
c. Tulisan Potongan
Proses Pictographic Writing seperti disebutkan diatas, oleh Naji Zainuddin, adalah merupakan proses ketiga, yang ia sebut dengan Tulisan Potongan. Menurutnya tulisan ini masih berbentuk gambar (bersifat konkrit), akan tetapi sudah dipotong untuk kebutuhan pengungkapan satu suku kata, seperti gambar 'tangan ' untuk menuliskan kata yang berawalan yad ('yad' artinya : tangan ) (Zainuddin,1974:20). Kata Yadhas, Yadhar dan semacamnya, memakai tanda kanji yang sama yaitu 'tangan' dengan tambahan lambang pada susku kata berikutnya.
d. Tulisan bunyi.
Perkembangan selanjutnya ialah Tulisan Bunyi, yaitu tulisan yang mempergunakan gambar sebagai lambang bunyi permulaan suatu sukukata pada kalimat. Proses ini juga disebut sebagai proses abstraksi yang pada dasarnya menemukan sifat atau peristiwa bunyi dan detail satu bunyi diujudkan dengan suatu tanda.
Pada tahap ini, lambang yang semula merupakan lambang bunyi suku kata pertama menjadi lambang bunyi awal suku kata tersebut. Perubahan ini melahirkan lambang-lambang konsonan.
e. Alphabetis.
Meningkatnya cara berfikir manusia, pada gilirannya telah menuntut perubahan-perubahan pada tulisan yang digunakan, setelah mana tulisan yang digunakan dirasakan kurang efektif lagi. Proses alphabetis (hijaiy), merupakan tingkat pengabstraksian lebih lanjut dari proses-proses sebelumnya. Pada tingkat ini mulai dilakukan pemisahan tanda terhadap bunyi yang berbeda pada suatu suku kata itu. Pembedaan tanda bunyi suku kata pada tingkat ini telah melahirkan tanda-tanda vokal, di mana sebelumnya yang ditandai pada awal suku-kata adalah bunyi-bunyi konsonan saja. Kemudian karena sulitnya membedakan bunyi awal suku kata yang sama, dilakukan pula usaha untuk membedakan bunyi-bunyi itu dengan memberi tanda-tanda tertentu. Tanda inilah yang disebut huruf-huruf vokal.
Dengan proses ini menjadi lengkaplah tercipta lambang dari setiap bunyi yang keluar dari mulut (lambang oral). Lambang-lambang itu kemudian kemudian disusun sedemikian rupa dan dibedakan antara lambang-lambang konsonan dan lambang-lambang vokal. Susunan lambang-lambang ini disebut dengan alphabet.
Penemuan pola perlambangan oral dalam bentuk tulisan --pada proses terakhir itu--, ternyata telah menuntun kemajuan yang banyak dalam hal ini. Huruf-huruf yang merupakan lambang bunyi, semakin lama semakin disederhanakan ; lambang-lambang yang terlalu banyak dan rumit diperkecil jumlahnya dan dipermudah cara pembuatannya. Hal ini memberi pengaruh yang besar terhadap pembakuan pola penulisan, yang justru dengan itu pula, semakin kecil kemungkinan terjadinya kekeliruan dan perbedaan penggunaan lambang-lambang dalam menulis akibat dari terlalu banyaknya jumlah lambang yang digunakan.
Berbeda dari apa yang telah diuraikan terdahulu, ada lagi tahapan proses yang berkembang dari tulisan gambar yang tidak mengarah kepada terbentuknya alphabet, akan tetapi tetap mempertahankan cara-cara pengungkapan dengan gambar. Penyempurnaan-penyempurnaan yang dilakukan dalam perkembangannya hanyalah penyederhanaan gambar-gambar saja, yaitu dari bentuk yang rumit dan pelik kepada bentuk yang makin sederhana, dengan kata lain, lambang gambar yang semula masih bersifat konkrit, diabstraksikan ke bentuk lambang yang mudah dibuat, tetapi pemahamannya tetap pada pengertian gambar yang dimaksudkan. Contoh satu-satunya untuk proses ini adalah tulisan yang digunakan oleh orang-orang Tionghoa purba. Bahkan di wilayah-wilayah yang berkebudayaan Tionghoa, seperti Jepang Korea, Taiwan dll. Hingga saat ini masih tetap memakai cara penulisan seperti itu.
Dengan uraian diatas, setidaknya ada dua alur proses yang secara umum telah ditempuh oleh masyarakat klasik dalam pengembangan pola penulisan mereka. Yang disebut pertama adalah perkembangan tulisan yang mengarah kepada pembentukan huruf-huruf alphabetis dan didasarkan pada nilai bunyi (phonetis). Sedangkan proses kedua adalah pengembangan tulisan yang tidak menekankan pada nilai bunyi dan tidak mengarah kepada pembentukan alphabeth, akan tetapi tetap didasarkan pada lambang gambar dengan pemahaman makna dan pengertian lambang yang digambarkan disebut dengan pictografis ideografis.
2. Tulisan-tulisan Tertua.
Gambaran tentang proses terciptanya tulisan seperti diuriakan terdahulu adalah proses yang secara umum telah dilalui oleh masyarakat purba dalam pengembangan komunikasi tulis mereka. Proses ini tentunya berjalan secara evolusi dan memakan waktu yang panjang. Penggalian-penggalian arkeolog pada beberapa situs yang dianggap sebagai pusat peradaban tertua, telah memberikan informasi-informasi yang sangat penting tentang sistem tulisan yang digunakan oleh masyarakat purba serta tahap-tahap perkembangannya. Dari inskripsi-inskripsi yang ditemukan itu, diketahui bahwa ulisan-tulisan yang dianggap tertua terpulang kepada masa 1.k 4000 tahun sebelum Masehi. Diantara tulisan-tulisan tertua itu adalah: tulisan Sumeria pada wilayah lembah Mesopotamia, Tulisan Mesir kuno dan tulisanTionghoa yang digunakan oleh masyarakat Tiongkok di wilayah propinsi Honan di sebelah utara sungai kuning. Pada subbahasan ini akan dikemukakan jenis-jenis tulisan tertua itu beserta perkembangannya hingga melahirkan beberapa jenis tulisan penting yang dipakai hingga saat ini.
a. Tulisan Sumeria
Dari penemuan-penemuan tertulis disekitar wilayah lembah Mesopotamia telah membuktikan bahwa orang-orang Sumeria yang mendiami wilayah ini beberapa ribu tahun sebelum Masehi, telah menggunakan sejenis tulisan gambar. Tulisan ini digunakan oleh orang-orang Sumeria dan mendapatkan perkembangan dizaman Babylonia sebagai pewaris peradaban Sumeria, kemudian oleh bangsa Assyiria yang menggantikannya.
Penemuan 'kitab' undang-undang Hammurabi, telah membuka pengetahuan kita tentang tulisan yang digunakan di kerajaan Babylonia, setidaknya pada masa pemerintahan Hammurabi, yang besar itu. Undang-undang Hammurabi ini ditemukan oleh seorang sarjana Perancis pada tahun 1901 (Mansur,tt:157;Gottschalk,1986:86). Undang-undang ini ditulis pada sebuah tugu batu bersegi delapan dengan ketinggian 20 meter dan berisikan undang-undang dan peraturan yang terdiri dari 282 bab.
Studi-studi yang dilakukan terhadap tugu batu itu pada akhirnya berhasil menyingkapkan misteri tulisan yang mirip jejak-jejak paku yang berjejer pada setiap segi dari tugu ini. Para ahli berhasil membaca dan menemukan beberapa informasi yang sangat penting bagi penelitian sejarah selanjutnya tentang peradaban masyarakat di lembah Mesopotamia.
Penemuan tugu batu undang-undang Hammurabi beserta penemuan-penemuan lainnya tidak saja telah memberikan informasi tentang kehidupan masyarakat purba, akan tetapi juga telah memberikan kesimpulan-kesimpulan tentang tradisi menulis pada masyarakat ini semenjak beberapa ribu tahun sebelum Masehi. Tulisan Paku setidaknya adalah merupakan proses ketiga setelah sebelumnya digunakan tulisan gambar. Tulisan ini sudah merupakan lambang bunyi, walaupun masih ditemukan unsur-unsur pictografisnya. Naji Zainuddin mengatakan bahwa bentuk awal dari tulisan paku adalah campuran antara tulisan gambar (pictografis) dengan tulisan bunyi. Akan tetapi pada bahagian lain ia memberikan ilustrasi tentang tulisan paku sebagai lambang bunyi (Zainuddin,1974:296). Sedangkan C. Israr cendrung mengatakan bahwa tulisan paku termasuk tulisan gambar (pictogram), tanpa memberikan keterangan yang terperinci tentang itu; (C.Israr,1985:6) Di sini penulis lebih cendrung mengkalsifikasikan tulisan paku ini kepada tulisan yang mengemban nilai bunyi (fonetis), karena istilah tulisan paku ( al-Mismary = Arab, Cuneiform=Inggeris) digunakan untuk bentuk tulisan yang ditulis menyerupai paku (bukan penggambaran paku itu sendiri). Perubahan dari tulisan gambar kepada tulisan paku terjadi pada masa Babylonia, sedangkan sebelumnya belum berbentuk paku. Inilah yang agaknya tergolong pada tulisan gambar atau campuran seperti pendapat penulis terdahulu. Amat disayangkan mereka tidak memberikan batasan yang jelas dari istilah tulisan paku itu (Bandingkan dengan : Easton,1955:79;Mario Pei,1971:80). Jadi, dengan demikian dipastikan bahwa dalam waktu yang jauh sebelum itu, mereka telah menggunakan tulisan gambar dalam sistem komunikasi mereka.
Salah satu kebiasaan bagi masyarakat di lembah Mesopotamia adalah menulis di atas tanah liat lembab yang telah didatarkan terlebih dahulu. Alat tulis yang digunakan adalah semacam baji (paku) (Mario Pei,1971:79). Paku tersebut ditekan-tekankan pada tanah liat yang masih lembab itu dan setelah itu dikeringkan, dijemur atau dibakar. Di wilayah lembah Mesopotamia banyak sekali dijumpai tapan-tapan tanah liat yang ditulis dengan tulisan paku itu dalam ekskavasi yang dilakukan oleh kalangan arkeolog pada masa akhir-akhir ini. Tapan-tapan tanah liat ini ternyata hampir menyerupai batu serta tahan, meskipun telah terbenam dalam masa yang cukup panjang. Para ahli menyebut tapan tanah liat itu dengan tablet cuneiform.
Pada dasarnya tulisan paku juga berawal dari tulisan gambar (pictografis). Perubahannya kepada kepada tulisan yang melambangkan bunyi, sangat mungkin terjadi seiring dengan perubahan bentuk lambang ; dari gambar yang telah disederhanakan kepada bentuk paku. Perubahan ini baru terjadi pada masa kerajaan Babylonia yang pertama, lebih dari kurang 2000 tahun sM. (Easton,1955:79).
Sedangkan orang-orang Sumeria yang mendiami lembah Mesopotamia ini diperkirakan telah mempergunakan tulisan dalam sistem komunikasi mereka semenjak 3300 tahun sebelumnya.
b. Tulisan Mesir Kuno
Mesir, setidaknya dalam waktu yang hampir bersamaan dengan peradaban di wilayah Mesopotamia, juga telah mencapai puncak peradaban yang tinggi. Dari beberapa penggalian arkeologis yang dilakukan di daerah-daerah lembah sungai Nil telah membuktikan bahwa rakyat Mesir pada masa lebih kurang 3000 tahun sM. telah maju dalam segala lapangan kebudayaan.
Salah seorang perwira Insinyur yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte ke Mesir, Kapten M. Boussard, melakukan penggalian di dekat pelabuhan Rasyid (Rosetta). Ia menemukan sekeping batu berukir yang panjangnya 3,5 kaki, lebar 2,5 kaki dan dengan ketebalan 1 kaki. Batu ini kemudian dikenal dengan Batu Rasyid (Rosetta Stone). Batu ini menjadi lebih penting setelah dilakukan penelitian terhadap ukiran-ukiran yang ada di dalamnya, ternyata ada tiga kelompok tulisan yang terdiri dari : pada bahagian bawahnya adalah huruf-huruf Greek sebanyak 54 baris dan dua kelompok tulisan Mesir Kuno pada bahagian atasnya. Huruf-huruf Greek itu dapat dikenali dengan baik. Ia berisikan sebuah dekrit yang bertarikh 18 Mesir (27 Maret) tahun 196 sM. Dekrit ini ditulis oleh pendeta-pendeta kuil Memphis sebagai penghormatan mereka terhadap pengusaha Greek di tanah Mesir saat itu, yaitu Ptolemy Ephipanes (205-181 sM.).
Sementara kelompok huruf yang terdapat pada batu ini terdapat kurung membujur dan pada beberapa bagian terdapat tulisan yang membentuk cakar ayam.
Pada masa kemudian beberapa orang sarjana, seperti G. Zoega (Denmark) dan Dr. Thomas Young (Inggeris) berhasil mengeja huruf-huruf pada kurung membujur itu dan diketahui bahwa itu adalah nama Ptolemy Ephipanes.
Pada waktu Inggris berhasil merebut Mesir dari tangan Perancis tahun 1801, Batu Rasyid ini dibawa ke Inggeris dan disimpan di British Moseum. Namun demikian sarjana-sarjana Perancis tetap melakukan penelitian-penelitian yang sekasama terhadap tulisan Mesir kuno itu.
Jean Francois Champollion menghubungkan tulisan-tulisan yang terdapat ada Batu Rasyid itu dengan inskripsi yang terdapat pada tiang Obelisk yang ditemyukannya di pulau Philae, sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah sungai Nil. Berkat studinya yang tak kenal lelah, akhirnya ia dapat memecahkan rumus-rumus tulisan Mesir kuno yang dua macam itu. Kelompok tulisan pada bahagian atas adalah tulisan Hierogliph, sedangkan kelompok tulisan pada bagian tengahnya adalah tulisan Demotic. Kedua bentuk tulisan ini dipakai secara bersamaan oleh rakyat Mesir untuk penggunaan yang berbeda.
Dengan ditemukannya rahasia huruf-huruf Hioerogliph telah mengundang ekspedisi-ekspedisi ilmiah lebih lanjut untuk menggali peninggalan-peninggalan kuno bangsa Mesir. Denga demikian dinasti demi dinasti dari kekuasaan Pharao terungkapkan sejarahnya. Para ilmuan membanjir datang ke Mesir untuk meneliti lebih jauh situs-situs peradaban bangsa Mesir kuno, terutama pada tiang-tiang Obelisk, ukiran-ukiran pada pyramid, patung-patung serta papyrus-papyrus tua yang bertebaran. Dari hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa inskripsi tertua terdapat pada pyramid Unas (kuburan raja terakhir dinasti kelima atau lebih kurang 300 tahun sebelum Masehi. Inskripsi ini ditemukan di wilayah Kobtos.
Studi-studi tentang sejarah kebudayaan Mesir purba yang dilakukan oleh ahli-ahli sesudahnya, telah pula membuka mata lebih jauh tentang tulisan yang digunakan di Mesir. Ada tiga jenis tulisan yang dipakai oleh rakyat Mesir purba dan masing-masing digunakan untuk keperluan yang berbeda-beda. Di antara jenis tulisan itu adalah : pertama, Hieratic, yaitu tulisan yang biasanya digunakan untuk penulisan-penulisan resmi (official script ). Jenis kedua adalah Demotic, yang bentuk dan cara penulisannya berbeda dengan jenis pertama. Tulisan ini digunakan sehari-hari oleh rakyat biasa. Kedua jenis tulisan yang telah disebutkan biasanya ditulis di atas kertas papyrus.
Berbeda dengan kedua jenis tulisan tersebut, ada lagi tulisan yang disebut denga Hieroghliph, yang merupakan tulisan gambar dan lebih konkrit dalam penonjolan gambarnya dibanding dengan dua tulisan terdahulu. Hierogliph ini biasanya digunakan secara khusus untuk menulis-teks-teks suci yang bersifat ritual/sacral (Easton,1971:70). Karena itu, jenis ini tidak dapat digunakan untuk keperluan komunikasi biasa. Tulisan Hierogliph ini banyak sekali dijumpai pada makam-makam Pharao (Fir'aun), yaitu dalam piramid-piramid pada situs-situs peradaban masyarakat Mesir purba.
Seperti juga tulisan Cuneiform di Mesopotamia, tulisan Mesir kuno ini juga berawal dari tulisan gambar, meskipun pada saat ditemukan sudah tidak lagi merupakan lambang gambar, akan tetapi sudah melambangkan bunyi. Proses peralihan fungsi lambang ini berjalan dalam waktu yang lama dan secara berangsur-angsur. Lambang "matahari" --yang oleh rakyat Mesir disebut dengan "re"--, dalam perkembangannya akhirnya berubah fungsi dari pengertian matahari itu sendiri menjadi lambang bunyi suku kata yang berbunyi "re" (Mario Pei,1971:80). Lambang-lambang yang menunjukkan bunyi suku- kata inilah yang banyak dijumpai pada ketiga jenis tulisan yang telah disebutkan terdahulu.
Pada awalnya tulisan kuno di Mesir ini ditulis secara vertikal dari atas ke bawah dan sewaktu-waktu ditulis secara horizontal dari kiri ke kanan dan diikuti dari kanan ke kiri. Sedangkan pada masa terakhir, diketahui bahwa tulisan Hierogliph ditulis dari kiri ke kanan (Zainuddin,1974:297).
Penggunaan papyrus sebagai media tulis adalah sangat umum, terutama untuk tuisan Hieratic dan Demotic, sementara tulisan Hierogliph biasanya ditulis/diukir di atas batu.
c. Tulisan Tionghoa
Pengetahuan tentang peradaban bangsa Tionghoa purba terungkap dengan dilakukannya penggalian-penggalian arkeologis oleh sejumlah ahli di wilayah ini. Pada awal abad kedua puluh ini telah dilakukan penggalian di daerah Honan, sebuah daerah tua yang terletak di bagian utara sungai Kuning (Hoang Ho). Di daerah ini terdapat sebuah timbunan tanah yang oleh bangsa Tionghoa disebut dengan "Timbunan Tanah Yin". Sejumlah benda-benda purbakala, seperti tulang-belulang serta piring-piring yang terbuat dari kulit penyu, berhasil ditemukan pada penggalian ini.
Hasil penemuan ini menjadi penting, setelah diketahui bahwa goresan-goresan yang menghiasi tulang belulang dan piring-piring kulit penyu itu adalah merupakan tulisan yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa purba di lembah sungai Hoang Ho itu. Tulisan ini ditulis oleh para ahli nujum yang meramalkan kejadian-kejadian yang bakal terjadi. Berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti perjalanan, perburuan, panen, pemerintahan dan sebagainya dapat diketahui dari goresan-goresan itu. Ini pada umumnya adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang yang membutuhkan bantuan (ramalan) dari para ahli nujum itu.
Tulisan yang berupa goresan-goresan ini akhirnya dapat dirumuskan dan diklassifikasikan sebagai tulisan gambar, karena ternyata sebagian dari lambang-lambang yang dipakai masih berupa gambar konkrit, meskipun ada juga terdapat lambang gambar yang sudah disederhanakan. Penemuan ini akhirnya berkesimpulan bahwa tulisan seperti ini digunakan di masa dinasti Syang (1550-1050 sM.).
Penggunaan kulit penyu dan tulang belulang sebagia media tulis, pada waktu ini, merupakan gambaran yang khas dari peradaban masyarakat purba di kawasan Timur Jauh ini, setidaknya pada satu priode tertentu dalam perjalanan sejarah bangsa Tionghoa.
Pada masa dinasti Syang, peranan ahli nujum dalam kehidupan sosial, agaknya sangat besar sekali. Oleh sebab itu banyak sekali masalah-masalah kemasyarakatan yang digantungkan pada ramalan mereka, mulai dari masalah pribadi sampai kepada masalah ketatanegaraan dan kekuasaan.
Semua jawaban atas pertanyaan itu dituangkan pada media kulit penyu dan tulang belulang itu. Media ini terlebih dahulu dilicinkan dan diberi lobang-lobang. Kemudian dengan memasukkan besi yang sudah dipanaskan, maka lobang-lobang itu akan menimbulkan retakan-retakan. Dari retakan itulah ahli nujum mengembangkan menjadi bentyuk-bentuk tertentu, mungkin berupa gambar binatang, tumbuh-tumbuhan, serta gambar-gambar benda, dan dari gambar yang dihasilkan itulah dipahami pengertian tentang apa yang bakal terjadi, seperti panen yang akan melimpah ruah atau kekuasaan yang akan hancur dan sebagainya.
Cara-cara pelambangan gambar untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli nujum ini ternyata membawa dampak positif bagi perkembangan tulisan Tionghoa untuk masa-masa selanjutnya. Penggunaan gambar untuk melambangkan suatu pengertian ucapan, sampai saat ini masih tetap digunakan. Sekalipun cara penggambarannya sudah semakin disederhanakan, namun tidak mengubah fungsi lambang itu sendiri sebagai lambang pengertian ucapan. Tidak dapat dielakkan pula bahwa sistem ini menuntut penggunaan lambang yang sangat banyak, karena satu gambar mengemban satu pengertian ucapan. Akan tetapi, sebaliknya, sistem ini memiliki keuntungan lain pula, yaitu tulisan gambar (pictografis) ini, dapat dibaca oleh setiap kelompok masyarakat yang menganut sistem ini, meskipun ada perbendaan-perbedaan bunyi ucapan di antara kelompok -kelompok itu.
Penggunaan media kulit penyu dan tulang-belulang, ternyata juga menuntun kemajuan yang lebih cepat dalam bidang penggunaan media tulis pada masyarakat Tionghoa. Belahan-belahan bambu dan kayu akhirnya menggantikan kulit penyu dan tulang, namun tetap dengan menggunakan besi panas sebagai alat tulisnya. Setelah bambu dan kayu dirasakan kurang praktis dan berat, maka orang-orang Tionghoa beralih ke penggunaan kain sutera, setelah sebelumnya mereka menemukan cara-cara pembuatan tinta, yaitu dengan menggunakan minyak rengas yang diberi warna hitam dengan jelaga.
Pada abad pertama Masehi, masyarakat Tionghoa telah meramu kertas untuk menggantikan sutera yang dirasakan terlalu mahal. Bahan baku bagi pembuatan kertas ini adalah pakaian bekas, jerami dan kulit kayu. Bahan ini terlebih dahulu dihancurkan, kemudian disaring dan dituangkan pada wadah yang datar, dan beberapa waktu kemudian, mereka pun berhasil memutihkan kertas yang sudah jadi itu.
Kepandaian membuat kertas ini dipelajari oleh orang-orang Islam dari Tionghoa, terutama pada saat pesatnya kegiatan dagang antara Timur Tengah dengan wilayah ini. Pabrik kertas pertama didirikan oleh umat Islam di Samarkand dan pada masa-masa selanjutnya diikuti pula oleh wilayah-wilayah Islam lainnya. Orang-orang Barat, seperti Perancis dan Italia memperoleh kepandaian ini dari Spanyol sekitar tahun 1200 M. Pada saat Eropa mulai mengembangkan pembuatan kertas ini, orang Tionghoa telah mengembangkan teknologi percetakan. Ini sudah mereka rintis penggunaannya semenjak tahun 770 M. dengan menggunakan cetakan kayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar